"Selamat malam ma." Bobby berdiri di depan pintu. Hanya ada sebuah lampu kecil yang menyala di atas meja gambar Adina, Dia sedang berusaha menumpahkan semua ide yang ada dalam kepalanya untuk sebuah iklan perusahaan.
"Sudah mau tidur?" Tanya Adina setelah menengok menatap Bobby.
"Pelatih memberi latihan yang keras tadi sore. Aku capek." Jawab Bobby.
Adina tidak akan memarahi cara bicara Bobby. Malam ini dia memilih untuk mengacuhkan Bobby karena dia tahu kalau Bobby berbicara seperti itu untuk menguji kesabaran dan reaksinya. Kadang cara yang paling baik adalah dengan tidak bereaksi.
"Tidurlah kalau begitu. jangan lupa, kau harus memotong rumput besok." Kata Adina mengingatkan Bobby.
"Dua puluh ribu?"
"Lima puluh ribu kalau kau merapikan dan menyapu." Jawab Adina.
"Baiklah." Kata Bobby tapi dia tidak segera pergi dari sana. Dia memegang kayu di kusen pintu, pertanda kalau dia akan memulai sebuah pembicaraan yang sensitif. "Sebenarnya apa yang di lakukan di sini Derek Emir tadi siang?"
Pensil Adina terjatuh dan menggelinding di lantai. "Apa yang dia lakukan di sini?" Ulang Adina dengan nada lemah. "Kau tahu kenapa dia ada di sini."
"Kenapa tidak memberitahuku kalau mama sudah menghubunginya? Maksudku, mama biasanya memberitahuku terlebih dahulu."
"Aku tidak benar-benar menghubunginya. Aku, menelepon kantornya dan bertanya apakah aku boleh menggunakan wajahnya untuk sketsaku. Dan aku rasa mereka ingin melihatku dulu sebelum memberiku izin dan mereka langsung mengirimnya sendiri ke sini. Aku sama kagetnya denganmu waktu dia muncul di sini."
Adina belum pernah berbohong pada Bobby sepanjang hidupnya, kecuali kalau saat-saat Bobby bertanya tentang ayahnya termasuk dalam hitungan. Semua itu adalah kebohongan yang sah-sah saja, kebohongan demi kebaikan yang bermaksud untuk melindungi Bobby, bukan kebohongan seperti kebohongan besar yang baru saja dia katakan.
"Oh, aku senang bertemu dengannya. Menurutmu, dia keren atau tidak?" Tanya Bobby dengan nada yang penuh semangat.
"Dia keren." Jawab Adina dengan tersenyum.
"Tadinya aku pikir dia mungkin adalah orang yang sombong sekali, tapi ternyata dia itu seperti orang lain pada umumnya." Kata Bobby.
"Dia memang orang, Bob." Kata Adina dengan setengah tertawa.
"Ayolah ma, kau tahu maksudku." Kata Bobby sambil cemberut.
"Aku tahu." Jawab Adina singkat.
"Menurut mama, apakah dia akan ingat padaku atau tidak? Mungkinkah dia akan kembali lagi ke sini?" Tanya Bobby bersemangat kembali.
Adina berdiri dan berjalan ke arah Bobby dan menyibakkan rambut yang jatuh di atas alis anaknya itu, yang harus membuatnya mengangkat lengannya tinggi-tinggi. Hal ini menyadarkannya kalau Bobby sudah tumbuh dengan cepat, Salah satu hal yang tidak dia sukai. Waktu berlalu sangat cepat. Sangat cepat.
"Aku tidak yakin kalau kita akan bertemu dengan Derek lagi, Bob." Kata Adina dengan lembut.
Pikiran Adina kembali melayang pada perjalanan pulang dari cafe ke rumahnya yang di lewati dalam keheningan. Dia mengucapkan selamat tinggal dengan sopan pada Derek saat pria itu mengantarnya sampai di depan rumahnya. Pria itu tidak memperlambat tapi dengan marah dia langsung pergi. Marah atas teguran keras yang Adina berikan padanya. Adina sama sekali tidak menyesali ucapannya. Pria itu pantas untuk menerimanya karena menuduh Adina adalah seorang pembohong dan juga seorang pemeras.
