Dalam keheningan yang mencekam, Adina bisa mendengarkan detak jantungnya sendiri. Dia berusaha untuk tetap terlihat tenang di hadapan putranya, meskipun itu sulit. Setelah beberapa detik, diam-diam dia melirik ke arah Derek Emir. Pria itu sedang memandang Bobby. Rasa tidak percaya sangat jelas terlihat di wajah tampan pria itu.
Bobby akhirnya mulai berbicara. "Kau Derek Emir!"
"Bobby, sopan sedikit kalau berbicara." tegur Adina.
"Maaf ma, tapi ini adalah Derek Emir! Derek Emir ada di rumahku." Kata Bobby tanpa mengubah nada suaranya.
Sang pilot mengubah ekspresi kebingungan di wajahnya dengan senyumnya yang khas, dia terlihat sudah kembali tenang. "Bobby? Senang berkenalan denganmu." Derek melangkah maju dan menjabat tangan anak remaja itu.
Di seberang ruangan Adina mencengkeram sisi meja kerjanya untuk menopang tubuhnya. Tinggi tubuh Bobby nyaris sama dengan Derek. Rambut cokelatnya persis sama, matanya juga sama birunya. Hanya saja Bobby masih terlalu kurus. Tapi pada akhirnya, dia pasti akan memiliki tubuh yang berisi. Genetiknya sudah di tentukan saat Bobby masih dalam kandungan. Untuk melihat bagaimana rupanya dua puluh lima tahun mendatang. Bobby hanya perlu mengamati pria yang sedang menjabat tangannya saat ini.
Untungnya Bobby terlalu kagum melihat sang pilot berada di rumahnya hingga dia tidak menyadari kemiripan mereka. Dengan penuh semangat dia langsung membalas jabatan tangan Derek.
"Aku punya postermu di kamarku. Maukah anda menandatanganinya untukku? Aku tidak percaya ini. Apa yang anda lakukan di sini? Ulang tahunku masih beberapa minggu lagi." Kata Bobby bersemangat dan memandang Adina dan tertawa. "Inikah hadiah yang istimewa yang kau bilang itu? Oh sebentar, aku tahu. Kau sudah memintanya untuk berpose untuk di gambar? Benar, kan?"
Derek berbalik dan menghadap Adina. Tatapannya menyala-nyala seperti kobaran api. Walaupun di tatap seperti itu Adina tetap berusaha balik menantangnya. Derek terlihat curiga sekaligus kebingungan. "Berpose?"
"Aku.. aku.." Adina kebingungan kebingungan dengan situasi yang ada di hadapannya.
"Aku terlanjur buka kartu sebelum mama sempat meminta, ya? Maaf ma," Kata Bobby pada Derek. "Mama melamar pekerjaan untuk membuat sampul depan buku telepon. Kemarin malam dia bilang ingin meminta anda untuk berpose sebagai buku sampulnya."
"Apa dia menceritakan alasannya?" Tanya Derek tanpa berbalik menatap Bobby.
"Menurutnya kau adalah pilot yang paling tampan." Jawab Bobby sambil tersenyum.
"Begitu ya." Kata Derek pelan. "Aku merasa tersanjung."
"Maukah anda melakukannya?" tanya Bobby dengan nada penuh harap.
Derek mengalihkan tatapannya dari Adina dan kembali menatap Bobby. "Tentu saja aku mau. Kenapa tidak?"
"Wah, hebat." Kata Bobby kegirangan.
"Tidak usah repot-repot." Sela Adina. "Aku sudah mengerjakan sketsa kasarnya." dengan acuh dia menunjuk tumpukan sketsa yang berada di belakangnya.
"Coba kita lihat." Kata Derek.
"Sketsa-sketsa ini belum siap untuk di tunjukkan." Kata Adina cepat.
"Bukankah kau berencana untuk menunjukkan pada orang dari periklanan itu?" Tanya Derek.
"Benar, tapi dia ahli dalam bidang ini. Dia tahu perbedaan antara sketsa kasar dan rancangan yang sudah jadi." Balas Adina.
"Aku juga tahu. Dan aku ingin melihatnya." Derek sedang menantang Adina. Adina menyadari tatapan Derek dan dia tahu kalau dia juga sangat licik. Adina tidak punya pilihan lain kecuali menurut keinginannya.
