Setelah kejadian itu, perasaannya mulai makin tidak karuan.
Berulang kali ia mengatakan bahwa sikap Raga yang kontradiktif dengan pernyataannya sebelumnya membuat mereka kerap kali dilanda pertikaian kecil.
“Aku hanya spontan, Kinan. Kalaupun itu bukan Tari, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama,” tuturnya pada saat itu.
Tapi Kinan tentu saja tidak mudah langsung percaya. Firasatnya mengatakan hal yang lain. Namun, Kinan tidak bisa semakin mencecar suaminya hanya berdasarkan firasatnya saja. Terlebih mereka sudah beberapa kali berada dalam situasi panas.
“Percaya sama aku, Kinan. Aku khawatir bukan berarti aku masih ada rasa sama dia. Aku hanya spontan dan kejadiannya itu begitu cepat. Kamu harus percaya aku yah,” tutup Raga malam hari itu.
Katanya, apa yang kita takutnya, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan bukan? Meski berat, tapi Kinan mencoba untuk menekan rasa tidak nyaman yang masih bercokol di hatinya. Setengah berharap bahwa ini semua hanya terjadi dalam kepalanya saja.
Namun ternyata, perasaan tak nyaman itu masih bercokol di hatinya sampai berminggu-minggu kemudian. Ditambah, Raga setiap dua minggu sekali ada bisnis trip yang mana mengharuskan pergi ke luar kota bertepatan pada akhir pekan.
Bisnis trip di akhir pekan. Terdengar aneh bagi telinga Kinan yang mana Raga tidak pernah melakukannya sejak dulu.
***
Untuk mengisi kekosongan hari Minggunya tanpa suami. Kinan memutuskan untuk pergi ke luar untuk menghirup udara segar. Dengan harapan ia bisa menepis pikiran negatif yang masih belum bisa ia kendalikan.
Pilihannya jatuh pada sebuah kedai kopi yang letaknya cukup dekat dari rumah. Memesan Vanilla Latte kesukaannya. Membawa sebuah novel di tangannya untuk mengisi waktu luangnya. Sesekali ia hanya melihat orang-orang yang datang lalu lalang.
Di kedai kopi tempatnya ‘menyendiri’ ini, terdapat beberapa anak muda tampak berkutat dengan laptopnya meski hari ini merupakan hari Minggu. Hari dimana seharusnya semua pekerja mendapatkan jatah libur.
Tapi entah kenapa, melihat itu membuat Kinan merasa iri.
Ia memimpikan sebuah jenjang karir yang ingin ia capai dahulu. Adalah bekerja di sebuah kantor yang terletak di sebuah gedung bertingkat. Mengenakan lanyard dan berpakaian bebas ala-ala pekerja kantoran.
Semua itu hampir terjadi ketika ia diterima kerja di sebuah perusahaan bergengsi. Tempat ia bertemu dengan Raga yang saat itu menjadi atasannya. Karena di perusahaan itu tidak diperbolehkan pasangan suami istri berada dalam satu kantor, maka setelah memutuskan menerima pinangan Raga, ia memilih untuk resign.
Meski begitu, Kinan tidak benar-benar menyesali keputusannya. Kalau bukan karena menikah dengan Raga dan menetap di rumah saja, mungkin Kinan tidak tahu kalau dia punya potensi lain dalam dirinya yang sedang berusaha ia kembangkan.
Sebenarnya Raga tidak mempermasalahkan jika Kinan mau mencoba bekerja di perusahaan lain. Namun, karena ia sadar akan prioritasnya setelah menjadi istri, Kinan memutuskan untuk menjadi Istri Rumah Tangga sambil mempersiapkan dirinya agar bisa hamil.
Yang sayangnya hingga di tahun ketiga pernikahannya ini juga belum mendapatkan hasil positif.
Perlahan Kinan menarik napas panjang lalu membuangnya.
Mungkin ini memang sudah menjadi suratan takdirnya.
