Sayup-sayup Kinan mendengar dering ponsel dari dalam kamarnya. Buru-buru ia mematikan kompor dan setengah berlari mengambil ponsel yang layarnya tertera nama suaminya yang tengah memanggil.
Kondisi dirinya saat ini sudah cukup jauh lebih baik, berkat istirahatnya yang cukup dan juga obat yang sempat ditinggalkan Raga untuk dirinya. Maka ketika sore hari menjelang, ia buru-buru bangkit untuk menyiapkan makan malam untuk kepulangan suaminya.
“Halo, Mas Raga?”
“Kinan, apa kamu belum baca pesanku?” sahut Raga dari seberang panggilan. Tersirat kecemasan dari nada suaranya.
“Oh, maaf, Mas. Aku lagi di dapur tadi jadi nggak terdengar ada bunyi pesan masuk. Ada apa, Mas? Apa kamu sudah di jalan pulang?”
“Sepertinya aku tidak bisa pulang malam ini.” Pria itu mendesah berat.
Kinan mengerutkan keningnya. “Ada yang terjadi, Mas?”
“Tadi Nenek jatuh di dapur dan sekarang sedang ada di puskesmas.”
Kinan terkesiap. Matanya terbelalak saking terkejutnya. “Astaghfirullah. Bagaimana keadaan Nenek sekarang? Apa yang terluka?”
“Lutut dan kaki Nenek mengalami cedera, untungnya tidak ada benturan di tempat lain terutama di kepala. Nenek sempat memegang kusen pintu sebelum benar-benar terjatuh.”
“Bagaimana sampai bisa jatuh, Mas?”
“Sepertinya undakannya terlalu licin karena cipratan minyak.”
Kinan mendesah pelan. Meski dirinya tidak akrab dengan Sang Nenek yang belakangan ini sudah terlalu kentara menunjukkan rasa ketidaksukaannya, Kinan tidak memungkiri bahwa ia juga turut mengkhawatirkan wanita yang sudah lanjut usia itu.
“Kalau begitu, aku siap-siap segera kesana ya?” Kinan sudah setengah beranjak dari duduknya namun tertahan oleh suara suaminya.
“Lebih baik kamu tunggu di rumah saja.”
“Kenapa, Mas?”
“Sudah terlalu sore, kalau kamu paksain pergi sekarang akan sampai waktu malam. Aku yang khawatir kalau kamu kesini sendirian. Apalagi bisa dibilang kendaraannya juga belum memadai.”
Dalam hati Kinan membenarkan. Satu-satunya moda transportasi umum hanyalah bus tiga perempat dan hanya berhenti sampai di terminal kota. Untuk lanjut sampai ke pedesaan yang letaknya berada di pegunungan, Kinan harus lanjut menggunakan angkot yang mana hanya beroperasi hingga jam 8 malam saja.
‘Waktunya tidak cukup,” ujar Kinan dari dalam hatinya sembari menatap jam dinding yang sudah menunjukkan lewat maghrib.
“Tapi Nenek…”
“Aku lihat dulu perkembangan Nenek bagaimana sampai besok ya. Nanti kita bicarakan lagi bagaimana selanjutnya.”
“Baiklah. Kabarin aku secepatnya ya, Mas. Kalau aku perlu menemani Nenek selama disana, aku bersedia kok.” Kinan berkata lembut.
“Makasih ya, Sayang. Aku tutup dulu ya.”
Kinan menyungging senyumnya mendengar suara lembut dari suaminya setiap kali pria itu memanggilnya dengan panggilan sayang.
“Mas?” tanyanya kemudian dengan hati-hati setelah menyadari sesuatu.
“Iya, kenapa?”
“Apa… Apa hari ini Tari datang menemui Nenek?” Kinan menggigit bibir bawahnya sementara jantungnya berdegup semakin kencang.
“Tidak. Dia tidak datang,” jawab Raga setelah cukup lama terdiam.
Namun, anehnya mendengar jawaban dari suaminya tidak langsung membuat perasaanya menjadi lega.
***
Raga menatap layar ponsel selama semenit penuh setelah menutup sambungan teleponnya pada Kinan, istrinya.
