Saat berjalan pelan menuju ke tempat parkir, mereka bertiga berdebat tentang kendaraan yang akan ada di restoran pizza. Akhirnya Adina kalah, dua lawan satu. "Seperti skor pertandingan saja." kata Adina mengaku kalah.
"jangan sinis begitu." kata Derek, dia tidak berniat menyembunyikan rasa senangnya atas hasil pemungutan suara yang mereka lakukan.
Adina dan Bobby di tuntun menuju ke sebuah mobil mewah yang keren berwarna hitam.
"Berapa banyak mobil yang kau punya?" Seru Bobby dari kursi belakang penumpang mobil setelah mereka mulai turun ke jalanan.
"hanya dan yang satu kemarin." jawab Derek.
"Aku minta maaf, tadi teman temanku mengeroyokmu seperti itu. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan orang keren yang terkenal." Kata Bobby tidak bisa menyembunyikan rasa terganggu yang sengaja dia buat-buat dan membuat ke dua orang dewasa di depannya itu tersenyum bahagia. "Tidak ada dari mereka percaya kalau kau datang hanya untuk melihatku bertanding sepak bola."
"Aku tidak keberatan memberikan tanda tangan untuk mereka." Kata Derek tersenyum dan melihat ke arah belakang kursi penumpang menggunakan kaca spion.
"Padahal mereka biasanya hanya selalu mengerubungi mama." Kata Bobby lagi.
"Tidak ada yang seperti itu." Protes Adina sambil mengerutkan dahinya walaupun dia tahu kalau anak laki-laki remaja itu tidak bisa melihatnya.
"benarkah?" tanya Derek terkejut.
"Harusnya kau dengar apa yang mereka katakan tentang mama." lanjut Bobby bersemangat. "Mereka naksir pada mama, atau mungkin sudah jatuh cinta pada mama." Kata Bobby dengan nada Menggoda.
"Bobby Bandiani, Bisakah kau menjaga mulutmu dan tidak bicara..."
"Tapi mereka memang begitu, ma." Bobby memandang wajah Derek lewat kaca spion. "kau tahu, mama tidak setua ibu dari teman temanku. Dan mama juga lebih cantik dari mereka. Mama juga tidak kaku dan agak cerewet, jadi benar benar seru kalau di ajak bicara dan mengobrol."
"Benarkah?" tanya Derek lagi dengan acuh.
"Tentu saja." kata Bobby mengangguk dan kemudian mengerutkan dahi, walaupun dia tahu mereka berdua tidak melihatnya. "Jujur saja, aku bahagia mereka menyukai mama, tapi ada satu orang yang mulai berbicara yang macam-macam dan aneh-aneh dan bilang kalau dia mau, um, tidur dengan mama, aku terpaksa meninjunya dengan keras."
"Bobby!" Kata Adina terkejut dan langsung berbalik dari kursinya untuk menatap anak laki-lakinya. "Kau tidak pernah menceritakan kejadian itu padaku."
"Tenang saja. Dia memang seorang bajingan, lagi pula dia juga bukan teman dekatku, kok." Kata Bobby sambil memandang mata Derek di kaca spion yang sedang menatapnya. "Padahal biasanya aku tidak pernah keberatan kalau ada temanku yang mulai membicarakan mama. Mereka bahkan menggodaku karena mama masih lajang." Bobby tertawa geli. "Pernah juga ada kakak kelasku yang bertanya padaku apakah dia boleh mengajak mama ke pesta dansa sekolah tahunan. Aku hanya dia bercanda." Kata Bobby lalu memandang Adina dengan pandangan bertanya. "Dia tidak benar-benar mengajak mama, kan?"
"tentu saja tidak." Jawab Adina sambil memutar matanya.