“Kinan?”
Seseorang menyapanya. Sontak saja membuat Kinan menoleh ke arah sumber suara dan mendapati seorang perempuan berpakaian cukup stylish dengan rambut pendek tertata rapi tengah berdiri tak jauh darinya.
“Raras?” Kinan bangkit dari kursi lalu menghampirinya.
Ia mengenali Raras sebagai temannya saat sama-sama bekerja di kantornya yang pertama kali. Kala itu mereka sama-sama anak baru yang diterima dan ditempatkan dalam satu divisi Finance & Accounting.
“Aku tadinya nggak yakin ngeliat kamu disini. Tapi ternyata memang benar kamu.” Raras menyunggingkan senyum manisnya itu memeluk Kinan.
“Kamu apa kabar?” tanya Kiran ramah.
“Aku baik. Kamu bagaimana?”
“Aku… Baik.” Kinan memaksakan senyumannya tanpa ia sadari. Padahal beberapa saat yang lalu ia tengah merindukan masa-masa lajangnya.
“Sendirian?”
“Iya, kalau kamu sendirian juga, sini gabung. Aku kangen sama kamu, Ras. Kita udah lama nggak komunikasian.”
Raras mengulum senyumnya dan setuju untuk bergabung setelah ia memesan minuman.
“Penampilanku cukup banyak berubah, Ras. Masih betah bekerja di kantor yang lama kan?”
“Masih, Nan. Betah nggak betah sih ini juga.” Raras terkekeh pelan. “Kamu sendiri gimana? Apa kegiatanmu sekarang ini?”
“Aku? Ya aku mah gini-gini aja. Di rumah, mengurus suami, beberes rumah. Hanya itu kegiatanku saat ini.” Kinan tersenyum getir.
“Enak dong, di rumah aja sambil nunggu suami pulang. Belakangan ini aku lagi cukup capek di kantor. Jadi pengen dinafkahin aja. Tapi pacar aja belum punya.” Raras terkekeh pelan.
“Ada enaknya. Ada juga nggak enaknya. Kadang aku rindu punya kegiatan di luar.”
“Balik kerja lagi, Nan. Dibolehin kan sama Pak Raga?” Raras menyunggingkan senyum jahil. “Aku sampai lupa kalau kamu itu sekarang istrinya Pak Raga. Atasan kita yang dulu kamu naksir itu.”
Kinan tertawa. Mengenang bagaimana dirinya memang memuja Raga Satria, yang notabenenya adalah atasannya sendiri di kantor. Siapa yang sangka kalau ternyata Raga juga menyimpan rasa yang sama terhadap Kinan?
“Aku juga sempat lupa kalau kamu masih anak buahnya Pak Raga kan?”
Keduanya kini tertawa bersama. Menimbulkan rasa hangat yang mulai menjalar ke dalam tubuhnya. Melupakan sejenak rasa gelisah yang belakangan ini mendominasi dirinya.
“Iya, dia nggak melarang. Hanya saja aku masih punya beban moral karena belum hamil juga,” lanjutnya kemudian.
Lama Raras terdiam. Menatap Kinan dengan sorot mata sendu.
“Nggak apa-apa. Belum waktunya saja mungkin. Yang sabar ya, Nan. Namanya juga ujian hidup. Mau yang menikah dan yang belum menikah juga pasti akan selalu dihadapkan dengan ujian. Semoga penantianmu datang di waktu yang tepat.”
“Makasih ya, Ras. Kata-katamu sejak dulu itu selalu buatku lebih baik. Kamu cocok jadi motivator.”
Raras tergelak. “Kan sudah aku bilang, aku capek kerja. Pengennya dinafkahin. Ngomong-ngomong, kamu kenapa sendirian banget di hari Minggu? Kemana suaminya?”
“Iya nih. Dia lagi pergi bisnis trip. Jadinya aku menghabiskan akhir pekan sendirian lagi.”
“Bisnis trip? Lagi?” Raras mengerutkan keningnya. Senyumnya perlahan memudar.