Kenapa ia malah berbohong pada Kinan? Padahal jika ia berkata jujur, itu bukan jadi hal yang masalah karena sejak awal Kinan sudah tahu jika Tari kerap kali datang berkunjung ke rumah Nenek. Bahkan saat kedatangannya saja, sudah ada Tari yang ternyata menginap di rumah neneknya.
Ini adalah pertama kali Raga berkata bohong pada Kinan. Perlahan perasaan bersalah mulai memenuhi hatinya.
Sempat terlintas di dalam benaknya untuk kembali menghubungi istrinya tapi belum sempat ia melakukannya, Ia dikejutkan dengan panggilan suster yang memintanya untuk menemui Sang Dokter.
Setengah jam kemudian, Nenek sudah dipindahkan ke bagian rawat inap yang terdiri dari tiga ranjang pasien, dua diantaranya terisi termasuk ranjang yang ditempati Nenek Lasmi yang terletak di sudut ruangan persis di sebelah jendela kecil.
“Raga…” panggil Nenek Lasmi dengan suara yang serak.
“Ya, Nek. Raga disini.” Raga mengulurkan tangan dan menggenggam tangan ringkih neneknya.
“Nenek mau pulang.” Wanita itu berusaha untuk bangkit dari tidurnya dengan susah payah.
“Nenek belum boleh pulang. Kata Dokter mau dilihat dulu kondisinya sampai besok.”
Nenek Lasmi menggelengkan kepalanya. “Nenek baik-baik saja.”
“Nggak mungkin baik-baik saja. Lutut dan kaki Nenek cedera. Kemungkinan Nenek akan pakai tongkat atau kursi roda.” Raga mencicit. Matanya menatap perban yang membelit kaki kanan Neneknya yang sudah ringkih itu.
Nenek Lasmi terdiam. Matanya mulai berlinang air mata. Setengah memaksa untuk dipulangkan.
“Besok pagi ya, Nek. Raga usahain agar bisa pulang setelah konsultasi sama Dokter.”
Nenek Lasmi lama menatap wajah cucu kesayangannya yang juga setengah memelas sebelum akhirnya setuju.
“Kamu mau nemenin Nenek disini?”
Raga memberikan anggukan mantap. Tangannya meremas pelan telapak tangan Nenek. “Raga disini, nemenin Nenek.”
“Istrimu bagaimana? Nggak apa-apa kamu nggak jadi pulang hari ini?”
“Dia sudah diberitahu, malahan dia mau kesini nengokin Nenek tapi Raga melarangnya karena akses kendaraan yang sulit.”
Nenek hanya memberikan anggukan singkat tanpa berminat untuk bertanya lebih lanjut.
“Nek, gimana kalau Nenek ikut tinggal sama Raga dan Kinan lagi?”
Sontak Nenek menoleh. Lama ia menatap Raga sebelum akhirnya ia menjawab pelan. “Nenek nggak betah di rumah kamu, lebih suka di rumah.”
“Nenek kan lagi sakit begini, siapa yang akan jagain Nenek?”
“Ada Esih, dan juga ada Tari…”
“Jangan ngerepotin Tari terus, Nek. Kalau Nenek nggak mau ikut ke Kota, aku minta Kinan buat nemenin Nenek di rumah yah.”
Nenek menggelengkan kepalanya. “Nggak usah, Raga. Nenek lebih nyaman dengan Tari.”
“Memangnya kenapa dengan Kinan?”
“Raga, sewaktu Nenek jatuh tadi. Hanya ada satu yang Nenek khawatirkan yaitu Nenek belum sempat melihatmu menggendong momongan yang sudah lama kamu tunggu-tunggu,” jawab Nenek tanpa menyinggung-nyinggung tentang Kinan.
“Nenek jangan khawatirkan itu, semuanya pasti sudah diatur sama Allah. Yang penting sekarang itu adalah Nenek fokus sama diri Nenek sendiri untuk masa pemulihan.”
Wanita tua renta itu menggelengkan kepalanya lemah. “Tapi Nenek ingin melihat kamu punya anak. Anggaplah ini permintaan terakhir Nenek.
