Kecurigaan yang Kinan rasakan selama hampir sebulan terakhir perlahan mulai luntur setelah Raga akhirnya mulai sedikit terbuka dengan mengajaknya pulang menemui Nenek Lasmi setelah urusan seminarnya selesai.
“Assalamualaikum.” Kinan mengucapkan salam seraya melangkahkan kaki di jalan setapak menuju pintu masuk.
“Waalaikumsalam.” Seorang wanita berambut panjang yang digelung cepol muncul dari dalam rumah Nenek Lasmi.
Seketika saja langkah Kinan terhenti. Matanya menatap penampilan Tari yang mengenakan baju terusan khas rumahan berwarna hijau muda bermotif bunga dan dedaunan. Keningnya mengerut dan benaknya sudah dipenuhi satu pertanyaan besar.
Kenapa Tari sudah berkunjung sepagi ini dengan pakaian yang lebih pantas disebut baju tidur itu?
“Halo Kinan,” sapaan Tari dengan suara yang terlalu kentara dibuat-buat itu menyadarkannya dari lamunan.
Kinan menyunggingkan senyum terpaksa. “Tari? Sudah berkunjung sepagi ini?”
Bukannya menjawab, wanita itu hanya menyunggingkan senyum penuh makna sebelum akhirnya menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah.
“Nenek ada di dalam.”
Dari tempatnya berdiri, Kinan bisa melihat bagaimana Tari mencuri pandang ke arah suaminya sebelum akhirnya berbalik badan memasuki rumah. Sementara di sebelahnya, Raga tampak bergeming tak nyaman. Hal itu tentu tak luput dari perhatian Kinan.
Semilir perasaan aneh mulai memasuki relung jiwanya. Perasaan was-was yang pernah ia kenali sejak pertemuannya dengan Tari kini kembali muncul.
Dengan langkah yang berat, Kinan menyeret kakinya memasuki rumah dan mendapati Sang Nenek sedang duduk di depan televisi sambil menikmati kue basah dan teh manis hangat sebagai menu sarapannya.
Pergelangan kaki Nenek Lasmi terlihat masih di balut dengan perban dan masih tampak cukup bengkak. Di sebelahnya, ada tongkat yang tersampir di sisi kursi.
“Nenek…” Kinan menghampiri Nenek Lasmi. Mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangan wanita itu. “Maafin Kinan baru sempat datang ke sini.”
“Iya, nggak apa-apa kok,” jawab Nenek Lasmi datar.
“Bagaimana dengan kakinya, Nek? Apa sudah lebih baik?”
“Alhamdulillah sudah lebih baik. Berkat bantuan Tari, bengkak di kaki juga udah sembuh. Seharusnya kontrol bulan depan udah boleh lepas perban.”
Kinan melirik Tari yang duduk tak jauh dari Nenek hanya menyunggingkan senyum simpul.
“Makasih ya, Tari udah mau repot-repot nemenin Nenek bolak-balik ke rumah.” Kinan memaksakan senyumannya.
“Sama-sama Kinan, nggak repot sama sekali kok.”
“Dia memang anak yang baik sampai-sampai mau tinggal bersama wanita tua ini demi memastikan semuanya aman dan berjalan dengan baik.”
Seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya, sontak saja Kinan menoleh.
“A-apa maksudnya, Nek? Tari tinggal di sini?” Matanya diam-diam melirik Tari yang masih bergeming di tempatnya duduk.
“Iya. Tari tinggal disini. Apa Raga tidak memberitahumu?”
Kinan mengerjapkan matanya. Keningnya berkerut. Informasi ini malah baru ia dengar dari mulut Nenek Lasmi. Bukan dari suaminya. Sontak saja ia menoleh ke arah Raga yang sedang duduk di kursi ruang tamu yang juga sedang memandangnya dengan wajah yang bisa dibilang pucat pasi.
Hati Kinan mencelos.
Pandangannya kembali berpaling ke arah Nenek Lasmi dan juga Tari yang tengah menatapnya dengan sorot mata penuh keingintahuan. Ujung matanya menangkap bahwa Tari tengah menyunggingkan senyum miring yang disembunyikan dengan gerakan membetulkan rambutnya yang sengaja ia urai.
“Oh, sepertinya Mas Raga pernah bilang tapi mungkin aku nggak ngeuh.” Kinan mengangkat kepalanya memalsukan senyumannya.