“Iya. Belakangan ini Mas Raga lagi sering keluar kota. Seminar dan ada beberapa kali bisnis trip.”
Raut wajah Raras seketika berubah. Tangannya dengan kikuk membetulkan beberapa bagian yang tidak perlu.
“Kamu kenapa, Ras?”
Sontak Raras menggeleng cepat. Hal itu menimbulkan kerutan dalam kening Kinan.
“Sepertinya kantor lagi cukup sibuk ya? Kemarin Mas Raga ada seminar, bisnis trip, terus outing kantor minggu lalu. Ceritain dong, seru gak sih outingnya? Ah aku pengen liburan tapi Mas Raga selalu sibuk.”
Mendengar hal itu, Raras mengerjapkan matanya dan menatap lama Kinan dengan kehati-hatian. Tubuhnya menegang.
“Kinan, hubungan kalian sedang baik-baik saja kan?”
“Baik kok. Cuma akunya lagi sering ditinggal aja.” Sebuah senyuman terbalik melekuk di bibirnya.
Tak lama kemudian, kopi pesanan Raras datang. Satu cup besar Americano langsung ia teguk hingga menyisakan setengahnya.
“Kamu baik-baik saja, kan Ras?” tanya Kinan dengan nada suara khawatir melihat Raras yang kini sudah pucat pasi.
Sementara di hadapannya, Raras menarik napas panjang lalu kemudian menghembuskannya perlahan.
“Kinan,” ujar Raras. “Ada yang ingin aku katakan. Dengarkan baik-baik ya.”
***
Kinan berjalan keluar kedai kopi dengan langkah yang sudah teramat sangat berat. Telinganya seakan terus mendengungkan kalimat Raras yang membuatnya tidak mampu merespon apa-apa.
Jika berbulan-bulan yang lalu, ia berusaha untuk membenarkan firasatnya yang sudah tidak karuan, justru sekarang ia berharap bahwa apa yang didengarnya itu hanyalah kebohongan belaka.
‘Jadi selama ini tidak ada seminar, bisnis trip dan bahkan outing kantor?’ bisiknya pada diri sendiri.
Langkahnya terhenti di sebuah jalan setapak yang dikhususkan pejalan kaki itu hingga membuat beberapa orang di belakangnya mengeluhkan tindakannya. Bahkan ada yang menggerutu terlalu keras.
Namun, Kinan tidak peduli.
Rasa sesak mulai memenuhi paru-parunya. Megap-megap Kinan mencari sumber udara padahal ia tengah berada di udara terbuka.
‘Lalu kemana Mas Raga sebenarnya pergi?’ jeritnya dari dalam hati.
Kinan mengeluarkan ponselnya dan mencoba untuk menghubungi suaminya. Dering panjang sambungan seolah tak berujung itu semakin membuatnya frustasi.
Dengan gerakan yang begitu cepat dan tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, Kinan melompat ke jalan raya, bermaksud untuk menyebrang ke sebuah halte bus namun ternyata langkahnya yang terlalu terburu-buru itu membuat kendaraan bermotor yang tengah melintas tak sempat menarik tuas rem.
Tabrakan pun tak terelakan diiringi dengan teriakan histeris dari orang sekitar yang menyaksikan kejadian itu dengan begitu cepat. Beberapa orang sudah mulai mengerubungi dirinya dan pemotor yang juga sudah tersungkur di jalan beraspal sama seperti dirinya.
Rintihan kesakitan keluar dari mulutnya. Namun, Kinan masih berusaha untuk bangkit.
“Bu, Bu. Jangan bangun dulu,” kata suara seorang pria tak jauh darinya.
“Saya nggak apa-apa. Saya… harus mencari suami saya.” Tangannya meraba-raba aspal jalan mencari tas yang sudah terlepas dari genggamannya.
Kinan masih berusaha untuk mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, sedetik kemudian pandangannya perlahan mengabur dan ia tidak ingat apa-apa lagi setelahnya.