“Permintaan terakhir? Kok ngomongnya begitu?”
“Bagaimanapun, umur Nenek sudah sangat renta sekarang, Raga. Bisa aja Nenek meninggal besok, kan?”
Raga menahan napas. Wajahnya berubah menjadi pucat begitu mendengar penuturan Nenek. Selama ini Raga sebenarnya sudah menyadarinya, kian hari wajah Nenek berubah menjadi semakin layu. Semakin ia mencoba untuk mempersiapkan dimana hari ia akan kehilangan Nenek, semakin ia tidak kuat menghadapinya.
Raga meremas telapak tangan nenek dengan lembut, wajahnya tertunduk dalam.
“Kamu nggak mau yah nurutin permintaan Nenek?”
Raga menggelengkan kepalanya lemah. “Bukannya nggak mau, Nek. Raga hanya bingung. Semua ini bukan kuasa Raga.”
“Ada yang namanya usaha, Raga.” Nenek menyunggingkan senyumnya. “Tapi bukan usaha yang sudah kamu dan Kinan lakukan selama ini.”
“Maksudnya, Nek?” Raga mengerutkan kening. Sementara Nenek Lasmi menatapnya dengan sorot matanya yang sudah layu itu penuh dengan makna.
“Menikahlah dengan Astari.”
***
“Mas?” Kinan menyambut kedatangan suaminya dua hari kemudian. Pria itu tampaknya mengambil satu hari cuti dadakan karena kejadian ini.Kinan mengulurkan tangan dan mengecup lembut punggung tangan Raga yang tampak lebih diam dari biasanya. Tidak ada senyuman yang keluar dari bibir Raga. Wajah pria itu tampak berbeda dari biasanya.‘Mungkin itu karena Mas Raga terlalu lelah karena insiden kemarin.’ Kinan menepis pikiran negatif yang sudah mulai menari-nari dalam benaknya.Raga melangkahkan kakinya gontai menuju dalam rumah sederhana yang ia beli melalui proses KPR sebelum ia menikahi Kinan tiga tahun yang lalu. Kinan pikir, pria itu akan duduk di sofa tapi langkah kakinya masih berjalan mantap menuju dapur hingga membuka lemari pendingin dan mengambil satu botol air mineral dingin lalu meneguknya seperti orang yang kehausan atau seperti orang yang sedang ingin mendinginkan kepalanya yang panas? “Apa terjadi sesuatu, Mas?” Kinan tak kuasa menahan rasa penasarannya. Raga sontak terbatu
Kecurigaan yang Kinan rasakan selama hampir sebulan terakhir perlahan mulai luntur setelah Raga akhirnya mulai sedikit terbuka dengan mengajaknya pulang menemui Nenek Lasmi setelah urusan seminarnya selesai. “Assalamualaikum.” Kinan mengucapkan salam seraya melangkahkan kaki di jalan setapak menuju pintu masuk. “Waalaikumsalam.” Seorang wanita berambut panjang yang digelung cepol muncul dari dalam rumah Nenek Lasmi. Seketika saja langkah Kinan terhenti. Matanya menatap penampilan Tari yang mengenakan baju terusan khas rumahan berwarna hijau muda bermotif bunga dan dedaunan. Keningnya mengerut dan benaknya sudah dipenuhi satu pertanyaan besar. Kenapa Tari sudah berkunjung sepagi ini dengan pakaian yang lebih pantas disebut baju tidur itu? “Halo Kinan,” sapaan Tari dengan suara yang terlalu kentara dibuat-buat itu menyadarkannya dari lamunan.Kinan menyunggingkan senyum terpaksa. “Tari? Sudah berkunjung sepagi ini?” Bukannya menjawab, wanita itu hanya menyunggingkan senyum penuh m