Bobby mengangkat bahu dan kembali menatap Derek lewat kaca spion. "Aku rasa tidak apa-apa kalau mereka bercanda dengan mama karena mama memang bukan ibu kandungku. Mama sebenarnya adalah tanteku, Adik dari mama kandungku. mama kandungku sudah meninggal waktu aku baru berumur empat tahun, eh lima tahun. Eh entahlah aku lupa berapa umurku saat itu."
"Bagaimana dengan ayahmu?" tanya Derek.
Adina berputar dari kursinya lagi dan kali ini untuk menatap tajam pada Derek. Dia memberinya tatapan peringatan pada pria itu.
Tapi Bobby justru menjawab pertanyaan dengan berani. Itu adalah pertanyaan yang selalu dia hindari tapi dia tetap harus menjawab pertanyaan itu setiap kali dia mendapat teman baru dan sudah mulai membiasakan diri dengan situasi itu. "Aku tidak pernah tahu atau mengenal ayahku, tapi mama bilang itu bukan masalah yang besar karena aku adalah aku dan yang paling penting adalah masa depanku, dan bukan masa laluku." Kata Bobby lalu menunjuk di antara bahu Adina dan Derek pada bangunan yang berjejer dengan tempat parkir yang luas. "Di sana, om. Di sebelah kanan, sana."
Kemeriahan dalam restoran memekakkan telinga. Wajah manajer restoran yang terlihat kesal langsung menjadi pucat ketika gerombolan orang menyerbu masuk memenuhi hampir seluruh meja. Pesanan mereka langsung di catat dan cola yang di sajikan langsung habis dengan cepat. Seluruh tim duduk di satu meja panjang di tengah- tengah ruangan sementara para orang tua dan beberapa penggemar lainnya duduk di antara beberapa kelompok gadis yang sedang cekikikan.
Derek dan Adina dudu di salah satu meja di samping pojok. Tempatnya yang lebar memberi mereka sedikit keleluasaan. "Aku rasa aku seharusnya merasa tersanjung."
Adina mengusap mulutnya dengan tisu dan mengesampingkan piringnya yang sudah kosong. "kenapa? karena di undang ke perayaan ini?"
"Salah satunya itu dan karena boleh duduk bersama gadis yang paling populer di sini." jawab Derek sambil tersenyum.
"Bobby cuma mengada-ngada. Itu tidak benar" Kata Adina sambil tertawa.
"Aku rasa tidak. Sepanjang malam ini aku di pelototi tatapan tatapan cemburu. Sebenarnya ada apa antara kau dengan si pelatih itu?" Tanya Derek
Adina tersedak ketika mendengar pertanyaan Derek di sela minumnya. "Tidak ada apa-apa. Dia sudah ada pacar." jawab Adina sambil terbatuk-batuk.
"Benarkah? Tapi aku rasa wanita itu bukan pilihan pertamanya." Kata Derek. Adina menatap Derek dengan tatapan menegur. tanpa merasa gentar atau takur, Derek mencondongkan tubuhnya ke depan meja dan memperhatikan wajah Adina. "Aku senang karena tahu anak muda jaman sekarang juga punya selera yang bagus." Bisik Derek.
"Terima kasih. Tapi bukan berarti kau bisa lolos begitu saja karena sudah memancing Bobby dengan pertanyaan itu dalam perjalanan tadi. Kalau kau ingin tahu sesuatu, tanya saja padaku." Kata Adina.
"Baiklah. berapa banyak?" tanya Derek.
"Berapa banyak apanya?" tanya Adina dengan pandangan bingung.
"Pria."
"Bukan urusanmu." Jawab Adina singkat.
"Kau sudah pernah menikah?" Tanya Derek.
"Belum." Jawab Adina.
"Kenapa?"
"Memangnya apa urusannya denganmu? Aku tidak akan berani menanyakan berapa banyak wanita dalam hidupmu sejak terakhir kali kita bertemu di pantai." Kata Adina datar.
"Tidak terhitung, karena sangat banyak." Jawab Derek.
"Tepat sekali."