***
Selamat membaca dan semoga kalian suka dengan cerita ini. Jangan sungkan untuk tinggalkan jejak dan kritikan yang membangun. Luv!
“Sus, saya nggak apa-apa kan? Saya udah boleh pulang yah?” Kinan terus menanyakan hal yang sama sejak kedatangannya ke instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta terdekat dari tempat kejadian tadi.“Sebentar ya, Bu. Dokter masih harus lihat hasil rontgen dulu,” jawab Suster ramah sebelum kemudian pergi berlalu.Kinan hanya bisa mendesah pelan di ranjang IGD yang diberi sekat kanan dan kirinya. Sekali lagi, ia terus mengecek ponselnya beberapa menit sekali hanya untuk memastikan bahwa Raga telah membaca pesannya. Namun, hasilnya nihil.Kinanti: Mas, kamu dimana? Apa sudah dalam perjalanan pulang? Seharusnya hari ini pulang kan?Serentetan pesan dan panggilan tak terjawab sudah ia lakukan tapi tak kunjung mendapatkan hasil. Suam
Ruang tamu rumah terasa hening sejak kedatangan mereka beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang berani membuka mulut. Semuanya menunggu Raga yang masih terpaku dalam duduknya. Bahunya tampak sudah terkulai lemas. Sementara Nenek Lasmi dan Tari masih memilih diam seribu bahasa. Kinan masih terus meremas kedua tangannya. Hal yang sejak tadi ia lakukan hanya untuk membantu menenangkan dirinya. Seribu pertanyaan rasanya sudah berkumpul dalam benaknya namun lidahnya mendadak kelu. “Kinan, ada sesuatu yang belum aku ceritakan padamu.” Raga membuka suara pada menit berikutnya. Semua pasang mata kini tertuju pada sosok Raga yang sudah mengangkat kepalanya. Mulutnya kembali tertutup rapat. Memberi jeda. Detik berlalu lebih lambat dari biasanya. “Aku sudah menikahi Tari.” Degup jantungnya semula berdetak kencang, kini seolah berhenti seketika. Kinan mengerjapkan mata beberapa kali. Detik berikutnya telinganya berdengung kencang hingga membuatnya sakit. “Apa maksudnya?” Suaranya tercekat
Kinan bergeming. Tak mampu untuk menggapai ponsel yang masih berdering di depannya. “Apa yang akan aku katakan pada Ibu?” gumamnya lirih. Ia tahu betul, ibunya mempunyai intuisi yang sangat kuat apalagi jika itu dikaitkan dengan anak semata wayangnya. Bagaimana jika ibunya tahu jika pernikahannya dengan Raga sudah hancur? Bagaimana jika ayahnya mendengar kabar ini akan langsung drop? Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati ayahnya ketika tahu Kinan tidak diperlakukan baik seperti janji Raga kepada ayahnya. Bahwa ia akan menjaga putri semata wayangnya. Bahwa ia akan menjadi suami yang baik untuk putrinya. Nyeri di hatinya kembali muncul. Begitu menusuk. Air mata tak berhenti mengalir. Kinan terkulai lemas di pinggir ranjang sembari memukul dadanya yang terasa sesak. Megap-megap mencari udara. Wajah Kinan semakin pucat pasi. Ia tidak bisa membayangkan itu semua. “Ya Tuhan, kenapa aku harus ditempatkan pada posisi seperti ini? Apa salahku ya Tuhan?” jerit suara hat