Setelah kejadian itu, perasaannya mulai makin tidak karuan. Berulang kali ia mengatakan bahwa sikap Raga yang kontradiktif dengan pernyataannya sebelumnya membuat mereka kerap kali dilanda pertikaian kecil. “Aku hanya spontan, Kinan. Kalaupun itu bukan Tari, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama,” tuturnya pada saat itu. Tapi Kinan tentu saja tidak mudah langsung percaya. Firasatnya mengatakan hal yang lain. Namun, Kinan tidak bisa semakin mencecar suaminya hanya berdasarkan firasatnya saja. Terlebih mereka sudah beberapa kali berada dalam situasi panas. “Percaya sama aku, Kinan. Aku khawatir bukan berarti aku masih ada rasa sama dia. Aku hanya spontan dan kejadiannya itu begitu cepat. Kamu harus percaya aku yah,” tutup Raga malam hari itu. Katanya, apa yang kita takutnya, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan bukan? Meski berat, tapi Kinan mencoba untuk menekan rasa tidak nyaman yang masih bercokol di hatinya. Setengah berharap bahwa ini semua hanya terjadi dalam kepalan
“Sus, saya nggak apa-apa kan? Saya udah boleh pulang yah?” Kinan terus menanyakan hal yang sama sejak kedatangannya ke instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta terdekat dari tempat kejadian tadi.“Sebentar ya, Bu. Dokter masih harus lihat hasil rontgen dulu,” jawab Suster ramah sebelum kemudian pergi berlalu.Kinan hanya bisa mendesah pelan di ranjang IGD yang diberi sekat kanan dan kirinya. Sekali lagi, ia terus mengecek ponselnya beberapa menit sekali hanya untuk memastikan bahwa Raga telah membaca pesannya. Namun, hasilnya nihil.Kinanti: Mas, kamu dimana? Apa sudah dalam perjalanan pulang? Seharusnya hari ini pulang kan?Serentetan pesan dan panggilan tak terjawab sudah ia lakukan tapi tak kunjung mendapatkan hasil. Suam
Ruang tamu rumah terasa hening sejak kedatangan mereka beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang berani membuka mulut. Semuanya menunggu Raga yang masih terpaku dalam duduknya. Bahunya tampak sudah terkulai lemas. Sementara Nenek Lasmi dan Tari masih memilih diam seribu bahasa. Kinan masih terus meremas kedua tangannya. Hal yang sejak tadi ia lakukan hanya untuk membantu menenangkan dirinya. Seribu pertanyaan rasanya sudah berkumpul dalam benaknya namun lidahnya mendadak kelu. “Kinan, ada sesuatu yang belum aku ceritakan padamu.” Raga membuka suara pada menit berikutnya. Semua pasang mata kini tertuju pada sosok Raga yang sudah mengangkat kepalanya. Mulutnya kembali tertutup rapat. Memberi jeda. Detik berlalu lebih lambat dari biasanya. “Aku sudah menikahi Tari.” Degup jantungnya semula berdetak kencang, kini seolah berhenti seketika. Kinan mengerjapkan mata beberapa kali. Detik berikutnya telinganya berdengung kencang hingga membuatnya sakit. “Apa maksudnya?” Suaranya tercekat
Kinan bergeming. Tak mampu untuk menggapai ponsel yang masih berdering di depannya. “Apa yang akan aku katakan pada Ibu?” gumamnya lirih. Ia tahu betul, ibunya mempunyai intuisi yang sangat kuat apalagi jika itu dikaitkan dengan anak semata wayangnya. Bagaimana jika ibunya tahu jika pernikahannya dengan Raga sudah hancur? Bagaimana jika ayahnya mendengar kabar ini akan langsung drop? Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati ayahnya ketika tahu Kinan tidak diperlakukan baik seperti janji Raga kepada ayahnya. Bahwa ia akan menjaga putri semata wayangnya. Bahwa ia akan menjadi suami yang baik untuk putrinya. Nyeri di hatinya kembali muncul. Begitu menusuk. Air mata tak berhenti mengalir. Kinan terkulai lemas di pinggir ranjang sembari memukul dadanya yang terasa sesak. Megap-megap mencari udara. Wajah Kinan semakin pucat pasi. Ia tidak bisa membayangkan itu semua. “Ya Tuhan, kenapa aku harus ditempatkan pada posisi seperti ini? Apa salahku ya Tuhan?” jerit suara hat
