“Kalau saja waktu itu kamu jadi nikah sama Astari, mungkin kamu nggak akan kesulitan punya anak begini,” ujar Nenek Lasmini pada suatu pagi di hari Minggu kepada Cucu Kesayangannya, Raga Satria.
Pria yang baru saja genap berusia 33 tahun itu hanya menarik napas panjang sebelum kemudian menghembuskannya sangat perlahan.
“Mungkin belum jodoh aja kali,” jawab Raga singkat.
“Belum jodoh tapi kok pacarannya lama banget. Dia itu cinta pertamamu, kan?” Nenek Lasmini mencibir pelan.
Raga memilih untuk tidak menjawab.
Diam-diam, dia melirik ke sebuah sekat tembok tanpa pintu yang mana ada istrinya, Kinanti Sahara sedang membuatkan makanan untuk mereka bertiga. Ia hanya tidak mau perkataan Neneknya akan membuat wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun terakhir itu akan membuat huru-hara.
“Dia yang nikahnya setahun lebih telat dari kamu aja bisa tuh langsung hamil. Tapi kenapa istrimu tidak bisa?”
Mendengar pertanyaan yang terus dilontarkan oleh Sang Nenek membuat dirinya menghembuskan napas berat.
Sudah tiga tahun pernikahannya dengan Kinanti tapi memang belum dikarunia seorang anak. Raga tahu seberapa besar keinginan Kinanti untuk segera bisa hamil. Tapi ia juga tidak ingin membebankan hal itu kepada istrinya. Maka dari itu, Raga tidak pernah menunjukkan rasa kekecewaannya setiap kali istrinya mengatakan bahwa haid bulanannya kembali datang.
“Nek, sudahlah. Kita kan sudah pernah bahas ini. Memang belum waktunya aja kali.”
“Ya tapi mau sampai kapan? Usiamu sudah tidak muda lagi loh.”
“Nanti kami usaha lagi ya, Nek?” jawab Raga. Ia membelai lembut punggung tangan neneknya yang sudah penuh dengan keriput itu.
“Jangan kelamaan, Raga. Nenek juga nggak tau umurnya sampai kapan.”
“Nenek jangan ngomong begitu. Nenek masih sehat kok.” Raga memijat pelan lengan Lasmini.
“Ya sudah, minggu depan anterin Nenek nengokin rumah ya. Sudah lama nggak ditengok nanti rusak rumahnya.”
Raga mengiyakan dan bersyukur bahwa Nenek tidak memperpanjang obrolan sensitif di hari Minggu ini.
Sudah setahun terakhir ini Nenek ikut tinggal bersama dirinya dan Kinanti di rumah mereka di Ibu Kota. Raga khawatir jika Nenek tinggal sendirian pasca Sang Kakek berpulang setahun yang lalu, sedangkan Tantenya tinggal jauh di luar pulau sehingga tidak memungkinkan memboyong Nenek ikut bersamanya.
Lagipula, Nenek Lasmi lebih memilih tinggal bersama cucu kesayangannya. Dan jarak dari rumah Raga ke Desa terbilang cukup dekat. Hanya berjarak tiga jam perjalanan sehingga memudahkan jika harus bolak-balik.
Tanpa sepengetahuan mereka, seorang wanita bertubuh ramping berdiri mematung dari balik tembok. Tangannya yang sedang memegang nampan berisi dua buah cangkir teh hangat beserta cemilannya bergetar pelan.
***
Kinanti Sahara, wanita yang kini sudah menginjak usia 24 tahun itu sebenarnya tidak mempermasalahkan ketika suaminya berkata jika ia ingin memboyong Sang nenek ikut tinggal di rumah mereka yang sederhana.
Siapa yang tega meninggalkan seorang wanita yang sudah lanjut usia serta tubuhnya sudah ringkih itu tinggal di rumah sendiri?
Awalnya hubungan mereka berjalan baik-baik saja. Kinan merasa cukup terbantu dengan kehadiran Sang Nenek karena bisa langsung memasak bersama dengan Nenek yang memberikan resep rahasia untuk makanan cucunya yang sangat ia sayangi itu.
Tapi hal itu tidak membuat Kinanti mendapatkan ruang yang spesial di hati Lasmini.