Tangannya mengepal dari balik punggungnya. Menahan untuk tidak meringis meski hatinya sudah pasti teriris.
Ia sengaja berbohong, demi harga dirinya. Dilihatnya sekali lagi, Raga mematung di tempatnya.
***
Selama ini Kinan selalu merasa bahwa Nenek Lasmi tidak pernah menyukainya. Nenek Lasmi tidak pernah repot-repot bertanya apa makanan kesukaannya, kapan tanggal ulang tahunnya. Sejak awal ia dikenalkan kepada Sang Nenek, Kinan yang selalu berusaha untuk mendekati dan mempelajari apa yang Nenek sukai dan yang tidak ia sukai.
Raga tidak punya orang tua. Mereka meninggal karena kecelakaan. Hanya Nenek Lasmi lah keluarga yang ia punya. Bahkan para tetangga dan para saudara sampai berkata bahwa Raga adalah anak bungsu Nenek Lasmi.
Belakangan, Kinan diberitahu bahwa sikap Nenek Lasmi memang cenderung keras, terlebih pada ucapannya yang seringkali membuat orang salah paham.
Kinan mencoba memaklumi itu semua. Meski ia dibesarkan di keluarga dengan tutur kata yang lembut. Tapi demi rasa cintanya kepada Raga dan keinginannya untuk menjadi bagian dari keluarga, Kinan menepis semua rasa itu.
Namun, semakin kesini, Nenek Lasmi seolah memperlihatkan rasa ketidaksukaannya. Terlebih ketika Kinan belum juga berhasil hamil.
Itu semua diperparah dengan kehadiran Astari, wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidup Raga dan satu-satunya wanita yang Nenek Lasmi restui sebagai istrinya Raga. Meski pada akhirnya hubungan mereka kandas dan keduanya menjalani peran masing-masing dalam hidupnya.
Takdir berkata lain, pertemuan mereka kembali seolah membuat Nenek Lasmi kembali mengungkit masa lalu dan tidak peduli dengan perasaan Kinan.
Seperti hari ini, Nenek Lasmi secara terang-terangan menginginkan Tari memasak untuk makan siang mereka bersama.
Dengan hati yang teriris perih, Kinan melipir ke halaman belakang Nenek. Duduk di sebuah kursi kayu sederhana sambil memandangi lanskap pegunungan dan sawah yang hijau.
Langit berubah menjadi kelabu, pertanda mungkin sebentar lagi akan hujan. Semilir angin menerpa kulitnya.
“Kenapa kamu sendirian disini?” Raga muncul dari dalam rumah.
Kinan tidak mengalihkan pandangannya. Membiarkan Raga akhirnya duduk di sebelahnya.
“Aku tahu kamu pasti marah sama aku,” lanjut pria itu lagi. Seolah sadar akan kesalahannya.
Lagi. Kinan memilih untuk tidak memberikan respon.
“Kinan… Sayang…,” panggil Raga bernada lembut.
“Kenapa kamu nggak cerita kalau ternyata Tari sudah tinggal di rumah bersama Nenek?” Kinan akhirnya membuka suara. Nada suaranya datar tapi kalimatnya penuh dengan penekanan.
Raga memberikan anggukan lemah.
Kinan menarik napas panjang lalu menghembuskannya keras.
“Bukan maksudku nggak memberitahumu.”
“Lalu?”
“Aku hanya nggak menyangka kalau permintaan Nenek disetujui oleh Tari.” Raga menundukkan kepalanya. Nada suaranya melemah.
“Itu berarti pembicaraan itu pernah ada.” Kinan menarik kesimpulan. “Bukan sekali dua kali, kamu nggak terbuka sama aku, Mas.”
“Tapi aku kan nggak berbohong apapun sama kamu.”
“Dengan kamu nggak terbuka soal ini, itu sama aja dengan berbohong,” jawab Kinan ketus.
“Bukan begitu, Sayang. Aku hanya merasa hal ini tidak ada hubungannya dengan kita. Toh, keputusan Tari untuk tinggal bersama Nenek, bukan sesuatu yang merugikan kita kan?”
Kinan sontak menoleh. Mengerjapkan matanya. Seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya.
“Aku pikir kamu sadar kalau aku tidak nyaman.”
Perlahan Raga meraih tangan istrinya dan membelainya lembut. “Kenapa kamu harus merasa tidak nyaman? Menurutku ini adalah win-win solution. Nenek ada yang menemani, kita jadi tidak usah khawatir.”