Ketika Kinan akhirnya keluar dari kamar setelah menerima panggilan telepon dari ibunya, barulah ia sadari bahwa keadaan rumah sudah dalam keadaan sepi.Ia termenung di tempatnya berdiri. Menatap ruang tamu yang menjadi saksi dimana pertengkaran terjadi, dimana sebuah fakta yang paling tidak ingin ia dengar keluar dari mulut suaminya.Bahunya kembali terkulai, namun dengan cepat Kinan menggeleng keras berupaya untuk menepisnya.“Bukan itu yang menjadi fokusku sekarang, aku harus menunggu Mas Raga pulang,” gumamnya pelan diiringi sebuah rasa miris yang memenuhi perasaannya.Beberapa saat yang lalu ia menginginkan pria itu enyah dari hidupnya, namun kini ia harus mencari kembali pria itu.Kinan tertawa sumbang. Mentertawakan hidupnya.Sejurus kemudian, pintu depan terbuka diikuti dengan kemunculan Raga yang tampaknya terkejut melihat Kinan berdiri mematung di ruang tengah rumahnya.“Kinan?” tanyanya sedikit terkejut ketika melihat istrinya berdiri mematung di tengah rumah. Ia melangkah m
Kinanti menyadari bahwa bahunya sudah semakin terkulai semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Meski Dokter mengatakan kondisi ayahnya masih bisa ditangani dengan baik tapi tetap tidak membuat wanita itu merasa tenang.Masalah menimpanya dengan bertubi-tubi kali ini. Belum juga ia selesai dari keterkejutannya karena suaminya menikah dengan mantan pacarnya, kini kesehatan ayahnya pun menurun dan harus menjalani prosedur pemasangan ring di jantungnya.Meski prosedur yang hanya memakan waktu 30 menit itu berhasil dilakukan dengan baik tanpa kendala, tapi tetap saja tidak menutupi fakta bahwa pernah ada penyumbatan pembuluh darah di jantungnya.Itu berarti Ayahnya tidak boleh lagi mengalami kejadian berat yang menganggunya.“Bagaimana jadinya k
“Hai Mbak, hari ini datang lebih siang?” Seorang barista muda menyapa kedatangan Kinan. “Iya nih, ada yang harus aku kerjakan dulu tadi.” Kinan membalas senyuman ramah barista itu. “Oh lagi sibuk banget sepertinya ya. Pesan seperti biasa?”Kinan mengangguk. “Tambah satu sloki espresso ya dan Butter Croissant satu.” “Siap, butuh kopi yang lebih strong banget kayaknya Mbak.” “Iya nih, deadline udah tinggal dikit lagi. Mesti dikebut.” “Sip, pesanannya sudah masuk. Mbak duduk aja dulu, nanti pesanannya aku yang anterin. Spot biasa juga masih kosong tuh, tumben. Biasanya rebutan. Jodohnya Mbak Kinan.” “Ah, bisa aja kamu. Makasih banyak, Jes.” Senyuman Kinan semakin mengembang. Barista yang bernama Jessica itu membalasnya dengan kedipan sebelah mata. Kinan berbalik badan dan menuju salah satu spot favoritnya yang terletak di sudut ruangan, sedikit tertutup karena adanya pilar yang menyembul di antara bangunan namun memiliki jendela besar yang bisa memantau pergerakan orang di luaran
Tari tak kuasa mengepalkan tangan dan meremas ujung dasternya. Gejolak amarah sudah mulai memenuhi hatinya. Terlebih ketika pria itu mulai bangkit dan berjalan memasuki kamarnya yang ditempati bersama Kinan. Matanya berkilat tajam ke arah pintu yang tertutup rapat itu. “Jangan dipikirin apa kata Raga. Sekarang dia boleh ngomong begitu, tapi kita nggak pernah tahu apa yang terjadi kedepannya.” Nenek Lasmi berkata. Tari menoleh. Melepaskan genggamannya pada ujung daster. Melemaskan ototnya dan kembali mengatur emosinya. “Iya, Nek. Aku paham kok. Ah, Kinan begitu beruntung mendapatkan suami seperti Raga.” Tari mengulas senyumnya terpaksa. ‘Mestinya aku yang mendapatkan Raga kala ini,’ lanjutnya dalam hati. Matanya terpaku pada pintu kamar yang tertutup. Kamar kedua yang terletak di paling belakang rumah ini bisa dibilang tidak cukup layak untuk disebut kamar. Kini ia harus menempati kamar itu bersama dengan Nenek Lasmi yang semakin membuatnya sesak. ‘Seharusnya aku yang menempati ka