Sejak awal dia selalu bertanya-tanya, tapi Raga menyakinkan dirinya bahwa memang sudah karakter Nenek Lasmi yang tidak bisa begitu gamblang mengungkapkan rasa perhatiannya.
“Kamu kenapa diam saja, Sayang?”
Pertanyaan suaminya yang tiba-tiba itu membuatnya tersentak. Kemudian ia menoleh dan sudah mendapati suaminya tengah memandangnya dengan tatapan penuh selidik.
Hari sudah berlalu, Kinanti lebih banyak diam. Hanya berbicara seperlunya saja kepada Nenek Lasmi, meski hari-hari biasanya juga seperti itu. Cuma bedanya kali ini ia lebih menunjukkan keengganan menemani Sang Nenek menonton televisi yang menayangkan sinetron kesukaannya.
Ada kalanya hatinya lelah.
“Aku kan lagi ngelipetin pakaian, Mas.” Kinan menjawab tanpa menatap mata suaminya.
“Tapi sepertinya dari tadi pagi sikapmu agak aneh,” ujarnya lagi.
“Aneh gimana? Perasaan Mas Raga aja mungkin.”
Kening Raga semakin mengerut. Seolah ia tahu bahwa istrinya tidak sedang baik-baik saja. Dengan lembut, ia merengkuh bahu Kinan sehingga membuat wanita itu menghentikan aktivitasnya.
Kedua mata mereka saling bertemu.
“Jawab yang jujur, Kinan. Ini bukan kamu yang biasanya.”
Kinan tahu bahwa jika dirinya tidak bisa menyembunyikan apapun dari suaminya. Perlahan ia mendesah pelan sebelum kemudian membuka mulutnya kembali.
“Kamu nggak pernah cerita soal Astari.”
Raga mengerjapkan matanya selama beberapa saat. “Kamu mendengar perbincangan aku dan Nenek tadi pagi ya?”
“Kedengaran jelas sampai ke dapur.”
Pria itu mendesah pelan kemudian menarik tangan istrinya dan mengelusnya perlahan.
“Jangan dipikirin apa kata Nenek ya, Sayang. Kamu kan tau sendiri kalau Nenek itu suka begitu kalau ngomong.”
“Kalau soal itu aku tau tapi kamu nggak menjawab pertanyaanku, Mas. Kenapa kamu nggak pernah cerita soal mantan kamu yang bernama Astari?”
“Itu semua sudah masa lalu, Sayang. Jadi aku pikir, aku nggak perlu membahas mantan.”
“Tampaknya kalian pernah berpacaran lama sekali sebelum akhirnya kamu menikahiku. Sampai-sampai Nenek bisa sayang banget sama dia.” Tersirat nada sinis dari suara Kinan.
Raga mengerutkan keningnya, menyadari apa yang sedang dirasakan oleh istrinya.
“Kamu cemburu?”
Kinan tidak langsung menjawab. Lama ia menatap suaminya dengan harapan bahwa pria itu bisa tau gejolak perasaan apa yang sedang dihadapi saat ini.
“Orangnya udah nikah, Sayang. Jangan dipikirin begitu ah. Nggak baik buat kesehatan. Apalagi kalau kita sedang program hamil kan?” Raga mengelus perut Kinan yang masih rata dengan harapan besar usaha mereka di bulan ini bisa membuahkan hasil.
“Maaf ya, Mas. Aku belum hamil aja sampai sekarang.” Kinan menggigit bibir bawahnya. Hatinya seperti teriris kerap kali tamu bulanan itu hadir. Ia tahu bahwa Raga sekuat tenaga berusaha untuk menyembunyikannya agar Kinan tidak berkecil hati.
“Nggak apa-apa, kita kan udah lakukan yang terbaik.”
“Mas?” Kinan memanggil lagi. Kali ini kalimatnya menggantung di ujung lidahnya. Seolah ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
“Ada apa?”
“Kamu nggak ada pikiran untuk menikah lagi kan?”
“Darimana pikiran seperti itu?” Pertanyaan yang dilontarkan oleh Kinan itu sukses membuat Raga melongo.
Kinan menunduk. Tangannya meremas ujung bajunya. Gelisah.
“Karena aku bukan seperti mantan kamu yang baru menikah sudah langsung dikasih amanah seorang anak.”