"Tapi itu tidak sama sepertimu, kan? Mau taruhan? Pria yang pernah tidur denganmu paling masih bisa di hitung dengan satu tangan saja." Kata Derek dengan tatapan sombong.
Kata-katanya menyinggung harga diri Adina. "Kenapa kau bisa seyakin itu?"
"Karena Ada Bobby yang menjadi penghalang hubungan percintaan. Aku benar, kan?"
"Kau benar." Kata Adina dengan nada dingin yang dia gunakan ketika dia menegur pria itu beberapa hari sebelumnya. "Hubungan percintaan bisa menjadi penghalang dalam hidupku dan Bobby. Aku jamin itu, anakmu di asuh dalam sebuah lingkungan yang sangat baik."
"Aku belum mengakuinya sebagai anakku." Kata Derek dengan jujur.
"Oh." Gumam Adina terkejut. "Aku pikir karena hari ini kau datang menonton pertandingannya, karena kau berusaha untuk bertemu dengan Bobby lagi. Aku pikir kau sudah yakin kalau dia anakmu."
"Sebelum aku mengambil langkah selanjutnya..."
"Langkah selanjutnya?" Tanya Adina cemas. "Apa maksudmu?"
"Aku belum tahu. Pertama-tama aku harus yakin kalau aku memang ayah kandungnya. Kau bisa memahami itu, kan?" tanya Derek.
"Kau tidak bisa melakukan apa pun kecuali menerima ceritaku dan lihat betapa miripnya kalian berdua." Bisik Adina.
"Setahuku ada tes darah." kata Derek pelan. "Tes itu tidak bisa membuktikan garis keturunan, tapi itu cukup efektif untuk mengesampingkan beberapa kemungkinan."
"Aku tahu itu."
"Aku ingin Bobby dan aku menjalani tes darah. Aku butuh kepastian." Kata Derek jujur.
"Apakah kau harus melakukannya?" Tanya Adina cemas.
"Harus Adina. Aku harus melakukannya. Agar aku bisa tenang."
Adina menghela napas. "Aku tidak bisa mencegahmu, kan?"
"Apakah kau mau membantuku?"
Adina merenungkan permintaan Derek selama beberapa menit. "Bobby pasti menjalani tes kesehatan sebelum pertandingan di mulai. Mereka akan mengambil darahnya waktu itu. Pasti mereka pasti masih bisa menyimpannya."
"Aku akan menanganinya. Siapa yang harus aku hubungi?"
Adina menuliskan nama klinik tempat Bobby menjalani tes kesehatannya dan menyerahkan kertasnya pada Derek tepat saat Bobby datang menghampiri mereka.
Anak itu berlutut di samping meja mereka dan memukul-mukul kaki meja. "Aku siap pergi kapan kalian ingin. Aku sudah mengalahkan semua orang di permainan kartu. Mereka mengusirku karena mereka semua berhutang banyak uang padaku."
Derek tertawa keras dan membantu Adina untuk berdiri. Adina berusaha keras untuk membayar makanan mereka sendiri tapi Derek dengan tegas menolaknya. Kepergian mereka di iringi sorakan untuk sang pemain terbaik yang menjadi penentu kemenangan tim dan juga untuk tamunya yang terkenal.
Tidak lama kemudian mereka sudah berada kembali di jalan tol. "Om, kau melewati belokan menuju stadion." Kata Bobby mengingatkannya dari kursi belakang.
"Tapi itu bukan jalan menuju rumahku." Jawab Derek.