“Maksudnya gimana? Nenek ingin tinggal disini?” tanya Kinan sekali lagi dengan kening yang masih mengerut. “Bukan cuma Nenek aja, tapi Tari juga.” Wanita itu menoleh dan menatap Tari yang berdiri tak jauh darinya. Kinan mengikuti padangan Nenek. Wanita itu masih sama diamnya sejak kemarin. Apa dia mendadak jadi bisu? pikir Kinan jengah. “Bukannya Mas Raga sudah menyewakan sebuah rumah untuk Tari tinggali?” tanya Kinan kemudian. “Benar. Lalu setelah dipikir-pikir, Raga akan mengeluarkan uang dua kali lipat. Untuk KPR rumah ini dan untuk biaya sewa bulanan untuk rumah kontrakan. Sementara dia hanya bekerja sendirian, tak ada yang membantu. Sementara itu, rumah ini ada dua kamar tidur dan luasnya juga pas untuk ditinggali empat orang. Bukankah lebih baik menekan biaya pengeluaran? Kasihan Raga capek bekerja dan tidak ada yang membantu.” Nenek memberikan penjelasan seraya melayangkan tatapan yang merendahkan. “Bukankah sejak awal sudah diputuskan seperti itu? Kenapa sekarang menyes
Kinanti menyadari bahwa bahunya sudah semakin terkulai semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Meski Dokter mengatakan kondisi ayahnya masih bisa ditangani dengan baik tapi tetap tidak membuat wanita itu merasa tenang.Masalah menimpanya dengan bertubi-tubi kali ini. Belum juga ia selesai dari keterkejutannya karena suaminya menikah dengan mantan pacarnya, kini kesehatan ayahnya pun menurun dan harus menjalani prosedur pemasangan ring di jantungnya.Meski prosedur yang hanya memakan waktu 30 menit itu berhasil dilakukan dengan baik tanpa kendala, tapi tetap saja tidak menutupi fakta bahwa pernah ada penyumbatan pembuluh darah di jantungnya.Itu berarti Ayahnya tidak boleh lagi mengalami kejadian berat yang menganggunya.“Bagaimana jadinya k
Ketika Kinan akhirnya keluar dari kamar setelah menerima panggilan telepon dari ibunya, barulah ia sadari bahwa keadaan rumah sudah dalam keadaan sepi.Ia termenung di tempatnya berdiri. Menatap ruang tamu yang menjadi saksi dimana pertengkaran terjadi, dimana sebuah fakta yang paling tidak ingin ia dengar keluar dari mulut suaminya.Bahunya kembali terkulai, namun dengan cepat Kinan menggeleng keras berupaya untuk menepisnya.“Bukan itu yang menjadi fokusku sekarang, aku harus menunggu Mas Raga pulang,” gumamnya pelan diiringi sebuah rasa miris yang memenuhi perasaannya.Beberapa saat yang lalu ia menginginkan pria itu enyah dari hidupnya, namun kini ia harus mencari kembali pria itu.Kinan tertawa sumbang. Mentertawakan hidupnya.Sejurus kemudian, pintu depan terbuka diikuti dengan kemunculan Raga yang tampaknya terkejut melihat Kinan berdiri mematung di ruang tengah rumahnya.“Kinan?” tanyanya sedikit terkejut ketika melihat istrinya berdiri mematung di tengah rumah. Ia melangkah m