Ketika Kinan akhirnya keluar dari kamar setelah menerima panggilan telepon dari ibunya, barulah ia sadari bahwa keadaan rumah sudah dalam keadaan sepi.Ia termenung di tempatnya berdiri. Menatap ruang tamu yang menjadi saksi dimana pertengkaran terjadi, dimana sebuah fakta yang paling tidak ingin ia dengar keluar dari mulut suaminya.Bahunya kembali terkulai, namun dengan cepat Kinan menggeleng keras berupaya untuk menepisnya.“Bukan itu yang menjadi fokusku sekarang, aku harus menunggu Mas Raga pulang,” gumamnya pelan diiringi sebuah rasa miris yang memenuhi perasaannya.Beberapa saat yang lalu ia menginginkan pria itu enyah dari hidupnya, namun kini ia harus mencari kembali pria itu.Kinan tertawa sumbang. Mentertawakan hidupnya.Sejurus kemudian, pintu depan terbuka diikuti dengan kemunculan Raga yang tampaknya terkejut melihat Kinan berdiri mematung di ruang tengah rumahnya.“Kinan?” tanyanya sedikit terkejut ketika melihat istrinya berdiri mematung di tengah rumah. Ia melangkah m
Kinanti menyadari bahwa bahunya sudah semakin terkulai semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Meski Dokter mengatakan kondisi ayahnya masih bisa ditangani dengan baik tapi tetap tidak membuat wanita itu merasa tenang.Masalah menimpanya dengan bertubi-tubi kali ini. Belum juga ia selesai dari keterkejutannya karena suaminya menikah dengan mantan pacarnya, kini kesehatan ayahnya pun menurun dan harus menjalani prosedur pemasangan ring di jantungnya.Meski prosedur yang hanya memakan waktu 30 menit itu berhasil dilakukan dengan baik tanpa kendala, tapi tetap saja tidak menutupi fakta bahwa pernah ada penyumbatan pembuluh darah di jantungnya.Itu berarti Ayahnya tidak boleh lagi mengalami kejadian berat yang menganggunya.“Bagaimana jadinya k
“Maksudnya gimana? Nenek ingin tinggal disini?” tanya Kinan sekali lagi dengan kening yang masih mengerut. “Bukan cuma Nenek aja, tapi Tari juga.” Wanita itu menoleh dan menatap Tari yang berdiri tak jauh darinya. Kinan mengikuti padangan Nenek. Wanita itu masih sama diamnya sejak kemarin. Apa dia mendadak jadi bisu? pikir Kinan jengah. “Bukannya Mas Raga sudah menyewakan sebuah rumah untuk Tari tinggali?” tanya Kinan kemudian. “Benar. Lalu setelah dipikir-pikir, Raga akan mengeluarkan uang dua kali lipat. Untuk KPR rumah ini dan untuk biaya sewa bulanan untuk rumah kontrakan. Sementara dia hanya bekerja sendirian, tak ada yang membantu. Sementara itu, rumah ini ada dua kamar tidur dan luasnya juga pas untuk ditinggali empat orang. Bukankah lebih baik menekan biaya pengeluaran? Kasihan Raga capek bekerja dan tidak ada yang membantu.” Nenek memberikan penjelasan seraya melayangkan tatapan yang merendahkan. “Bukankah sejak awal sudah diputuskan seperti itu? Kenapa sekarang menyes
Tari tak kuasa mengepalkan tangan dan meremas ujung dasternya. Gejolak amarah sudah mulai memenuhi hatinya. Terlebih ketika pria itu mulai bangkit dan berjalan memasuki kamarnya yang ditempati bersama Kinan. Matanya berkilat tajam ke arah pintu yang tertutup rapat itu. “Jangan dipikirin apa kata Raga. Sekarang dia boleh ngomong begitu, tapi kita nggak pernah tahu apa yang terjadi kedepannya.” Nenek Lasmi berkata. Tari menoleh. Melepaskan genggamannya pada ujung daster. Melemaskan ototnya dan kembali mengatur emosinya. “Iya, Nek. Aku paham kok. Ah, Kinan begitu beruntung mendapatkan suami seperti Raga.” Tari mengulas senyumnya terpaksa. ‘Mestinya aku yang mendapatkan Raga kala ini,’ lanjutnya dalam hati. Matanya terpaku pada pintu kamar yang tertutup. Kamar kedua yang terletak di paling belakang rumah ini bisa dibilang tidak cukup layak untuk disebut kamar. Kini ia harus menempati kamar itu bersama dengan Nenek Lasmi yang semakin membuatnya sesak. ‘Seharusnya aku yang menempati ka