"Rumahmu?" Tanya Adina."Aku pikir mungkin kalian mau berenang dan beristirahat." Jawab Derek datar."Benarkah?" Tanya Bobby kegirangan."Sekarang sudah larut." Kata Adina dengan nada peringatan."Besok libur, boleh, kan?" Rengek Bobby.Karena Derek yang menyetir mobil, keputusan jelas bukan di tangan Adina, tapi dia sama sekali tidak menyukai ide untuk pergi ke rumah pria itu. Dia tidak mau Bobby menjadi terlalu akrab dengan orang terkenal yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya dan sewaktu-waktu bisa pergi begitu saja begitu kegembiraan memiliki seorang anak sudah luntur.Dan kalau rasa tanggung jawab Derek membuatnya merasa wajib untuk mengasuh Bobby, bagaimana rumah tuanya, yang genteng belakangnya sangat perlu di perbaiki, dapat menandingi rumah modern yang indah dengan kolam renang di halaman belakang dan akuarium di dinding ruang makan?Akuarium itu hanya salah satu dari ratusan benda lain yang di sebut Bobby "Keren!" ketika dia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Anjing
Dengan penuh percaya diri, Adina berjalan menuju kolam renang dan dengan perlahan masuk ke dalam air yang dingin. Derek yang sudah ada di dalam kolam bertepuk tangan untuk Adina sambil mengapung di punggungnya menuju ke pinggir kolam, dia menendang-nendang kakinya agar membuatnya tetap mengapung."Kau terlihat luar biasa." Kata Derek."Terima kasih." Balas Adina dengan malu-malu.Adina berenang menuju tangga yang berada di seberangnya dan ketika sudah setengah jalan menaiki tangga itu dan tangan Derek menangkap pergelangan kakinya. Derek menarik Adina kembali masuk ke dalam air dan menekan punggung Adina ke dinding kolam.Saat kaki pria itu menyentuh kaki Adina, Adina menatapnya dengan terkejut. "Derek, kau...""Aku suka berenang telanjang, Rasanya lebih nyaman." Kata Derek membenarkan perkataan Adina yang belum sempat dia selesaikan."Itu adalah prinsip hidupmu, kan? Kalau kau merasa nyaman, lakukan saja." Kata Adina berusaha untuk tetap tenang."Dan prinsip hidupmu adalah kalau rasa
Ternyata pria itu menghubunginya lagi, dengan alasan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Adina."Apa?" Tanya Adina dari balik gagang telepon yang dipegangnya."Kau bisa atau tidak?" Tanya Derek."Tidak." Jawab Adina."Kenapa tidak bisa?" Tanya Derek. Entah kenapa, Adina bisa merasakan kalau pria itu sedang mengangkat sebelah alisnya."Pertama, karena sekarang sudah jam dua siang. Dan kamu bilang acara makan malamnya jam...""Delapan malam. Memangnya kau perlu enam jam untuk berdandan?" Potong Derek."Aku tidak punya baju untuk pergi ke acara semacam itu. Lagian, kenapa kau mengajakku? Bukankah kau memiliki buku kecil yang isinya penuh dengan nama para wanita yang bersedia untuk makan denganmu?" Tanya Adina."Aku meneleponmu karena gara-gara dirimu, aku jadi tidak punya teman kencan." Kata Derek dengan nada jengkel."Gara-gara aku?" Tanya Adina dengan bingung."Aku sulit berkonsentrasi sejak bertemu dengan Bobby. Aku sama sekali tidak ingat kalau aku memiliki acara makan malam sam