"Baiklah." Kata Adina berlawanan dengan suaranya yang terdengar agak senang, dia menunjukkan senyum datar saat dia mengulurkan beberapa sketsa pada Derek.
"Aku tahu, itu kau!" Teriak Derek, kembali menatap Adina dengan tatapan tajamnya yang menuntut. "Kau sudah sangat mengenal wajahku dengan baik."
"Mama memang ahlinya, paling hebat." Kata Bobby dengan bangga. "Dia bahkan bisa menggambar baju pilotnya dengan teliti."
Adina merampas kembali gambar yang di buatnya. "Karena semua gambarku sudah kau setujui, sepertinya sudah tidak ada alasan bagiku untuk menahanmu lebih lama lagi di sini. Terima kasih banyak atas kunjungan..."
Bel pintu memotong kata-katanya.
"Biar aku yang buka." Kata Bobby langsung berjalan ke arah pintu depan, namun segera berhenti dan berbalik. "Kau belum pergi, kan?"
"Tidak." Jawab Derek. "Aku akan tetap di sini."
"Bagus!" Bobby kembali berjalan menuju ke arah pintu depan ketika seseorang membunyikan bel untuk ke dua kalinya.
Derek berjalan mendekati Adina dan memegang ke dua lengan wanita itu dan meremasnya. "Tadi kau bilang kau belum punya anak." Desis Derek dengan suara pelan yang penuh kemarahan.
"Aku memang belum punya anak." Jawab Adina singkat.
"Lalu anak yang tadi kau sebut siapa?" Tanya Derek.
"Aku bukan ibunya." Jawab Adina.
"Dia memanggilmu mama." Kata Derek dengan menuntut.
"Benar, tapi..."
"Dan dia sangat mirip denganku." Kata Derek memotong perkataan Adina.
"Dia..." Adina memulai dengan sabar.
"Tapi aku tidak ingat pernah tidur denganmu."
Adina memutar matanya. "memang tidak pernah! Kau tidak mengenalku saat kau melihatku tadi, kan?"
"Tidak. Tapi ada beberapa hal yang tidak akan aku lupakan." Kata Derek lalu menarik Adina ke dalam pelukannya. Sebelum wanita itu sempat bereaksi, Bibir Derek sudah menempel pada bibir Adina dengan menuntut dan memeluk Adina semakin mendekat padanya.
Kepala Derek tesentak kaget dan dia menatap Adina yang sama terkejutnya dengannya sebelum mendorong Adina dan melepaskan pelukannya.
Untung saja semua terjadi dalam hitungan detik, karena Bobby berjalan masuk bersama dengan calon klien yang sedang Adina tunggu.
Saat mereka berdua tiba di studio, Derek langsung berjalan dan bersandar ke meja kerja Adina, memasang wajah tanpa ekspresi.
"Henri." Sapa Adina menahan napas. "Maafkan penampilanku, aku sedang berkebun waktu Derek Emir mampir." Katanya sambil menunjuk ke arah Derek.
Adina tidak perlu khawatir Henri memperhatikan penampilannya. Pria itu bahkan tidak melirik ke arahnya.
"Sebuah kejutan yang menyenangkan." Kata Henri bersemangat. Direktur biro iklan itu melangkah maju untuk menjabat tangan dengan Derek. "Senang bertemu denganmu."
Setelah itu dia menoleh ke arah Adina. "Adina, kau tidak pernah bilang kalau kau mengenal pahlawan nasional kita ini."
"Pilot Derek adalah model untuk sambul buku itu." Kata Bobby.
"Kalau aku mendapatkan pekerjaannya, Bobby." Potong Adina. "bagaimana kalau kau melihat sketsa yang sudah kubuat?"
"Aku akan mengajak Bobby jalan-jalan sementara kalian bekerja." Kata Derek.
"Maksudmu, naik mobilmu?" Tanya Bobby. Dia menjerit dan melompat kegirangan.
"Bobby, jangan menyentuh apa pun." Kata Adina.
"Dia akan baik-baik saja." Kata Derek.
"Kemana kalian pergi?" Tanya Adina dengan ragu.
"Hanya jalan-jalan di sekitar sini." jawab Derek sambil mengangkat bahu
"Berapa lama?" Tanya Adina khawatir.
"Tidak lama."
Adina ingin memarahi pria itu karena memberikan jawaban yang tidak jelas. Dia ingin bersikap tegas dan mengatakan tidak boleh. Bobby tidak boleh pergi ke mana pun bersama dengan Derek.