“Hai Mbak, hari ini datang lebih siang?” Seorang barista muda menyapa kedatangan Kinan. “Iya nih, ada yang harus aku kerjakan dulu tadi.” Kinan membalas senyuman ramah barista itu. “Oh lagi sibuk banget sepertinya ya. Pesan seperti biasa?”Kinan mengangguk. “Tambah satu sloki espresso ya dan Butter Croissant satu.” “Siap, butuh kopi yang lebih strong banget kayaknya Mbak.” “Iya nih, deadline udah tinggal dikit lagi. Mesti dikebut.” “Sip, pesanannya sudah masuk. Mbak duduk aja dulu, nanti pesanannya aku yang anterin. Spot biasa juga masih kosong tuh, tumben. Biasanya rebutan. Jodohnya Mbak Kinan.” “Ah, bisa aja kamu. Makasih banyak, Jes.” Senyuman Kinan semakin mengembang. Barista yang bernama Jessica itu membalasnya dengan kedipan sebelah mata. Kinan berbalik badan dan menuju salah satu spot favoritnya yang terletak di sudut ruangan, sedikit tertutup karena adanya pilar yang menyembul di antara bangunan namun memiliki jendela besar yang bisa memantau pergerakan orang di luaran
“Hai Mbak, hari ini datang lebih siang?” Seorang barista muda menyapa kedatangan Kinan. “Iya nih, ada yang harus aku kerjakan dulu tadi.” Kinan membalas senyuman ramah barista itu. “Oh lagi sibuk banget sepertinya ya. Pesan seperti biasa?”Kinan mengangguk. “Tambah satu sloki espresso ya dan Butter Croissant satu.” “Siap, butuh kopi yang lebih strong banget kayaknya Mbak.” “Iya nih, deadline udah tinggal dikit lagi. Mesti dikebut.” “Sip, pesanannya sudah masuk. Mbak duduk aja dulu, nanti pesanannya aku yang anterin. Spot biasa juga masih kosong tuh, tumben. Biasanya rebutan. Jodohnya Mbak Kinan.” “Ah, bisa aja kamu. Makasih banyak, Jes.” Senyuman Kinan semakin mengembang. Barista yang bernama Jessica itu membalasnya dengan kedipan sebelah mata. Kinan berbalik badan dan menuju salah satu spot favoritnya yang terletak di sudut ruangan, sedikit tertutup karena adanya pilar yang menyembul di antara bangunan namun memiliki jendela besar yang bisa memantau pergerakan orang di luaran
Tari tak kuasa mengepalkan tangan dan meremas ujung dasternya. Gejolak amarah sudah mulai memenuhi hatinya. Terlebih ketika pria itu mulai bangkit dan berjalan memasuki kamarnya yang ditempati bersama Kinan. Matanya berkilat tajam ke arah pintu yang tertutup rapat itu. “Jangan dipikirin apa kata Raga. Sekarang dia boleh ngomong begitu, tapi kita nggak pernah tahu apa yang terjadi kedepannya.” Nenek Lasmi berkata. Tari menoleh. Melepaskan genggamannya pada ujung daster. Melemaskan ototnya dan kembali mengatur emosinya. “Iya, Nek. Aku paham kok. Ah, Kinan begitu beruntung mendapatkan suami seperti Raga.” Tari mengulas senyumnya terpaksa. ‘Mestinya aku yang mendapatkan Raga kala ini,’ lanjutnya dalam hati. Matanya terpaku pada pintu kamar yang tertutup. Kamar kedua yang terletak di paling belakang rumah ini bisa dibilang tidak cukup layak untuk disebut kamar. Kini ia harus menempati kamar itu bersama dengan Nenek Lasmi yang semakin membuatnya sesak. ‘Seharusnya aku yang menempati ka