“Kinanti Sahara, aku sudah berjanji kepada orang tuamu untuk menjaga anak satu-satunya mereka. Jadi mana mungkin aku berbuat hal seperti itu.”
“Tapi…”
“Soal anak, nanti kita cari usaha lagi ya. Dan jangan pikirkan apa yang Nenek katakan tadi siang. Namanya juga sudah tua, kalau ngomong pasti agak ngelantur.” Raga membelai lembut punggung istrinya.
Sejurus kemudian Kinan kembali menemukan rasa aman dan nyaman jika berada di samping pria itu. Yang merupakan salah satu alasan mengapa ia menerima pinangan Raga Satria tiga tahun yang lalu. Meskipun hubungan mereka awalnya sempat mengalami sebuah pertentangan.
Ayah Kinan tidak langsung menerima niat baik Raga kala itu. Sebagai alasan utamanya karena Ayahnya sendiri merasa belum siap jika Kinan harus cepat-cepat menikah padahal baru saja lulus kuliah dan baru diterima magang di kantor yang mempertemukannya dengan Raga.
“Jangan khawatir, aku nggak akan nyakitin kamu. Aku nggak akan menikah lagi hanya karena menginginkan anak. Aku cuma mau bersama kamu selamanya.”
Perlahan Kinan mengangguk.
Kekalutan yang dialaminya sejak tadi siang perlahan sirna dan memutuskan.
‘Selama Mas Raga masih berpihak padaku. Aku akan baik-baik saja,’ ujar Kinan dengan mantap.
Dan setengah berharap bahwa suaminya benar-benar menepati janjinya.
***
“Assalamu’alaikum.” Kinan setengah berlari ke arah pintu dan menjawab salam. Terlihat seorang wanita yang tidak ia kenali itu tengah berdiri di luar pintu pagar yang terbuka. Sesuai dengan janji Raga, bahwa ia akan mengantarkan Nenek Lasmi untuk mengunjungi rumahnya yang sudah lama ditinggali. Selepas subuh, mereka semua sudah jalan agar menghindari macet dan agar mereka masih sempat berburu jajanan pasar kesukaan Raga. “Wa’alaikumsalam, cari siapa ya?” “Mau cari Nenek Lasmi, apa beliau ada di rumah?” “Oh, ada di dalam. Maaf dengan siapa ya?” “Astari, atau biasa dikenal sebagai Tari,” jawabnya dengan senyuman manis. Senyuman dari bibir Kinan sontak saja memudar secara perlahan. Ia ingat betul bagaimana suami dan neneknya tengah membahas seseorang dengan nama yang persis sama. ‘Astari? Apa dia Astari mantannya Mas Raga?’ tanya Kinan dari dalam hatinya saja. Tatapan meneliti seorang wanita bertubuh sedikit berisi tapi juga tidak bisa dikatakan gemuk. Wanita itu mengenakan rias
“Nenek yakin mau ditinggal sendirian disini?” tanya Raga sekali lagi pada keesokan harinya. Dengan keyakinan penuh Nenek Lasmi berkata bahwa ia tidak ingin ikut kembali bersama Raga kembali ke ibu kota. “Iya, Nenek mau tinggal disini lagi.” “Kenapa, Nek?” tanya Raga lagi. “Kok mendadak, Nek?” tanya Kinanti tak kuasa untuk menahan rasa penasarannya. Pasalnya, semenjak kepergian Sang Kakek, Nenek Lasmi kerap kali larut dalam kesedihan yang mendalam jika berada di rumah seorang diri. Hingga hal itu membuat Sang Nenek pun merengek ingin ikut bersama Raga di kota. “Nenek cuma kangen suasana disini yang tenang dan bisa ngobrol sama tetangga. Kalau di rumah kamu di kota kan Nenek nggak bisa kayak gitu,” tutur Nenek Lasmi kemudian berusaha keras untuk menghindari tatapan matanya. “Bukannya Nenek juga sudah berteman dengan ibu-ibu di komplek perumahan?” tanya Kinanti dengan nada lembut namun tetap saja disalahartikan oleh Nenek Lasmi. Ia hanya mendengus pelan. Matanya mendelik tak suka