Tapi dengan adanya Henri, dia tidak punya pilihan lain kecuali bersikap ramah. Walaupun Henri adalah temannya sekali pun. Adina sadar kalau Derek sengaja mengambil kesempatan ini.
"Apa kau sudah kenal lama dengannya?" Tanya Henri dengan ragu-ragu.
Adina menoleh dan melihat teman yang baru dia kenal beberapa bulan itu yang sangat ingin tahu. Pria itu tidak berani bertanya tentang hubungan antara Derek dan Bobby pada Adina. "Aku belum lama kenal dengannya." Jawab Adina dengan dingin.
Dua puluh menit kemudian Henri pergi. Adina yakin kalau pria itu menyukai sketsa-sketsa yang dia tunjukkan. Sambil memasukkan sketsa-sketsa itu ke dalam tas kerja yang di bawanya Henri mengingatkan Adina kalau ada dua orang lainnya yang sedang di pertimbangkan dan keputusan akhir semua tergantung pada komite gabungan dengan para perusahaan telepon.
"Hanya saja, sketsamu lebih unik dari pada dua orang lainnya." Kata Henri.
"Apakah itu buruk?" Tanya Adina khawatir.
Ini bukan kali pertama dia bekerja sama dengan Henri. Bisa di bilang hampir semua pekerjaannya dia kerjakan bersama dengannya.
"Tidak juga." Jawab Henri sambil tersenyum. "Tapi mungkin juga sudah saatnya kita sedikit memperbarui desain lama yang turun termurun itu. Aku akan segera mengabarimu kalau hasilnya sudah keluar. Mungkin memakan waktu sekitar satu atau dua minggu."
Adina mengantar tamunya sampai ke pintu depan dan mengawasi pria itu sampai dia pergi, dia melihat sepanjang jalan mencari mobil Derek yang sama sekali tidak kelihatan. Dengan cemas, dia meremas tangannya. Kemana mereka pergi? Apa yang mereka bicarakan? Apa Derek juga menyerang Bobby dengan lusinan pertanyaan yang tidak bisa di jawab oleh anak itu?
Sebelum kepalanya jadi lebih pusing, Adina memutuskan untuk mandi.
Dia merasa lega saat mendengar suara-suara dari kamar tidur Bobby saat dia selesai mandi. Dia melangkah masuk lewat pintu yang sedang terbuka lebar dan melihat Bobby sedang menatap Derek yang sedang menceritakan pengalamannya saat menerbangkan pesawat.
"Kau tidak takut?" tanya Bobby.
"Tidak. Kami sudah berlatih berulang kali, jadi kami sudah tahu apa yang akan kami hadapi." Jawab Derek.
"tapi mungkin saja ada sesuatu yang terjadi di luar kendali kalian." Kata Bobby.
"tentu saja, tapi aku sadar kalau aku memiliki kru dalam pesawat dan kru lainnya yang ada di ruang kontrol yang bisa memastikan kalau semuanya berjalan lancar." jawab Derek.
"Bagaimana rasanya saat pesawat akan terbang?" Tanya Bobby dengan penasaran.
Derek menatapnya. "Menegangkan. Tidak ada yang bisa menandinginya."
Bobby menatapnya dengan kagum. "Apa yang kau pikirkan waktu itu?"
"Aku berdoa supaya aku tidak merasa untuk pergi ke toilet." jawab Derek.
Bobby tertawa. "benarkah?"
"Benar. Dan aku juga berpikir 'Ini dia. Ini yang memang aku impikan, yang aku inginkan. Aku terlahir untuk menjadi seorang pilot. Inilah saatnya.'" Kata Derek.
Tatapan kagum di ajah Bobby membuat Adina semakin cemas. "Maaf aku mengganggu." Katanya dari depan pintu. "Tapi aku harus pergi ke rumah perawatan sekarang dan Bobby kau akan terlambat untuk latihan sepak bola."
Bobby berguling di atas kasurnya dan langsung berdiri menghadap Adina. "Bagaimana dengan meetingnya dengan om Henri tadi?"
"Dia menyukai sketsaku tapi dia tidak bisa menjanjikan apa pun." Adina melihat arlojinya. "Kau harus pergi Bobby."
"Kau bermain sepak bola?" Tanya Derek yang juga ikut berdiri.