“Karena dia adalah mantan pacar kamu,” jawab Kinan setengah berbisik. “Awalnya aku mencoba untuk tidak terlalu mikirin. Tapi entah kenapa hati aku tetap merasa tidak tenang.”
Raga tercenung. Yang ia lakukan hanyalah menatap istrinya dengan sorot mata yang lain.
“Aku dan dia hanya pernah menjalani kehidupan di masa lalu. Sekarang aku sudah punya kamu. Dia juga sudah punya jalan hidupnya sendiri,” lanjut Raga. Nada suaranya sedikit bergetar dan Kinan tidak menyadari hal itu.
Kepalanya masih tertunduk. Masih bergumul dengan perasaannya sendiri.
Melihat itu, Raga menarik istrinya ke dalam pelukannya. Membelai lembut punggung Kinan hingga wanita itu sedikit merasa lebih baik.
“Sudah, jangan terlalu dipikirin. Semuanya akan baik-baik saja. Sebentar lagi kan kamu ulang tahun, kamu mau kado apa?” Raga mengalihkan pembicaraan.
“Entahlah, Mas. Aku nggak mengharapkan kado lain selain kehadiran anak di dalam rahimku.”
“Pasti. Suatu saat nanti kamu pasti segera hamil. Aku yakin itu.” Raga menjawab mantap. “Kalau begitu, kita makan malam di luar saja bagaimana? Perayaan kecil-kecilan tapi juga tetap spesial? Katamu mau coba fine dining?”
Mau tidak mau, Kinan tersenyum mendengarnya. “Boleh juga. Tapi ini bukan sogokan kan?”
Raga tergelak lalu terkekeh pelan. “Anggaplah ini sogokan. Aku nggak apa-apa kok. Akan rela melakukan itu demi melihatmu tersenyum.”
“Gombalnya…”
Mereka berdua tertawa bersama selama beberapa saat sebelum kemudian disadarkan dengan sebuah benda yang jatuh diiringi dengan suara rintihan menahan sakit.
Baik Raga maupun Kinan sontak menoleh ke belakang dan mendapati Tari sedang mengaduh kesakitan. Di tanah sudah berserakan cangkir dan teko yang sudah pecah.
“Tari!” Raga bangkit dan langsung menghampiri wanita itu. Menggapai tangannya yang sudah memerah akibat tersiram air panas.
“Aduh. Panas.”
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya. Nada suaranya menyiratkan kekhawatiran.
Dari tempatnya berdiri, Kinan hanya mampu menatap kejadian yang tepat berada di depannya dengan sorot mata kebingungan.
***
Setelah kejadian itu, perasaannya mulai makin tidak karuan. Berulang kali ia mengatakan bahwa sikap Raga yang kontradiktif dengan pernyataannya sebelumnya membuat mereka kerap kali dilanda pertikaian kecil. “Aku hanya spontan, Kinan. Kalaupun itu bukan Tari, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama,” tuturnya pada saat itu. Tapi Kinan tentu saja tidak mudah langsung percaya. Firasatnya mengatakan hal yang lain. Namun, Kinan tidak bisa semakin mencecar suaminya hanya berdasarkan firasatnya saja. Terlebih mereka sudah beberapa kali berada dalam situasi panas. “Percaya sama aku, Kinan. Aku khawatir bukan berarti aku masih ada rasa sama dia. Aku hanya spontan dan kejadiannya itu begitu cepat. Kamu harus percaya aku yah,” tutup Raga malam hari itu. Katanya, apa yang kita takutnya, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan bukan? Meski berat, tapi Kinan mencoba untuk menekan rasa tidak nyaman yang masih bercokol di hatinya. Setengah berharap bahwa ini semua hanya terjadi dalam kepalan
“Sus, saya nggak apa-apa kan? Saya udah boleh pulang yah?” Kinan terus menanyakan hal yang sama sejak kedatangannya ke instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta terdekat dari tempat kejadian tadi.“Sebentar ya, Bu. Dokter masih harus lihat hasil rontgen dulu,” jawab Suster ramah sebelum kemudian pergi berlalu.Kinan hanya bisa mendesah pelan di ranjang IGD yang diberi sekat kanan dan kirinya. Sekali lagi, ia terus mengecek ponselnya beberapa menit sekali hanya untuk memastikan bahwa Raga telah membaca pesannya. Namun, hasilnya nihil.Kinanti: Mas, kamu dimana? Apa sudah dalam perjalanan pulang? Seharusnya hari ini pulang kan?Serentetan pesan dan panggilan tak terjawab sudah ia lakukan tapi tak kunjung mendapatkan hasil. Suam