Mobil hitam yang dikendarai oleh Raga berhenti di pekarangan rumah Nenek yang cukup luas. Masih dari balik kemudi, ia melihat Sang Nenek tengah duduk di kursi santai di samping rumah yang disuguhkan dengan hamparan pegunungan dan persawahan yang hijau. Nenek tidak sendirian, di sampingnya ada Astari yang sudah berada di rumah pada jam sepagi ini. “Nah, itu Raga sudah datang.” Nenek menyambut kedatangannya ketika Raga sudah turun dari mobil dan menghampiri dua orang wanita yang berbeda generasi. “Bawakan pesanannya Nenek.” Raga mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam sebuah tote bag berukuran sedang. Melihat itu Sang Nenek melebarkan senyumnya. “Raga…” Sementara Tari menyapanya dari tempatnya duduk. Senyumnya merekah begitu melihat pria yang pernah mengisi hidupnya dulu itu kini datang. “Tari, sudah ada disini pagi-pagi?” Tari memberi anggukan singkat. “Tari menginap tadi malam,” sambung Nenek Lasmi seraya mengambil tote bag dan mengintip pesanan yang dibawakan oleh cucuny
Sayup-sayup Kinan mendengar dering ponsel dari dalam kamarnya. Buru-buru ia mematikan kompor dan setengah berlari mengambil ponsel yang layarnya tertera nama suaminya yang tengah memanggil. Kondisi dirinya saat ini sudah cukup jauh lebih baik, berkat istirahatnya yang cukup dan juga obat yang sempat ditinggalkan Raga untuk dirinya. Maka ketika sore hari menjelang, ia buru-buru bangkit untuk menyiapkan makan malam untuk kepulangan suaminya. “Halo, Mas Raga?” “Kinan, apa kamu belum baca pesanku?” sahut Raga dari seberang panggilan. Tersirat kecemasan dari nada suaranya. “Oh, maaf, Mas. Aku lagi di dapur tadi jadi nggak terdengar ada bunyi pesan masuk. Ada apa, Mas? Apa kamu sudah di jalan pulang?” “Sepertinya aku tidak bisa pulang malam ini.” Pria itu mendesah berat. Kinan mengerutkan keningnya. “Ada yang terjadi, Mas?” “Tadi Nenek jatuh di dapur dan sekarang sedang ada di puskesmas.” Kinan terkesiap. Matanya terbelalak saking terkejutnya. “Astaghfirullah. Bagaimana keadaan Nen
“Mas?” Kinan menyambut kedatangan suaminya dua hari kemudian. Pria itu tampaknya mengambil satu hari cuti dadakan karena kejadian ini.Kinan mengulurkan tangan dan mengecup lembut punggung tangan Raga yang tampak lebih diam dari biasanya. Tidak ada senyuman yang keluar dari bibir Raga. Wajah pria itu tampak berbeda dari biasanya.‘Mungkin itu karena Mas Raga terlalu lelah karena insiden kemarin.’ Kinan menepis pikiran negatif yang sudah mulai menari-nari dalam benaknya.Raga melangkahkan kakinya gontai menuju dalam rumah sederhana yang ia beli melalui proses KPR sebelum ia menikahi Kinan tiga tahun yang lalu. Kinan pikir, pria itu akan duduk di sofa tapi langkah kakinya masih berjalan mantap menuju dapur hingga membuka lemari pendingin dan mengambil satu botol air mineral dingin lalu meneguknya seperti orang yang kehausan atau seperti orang yang sedang ingin mendinginkan kepalanya yang panas? “Apa terjadi sesuatu, Mas?” Kinan tak kuasa menahan rasa penasarannya. Raga sontak terbatu
Kecurigaan yang Kinan rasakan selama hampir sebulan terakhir perlahan mulai luntur setelah Raga akhirnya mulai sedikit terbuka dengan mengajaknya pulang menemui Nenek Lasmi setelah urusan seminarnya selesai. “Assalamualaikum.” Kinan mengucapkan salam seraya melangkahkan kaki di jalan setapak menuju pintu masuk. “Waalaikumsalam.” Seorang wanita berambut panjang yang digelung cepol muncul dari dalam rumah Nenek Lasmi. Seketika saja langkah Kinan terhenti. Matanya menatap penampilan Tari yang mengenakan baju terusan khas rumahan berwarna hijau muda bermotif bunga dan dedaunan. Keningnya mengerut dan benaknya sudah dipenuhi satu pertanyaan besar. Kenapa Tari sudah berkunjung sepagi ini dengan pakaian yang lebih pantas disebut baju tidur itu? “Halo Kinan,” sapaan Tari dengan suara yang terlalu kentara dibuat-buat itu menyadarkannya dari lamunan.Kinan menyunggingkan senyum terpaksa. “Tari? Sudah berkunjung sepagi ini?” Bukannya menjawab, wanita itu hanya menyunggingkan senyum penuh m