"Aku berada di garis pertahanan tim sekolah. Kami akan jadi juara di pertandingan daerah nanti." Jawab Bobby dengan banggan.
"Aku senang mendengar kepercayaan dirimu." Kata Derek sambil tersenyum lebar.
"pelatih menyuruh kami berlatih keras kalau kami ingin menjadi juara." Jawab Bobby.
"kalau begitu kau sebaiknya pergi latihan." Kata Derek.
"Apakah kau masih disini sampai aku pulang?" Tanya Bobby.
"Tidak." jawab Adina dengan tegas. "Aku yakin kalau dia masih punya banyak pekerjaan, Bobby. Hati-hati naik sepedanya. kau sudah bawa kunci rumah?"
"Sudah." Jawab Bobby dan berbalik pada Derek. "Selamat tinggal, terima kasih sudah mau menandatangani posterku."
"Sama-sama." Kata Derek.
Mereka berjabatan tangan. baru kali ini Adina melihat Bobby terlihat tidak bersemangat pergi latihan sepakbola.
Bobby meninggalkan mereka berdua dan menuruni tangga dan menoleh sesekali untuk memandang Derek. Adina benar-benar memastikan sampai Bobby keluar dari pintu depan sebelum menatap Derek.
"Aku harus pergi ke rumah perawatan..." Adina memulai.
Derek menghalangi langkah Adina dan memotong omongannya. "Aku minta jawaban yang jujur darimu. Apakah dia anakku?"
Air mata mengambang di mata Adina. Dia menggigit bibirnya dan menundukkan kepalanya. "Bobby adalah anakku." Bisiknya.
"Dia pastinya punya ayah." Derek mengangkat dagu Adina dengan jarinya. "Apakah dia anakku?"
Adina menatapnya dengan tatapan menyerah. "benar. Dia adalah anakmu."
Derek mencengkeram lengan atas Adina. "Aku akan mengantarmu.""Kau tidak perlu melakukannya." Kata Adina."Kita perlu bicara." Kata Derek tajam."Tidak ada yang perlu di bicarakan." Balas Adina."Tentu saja ada." Kata Derek, dia mendekatkan wajahnya hanya beberapa senti di depan wajah Adina. "Kau baru saja mengakui kalau anak remaja itu adalah anakku. Aku akan menempel terus padamu sampai aku mendapatkan jawaban. Sekarang, aku akan mengantarmu."Adina tidak bisa memberontak, pria itu mencengkeram lengannya dengan sangat kuat saat mereka menuruni tangga. Selain itu, Adina merasa kalau sudah saatnya Derek mengetahui semuanya. "Kunci rumahmu." Kata Derek. "Kau tidak punya alarm untuk mencegah pencurian?""Tidak." Jawab Adina malu."Kau seharusnya memasangnya. Rumah ini besar dan mudah di dobrak." Kata Derek.Mereka berjalan menuju trotoar tempat mobil Derek terparkir. Adina masuk ke kursi penumpang sementara Derek mengitari mobilnya untuk duduk di belakang kemudi."Lewat mana?" tanya De
Sudah ada yang menunggu Derek saat dia tiba di rumahnya. Dua-duanya perempuan. Satunya berambut pirang dan satunya berambut hitam pekat. Keduanya berwarna cokelat. Yang satunya berkaki dua, dan yang satunya berkaki empat. Yang satunya terlihat sangat marah dan yang satunya terlihat gembira.Seekor anjing bernama Luna, berlari menyeberangi pekarangan yang di tata rapi oleh tukang kebun yang belum pernah Derek lihat. Mereka datang saat dia sedang pergi bekerja dan pergi dengan meninggalkan tagihan di kotak surat. Seorang pengurus rumah membereskan rumahnya dengan cara yang sama. Tempat tinggalnya tidak seperti tempat tinggal seorang pria lajang.Luna nyaris membuatnya jatuh ketika anjing itu melompat pada Derek dan mencoba menjilat wajahnya. "Hai Luna." Kata Derek sambil mendorong anjing itu dengan penuh sayang. Derek membungkuk lalu memungut koran sore dan menggaruk belakang telinga anjing itu. Kemudian dia melempar koran dan Luna dengan gerakan melompat langsung mengejar koran itu.De
"Selamat malam ma." Bobby berdiri di depan pintu. Hanya ada sebuah lampu kecil yang menyala di atas meja gambar Adina, Dia sedang berusaha menumpahkan semua ide yang ada dalam kepalanya untuk sebuah iklan perusahaan."Sudah mau tidur?" Tanya Adina setelah menengok menatap Bobby."Pelatih memberi latihan yang keras tadi sore. Aku capek." Jawab Bobby.Adina tidak akan memarahi cara bicara Bobby. Malam ini dia memilih untuk mengacuhkan Bobby karena dia tahu kalau Bobby berbicara seperti itu untuk menguji kesabaran dan reaksinya. Kadang cara yang paling baik adalah dengan tidak bereaksi."Tidurlah kalau begitu. jangan lupa, kau harus memotong rumput besok." Kata Adina mengingatkan Bobby."Dua puluh ribu?""Lima puluh ribu kalau kau merapikan dan menyapu." Jawab Adina."Baiklah." Kata Bobby tapi dia tidak segera pergi dari sana. Dia memegang kayu di kusen pintu, pertanda kalau dia akan memulai sebuah pembicaraan yang sensitif. "Sebenarnya apa yang di lakukan di sini Derek Emir tadi siang?"