"Ayo, cobalah." Kata Derek sambil menawarkan tiram mentah yang sudah di beri irisan lemon untuk di makan Adina."Tidak terima kasih. Melihatnya saja sudah geli." Jawab Adina.Derek membuka cangkak dengan bibirnya dan menelan benda licin itu sepenuhnya. Adina bergidik. Derek tertawa puas. "Ini baus untukmu, katanya bisa meningkatkan tenagamu." "Berarti tidak cocok untukku, karena dari awal aku sudah memiliki banyak tenaga." Jawab Adina. "Bisa saja." Kata Derek sambil menatap gaun Adina Adina tersipu malu dan berusaha mengalihkan perhatian Derek. "Hati-hati nanti Susan cemburu." "Siapa?" Tanya Derek bingung.Adina menganggukkan kepalanya ke arah seorang wanita berambut pirang yang terlihat baru saja di cat yang mempesona. Wanita itu mengenakan dress pendek berwarna merah dan sedang menggandeng lengan seorang pilot yang baru saja bercerai."Oh, dia." Kata Derek dengan tidak peduli dan kembali mengarahkan pandangannya pada Adina. "Dia hanya salah satu dari penggemarku.""Tadi aku sem
Keesokkan harinya Derek muncul di muka pintu rumah Adina jam sebelas siang. Adina terkejut melihat pria itu. Sejak percakapan mereka di teras di pesta malam kemarin, sikap Derek terasa kaku dan menjaga jarak. Ketika Derek mengantar Adina hingga sampai di muka pintu rumahnya semalam, pria itu mengucapkan selamat malam dengan sopan dan menciumnya dengan cepat di pipinya yang menandakan kalau dia senang karena malam itu sudah berakhir. Itu sebabnya kunjungan ini sama sekali tidak Adina duga."Apakah kau sedang sibuk?" Tanya Derek yang masih berdiri di depan pintu."Aku sedang bekerja." jawab Adina singkat.Tubuh Adina di penuhi dan berbau cat dan penampilannya juga berantakan. Rambutnya yang semalam tertata rapi sekarang sudah kusut. Rambutnya sudah kembali menjadi ikal pendek dan tipis yang menggantung di sekitaran wajahnya yang kecil. Gaun yang di kenakan Adina tadi malam sudah digantung di dalam lemari kayu di kamarnya. Pagi ini Adina hanya mengatakan celana pendek dan kaus yang sama
"Bisa lebih detail lagi?" Tanya Derek."Sudah tidak penting lagi. Bobby juga tidak mengingat kejadian itu." Kata Adina."Aku ingin tahu." Kata Derek dengan nada memaksa.Adina memejamkan matanya kuat-kuat dan berbisik pelan. "Linda mabuk waktu itu. Mobilnya melanggar jalur pemisah jalan dan menabrak mobil lain yang ada di jalur itu, Ada dua orang di dalam mobil itu bersama dengannya. Mereka bertiga tewas di tempat kejadian. Sedangkan orang yang dia tabrak mengalami patah tulang di bagian kakinya."Derek mengumpat dengan keras, dia merasa marah sekaligus menyesal. Adina langsung menyadari apa yang Derek pikirkan dan berusaha menghiburnya dengan meletakkan tangannya di atas paha pria itu."Itu bukan salahmu, Derek. Kau bahkan tidak tahu kalau Linda hamil. jangan menyalahkan dirimu karena merasa sudah meninggalkan seorang gadis dalam masalah. Linda sendiri yang menjerumuskan dirinya sendiri dalam masalah itu, dan kalau bukan denganmu dia pasti akan hamil dengan pria lain. Linda adalah s
"Dan ini adalah foto bersama teman sekelasnya. Aku tidak tahu kalau hari itu mereka mengambil gambar sampai fotonya sudah jadi." kata Adina dengan jengkel sambil menunjuk ke salah satu foto. "Bobby lupa membawa surat pemberitahuannya. Seharusnya aku memarahi dia karena berani memakai seragam lusuh seperti itu untuk di foto.""Oh, ada yang jatuh." Derek meraih tangannya dan memungut foto yang lepas itu. "pasti foto di bagian baptisan tadi. Bobby rapi sekali. Tapi orang yang di sebelahnya lebih mirip seorang hakim dari pada seorang pendeta.""oh, dia memang seorang hakim. Ini adalah hari..."Derek menatap Adina dengan rasa ingin tahu ketika wanita itu tiba-tiba menghentikan kata-katanya. "hari apa?""Bukan apa-apa." Kata Adina cepat menyesali apa yang sudah dia katakan."Apa?" Derek menggenggam tangan Adina di atas album yang terbuka supaya Adina tidak bisa mengalihkan perhatiannya. "hari apa ini Adina?"Adina menunduk, merasa tidak sanggup menatap mata Derek. "hari ketika pengadilan me