Setelah kejadian itu, perasaannya mulai makin tidak karuan. Berulang kali ia mengatakan bahwa sikap Raga yang kontradiktif dengan pernyataannya sebelumnya membuat mereka kerap kali dilanda pertikaian kecil. “Aku hanya spontan, Kinan. Kalaupun itu bukan Tari, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama,” tuturnya pada saat itu. Tapi Kinan tentu saja tidak mudah langsung percaya. Firasatnya mengatakan hal yang lain. Namun, Kinan tidak bisa semakin mencecar suaminya hanya berdasarkan firasatnya saja. Terlebih mereka sudah beberapa kali berada dalam situasi panas. “Percaya sama aku, Kinan. Aku khawatir bukan berarti aku masih ada rasa sama dia. Aku hanya spontan dan kejadiannya itu begitu cepat. Kamu harus percaya aku yah,” tutup Raga malam hari itu. Katanya, apa yang kita takutnya, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan bukan? Meski berat, tapi Kinan mencoba untuk menekan rasa tidak nyaman yang masih bercokol di hatinya. Setengah berharap bahwa ini semua hanya terjadi dalam kepalan
“Sus, saya nggak apa-apa kan? Saya udah boleh pulang yah?” Kinan terus menanyakan hal yang sama sejak kedatangannya ke instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta terdekat dari tempat kejadian tadi.“Sebentar ya, Bu. Dokter masih harus lihat hasil rontgen dulu,” jawab Suster ramah sebelum kemudian pergi berlalu.Kinan hanya bisa mendesah pelan di ranjang IGD yang diberi sekat kanan dan kirinya. Sekali lagi, ia terus mengecek ponselnya beberapa menit sekali hanya untuk memastikan bahwa Raga telah membaca pesannya. Namun, hasilnya nihil.Kinanti: Mas, kamu dimana? Apa sudah dalam perjalanan pulang? Seharusnya hari ini pulang kan?Serentetan pesan dan panggilan tak terjawab sudah ia lakukan tapi tak kunjung mendapatkan hasil. Suam
Tari tak kuasa mengepalkan tangan dan meremas ujung dasternya. Gejolak amarah sudah mulai memenuhi hatinya. Terlebih ketika pria itu mulai bangkit dan berjalan memasuki kamarnya yang ditempati bersama Kinan. Matanya berkilat tajam ke arah pintu yang tertutup rapat itu. “Jangan dipikirin apa kata Raga. Sekarang dia boleh ngomong begitu, tapi kita nggak pernah tahu apa yang terjadi kedepannya.” Nenek Lasmi berkata. Tari menoleh. Melepaskan genggamannya pada ujung daster. Melemaskan ototnya dan kembali mengatur emosinya. “Iya, Nek. Aku paham kok. Ah, Kinan begitu beruntung mendapatkan suami seperti Raga.” Tari mengulas senyumnya terpaksa. ‘Mestinya aku yang mendapatkan Raga kala ini,’ lanjutnya dalam hati. Matanya terpaku pada pintu kamar yang tertutup. Kamar kedua yang terletak di paling belakang rumah ini bisa dibilang tidak cukup layak untuk disebut kamar. Kini ia harus menempati kamar itu bersama dengan Nenek Lasmi yang semakin membuatnya sesak. ‘Seharusnya aku yang menempati ka
“Maksudnya gimana? Nenek ingin tinggal disini?” tanya Kinan sekali lagi dengan kening yang masih mengerut. “Bukan cuma Nenek aja, tapi Tari juga.” Wanita itu menoleh dan menatap Tari yang berdiri tak jauh darinya. Kinan mengikuti padangan Nenek. Wanita itu masih sama diamnya sejak kemarin. Apa dia mendadak jadi bisu? pikir Kinan jengah. “Bukannya Mas Raga sudah menyewakan sebuah rumah untuk Tari tinggali?” tanya Kinan kemudian. “Benar. Lalu setelah dipikir-pikir, Raga akan mengeluarkan uang dua kali lipat. Untuk KPR rumah ini dan untuk biaya sewa bulanan untuk rumah kontrakan. Sementara dia hanya bekerja sendirian, tak ada yang membantu. Sementara itu, rumah ini ada dua kamar tidur dan luasnya juga pas untuk ditinggali empat orang. Bukankah lebih baik menekan biaya pengeluaran? Kasihan Raga capek bekerja dan tidak ada yang membantu.” Nenek memberikan penjelasan seraya melayangkan tatapan yang merendahkan. “Bukankah sejak awal sudah diputuskan seperti itu? Kenapa sekarang menyes