"Cola dingin satu." Kata Adina."Dua."Mendengar suara Derek, Adina memutar tubuhnya dan melihat Derek sedang berdiri tepat di belakangnya. "Apa yang kau lakukan di sini?""Beli cola." jawab Derek sambil tersenyum santai. "Dan Popcornnya satu."Pria di balik stan makanan memberikan pesanan mereka sambil terus menatap Derek. "Sepertinya aku mengenalmu."Derek tersenyum lebar sambil menyerahkan uang. "Mungkin kau memang mengenalku."Pria itu terus memperhatikan wajah Derek sambil menghitung uang kembalian Derek. Adina berusaha untuk membayar sendiri minumannya tapi tangannya di tahan oleh Derek."Oh astaga!" Kata pria remaja itu sambil tertawa terbahak-bahak. "Kau bekerja di supermarket, kan? Di bagian peralatan olahraga?"Senyum Derek memudar, tapi hanya separuh. "benar." Pria itu tersenyum lebar dan terlihat bangga karena telah mengingat seorang pekerja yang bekerja di supermarket sambil menyerahkan uang kembalian pada Derek. "Terima kasih." Kata Derek lalu menuntun Adina keluar dari
Derek mengangkat ke dua bahunya. "Tapi para direktur masih saja cemas. Mereka tidak mau membuat kesalahan lagi. Jelas mereka tidak mau ada skandal lainnya. Dan kalau sampai foto seorang anak yang tidak sah atau anak haram yang tidak pernah aku ketahui keberadaannya muncul di tabloid atau majalah atau koran dan internet, apa kau kira aku masih akan punya kesempatan untuk bekerja di maskapai lagi?""Memangnya kau masih ingin pergi bekerja setelah semua yang terjadi?" Tanya Adina.Derek memandangnya dengan ekspresi yang mengatakan kalau itu adalah pertanyaan yang paling bodoh yang pernah dia dengar. "tentu saja. hanya masalah waktu, aku hanya mengambil cuti beberapa minggu untuk istirahat. Aku ingin menerbangkan pesawat sebanyak yang bisa aku lakukan sebelum aku di anggap terlalu tua atau sebelum ada masalah kesehatan terjadi padaku atau sebelum pilot-pilot muda menggantikanku. jadi, tentu saja aku ingin terbang lagi.""Kau benar-benar suka pekerjaanmu, ya" Tanya Adina sambil menggelengk
Saat berjalan pelan menuju ke tempat parkir, mereka bertiga berdebat tentang kendaraan yang akan ada di restoran pizza. Akhirnya Adina kalah, dua lawan satu. "Seperti skor pertandingan saja." kata Adina mengaku kalah."jangan sinis begitu." kata Derek, dia tidak berniat menyembunyikan rasa senangnya atas hasil pemungutan suara yang mereka lakukan.Adina dan Bobby di tuntun menuju ke sebuah mobil mewah yang keren berwarna hitam. "Berapa banyak mobil yang kau punya?" Seru Bobby dari kursi belakang penumpang mobil setelah mereka mulai turun ke jalanan."hanya dan yang satu kemarin." jawab Derek."Aku minta maaf, tadi teman temanku mengeroyokmu seperti itu. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan orang keren yang terkenal." Kata Bobby tidak bisa menyembunyikan rasa terganggu yang sengaja dia buat-buat dan membuat ke dua orang dewasa di depannya itu tersenyum bahagia. "Tidak ada dari mereka percaya kalau kau datang hanya untuk melihatku bertanding sepak bola.""Aku tidak keber
"Rumahmu?" Tanya Adina."Aku pikir mungkin kalian mau berenang dan beristirahat." Jawab Derek datar."Benarkah?" Tanya Bobby kegirangan."Sekarang sudah larut." Kata Adina dengan nada peringatan."Besok libur, boleh, kan?" Rengek Bobby.Karena Derek yang menyetir mobil, keputusan jelas bukan di tangan Adina, tapi dia sama sekali tidak menyukai ide untuk pergi ke rumah pria itu. Dia tidak mau Bobby menjadi terlalu akrab dengan orang terkenal yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya dan sewaktu-waktu bisa pergi begitu saja begitu kegembiraan memiliki seorang anak sudah luntur.Dan kalau rasa tanggung jawab Derek membuatnya merasa wajib untuk mengasuh Bobby, bagaimana rumah tuanya, yang genteng belakangnya sangat perlu di perbaiki, dapat menandingi rumah modern yang indah dengan kolam renang di halaman belakang dan akuarium di dinding ruang makan?Akuarium itu hanya salah satu dari ratusan benda lain yang di sebut Bobby "Keren!" ketika dia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Anjing