"Aku tidak ingin kau terlalu berharap untuk bisa bertemu dengan Derek lagi. Dia sangat sibuk dan harus bertemu dengan banyak orang, belum lagi dia juga harus pergi bekerja." Kata Adina berusaha menenangkan Bobby.
"Aku tahu." Kata Bobby. "Tapi aku rasa dia menyukaiku. Seandainya saja kita bisa berteman dengannya, bukankah itu akan menyenangkan, benar kan, ma?"
Tenggorokan Adina tercekat, wajahnya berubah pucat tapi dia berusaha untuk tetap tenang dan tersenyum pada anak remaja itu dan memeluknya sambil menggoyangkan tubuhnya. "Sebaiknya kau cepat pergi tidur. Kau pergi istirahat. Pertandingan tinggal beberapa hari lagi."
"Oke." Kata Bobby. Seperti yang selalu dia lakukan jika keluar dari ruangan tempat Adina bekerja, Bobby melompat untuk menyentuh langit-langit lalu berlari keluar menuju ke kamarnya.
Adina mendengar langkah kaki Bobby yang berdebam di tangga ketika anak itu melompati dua anak tangga sekaligus. Bukannya tersenyum sayang seperti yang bisa dia lakukan, tapi kali ini air matanya yang malah menetes.
Surat. Surat-surat kaleng itu. Sejak Deolinda, kakaknya memberitahunya kalau dia sedang mengandung anak dari Derek Emir, Adina sering mengkhayal bagaimana rupa dari anak itu nanti, dan bagaimana anak itu akan membawa pria itu kembali dalam kehidupannya. Dalam bayangannya, hal itu selalu menjadi alasan yang sangat menyesakkan sama seperti Bobby membutuhkan transplantasi ginjal atau transfusi darah saat dia masih kecil, dan buka suatu hal sepele seperti selembar surat kaleng.
Tapi sekarang Derek sudah masuk kembali ke dalam kehidupannya. Dan pria itu sangat menawan, jauh lebih tampan dari belasan tahun lalu. Matanya yang jernih itu tidak pernah pudar dari ingatan Adina, bahkan mata itu semakin bersinar. Senyumnya yang penuh dengan percaya diri, cara berdirinya yang santai, gaya jalannya yang angkuh yang menunjukkan kalau dia adalah seorang pilot, dan bagaimana sinar matahari menyinari rambutnya, semuanya di kenang Adina dengan pedih, karena semua itu terpendam di dalam hati Adina selama belasan tahun tanpa di ketahui siapa pun.
Kenangan-kenangan itu tidak hilang oleh kesedihan yang di deritanya setelah kematian kakak dan ayahnya dan kesehatan ibunya yang juga semakin memburuk. Semua kenangan tentang Derek telah bertahan dalam perjuangannya untuk meraih gelar sarjana, bekerja, dan sekaligus mengurus Bobby. Semua kenangan itu mematikan semua hubungan cinta yang belum sempat berkembang.
Dan kini satu-satunya pria yang pernah di cintainya hadir kembali ke dalam hidupnya. Untuk ke dua kalinya, masa depan Adina terletak di tangan pria itu. hanya saja sekarang pria itu mungkin sudah menyadarinya.
Adina setengah menyalahkan dirinya sendiri atas kecemasan yang dia rasakan. Dia bisa saja menertawakan tuduhan atas surat-surat itu yang di tunjukkan padanya, langsung menyangkal dan memberitahu Derek kalau seseorang sedang mengerjainya, mungkin orang yang sedang membutuhkan uang dan ingin mendapatkannya dengan mudah setelah melihat Bobby dan menyadari kemiripan di antara mereka berdua.
Tapi hati nurani Adina tidak membiarkannya mengambil jalan pintas itu. ketika dia di tanya, hati nuraninya tidak memberinya pilihannya lain kecuali mengatakan hal yang sebenarnya pada Derek.
Celakanya, reaksi Derek atas jawaban yang jujur itu akan berpengaruh besar pada hidup mereka semua. Seandainya Bobby akhirnya menyadari kalau Derek adalah ayah yang selalu dia cari, dan Derek menolaknya, bagaimana Bobby dapat mengatasi penolakan itu?