Kinanti menyadari bahwa bahunya sudah semakin terkulai semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Meski Dokter mengatakan kondisi ayahnya masih bisa ditangani dengan baik tapi tetap tidak membuat wanita itu merasa tenang.Masalah menimpanya dengan bertubi-tubi kali ini. Belum juga ia selesai dari keterkejutannya karena suaminya menikah dengan mantan pacarnya, kini kesehatan ayahnya pun menurun dan harus menjalani prosedur pemasangan ring di jantungnya.Meski prosedur yang hanya memakan waktu 30 menit itu berhasil dilakukan dengan baik tanpa kendala, tapi tetap saja tidak menutupi fakta bahwa pernah ada penyumbatan pembuluh darah di jantungnya.Itu berarti Ayahnya tidak boleh lagi mengalami kejadian berat yang menganggunya.“Bagaimana jadinya k
Ketika Kinan akhirnya keluar dari kamar setelah menerima panggilan telepon dari ibunya, barulah ia sadari bahwa keadaan rumah sudah dalam keadaan sepi.Ia termenung di tempatnya berdiri. Menatap ruang tamu yang menjadi saksi dimana pertengkaran terjadi, dimana sebuah fakta yang paling tidak ingin ia dengar keluar dari mulut suaminya.Bahunya kembali terkulai, namun dengan cepat Kinan menggeleng keras berupaya untuk menepisnya.“Bukan itu yang menjadi fokusku sekarang, aku harus menunggu Mas Raga pulang,” gumamnya pelan diiringi sebuah rasa miris yang memenuhi perasaannya.Beberapa saat yang lalu ia menginginkan pria itu enyah dari hidupnya, namun kini ia harus mencari kembali pria itu.Kinan tertawa sumbang. Mentertawakan hidupnya.Sejurus kemudian, pintu depan terbuka diikuti dengan kemunculan Raga yang tampaknya terkejut melihat Kinan berdiri mematung di ruang tengah rumahnya.“Kinan?” tanyanya sedikit terkejut ketika melihat istrinya berdiri mematung di tengah rumah. Ia melangkah m
Kinan bergeming. Tak mampu untuk menggapai ponsel yang masih berdering di depannya. “Apa yang akan aku katakan pada Ibu?” gumamnya lirih. Ia tahu betul, ibunya mempunyai intuisi yang sangat kuat apalagi jika itu dikaitkan dengan anak semata wayangnya. Bagaimana jika ibunya tahu jika pernikahannya dengan Raga sudah hancur? Bagaimana jika ayahnya mendengar kabar ini akan langsung drop? Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati ayahnya ketika tahu Kinan tidak diperlakukan baik seperti janji Raga kepada ayahnya. Bahwa ia akan menjaga putri semata wayangnya. Bahwa ia akan menjadi suami yang baik untuk putrinya. Nyeri di hatinya kembali muncul. Begitu menusuk. Air mata tak berhenti mengalir. Kinan terkulai lemas di pinggir ranjang sembari memukul dadanya yang terasa sesak. Megap-megap mencari udara. Wajah Kinan semakin pucat pasi. Ia tidak bisa membayangkan itu semua. “Ya Tuhan, kenapa aku harus ditempatkan pada posisi seperti ini? Apa salahku ya Tuhan?” jerit suara hat