Dengan penuh percaya diri, Adina berjalan menuju kolam renang dan dengan perlahan masuk ke dalam air yang dingin. Derek yang sudah ada di dalam kolam bertepuk tangan untuk Adina sambil mengapung di punggungnya menuju ke pinggir kolam, dia menendang-nendang kakinya agar membuatnya tetap mengapung."Kau terlihat luar biasa." Kata Derek."Terima kasih." Balas Adina dengan malu-malu.Adina berenang menuju tangga yang berada di seberangnya dan ketika sudah setengah jalan menaiki tangga itu dan tangan Derek menangkap pergelangan kakinya. Derek menarik Adina kembali masuk ke dalam air dan menekan punggung Adina ke dinding kolam.Saat kaki pria itu menyentuh kaki Adina, Adina menatapnya dengan terkejut. "Derek, kau...""Aku suka berenang telanjang, Rasanya lebih nyaman." Kata Derek membenarkan perkataan Adina yang belum sempat dia selesaikan."Itu adalah prinsip hidupmu, kan? Kalau kau merasa nyaman, lakukan saja." Kata Adina berusaha untuk tetap tenang."Dan prinsip hidupmu adalah kalau rasa
"Aku tidak berusaha terdengar seperti orang munafik. Jangan berpkir aku melihat diriku seperti itu. Seharian aku mempersiapkan pidato ini. Setiap kata yang aku ucapkan adalah ungkapan dari hatiku. Tolong biarkan aku selesaikan. Masih ada yang lain." Jawab Adina dan Derek menganggukkan kepalanya menyuruhnya melanjutkan apa yang ingin Adina bicarakan."Apa yang terjadi pagi ini..." Adina memulai."Hmm?""Ada beberapa alasan mengapa hal itu sampai terjadi." Kata Adina hampir tergagap."Yang aku tahu itu adalah pemanasan yang bagus." Kata Derek."Derek..."Maaf." Derek melambaikan tangannya dengan tidak sabar."Aku merasa sangat sedih karena kematian ibuku. Tidak berdaya, kau tahu. Seperti bertanya-tanya apa gunanya hidup kalau harus berakhir seperti itu?" Kata Adina."Aku mengerti. Kau membutuhkan untuk berkontak dengan manusia lain, dan menegaskan kalau hdup ini memang memiliki arti." Kata Derek sambil menganggukkan kepalanya."Benar." Kata Adina, diam-diam merasa terkejut karena Derek
Dengan langkah lemas Adina menaiki anak tangga rumahnya. Dia tidak menyalakan lampu sama sekali, meski pun hari sudah sore dan kegelapan mulai memenuhi tiap sudut rumahnya.Di kamar tidurnya dia melepaskan sepatu kulitnya yang berwarna hitam dan meletakkan tasnya di atas lemari kecil. Adina berjalan menuju jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Dia menatap ke kejauhan untuk beberapa lama. Keputusaan telah merasukinya.Dia baru saja hendak berbalik ketika dia melihat bola sepak milik Bobby tergeletak begitu saja di rumpun bunga di tanah. Bola yang terlihat sangat kesepian, terbuang dan terlantar. da tampaknya melukiskan segala kesedihan dalam hidup Adina.Adina mendesah kuat-kuat dan mengulurkan tangannya ke punggung belakangnya untuk membuka resleting gaun hitamnya."Mari aku bantu." Kata Derek.Adina langsung berbalik karena terkejut. Derek berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka, dia masih mengenakan jaket hitam dan kemeja hitamnya. Saat denyut jantung Adina sudah k