“Maksudnya gimana? Nenek ingin tinggal disini?” tanya Kinan sekali lagi dengan kening yang masih mengerut. “Bukan cuma Nenek aja, tapi Tari juga.” Wanita itu menoleh dan menatap Tari yang berdiri tak jauh darinya. Kinan mengikuti padangan Nenek. Wanita itu masih sama diamnya sejak kemarin. Apa dia mendadak jadi bisu? pikir Kinan jengah. “Bukannya Mas Raga sudah menyewakan sebuah rumah untuk Tari tinggali?” tanya Kinan kemudian. “Benar. Lalu setelah dipikir-pikir, Raga akan mengeluarkan uang dua kali lipat. Untuk KPR rumah ini dan untuk biaya sewa bulanan untuk rumah kontrakan. Sementara dia hanya bekerja sendirian, tak ada yang membantu. Sementara itu, rumah ini ada dua kamar tidur dan luasnya juga pas untuk ditinggali empat orang. Bukankah lebih baik menekan biaya pengeluaran? Kasihan Raga capek bekerja dan tidak ada yang membantu.” Nenek memberikan penjelasan seraya melayangkan tatapan yang merendahkan. “Bukankah sejak awal sudah diputuskan seperti itu? Kenapa sekarang menyes
Kinanti menyadari bahwa bahunya sudah semakin terkulai semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Meski Dokter mengatakan kondisi ayahnya masih bisa ditangani dengan baik tapi tetap tidak membuat wanita itu merasa tenang.Masalah menimpanya dengan bertubi-tubi kali ini. Belum juga ia selesai dari keterkejutannya karena suaminya menikah dengan mantan pacarnya, kini kesehatan ayahnya pun menurun dan harus menjalani prosedur pemasangan ring di jantungnya.Meski prosedur yang hanya memakan waktu 30 menit itu berhasil dilakukan dengan baik tanpa kendala, tapi tetap saja tidak menutupi fakta bahwa pernah ada penyumbatan pembuluh darah di jantungnya.Itu berarti Ayahnya tidak boleh lagi mengalami kejadian berat yang menganggunya.“Bagaimana jadinya k
Ketika Kinan akhirnya keluar dari kamar setelah menerima panggilan telepon dari ibunya, barulah ia sadari bahwa keadaan rumah sudah dalam keadaan sepi.Ia termenung di tempatnya berdiri. Menatap ruang tamu yang menjadi saksi dimana pertengkaran terjadi, dimana sebuah fakta yang paling tidak ingin ia dengar keluar dari mulut suaminya.Bahunya kembali terkulai, namun dengan cepat Kinan menggeleng keras berupaya untuk menepisnya.“Bukan itu yang menjadi fokusku sekarang, aku harus menunggu Mas Raga pulang,” gumamnya pelan diiringi sebuah rasa miris yang memenuhi perasaannya.Beberapa saat yang lalu ia menginginkan pria itu enyah dari hidupnya, namun kini ia harus mencari kembali pria itu.Kinan tertawa sumbang. Mentertawakan hidupnya.Sejurus kemudian, pintu depan terbuka diikuti dengan kemunculan Raga yang tampaknya terkejut melihat Kinan berdiri mematung di ruang tengah rumahnya.“Kinan?” tanyanya sedikit terkejut ketika melihat istrinya berdiri mematung di tengah rumah. Ia melangkah m
Kinan bergeming. Tak mampu untuk menggapai ponsel yang masih berdering di depannya. “Apa yang akan aku katakan pada Ibu?” gumamnya lirih. Ia tahu betul, ibunya mempunyai intuisi yang sangat kuat apalagi jika itu dikaitkan dengan anak semata wayangnya. Bagaimana jika ibunya tahu jika pernikahannya dengan Raga sudah hancur? Bagaimana jika ayahnya mendengar kabar ini akan langsung drop? Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati ayahnya ketika tahu Kinan tidak diperlakukan baik seperti janji Raga kepada ayahnya. Bahwa ia akan menjaga putri semata wayangnya. Bahwa ia akan menjadi suami yang baik untuk putrinya. Nyeri di hatinya kembali muncul. Begitu menusuk. Air mata tak berhenti mengalir. Kinan terkulai lemas di pinggir ranjang sembari memukul dadanya yang terasa sesak. Megap-megap mencari udara. Wajah Kinan semakin pucat pasi. Ia tidak bisa membayangkan itu semua. “Ya Tuhan, kenapa aku harus ditempatkan pada posisi seperti ini? Apa salahku ya Tuhan?” jerit suara hat