Atau seandainya Derek memutuskan untuk menerima anaknya, bagaimana Adina bisa menjalani hidup tanpa Bobby? Anak itu adalah satu-satunya sisi baik dan positif dalam hidupnya. Derek telah memberikan Bobby baginya. Bagaimana jika sekarang Derek ingin mengambilnya?
Adina menunduk dan menatap tangannya yang tersiram kopi. warna merahnya sudah mulai hilang. Dia memejamkan matanya dan mengenang kembali bagaimana jari-jari Derek mengusap tangannya.
Dia mencintai Derek Emir dengan gairah yang tidak terbalas yang membuatnya sakit. Dia menyayangi putra pria itu dengan rasa cinta yang besar. Derek tidak pernah menjadi miliknya. Dan mulai hari ini, dia terancam akan kehilangan Bobby.
"Cola dingin satu." Kata Adina."Dua."Mendengar suara Derek, Adina memutar tubuhnya dan melihat Derek sedang berdiri tepat di belakangnya. "Apa yang kau lakukan di sini?""Beli cola." jawab Derek sambil tersenyum santai. "Dan Popcornnya satu."Pria di balik stan makanan memberikan pesanan mereka sambil terus menatap Derek. "Sepertinya aku mengenalmu."Derek tersenyum lebar sambil menyerahkan uang. "Mungkin kau memang mengenalku."Pria itu terus memperhatikan wajah Derek sambil menghitung uang kembalian Derek. Adina berusaha untuk membayar sendiri minumannya tapi tangannya di tahan oleh Derek."Oh astaga!" Kata pria remaja itu sambil tertawa terbahak-bahak. "Kau bekerja di supermarket, kan? Di bagian peralatan olahraga?"Senyum Derek memudar, tapi hanya separuh. "benar." Pria itu tersenyum lebar dan terlihat bangga karena telah mengingat seorang pekerja yang bekerja di supermarket sambil menyerahkan uang kembalian pada Derek. "Terima kasih." Kata Derek lalu menuntun Adina keluar dari
Derek mengangkat ke dua bahunya. "Tapi para direktur masih saja cemas. Mereka tidak mau membuat kesalahan lagi. Jelas mereka tidak mau ada skandal lainnya. Dan kalau sampai foto seorang anak yang tidak sah atau anak haram yang tidak pernah aku ketahui keberadaannya muncul di tabloid atau majalah atau koran dan internet, apa kau kira aku masih akan punya kesempatan untuk bekerja di maskapai lagi?""Memangnya kau masih ingin pergi bekerja setelah semua yang terjadi?" Tanya Adina.Derek memandangnya dengan ekspresi yang mengatakan kalau itu adalah pertanyaan yang paling bodoh yang pernah dia dengar. "tentu saja. hanya masalah waktu, aku hanya mengambil cuti beberapa minggu untuk istirahat. Aku ingin menerbangkan pesawat sebanyak yang bisa aku lakukan sebelum aku di anggap terlalu tua atau sebelum ada masalah kesehatan terjadi padaku atau sebelum pilot-pilot muda menggantikanku. jadi, tentu saja aku ingin terbang lagi.""Kau benar-benar suka pekerjaanmu, ya" Tanya Adina sambil menggelengk
Saat berjalan pelan menuju ke tempat parkir, mereka bertiga berdebat tentang kendaraan yang akan ada di restoran pizza. Akhirnya Adina kalah, dua lawan satu. "Seperti skor pertandingan saja." kata Adina mengaku kalah."jangan sinis begitu." kata Derek, dia tidak berniat menyembunyikan rasa senangnya atas hasil pemungutan suara yang mereka lakukan.Adina dan Bobby di tuntun menuju ke sebuah mobil mewah yang keren berwarna hitam. "Berapa banyak mobil yang kau punya?" Seru Bobby dari kursi belakang penumpang mobil setelah mereka mulai turun ke jalanan."hanya dan yang satu kemarin." jawab Derek."Aku minta maaf, tadi teman temanku mengeroyokmu seperti itu. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan orang keren yang terkenal." Kata Bobby tidak bisa menyembunyikan rasa terganggu yang sengaja dia buat-buat dan membuat ke dua orang dewasa di depannya itu tersenyum bahagia. "Tidak ada dari mereka percaya kalau kau datang hanya untuk melihatku bertanding sepak bola.""Aku tidak keber