Ruang tamu rumah terasa hening sejak kedatangan mereka beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang berani membuka mulut. Semuanya menunggu Raga yang masih terpaku dalam duduknya. Bahunya tampak sudah terkulai lemas. Sementara Nenek Lasmi dan Tari masih memilih diam seribu bahasa. Kinan masih terus meremas kedua tangannya. Hal yang sejak tadi ia lakukan hanya untuk membantu menenangkan dirinya. Seribu pertanyaan rasanya sudah berkumpul dalam benaknya namun lidahnya mendadak kelu. “Kinan, ada sesuatu yang belum aku ceritakan padamu.” Raga membuka suara pada menit berikutnya. Semua pasang mata kini tertuju pada sosok Raga yang sudah mengangkat kepalanya. Mulutnya kembali tertutup rapat. Memberi jeda. Detik berlalu lebih lambat dari biasanya. “Aku sudah menikahi Tari.” Degup jantungnya semula berdetak kencang, kini seolah berhenti seketika. Kinan mengerjapkan mata beberapa kali. Detik berikutnya telinganya berdengung kencang hingga membuatnya sakit. “Apa maksudnya?” Suaranya tercekat
Kinan bergeming. Tak mampu untuk menggapai ponsel yang masih berdering di depannya. “Apa yang akan aku katakan pada Ibu?” gumamnya lirih. Ia tahu betul, ibunya mempunyai intuisi yang sangat kuat apalagi jika itu dikaitkan dengan anak semata wayangnya. Bagaimana jika ibunya tahu jika pernikahannya dengan Raga sudah hancur? Bagaimana jika ayahnya mendengar kabar ini akan langsung drop? Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati ayahnya ketika tahu Kinan tidak diperlakukan baik seperti janji Raga kepada ayahnya. Bahwa ia akan menjaga putri semata wayangnya. Bahwa ia akan menjadi suami yang baik untuk putrinya. Nyeri di hatinya kembali muncul. Begitu menusuk. Air mata tak berhenti mengalir. Kinan terkulai lemas di pinggir ranjang sembari memukul dadanya yang terasa sesak. Megap-megap mencari udara. Wajah Kinan semakin pucat pasi. Ia tidak bisa membayangkan itu semua. “Ya Tuhan, kenapa aku harus ditempatkan pada posisi seperti ini? Apa salahku ya Tuhan?” jerit suara hat
Ketika Kinan akhirnya keluar dari kamar setelah menerima panggilan telepon dari ibunya, barulah ia sadari bahwa keadaan rumah sudah dalam keadaan sepi.Ia termenung di tempatnya berdiri. Menatap ruang tamu yang menjadi saksi dimana pertengkaran terjadi, dimana sebuah fakta yang paling tidak ingin ia dengar keluar dari mulut suaminya.Bahunya kembali terkulai, namun dengan cepat Kinan menggeleng keras berupaya untuk menepisnya.“Bukan itu yang menjadi fokusku sekarang, aku harus menunggu Mas Raga pulang,” gumamnya pelan diiringi sebuah rasa miris yang memenuhi perasaannya.Beberapa saat yang lalu ia menginginkan pria itu enyah dari hidupnya, namun kini ia harus mencari kembali pria itu.Kinan tertawa sumbang. Mentertawakan hidupnya.Sejurus kemudian, pintu depan terbuka diikuti dengan kemunculan Raga yang tampaknya terkejut melihat Kinan berdiri mematung di ruang tengah rumahnya.“Kinan?” tanyanya sedikit terkejut ketika melihat istrinya berdiri mematung di tengah rumah. Ia melangkah m
Kinanti menyadari bahwa bahunya sudah semakin terkulai semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Meski Dokter mengatakan kondisi ayahnya masih bisa ditangani dengan baik tapi tetap tidak membuat wanita itu merasa tenang.Masalah menimpanya dengan bertubi-tubi kali ini. Belum juga ia selesai dari keterkejutannya karena suaminya menikah dengan mantan pacarnya, kini kesehatan ayahnya pun menurun dan harus menjalani prosedur pemasangan ring di jantungnya.Meski prosedur yang hanya memakan waktu 30 menit itu berhasil dilakukan dengan baik tanpa kendala, tapi tetap saja tidak menutupi fakta bahwa pernah ada penyumbatan pembuluh darah di jantungnya.Itu berarti Ayahnya tidak boleh lagi mengalami kejadian berat yang menganggunya.“Bagaimana jadinya k