Ruang tamu rumah terasa hening sejak kedatangan mereka beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang berani membuka mulut. Semuanya menunggu Raga yang masih terpaku dalam duduknya. Bahunya tampak sudah terkulai lemas. Sementara Nenek Lasmi dan Tari masih memilih diam seribu bahasa. Kinan masih terus meremas kedua tangannya. Hal yang sejak tadi ia lakukan hanya untuk membantu menenangkan dirinya. Seribu pertanyaan rasanya sudah berkumpul dalam benaknya namun lidahnya mendadak kelu. “Kinan, ada sesuatu yang belum aku ceritakan padamu.” Raga membuka suara pada menit berikutnya. Semua pasang mata kini tertuju pada sosok Raga yang sudah mengangkat kepalanya. Mulutnya kembali tertutup rapat. Memberi jeda. Detik berlalu lebih lambat dari biasanya. “Aku sudah menikahi Tari.” Degup jantungnya semula berdetak kencang, kini seolah berhenti seketika. Kinan mengerjapkan mata beberapa kali. Detik berikutnya telinganya berdengung kencang hingga membuatnya sakit. “Apa maksudnya?” Suaranya tercekat
“Sus, saya nggak apa-apa kan? Saya udah boleh pulang yah?” Kinan terus menanyakan hal yang sama sejak kedatangannya ke instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta terdekat dari tempat kejadian tadi.“Sebentar ya, Bu. Dokter masih harus lihat hasil rontgen dulu,” jawab Suster ramah sebelum kemudian pergi berlalu.Kinan hanya bisa mendesah pelan di ranjang IGD yang diberi sekat kanan dan kirinya. Sekali lagi, ia terus mengecek ponselnya beberapa menit sekali hanya untuk memastikan bahwa Raga telah membaca pesannya. Namun, hasilnya nihil.Kinanti: Mas, kamu dimana? Apa sudah dalam perjalanan pulang? Seharusnya hari ini pulang kan?Serentetan pesan dan panggilan tak terjawab sudah ia lakukan tapi tak kunjung mendapatkan hasil. Suam
Setelah kejadian itu, perasaannya mulai makin tidak karuan. Berulang kali ia mengatakan bahwa sikap Raga yang kontradiktif dengan pernyataannya sebelumnya membuat mereka kerap kali dilanda pertikaian kecil. “Aku hanya spontan, Kinan. Kalaupun itu bukan Tari, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama,” tuturnya pada saat itu. Tapi Kinan tentu saja tidak mudah langsung percaya. Firasatnya mengatakan hal yang lain. Namun, Kinan tidak bisa semakin mencecar suaminya hanya berdasarkan firasatnya saja. Terlebih mereka sudah beberapa kali berada dalam situasi panas. “Percaya sama aku, Kinan. Aku khawatir bukan berarti aku masih ada rasa sama dia. Aku hanya spontan dan kejadiannya itu begitu cepat. Kamu harus percaya aku yah,” tutup Raga malam hari itu. Katanya, apa yang kita takutnya, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan bukan? Meski berat, tapi Kinan mencoba untuk menekan rasa tidak nyaman yang masih bercokol di hatinya. Setengah berharap bahwa ini semua hanya terjadi dalam kepalan