Kinan bergeming. Tak mampu untuk menggapai ponsel yang masih berdering di depannya. “Apa yang akan aku katakan pada Ibu?” gumamnya lirih. Ia tahu betul, ibunya mempunyai intuisi yang sangat kuat apalagi jika itu dikaitkan dengan anak semata wayangnya. Bagaimana jika ibunya tahu jika pernikahannya dengan Raga sudah hancur? Bagaimana jika ayahnya mendengar kabar ini akan langsung drop? Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati ayahnya ketika tahu Kinan tidak diperlakukan baik seperti janji Raga kepada ayahnya. Bahwa ia akan menjaga putri semata wayangnya. Bahwa ia akan menjadi suami yang baik untuk putrinya. Nyeri di hatinya kembali muncul. Begitu menusuk. Air mata tak berhenti mengalir. Kinan terkulai lemas di pinggir ranjang sembari memukul dadanya yang terasa sesak. Megap-megap mencari udara. Wajah Kinan semakin pucat pasi. Ia tidak bisa membayangkan itu semua. “Ya Tuhan, kenapa aku harus ditempatkan pada posisi seperti ini? Apa salahku ya Tuhan?” jerit suara hat
Ruang tamu rumah terasa hening sejak kedatangan mereka beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang berani membuka mulut. Semuanya menunggu Raga yang masih terpaku dalam duduknya. Bahunya tampak sudah terkulai lemas. Sementara Nenek Lasmi dan Tari masih memilih diam seribu bahasa. Kinan masih terus meremas kedua tangannya. Hal yang sejak tadi ia lakukan hanya untuk membantu menenangkan dirinya. Seribu pertanyaan rasanya sudah berkumpul dalam benaknya namun lidahnya mendadak kelu. “Kinan, ada sesuatu yang belum aku ceritakan padamu.” Raga membuka suara pada menit berikutnya. Semua pasang mata kini tertuju pada sosok Raga yang sudah mengangkat kepalanya. Mulutnya kembali tertutup rapat. Memberi jeda. Detik berlalu lebih lambat dari biasanya. “Aku sudah menikahi Tari.” Degup jantungnya semula berdetak kencang, kini seolah berhenti seketika. Kinan mengerjapkan mata beberapa kali. Detik berikutnya telinganya berdengung kencang hingga membuatnya sakit. “Apa maksudnya?” Suaranya tercekat
“Sus, saya nggak apa-apa kan? Saya udah boleh pulang yah?” Kinan terus menanyakan hal yang sama sejak kedatangannya ke instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta terdekat dari tempat kejadian tadi.“Sebentar ya, Bu. Dokter masih harus lihat hasil rontgen dulu,” jawab Suster ramah sebelum kemudian pergi berlalu.Kinan hanya bisa mendesah pelan di ranjang IGD yang diberi sekat kanan dan kirinya. Sekali lagi, ia terus mengecek ponselnya beberapa menit sekali hanya untuk memastikan bahwa Raga telah membaca pesannya. Namun, hasilnya nihil.Kinanti: Mas, kamu dimana? Apa sudah dalam perjalanan pulang? Seharusnya hari ini pulang kan?Serentetan pesan dan panggilan tak terjawab sudah ia lakukan tapi tak kunjung mendapatkan hasil. Suam
Setelah kejadian itu, perasaannya mulai makin tidak karuan. Berulang kali ia mengatakan bahwa sikap Raga yang kontradiktif dengan pernyataannya sebelumnya membuat mereka kerap kali dilanda pertikaian kecil. “Aku hanya spontan, Kinan. Kalaupun itu bukan Tari, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama,” tuturnya pada saat itu. Tapi Kinan tentu saja tidak mudah langsung percaya. Firasatnya mengatakan hal yang lain. Namun, Kinan tidak bisa semakin mencecar suaminya hanya berdasarkan firasatnya saja. Terlebih mereka sudah beberapa kali berada dalam situasi panas. “Percaya sama aku, Kinan. Aku khawatir bukan berarti aku masih ada rasa sama dia. Aku hanya spontan dan kejadiannya itu begitu cepat. Kamu harus percaya aku yah,” tutup Raga malam hari itu. Katanya, apa yang kita takutnya, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan bukan? Meski berat, tapi Kinan mencoba untuk menekan rasa tidak nyaman yang masih bercokol di hatinya. Setengah berharap bahwa ini semua hanya terjadi dalam kepalan