"Rumahmu?" Tanya Adina."Aku pikir mungkin kalian mau berenang dan beristirahat." Jawab Derek datar."Benarkah?" Tanya Bobby kegirangan."Sekarang sudah larut." Kata Adina dengan nada peringatan."Besok libur, boleh, kan?" Rengek Bobby.Karena Derek yang menyetir mobil, keputusan jelas bukan di tangan Adina, tapi dia sama sekali tidak menyukai ide untuk pergi ke rumah pria itu. Dia tidak mau Bobby menjadi terlalu akrab dengan orang terkenal yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya dan sewaktu-waktu bisa pergi begitu saja begitu kegembiraan memiliki seorang anak sudah luntur.Dan kalau rasa tanggung jawab Derek membuatnya merasa wajib untuk mengasuh Bobby, bagaimana rumah tuanya, yang genteng belakangnya sangat perlu di perbaiki, dapat menandingi rumah modern yang indah dengan kolam renang di halaman belakang dan akuarium di dinding ruang makan?Akuarium itu hanya salah satu dari ratusan benda lain yang di sebut Bobby "Keren!" ketika dia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Anjing
Dengan penuh percaya diri, Adina berjalan menuju kolam renang dan dengan perlahan masuk ke dalam air yang dingin. Derek yang sudah ada di dalam kolam bertepuk tangan untuk Adina sambil mengapung di punggungnya menuju ke pinggir kolam, dia menendang-nendang kakinya agar membuatnya tetap mengapung."Kau terlihat luar biasa." Kata Derek."Terima kasih." Balas Adina dengan malu-malu.Adina berenang menuju tangga yang berada di seberangnya dan ketika sudah setengah jalan menaiki tangga itu dan tangan Derek menangkap pergelangan kakinya. Derek menarik Adina kembali masuk ke dalam air dan menekan punggung Adina ke dinding kolam.Saat kaki pria itu menyentuh kaki Adina, Adina menatapnya dengan terkejut. "Derek, kau...""Aku suka berenang telanjang, Rasanya lebih nyaman." Kata Derek membenarkan perkataan Adina yang belum sempat dia selesaikan."Itu adalah prinsip hidupmu, kan? Kalau kau merasa nyaman, lakukan saja." Kata Adina berusaha untuk tetap tenang."Dan prinsip hidupmu adalah kalau rasa
Ternyata pria itu menghubunginya lagi, dengan alasan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Adina."Apa?" Tanya Adina dari balik gagang telepon yang dipegangnya."Kau bisa atau tidak?" Tanya Derek."Tidak." Jawab Adina."Kenapa tidak bisa?" Tanya Derek. Entah kenapa, Adina bisa merasakan kalau pria itu sedang mengangkat sebelah alisnya."Pertama, karena sekarang sudah jam dua siang. Dan kamu bilang acara makan malamnya jam...""Delapan malam. Memangnya kau perlu enam jam untuk berdandan?" Potong Derek."Aku tidak punya baju untuk pergi ke acara semacam itu. Lagian, kenapa kau mengajakku? Bukankah kau memiliki buku kecil yang isinya penuh dengan nama para wanita yang bersedia untuk makan denganmu?" Tanya Adina."Aku meneleponmu karena gara-gara dirimu, aku jadi tidak punya teman kencan." Kata Derek dengan nada jengkel."Gara-gara aku?" Tanya Adina dengan bingung."Aku sulit berkonsentrasi sejak bertemu dengan Bobby. Aku sama sekali tidak ingat kalau aku memiliki acara makan malam sam