“Maksudnya gimana? Nenek ingin tinggal disini?” tanya Kinan sekali lagi dengan kening yang masih mengerut. “Bukan cuma Nenek aja, tapi Tari juga.” Wanita itu menoleh dan menatap Tari yang berdiri tak jauh darinya. Kinan mengikuti padangan Nenek. Wanita itu masih sama diamnya sejak kemarin. Apa dia mendadak jadi bisu? pikir Kinan jengah. “Bukannya Mas Raga sudah menyewakan sebuah rumah untuk Tari tinggali?” tanya Kinan kemudian. “Benar. Lalu setelah dipikir-pikir, Raga akan mengeluarkan uang dua kali lipat. Untuk KPR rumah ini dan untuk biaya sewa bulanan untuk rumah kontrakan. Sementara dia hanya bekerja sendirian, tak ada yang membantu. Sementara itu, rumah ini ada dua kamar tidur dan luasnya juga pas untuk ditinggali empat orang. Bukankah lebih baik menekan biaya pengeluaran? Kasihan Raga capek bekerja dan tidak ada yang membantu.” Nenek memberikan penjelasan seraya melayangkan tatapan yang merendahkan. “Bukankah sejak awal sudah diputuskan seperti itu? Kenapa sekarang menyes
Tari tak kuasa mengepalkan tangan dan meremas ujung dasternya. Gejolak amarah sudah mulai memenuhi hatinya. Terlebih ketika pria itu mulai bangkit dan berjalan memasuki kamarnya yang ditempati bersama Kinan. Matanya berkilat tajam ke arah pintu yang tertutup rapat itu. “Jangan dipikirin apa kata Raga. Sekarang dia boleh ngomong begitu, tapi kita nggak pernah tahu apa yang terjadi kedepannya.” Nenek Lasmi berkata. Tari menoleh. Melepaskan genggamannya pada ujung daster. Melemaskan ototnya dan kembali mengatur emosinya. “Iya, Nek. Aku paham kok. Ah, Kinan begitu beruntung mendapatkan suami seperti Raga.” Tari mengulas senyumnya terpaksa. ‘Mestinya aku yang mendapatkan Raga kala ini,’ lanjutnya dalam hati. Matanya terpaku pada pintu kamar yang tertutup. Kamar kedua yang terletak di paling belakang rumah ini bisa dibilang tidak cukup layak untuk disebut kamar. Kini ia harus menempati kamar itu bersama dengan Nenek Lasmi yang semakin membuatnya sesak. ‘Seharusnya aku yang menempati ka
“Hai Mbak, hari ini datang lebih siang?” Seorang barista muda menyapa kedatangan Kinan. “Iya nih, ada yang harus aku kerjakan dulu tadi.” Kinan membalas senyuman ramah barista itu. “Oh lagi sibuk banget sepertinya ya. Pesan seperti biasa?”Kinan mengangguk. “Tambah satu sloki espresso ya dan Butter Croissant satu.” “Siap, butuh kopi yang lebih strong banget kayaknya Mbak.” “Iya nih, deadline udah tinggal dikit lagi. Mesti dikebut.” “Sip, pesanannya sudah masuk. Mbak duduk aja dulu, nanti pesanannya aku yang anterin. Spot biasa juga masih kosong tuh, tumben. Biasanya rebutan. Jodohnya Mbak Kinan.” “Ah, bisa aja kamu. Makasih banyak, Jes.” Senyuman Kinan semakin mengembang. Barista yang bernama Jessica itu membalasnya dengan kedipan sebelah mata. Kinan berbalik badan dan menuju salah satu spot favoritnya yang terletak di sudut ruangan, sedikit tertutup karena adanya pilar yang menyembul di antara bangunan namun memiliki jendela besar yang bisa memantau pergerakan orang di luaran