Setelah mandi dengan cepat, Adina segera berpakaian. Adina menenteng sepatunya dan berjalan menyusuri rumah itu, dia berjalan ke arah dapur. Kemudian dia melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Adina kemudian mendorong pintu pelan dan membukanya.Kamar Bobby. Hal itu yang langsung terlihat olehnya. Pakaian-pakaiannya tergelatak di mana-mana, Sebuah kebiasaan buruk yang dulu membuatnya marah tapi kini dengan pesih dia merindukan kebiasaan itu. Berbagai ponser bintang rock, altet olahraga, dan sebuah poster model berbaju bikini yang ceria memenuhi dinding kamarnya. Sebuah minatur pesawat ada di meja bersama dengan setumpuk buku sekolah.Meski pun Bobby baru menempati kamar itu sebentar, Bobby sudah mengisi kamar itu dengan semua ciri khasnya. Selain barang-barang yang dari dulu sudah dia miliki, Adina juga melihat ada sebuah tv baru yang lengkap dengan perlengkapan video game, sesuatu yang memang sangat di inginkan Bobby sejak lama. Sebuah telepon yang sepertinya baru saja di pasan
Adina mendesah dalam-dalam sebelum dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa lemas seperti dia baru saja melakukan aktifitas yang berat. Seolah setiap sel dalam tubuhnya tidak berdaya. Jantungnya berdetak lebih kuat dan lambat. Dia nyaris dapat merasakan aliran darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia pernah merasa sesantai ini. Bersantai seperti ini tanpa harus memikirkan apa pun rasanya enak sekali.Adina menguap dan meregangkan tubuhnya. Saat itulah dia merasa kakinya menyentuh kaki lain yang bukan kakinya. Adina langsung terkejut lalu dengan perlahan dia menoleh ke sampingnya. Derek sedang tidur tepat di sampingnya. Rambutnya acak-acakan dan bagian bawah wajahnya derdapat jenggot yang baru tumbuh. Selimut hanya menyelimutinya sebatas pinggang. Dada pria itu terpampang di depan wajahnya.Adina hanya berbaring dengan diam, dia nyaris tidak berani untuk bernapas. Adina memandangi pria itu. Menit demi menit sudah berlalu. Alam bawah sadarnya
"Aku pikir aku tidak perlu mengatakan tentang apa rancanaku padamu, Derek." Kata Adina."Aku tidak membeli mobil itu sebagai sogokan agar bisa lebih dekat dengan Bobby. Aku berani sumpah. AKu ahkan berpikir kalau kamu mungkin akan ikut senang kalau Bobby juga senang." Kata derek sambil tersenyum sinis. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang istimewa baginya. Itu saja." Lanjut Derek."Aku juga begitu!" Kata Adina dengan meninggikan suaranya sambil menunjuk dadanya."Aku mengerti dan aku minta maaf karena itu. Memang aku yang salah. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Kecuali..." Derek berhenti dan memandang Adina dengan tatapan memohon dan menarik napas panjang. "Kau memiliki Bobby selama ini. Kamu merayakan ulang tahunnya selama ini bersamanya. Aku tidak pernah mengalami hal itu." Lanjut Derek.Adina terdiam, tidak mengatakan apa pun."Baiklah. Aku mungkin memang terlalu berlebihan dengan memberinya mobil itu. Tapi tolong jangan salahkan aku. Aku masih baru dalam hal ini. Aku a
Mulut Adina menganga lebar. "Apa?""Mengingat keadaan emosionalmu saat ini, kamu tidak bisa mengendarai mobil, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi di jalanan. Lagi pula, aku tidak yakin kalo kamu punya tenaga untuk pulang ke rumah. Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, tidak baik kalau kamu sendirian malam ini." Jelas Derek."Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya sendiri." Jawab Adina."Aku memaksamu. Aku punya banyak kamar tidur yang kosong." Kata Derek."Tapi tempat tidurnya sudah pernah di gunakan." Balas Adina.Derek meringis. "Ternyata kau masih ingat. Tajam sekali ingatanmu. Aku janji, malam ini tidak akan ada pasangan setengah telanjang yang akan mengganggumu. Semua temanku sudah tahu kalau aku sekarang tinggal bersama anak remaja jadi perilaku seperti itu sudah di larang di sini." Jawab Derek."Apa yang kamu katakan pada mereka?" Tanya Adina penasaran."Mereka harus mencari tempat lain jika ingin telanjang." Jawab Derek."Bukan, maksudku tentang Bobby." Kata Adina sambil memuta