"Ayo, cobalah." Kata Derek sambil menawarkan tiram mentah yang sudah di beri irisan lemon untuk di makan Adina."Tidak terima kasih. Melihatnya saja sudah geli." Jawab Adina.Derek membuka cangkak dengan bibirnya dan menelan benda licin itu sepenuhnya. Adina bergidik. Derek tertawa puas. "Ini baus untukmu, katanya bisa meningkatkan tenagamu." "Berarti tidak cocok untukku, karena dari awal aku sudah memiliki banyak tenaga." Jawab Adina. "Bisa saja." Kata Derek sambil menatap gaun Adina Adina tersipu malu dan berusaha mengalihkan perhatian Derek. "Hati-hati nanti Susan cemburu." "Siapa?" Tanya Derek bingung.Adina menganggukkan kepalanya ke arah seorang wanita berambut pirang yang terlihat baru saja di cat yang mempesona. Wanita itu mengenakan dress pendek berwarna merah dan sedang menggandeng lengan seorang pilot yang baru saja bercerai."Oh, dia." Kata Derek dengan tidak peduli dan kembali mengarahkan pandangannya pada Adina. "Dia hanya salah satu dari penggemarku.""Tadi aku sem
Keesokkan harinya Derek muncul di muka pintu rumah Adina jam sebelas siang. Adina terkejut melihat pria itu. Sejak percakapan mereka di teras di pesta malam kemarin, sikap Derek terasa kaku dan menjaga jarak. Ketika Derek mengantar Adina hingga sampai di muka pintu rumahnya semalam, pria itu mengucapkan selamat malam dengan sopan dan menciumnya dengan cepat di pipinya yang menandakan kalau dia senang karena malam itu sudah berakhir. Itu sebabnya kunjungan ini sama sekali tidak Adina duga."Apakah kau sedang sibuk?" Tanya Derek yang masih berdiri di depan pintu."Aku sedang bekerja." jawab Adina singkat.Tubuh Adina di penuhi dan berbau cat dan penampilannya juga berantakan. Rambutnya yang semalam tertata rapi sekarang sudah kusut. Rambutnya sudah kembali menjadi ikal pendek dan tipis yang menggantung di sekitaran wajahnya yang kecil. Gaun yang di kenakan Adina tadi malam sudah digantung di dalam lemari kayu di kamarnya. Pagi ini Adina hanya mengatakan celana pendek dan kaus yang sama
"Aku tidak berusaha terdengar seperti orang munafik. Jangan berpkir aku melihat diriku seperti itu. Seharian aku mempersiapkan pidato ini. Setiap kata yang aku ucapkan adalah ungkapan dari hatiku. Tolong biarkan aku selesaikan. Masih ada yang lain." Jawab Adina dan Derek menganggukkan kepalanya menyuruhnya melanjutkan apa yang ingin Adina bicarakan."Apa yang terjadi pagi ini..." Adina memulai."Hmm?""Ada beberapa alasan mengapa hal itu sampai terjadi." Kata Adina hampir tergagap."Yang aku tahu itu adalah pemanasan yang bagus." Kata Derek."Derek..."Maaf." Derek melambaikan tangannya dengan tidak sabar."Aku merasa sangat sedih karena kematian ibuku. Tidak berdaya, kau tahu. Seperti bertanya-tanya apa gunanya hidup kalau harus berakhir seperti itu?" Kata Adina."Aku mengerti. Kau membutuhkan untuk berkontak dengan manusia lain, dan menegaskan kalau hdup ini memang memiliki arti." Kata Derek sambil menganggukkan kepalanya."Benar." Kata Adina, diam-diam merasa terkejut karena Derek
Dengan langkah lemas Adina menaiki anak tangga rumahnya. Dia tidak menyalakan lampu sama sekali, meski pun hari sudah sore dan kegelapan mulai memenuhi tiap sudut rumahnya.Di kamar tidurnya dia melepaskan sepatu kulitnya yang berwarna hitam dan meletakkan tasnya di atas lemari kecil. Adina berjalan menuju jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Dia menatap ke kejauhan untuk beberapa lama. Keputusaan telah merasukinya.Dia baru saja hendak berbalik ketika dia melihat bola sepak milik Bobby tergeletak begitu saja di rumpun bunga di tanah. Bola yang terlihat sangat kesepian, terbuang dan terlantar. da tampaknya melukiskan segala kesedihan dalam hidup Adina.Adina mendesah kuat-kuat dan mengulurkan tangannya ke punggung belakangnya untuk membuka resleting gaun hitamnya."Mari aku bantu." Kata Derek.Adina langsung berbalik karena terkejut. Derek berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka, dia masih mengenakan jaket hitam dan kemeja hitamnya. Saat denyut jantung Adina sudah k