Adina sudah menunggunya di depan pintu ketika Derek keluar dari ruang tamu. meski pun belum merasa tenang, minimal dia sudah merapikan bajunya."Kurasa lebih baik kau pergi." kata Adina dingin."Kurasa lebih baik kau dewasa sedikit." balas Derek.Adina menahan amarahnya. Pertengkaran bukanlah hal yang dia sukai mau pun mudah bagi Adina. "hanya karena aku tidak mau bercinta dengan pria di lantai ruang tamu sama sekali bukan berarti kau boleh menghinaku seenaknya.""Apa yang paling mengganggumu? bercintanya?" Derek menatapnya dengan tatapan angkuh. "Atau prianya?"Mulut Adina menganga kebingungan. "Apa maksudmu, Derek?""tidak ada." jawab Derek sambil mengangkat bahu dengan tidak acuh. "Sampai jumpa."pria itu berjalan melewatinya tapi Adina langsung menahan lengannya. "Kurasa kau punya maksud tertentu. Dan itu sama sekali tidak masuk akal.""tidak masuk akal?" mata Derek berubah tajam dan meremehkan. "Kenapa kau selalu dingin setiap kali seorang pria menyentuhmu?""Aku tidak seperti it
"Aku tidak berusaha terdengar seperti orang munafik. Jangan berpkir aku melihat diriku seperti itu. Seharian aku mempersiapkan pidato ini. Setiap kata yang aku ucapkan adalah ungkapan dari hatiku. Tolong biarkan aku selesaikan. Masih ada yang lain." Jawab Adina dan Derek menganggukkan kepalanya menyuruhnya melanjutkan apa yang ingin Adina bicarakan."Apa yang terjadi pagi ini..." Adina memulai."Hmm?""Ada beberapa alasan mengapa hal itu sampai terjadi." Kata Adina hampir tergagap."Yang aku tahu itu adalah pemanasan yang bagus." Kata Derek."Derek..."Maaf." Derek melambaikan tangannya dengan tidak sabar."Aku merasa sangat sedih karena kematian ibuku. Tidak berdaya, kau tahu. Seperti bertanya-tanya apa gunanya hidup kalau harus berakhir seperti itu?" Kata Adina."Aku mengerti. Kau membutuhkan untuk berkontak dengan manusia lain, dan menegaskan kalau hdup ini memang memiliki arti." Kata Derek sambil menganggukkan kepalanya."Benar." Kata Adina, diam-diam merasa terkejut karena Derek
Dengan langkah lemas Adina menaiki anak tangga rumahnya. Dia tidak menyalakan lampu sama sekali, meski pun hari sudah sore dan kegelapan mulai memenuhi tiap sudut rumahnya.Di kamar tidurnya dia melepaskan sepatu kulitnya yang berwarna hitam dan meletakkan tasnya di atas lemari kecil. Adina berjalan menuju jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Dia menatap ke kejauhan untuk beberapa lama. Keputusaan telah merasukinya.Dia baru saja hendak berbalik ketika dia melihat bola sepak milik Bobby tergeletak begitu saja di rumpun bunga di tanah. Bola yang terlihat sangat kesepian, terbuang dan terlantar. da tampaknya melukiskan segala kesedihan dalam hidup Adina.Adina mendesah kuat-kuat dan mengulurkan tangannya ke punggung belakangnya untuk membuka resleting gaun hitamnya."Mari aku bantu." Kata Derek.Adina langsung berbalik karena terkejut. Derek berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka, dia masih mengenakan jaket hitam dan kemeja hitamnya. Saat denyut jantung Adina sudah k