Ruang tamu rumah terasa hening sejak kedatangan mereka beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang berani membuka mulut. Semuanya menunggu Raga yang masih terpaku dalam duduknya. Bahunya tampak sudah terkulai lemas. Sementara Nenek Lasmi dan Tari masih memilih diam seribu bahasa. Kinan masih terus meremas kedua tangannya. Hal yang sejak tadi ia lakukan hanya untuk membantu menenangkan dirinya. Seribu pertanyaan rasanya sudah berkumpul dalam benaknya namun lidahnya mendadak kelu. “Kinan, ada sesuatu yang belum aku ceritakan padamu.” Raga membuka suara pada menit berikutnya. Semua pasang mata kini tertuju pada sosok Raga yang sudah mengangkat kepalanya. Mulutnya kembali tertutup rapat. Memberi jeda. Detik berlalu lebih lambat dari biasanya. “Aku sudah menikahi Tari.” Degup jantungnya semula berdetak kencang, kini seolah berhenti seketika. Kinan mengerjapkan mata beberapa kali. Detik berikutnya telinganya berdengung kencang hingga membuatnya sakit. “Apa maksudnya?” Suaranya tercekat
“Sus, saya nggak apa-apa kan? Saya udah boleh pulang yah?” Kinan terus menanyakan hal yang sama sejak kedatangannya ke instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta terdekat dari tempat kejadian tadi.“Sebentar ya, Bu. Dokter masih harus lihat hasil rontgen dulu,” jawab Suster ramah sebelum kemudian pergi berlalu.Kinan hanya bisa mendesah pelan di ranjang IGD yang diberi sekat kanan dan kirinya. Sekali lagi, ia terus mengecek ponselnya beberapa menit sekali hanya untuk memastikan bahwa Raga telah membaca pesannya. Namun, hasilnya nihil.Kinanti: Mas, kamu dimana? Apa sudah dalam perjalanan pulang? Seharusnya hari ini pulang kan?Serentetan pesan dan panggilan tak terjawab sudah ia lakukan tapi tak kunjung mendapatkan hasil. Suam
Setelah kejadian itu, perasaannya mulai makin tidak karuan. Berulang kali ia mengatakan bahwa sikap Raga yang kontradiktif dengan pernyataannya sebelumnya membuat mereka kerap kali dilanda pertikaian kecil. “Aku hanya spontan, Kinan. Kalaupun itu bukan Tari, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama,” tuturnya pada saat itu. Tapi Kinan tentu saja tidak mudah langsung percaya. Firasatnya mengatakan hal yang lain. Namun, Kinan tidak bisa semakin mencecar suaminya hanya berdasarkan firasatnya saja. Terlebih mereka sudah beberapa kali berada dalam situasi panas. “Percaya sama aku, Kinan. Aku khawatir bukan berarti aku masih ada rasa sama dia. Aku hanya spontan dan kejadiannya itu begitu cepat. Kamu harus percaya aku yah,” tutup Raga malam hari itu. Katanya, apa yang kita takutnya, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan bukan? Meski berat, tapi Kinan mencoba untuk menekan rasa tidak nyaman yang masih bercokol di hatinya. Setengah berharap bahwa ini semua hanya terjadi dalam kepalan
Kecurigaan yang Kinan rasakan selama hampir sebulan terakhir perlahan mulai luntur setelah Raga akhirnya mulai sedikit terbuka dengan mengajaknya pulang menemui Nenek Lasmi setelah urusan seminarnya selesai. “Assalamualaikum.” Kinan mengucapkan salam seraya melangkahkan kaki di jalan setapak menuju pintu masuk. “Waalaikumsalam.” Seorang wanita berambut panjang yang digelung cepol muncul dari dalam rumah Nenek Lasmi. Seketika saja langkah Kinan terhenti. Matanya menatap penampilan Tari yang mengenakan baju terusan khas rumahan berwarna hijau muda bermotif bunga dan dedaunan. Keningnya mengerut dan benaknya sudah dipenuhi satu pertanyaan besar. Kenapa Tari sudah berkunjung sepagi ini dengan pakaian yang lebih pantas disebut baju tidur itu? “Halo Kinan,” sapaan Tari dengan suara yang terlalu kentara dibuat-buat itu menyadarkannya dari lamunan.Kinan menyunggingkan senyum terpaksa. “Tari? Sudah berkunjung sepagi ini?” Bukannya menjawab, wanita itu hanya menyunggingkan senyum penuh m