Setelah mandi dengan cepat, Adina segera berpakaian. Adina menenteng sepatunya dan berjalan menyusuri rumah itu, dia berjalan ke arah dapur. Kemudian dia melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Adina kemudian mendorong pintu pelan dan membukanya.Kamar Bobby. Hal itu yang langsung terlihat olehnya. Pakaian-pakaiannya tergelatak di mana-mana, Sebuah kebiasaan buruk yang dulu membuatnya marah tapi kini dengan pesih dia merindukan kebiasaan itu. Berbagai ponser bintang rock, altet olahraga, dan sebuah poster model berbaju bikini yang ceria memenuhi dinding kamarnya. Sebuah minatur pesawat ada di meja bersama dengan setumpuk buku sekolah.Meski pun Bobby baru menempati kamar itu sebentar, Bobby sudah mengisi kamar itu dengan semua ciri khasnya. Selain barang-barang yang dari dulu sudah dia miliki, Adina juga melihat ada sebuah tv baru yang lengkap dengan perlengkapan video game, sesuatu yang memang sangat di inginkan Bobby sejak lama. Sebuah telepon yang sepertinya baru saja di pasan
Adina mendesah dalam-dalam sebelum dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa lemas seperti dia baru saja melakukan aktifitas yang berat. Seolah setiap sel dalam tubuhnya tidak berdaya. Jantungnya berdetak lebih kuat dan lambat. Dia nyaris dapat merasakan aliran darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia pernah merasa sesantai ini. Bersantai seperti ini tanpa harus memikirkan apa pun rasanya enak sekali.Adina menguap dan meregangkan tubuhnya. Saat itulah dia merasa kakinya menyentuh kaki lain yang bukan kakinya. Adina langsung terkejut lalu dengan perlahan dia menoleh ke sampingnya. Derek sedang tidur tepat di sampingnya. Rambutnya acak-acakan dan bagian bawah wajahnya derdapat jenggot yang baru tumbuh. Selimut hanya menyelimutinya sebatas pinggang. Dada pria itu terpampang di depan wajahnya.Adina hanya berbaring dengan diam, dia nyaris tidak berani untuk bernapas. Adina memandangi pria itu. Menit demi menit sudah berlalu. Alam bawah sadarnya
"Aku pikir aku tidak perlu mengatakan tentang apa rancanaku padamu, Derek." Kata Adina."Aku tidak membeli mobil itu sebagai sogokan agar bisa lebih dekat dengan Bobby. Aku berani sumpah. AKu ahkan berpikir kalau kamu mungkin akan ikut senang kalau Bobby juga senang." Kata derek sambil tersenyum sinis. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang istimewa baginya. Itu saja." Lanjut Derek."Aku juga begitu!" Kata Adina dengan meninggikan suaranya sambil menunjuk dadanya."Aku mengerti dan aku minta maaf karena itu. Memang aku yang salah. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Kecuali..." Derek berhenti dan memandang Adina dengan tatapan memohon dan menarik napas panjang. "Kau memiliki Bobby selama ini. Kamu merayakan ulang tahunnya selama ini bersamanya. Aku tidak pernah mengalami hal itu." Lanjut Derek.Adina terdiam, tidak mengatakan apa pun."Baiklah. Aku mungkin memang terlalu berlebihan dengan memberinya mobil itu. Tapi tolong jangan salahkan aku. Aku masih baru dalam hal ini. Aku a