Setelah mandi dengan cepat, Adina segera berpakaian. Adina menenteng sepatunya dan berjalan menyusuri rumah itu, dia berjalan ke arah dapur. Kemudian dia melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Adina kemudian mendorong pintu pelan dan membukanya.Kamar Bobby. Hal itu yang langsung terlihat olehnya. Pakaian-pakaiannya tergelatak di mana-mana, Sebuah kebiasaan buruk yang dulu membuatnya marah tapi kini dengan pesih dia merindukan kebiasaan itu. Berbagai ponser bintang rock, altet olahraga, dan sebuah poster model berbaju bikini yang ceria memenuhi dinding kamarnya. Sebuah minatur pesawat ada di meja bersama dengan setumpuk buku sekolah.Meski pun Bobby baru menempati kamar itu sebentar, Bobby sudah mengisi kamar itu dengan semua ciri khasnya. Selain barang-barang yang dari dulu sudah dia miliki, Adina juga melihat ada sebuah tv baru yang lengkap dengan perlengkapan video game, sesuatu yang memang sangat di inginkan Bobby sejak lama. Sebuah telepon yang sepertinya baru saja di pasan
Adina mendesah dalam-dalam sebelum dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa lemas seperti dia baru saja melakukan aktifitas yang berat. Seolah setiap sel dalam tubuhnya tidak berdaya. Jantungnya berdetak lebih kuat dan lambat. Dia nyaris dapat merasakan aliran darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia pernah merasa sesantai ini. Bersantai seperti ini tanpa harus memikirkan apa pun rasanya enak sekali.Adina menguap dan meregangkan tubuhnya. Saat itulah dia merasa kakinya menyentuh kaki lain yang bukan kakinya. Adina langsung terkejut lalu dengan perlahan dia menoleh ke sampingnya. Derek sedang tidur tepat di sampingnya. Rambutnya acak-acakan dan bagian bawah wajahnya derdapat jenggot yang baru tumbuh. Selimut hanya menyelimutinya sebatas pinggang. Dada pria itu terpampang di depan wajahnya.Adina hanya berbaring dengan diam, dia nyaris tidak berani untuk bernapas. Adina memandangi pria itu. Menit demi menit sudah berlalu. Alam bawah sadarnya
"Aku pikir aku tidak perlu mengatakan tentang apa rancanaku padamu, Derek." Kata Adina."Aku tidak membeli mobil itu sebagai sogokan agar bisa lebih dekat dengan Bobby. Aku berani sumpah. AKu ahkan berpikir kalau kamu mungkin akan ikut senang kalau Bobby juga senang." Kata derek sambil tersenyum sinis. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang istimewa baginya. Itu saja." Lanjut Derek."Aku juga begitu!" Kata Adina dengan meninggikan suaranya sambil menunjuk dadanya."Aku mengerti dan aku minta maaf karena itu. Memang aku yang salah. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Kecuali..." Derek berhenti dan memandang Adina dengan tatapan memohon dan menarik napas panjang. "Kau memiliki Bobby selama ini. Kamu merayakan ulang tahunnya selama ini bersamanya. Aku tidak pernah mengalami hal itu." Lanjut Derek.Adina terdiam, tidak mengatakan apa pun."Baiklah. Aku mungkin memang terlalu berlebihan dengan memberinya mobil itu. Tapi tolong jangan salahkan aku. Aku masih baru dalam hal ini. Aku a
Mulut Adina menganga lebar. "Apa?""Mengingat keadaan emosionalmu saat ini, kamu tidak bisa mengendarai mobil, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi di jalanan. Lagi pula, aku tidak yakin kalo kamu punya tenaga untuk pulang ke rumah. Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, tidak baik kalau kamu sendirian malam ini." Jelas Derek."Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya sendiri." Jawab Adina."Aku memaksamu. Aku punya banyak kamar tidur yang kosong." Kata Derek."Tapi tempat tidurnya sudah pernah di gunakan." Balas Adina.Derek meringis. "Ternyata kau masih ingat. Tajam sekali ingatanmu. Aku janji, malam ini tidak akan ada pasangan setengah telanjang yang akan mengganggumu. Semua temanku sudah tahu kalau aku sekarang tinggal bersama anak remaja jadi perilaku seperti itu sudah di larang di sini." Jawab Derek."Apa yang kamu katakan pada mereka?" Tanya Adina penasaran."Mereka harus mencari tempat lain jika ingin telanjang." Jawab Derek."Bukan, maksudku tentang Bobby." Kata Adina sambil memuta