Tari tak kuasa mengepalkan tangan dan meremas ujung dasternya. Gejolak amarah sudah mulai memenuhi hatinya. Terlebih ketika pria itu mulai bangkit dan berjalan memasuki kamarnya yang ditempati bersama Kinan. Matanya berkilat tajam ke arah pintu yang tertutup rapat itu. “Jangan dipikirin apa kata Raga. Sekarang dia boleh ngomong begitu, tapi kita nggak pernah tahu apa yang terjadi kedepannya.” Nenek Lasmi berkata. Tari menoleh. Melepaskan genggamannya pada ujung daster. Melemaskan ototnya dan kembali mengatur emosinya. “Iya, Nek. Aku paham kok. Ah, Kinan begitu beruntung mendapatkan suami seperti Raga.” Tari mengulas senyumnya terpaksa. ‘Mestinya aku yang mendapatkan Raga kala ini,’ lanjutnya dalam hati. Matanya terpaku pada pintu kamar yang tertutup. Kamar kedua yang terletak di paling belakang rumah ini bisa dibilang tidak cukup layak untuk disebut kamar. Kini ia harus menempati kamar itu bersama dengan Nenek Lasmi yang semakin membuatnya sesak. ‘Seharusnya aku yang menempati ka
“Maksudnya gimana? Nenek ingin tinggal disini?” tanya Kinan sekali lagi dengan kening yang masih mengerut. “Bukan cuma Nenek aja, tapi Tari juga.” Wanita itu menoleh dan menatap Tari yang berdiri tak jauh darinya. Kinan mengikuti padangan Nenek. Wanita itu masih sama diamnya sejak kemarin. Apa dia mendadak jadi bisu? pikir Kinan jengah. “Bukannya Mas Raga sudah menyewakan sebuah rumah untuk Tari tinggali?” tanya Kinan kemudian. “Benar. Lalu setelah dipikir-pikir, Raga akan mengeluarkan uang dua kali lipat. Untuk KPR rumah ini dan untuk biaya sewa bulanan untuk rumah kontrakan. Sementara dia hanya bekerja sendirian, tak ada yang membantu. Sementara itu, rumah ini ada dua kamar tidur dan luasnya juga pas untuk ditinggali empat orang. Bukankah lebih baik menekan biaya pengeluaran? Kasihan Raga capek bekerja dan tidak ada yang membantu.” Nenek memberikan penjelasan seraya melayangkan tatapan yang merendahkan. “Bukankah sejak awal sudah diputuskan seperti itu? Kenapa sekarang menyes
Kinanti menyadari bahwa bahunya sudah semakin terkulai semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Meski Dokter mengatakan kondisi ayahnya masih bisa ditangani dengan baik tapi tetap tidak membuat wanita itu merasa tenang.Masalah menimpanya dengan bertubi-tubi kali ini. Belum juga ia selesai dari keterkejutannya karena suaminya menikah dengan mantan pacarnya, kini kesehatan ayahnya pun menurun dan harus menjalani prosedur pemasangan ring di jantungnya.Meski prosedur yang hanya memakan waktu 30 menit itu berhasil dilakukan dengan baik tanpa kendala, tapi tetap saja tidak menutupi fakta bahwa pernah ada penyumbatan pembuluh darah di jantungnya.Itu berarti Ayahnya tidak boleh lagi mengalami kejadian berat yang menganggunya.“Bagaimana jadinya k
Ketika Kinan akhirnya keluar dari kamar setelah menerima panggilan telepon dari ibunya, barulah ia sadari bahwa keadaan rumah sudah dalam keadaan sepi.Ia termenung di tempatnya berdiri. Menatap ruang tamu yang menjadi saksi dimana pertengkaran terjadi, dimana sebuah fakta yang paling tidak ingin ia dengar keluar dari mulut suaminya.Bahunya kembali terkulai, namun dengan cepat Kinan menggeleng keras berupaya untuk menepisnya.“Bukan itu yang menjadi fokusku sekarang, aku harus menunggu Mas Raga pulang,” gumamnya pelan diiringi sebuah rasa miris yang memenuhi perasaannya.Beberapa saat yang lalu ia menginginkan pria itu enyah dari hidupnya, namun kini ia harus mencari kembali pria itu.Kinan tertawa sumbang. Mentertawakan hidupnya.Sejurus kemudian, pintu depan terbuka diikuti dengan kemunculan Raga yang tampaknya terkejut melihat Kinan berdiri mematung di ruang tengah rumahnya.“Kinan?” tanyanya sedikit terkejut ketika melihat istrinya berdiri mematung di tengah rumah. Ia melangkah m