Mulut Adina menganga lebar. "Apa?""Mengingat keadaan emosionalmu saat ini, kamu tidak bisa mengendarai mobil, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi di jalanan. Lagi pula, aku tidak yakin kalo kamu punya tenaga untuk pulang ke rumah. Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, tidak baik kalau kamu sendirian malam ini." Jelas Derek."Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya sendiri." Jawab Adina."Aku memaksamu. Aku punya banyak kamar tidur yang kosong." Kata Derek."Tapi tempat tidurnya sudah pernah di gunakan." Balas Adina.Derek meringis. "Ternyata kau masih ingat. Tajam sekali ingatanmu. Aku janji, malam ini tidak akan ada pasangan setengah telanjang yang akan mengganggumu. Semua temanku sudah tahu kalau aku sekarang tinggal bersama anak remaja jadi perilaku seperti itu sudah di larang di sini." Jawab Derek."Apa yang kamu katakan pada mereka?" Tanya Adina penasaran."Mereka harus mencari tempat lain jika ingin telanjang." Jawab Derek."Bukan, maksudku tentang Bobby." Kata Adina sambil memuta
Hari sudah senja ketika Adina berbelok menuju rumah Derek. Adina memarkir mobilnya di depan rumah itu dan untuk sesaat dia hanya duduk di balik kemudinya, dia merasa terlalu letih dan sedih untuk bergerak.Akhirnya dia berhasil mengumpulkan energi untuk membuka pintu mobil dan berjalan menuju pintu depan rumah Derek. Dia mendengar denting bel pintu yang baru saja dia bunyikan dan geraman penuh curiga dari Luna sebelum akhirnya Derek membuka pintu yang ada di hadapannya. Pria itu hanya mengenakan celana renang yang basah. Dan Derek terlihat terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat ini."Hai, Apakah Bobby ada di rumah?" Tanya Adina pelan."Dia tidak ada." Jawab Derek.Adina sedikit terkejut. Satu-satunya yang dia pikirkan tadi hanyalah datang ke rumah ini untuk bertemu dengan Bobby."Ayo masuk." Kata Derek lalu mundur beberapa langkah agar wanita itu bisa masuk ke dalam rumahnya.Hanya ada sedikit energi yang tersisa dalam tubuh Adina. Dia tetap melakukan apa yang di minta pria
Belum sampai dua puluh menit, Ponsel Adina berdering kembali dari sebuah nomor yang tidak di kenal. Dengan hati yang gelisah Adina menepikan mobilnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?" kata Adina."halo, maaf aku perawat dari rumah sakit." Jawab seseorang dari seberang."Apakah terjadi sesuatu pada ibuku?" tanya Adina dengan panik. "Kondisi ibumu tiba-tiba menurun. Sekarang sedang dalam tindakan, Apakah kau bisa kemari?" kata Perawat itu. Adina tertegun bingung, dia mendengar suara bising di lalu lintas dan juga suara bising dari balik telepon itu. Suara keras monitor dan suara kepanikan seorang pria yang di kenalnya sebagai dokter Bili yang menyuruh seseorang untuk menyiapkan sebuah suntikan obat."halo?" Kata perawat itu lagi."Aku... Aku dalam perjalanan." Kata Adina lalu segera mematikan panggilan itu. Dengan tangan gemetar Adina mencoba tenang dan berbalik arah kembali ke rumah sakit. Dia menyetir dengan kcepatan maksimum dan berdoa agar lalu lintas bersahabat dengannya unt
keesokan paginya ketika dia masuk ke dapur untuk membuat kopi, Adina terkejut melihat dapurnya sudah rapi dan bersih. Ruang makan juga sudah di bersihkan dari sisa-sisa pesta ulang tahun, walau pun bunganya masih ada di atas meja. Sepertinya Derek dan Bobby sudah membersihkan segalanya sebelum mereka pergi. Adina menyesap kopi yang sudah dia buat lalu berpikir bagaimana dia bisa menjual mobil yang baru saja dia beli itu. Mungkin si penjual mobil mau mengambilnya kembali dan mengembalikan uangnya. Sementara Adina sibuk merenung hal yang sepertinya tidak mungkin itu, teleponnya berdering. "Adina?" Suara seorang wanita yang dia kenal dari balik telepon. "ya?" jawab Adina. "Ini adalah Dokter Wulan." Kata wanita itu. benar saja, Dokter Wulan adalah dokter yang menangani ibunya. "Ibumu terkena serangan jantung yang parah beberapa menit yang lalu dan kami sedang dalam perjalanan dengan ambulans menuju ke rumah sakit yang lebih besar." Kata Dokter Wulan. Setelah menutup telepon dengan