Hari sudah senja ketika Adina berbelok menuju rumah Derek. Adina memarkir mobilnya di depan rumah itu dan untuk sesaat dia hanya duduk di balik kemudinya, dia merasa terlalu letih dan sedih untuk bergerak.Akhirnya dia berhasil mengumpulkan energi untuk membuka pintu mobil dan berjalan menuju pintu depan rumah Derek. Dia mendengar denting bel pintu yang baru saja dia bunyikan dan geraman penuh curiga dari Luna sebelum akhirnya Derek membuka pintu yang ada di hadapannya. Pria itu hanya mengenakan celana renang yang basah. Dan Derek terlihat terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat ini."Hai, Apakah Bobby ada di rumah?" Tanya Adina pelan."Dia tidak ada." Jawab Derek.Adina sedikit terkejut. Satu-satunya yang dia pikirkan tadi hanyalah datang ke rumah ini untuk bertemu dengan Bobby."Ayo masuk." Kata Derek lalu mundur beberapa langkah agar wanita itu bisa masuk ke dalam rumahnya.Hanya ada sedikit energi yang tersisa dalam tubuh Adina. Dia tetap melakukan apa yang di minta pria
Belum sampai dua puluh menit, Ponsel Adina berdering kembali dari sebuah nomor yang tidak di kenal. Dengan hati yang gelisah Adina menepikan mobilnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?" kata Adina."halo, maaf aku perawat dari rumah sakit." Jawab seseorang dari seberang."Apakah terjadi sesuatu pada ibuku?" tanya Adina dengan panik. "Kondisi ibumu tiba-tiba menurun. Sekarang sedang dalam tindakan, Apakah kau bisa kemari?" kata Perawat itu. Adina tertegun bingung, dia mendengar suara bising di lalu lintas dan juga suara bising dari balik telepon itu. Suara keras monitor dan suara kepanikan seorang pria yang di kenalnya sebagai dokter Bili yang menyuruh seseorang untuk menyiapkan sebuah suntikan obat."halo?" Kata perawat itu lagi."Aku... Aku dalam perjalanan." Kata Adina lalu segera mematikan panggilan itu. Dengan tangan gemetar Adina mencoba tenang dan berbalik arah kembali ke rumah sakit. Dia menyetir dengan kcepatan maksimum dan berdoa agar lalu lintas bersahabat dengannya unt
keesokan paginya ketika dia masuk ke dapur untuk membuat kopi, Adina terkejut melihat dapurnya sudah rapi dan bersih. Ruang makan juga sudah di bersihkan dari sisa-sisa pesta ulang tahun, walau pun bunganya masih ada di atas meja. Sepertinya Derek dan Bobby sudah membersihkan segalanya sebelum mereka pergi. Adina menyesap kopi yang sudah dia buat lalu berpikir bagaimana dia bisa menjual mobil yang baru saja dia beli itu. Mungkin si penjual mobil mau mengambilnya kembali dan mengembalikan uangnya. Sementara Adina sibuk merenung hal yang sepertinya tidak mungkin itu, teleponnya berdering. "Adina?" Suara seorang wanita yang dia kenal dari balik telepon. "ya?" jawab Adina. "Ini adalah Dokter Wulan." Kata wanita itu. benar saja, Dokter Wulan adalah dokter yang menangani ibunya. "Ibumu terkena serangan jantung yang parah beberapa menit yang lalu dan kami sedang dalam perjalanan dengan ambulans menuju ke rumah sakit yang lebih besar." Kata Dokter Wulan. Setelah menutup telepon dengan