Hari sudah senja ketika Adina berbelok menuju rumah Derek. Adina memarkir mobilnya di depan rumah itu dan untuk sesaat dia hanya duduk di balik kemudinya, dia merasa terlalu letih dan sedih untuk bergerak.Akhirnya dia berhasil mengumpulkan energi untuk membuka pintu mobil dan berjalan menuju pintu depan rumah Derek. Dia mendengar denting bel pintu yang baru saja dia bunyikan dan geraman penuh curiga dari Luna sebelum akhirnya Derek membuka pintu yang ada di hadapannya. Pria itu hanya mengenakan celana renang yang basah. Dan Derek terlihat terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat ini."Hai, Apakah Bobby ada di rumah?" Tanya Adina pelan."Dia tidak ada." Jawab Derek.Adina sedikit terkejut. Satu-satunya yang dia pikirkan tadi hanyalah datang ke rumah ini untuk bertemu dengan Bobby."Ayo masuk." Kata Derek lalu mundur beberapa langkah agar wanita itu bisa masuk ke dalam rumahnya.Hanya ada sedikit energi yang tersisa dalam tubuh Adina. Dia tetap melakukan apa yang di minta pria
Belum sampai dua puluh menit, Ponsel Adina berdering kembali dari sebuah nomor yang tidak di kenal. Dengan hati yang gelisah Adina menepikan mobilnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?" kata Adina."halo, maaf aku perawat dari rumah sakit." Jawab seseorang dari seberang."Apakah terjadi sesuatu pada ibuku?" tanya Adina dengan panik. "Kondisi ibumu tiba-tiba menurun. Sekarang sedang dalam tindakan, Apakah kau bisa kemari?" kata Perawat itu. Adina tertegun bingung, dia mendengar suara bising di lalu lintas dan juga suara bising dari balik telepon itu. Suara keras monitor dan suara kepanikan seorang pria yang di kenalnya sebagai dokter Bili yang menyuruh seseorang untuk menyiapkan sebuah suntikan obat."halo?" Kata perawat itu lagi."Aku... Aku dalam perjalanan." Kata Adina lalu segera mematikan panggilan itu. Dengan tangan gemetar Adina mencoba tenang dan berbalik arah kembali ke rumah sakit. Dia menyetir dengan kcepatan maksimum dan berdoa agar lalu lintas bersahabat dengannya unt
keesokan paginya ketika dia masuk ke dapur untuk membuat kopi, Adina terkejut melihat dapurnya sudah rapi dan bersih. Ruang makan juga sudah di bersihkan dari sisa-sisa pesta ulang tahun, walau pun bunganya masih ada di atas meja. Sepertinya Derek dan Bobby sudah membersihkan segalanya sebelum mereka pergi. Adina menyesap kopi yang sudah dia buat lalu berpikir bagaimana dia bisa menjual mobil yang baru saja dia beli itu. Mungkin si penjual mobil mau mengambilnya kembali dan mengembalikan uangnya. Sementara Adina sibuk merenung hal yang sepertinya tidak mungkin itu, teleponnya berdering. "Adina?" Suara seorang wanita yang dia kenal dari balik telepon. "ya?" jawab Adina. "Ini adalah Dokter Wulan." Kata wanita itu. benar saja, Dokter Wulan adalah dokter yang menangani ibunya. "Ibumu terkena serangan jantung yang parah beberapa menit yang lalu dan kami sedang dalam perjalanan dengan ambulans menuju ke rumah sakit yang lebih besar." Kata Dokter Wulan. Setelah menutup telepon dengan