Kinan bergeming. Tak mampu untuk menggapai ponsel yang masih berdering di depannya. “Apa yang akan aku katakan pada Ibu?” gumamnya lirih. Ia tahu betul, ibunya mempunyai intuisi yang sangat kuat apalagi jika itu dikaitkan dengan anak semata wayangnya. Bagaimana jika ibunya tahu jika pernikahannya dengan Raga sudah hancur? Bagaimana jika ayahnya mendengar kabar ini akan langsung drop? Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati ayahnya ketika tahu Kinan tidak diperlakukan baik seperti janji Raga kepada ayahnya. Bahwa ia akan menjaga putri semata wayangnya. Bahwa ia akan menjadi suami yang baik untuk putrinya. Nyeri di hatinya kembali muncul. Begitu menusuk. Air mata tak berhenti mengalir. Kinan terkulai lemas di pinggir ranjang sembari memukul dadanya yang terasa sesak. Megap-megap mencari udara. Wajah Kinan semakin pucat pasi. Ia tidak bisa membayangkan itu semua. “Ya Tuhan, kenapa aku harus ditempatkan pada posisi seperti ini? Apa salahku ya Tuhan?” jerit suara hat
Ruang tamu rumah terasa hening sejak kedatangan mereka beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang berani membuka mulut. Semuanya menunggu Raga yang masih terpaku dalam duduknya. Bahunya tampak sudah terkulai lemas. Sementara Nenek Lasmi dan Tari masih memilih diam seribu bahasa. Kinan masih terus meremas kedua tangannya. Hal yang sejak tadi ia lakukan hanya untuk membantu menenangkan dirinya. Seribu pertanyaan rasanya sudah berkumpul dalam benaknya namun lidahnya mendadak kelu. “Kinan, ada sesuatu yang belum aku ceritakan padamu.” Raga membuka suara pada menit berikutnya. Semua pasang mata kini tertuju pada sosok Raga yang sudah mengangkat kepalanya. Mulutnya kembali tertutup rapat. Memberi jeda. Detik berlalu lebih lambat dari biasanya. “Aku sudah menikahi Tari.” Degup jantungnya semula berdetak kencang, kini seolah berhenti seketika. Kinan mengerjapkan mata beberapa kali. Detik berikutnya telinganya berdengung kencang hingga membuatnya sakit. “Apa maksudnya?” Suaranya tercekat
“Sus, saya nggak apa-apa kan? Saya udah boleh pulang yah?” Kinan terus menanyakan hal yang sama sejak kedatangannya ke instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta terdekat dari tempat kejadian tadi.“Sebentar ya, Bu. Dokter masih harus lihat hasil rontgen dulu,” jawab Suster ramah sebelum kemudian pergi berlalu.Kinan hanya bisa mendesah pelan di ranjang IGD yang diberi sekat kanan dan kirinya. Sekali lagi, ia terus mengecek ponselnya beberapa menit sekali hanya untuk memastikan bahwa Raga telah membaca pesannya. Namun, hasilnya nihil.Kinanti: Mas, kamu dimana? Apa sudah dalam perjalanan pulang? Seharusnya hari ini pulang kan?Serentetan pesan dan panggilan tak terjawab sudah ia lakukan tapi tak kunjung mendapatkan hasil. Suam
Setelah kejadian itu, perasaannya mulai makin tidak karuan. Berulang kali ia mengatakan bahwa sikap Raga yang kontradiktif dengan pernyataannya sebelumnya membuat mereka kerap kali dilanda pertikaian kecil. “Aku hanya spontan, Kinan. Kalaupun itu bukan Tari, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama,” tuturnya pada saat itu. Tapi Kinan tentu saja tidak mudah langsung percaya. Firasatnya mengatakan hal yang lain. Namun, Kinan tidak bisa semakin mencecar suaminya hanya berdasarkan firasatnya saja. Terlebih mereka sudah beberapa kali berada dalam situasi panas. “Percaya sama aku, Kinan. Aku khawatir bukan berarti aku masih ada rasa sama dia. Aku hanya spontan dan kejadiannya itu begitu cepat. Kamu harus percaya aku yah,” tutup Raga malam hari itu. Katanya, apa yang kita takutnya, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan bukan? Meski berat, tapi Kinan mencoba untuk menekan rasa tidak nyaman yang masih bercokol di hatinya. Setengah berharap bahwa ini semua hanya terjadi dalam kepalan