Mobil hitam yang dikendarai oleh Raga berhenti di pekarangan rumah Nenek yang cukup luas. Masih dari balik kemudi, ia melihat Sang Nenek tengah duduk di kursi santai di samping rumah yang disuguhkan dengan hamparan pegunungan dan persawahan yang hijau. Nenek tidak sendirian, di sampingnya ada Astari yang sudah berada di rumah pada jam sepagi ini.
“Nah, itu Raga sudah datang.” Nenek menyambut kedatangannya ketika Raga sudah turun dari mobil dan menghampiri dua orang wanita yang berbeda generasi.
“Bawakan pesanannya Nenek.” Raga mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam sebuah tote bag berukuran sedang.
Melihat itu Sang Nenek melebarkan senyumnya.
“Raga…” Sementara Tari menyapanya dari tempatnya duduk. Senyumnya merekah begitu melihat pria yang pernah mengisi hidupnya dulu itu kini datang.
“Tari, sudah ada disini pagi-pagi?”
Tari memberi anggukan singkat.
“Tari menginap tadi malam,” sambung Nenek Lasmi seraya mengambil tote bag dan mengintip pesanan yang dibawakan oleh cucunya.
“Oh ya? Kamu menginap tadi malam? Untuk menemani Nenek?” Raga mengerutkan kening.
“Iya, sebenarnya tidak direncanakan, sore hari aku mampir kesini untuk bawain makanan buat Nenek dan kami mengobrol cukup lama hingga waktu sudah hampir tengah malam.”
“Tari nggak ada yang nganterin, jadi Nenek suruh dia nginep disini. Sekalian Nenek juga mau dia nyicipin makanan pesanan Nenek. Selera kami kan kebetulan sama.”
Nenek Lasmi kemudian bangkit dan memanggil Esih yang ada di dalam rumah. Tak lama kemudian wanita bertubuh kurus itu muncul.
“Taruh di dalam toples ya. Siapkan juga teh hangat buat Raga.”
“Kamu sendirian?” Tari membuka suaranya.
Raga mengangguk. “Iya, Kinan mendadak sakit perut tadi pagi.”
“Mendadak atau nggak mau ikut?” tanya Nenek Lasmi.
“Sakit, Nek. Perutnya sakit karena tamu bulanannya datang tadi pagi. Seperti biasa dia hanya bisa meringkuk di kasur kalau sudah seperti itu.”
“Itu artinya gagal lagi bulan ini.” Nenek mendengus keras.
Tampak Raga berpura-pura tidak melihat dan memutuskan untuk tidak merespon. Sementara di tempatnya berdiri, Tari diam-diam menyunggingkan senyum miring.
“Nggak apa-apa istri kamu ditinggal sendirian?”
“Aku sudah siapkan makanan dan obat di samping tempat tidurnya kalau dia tidak bisa bangun. Tapi aku nggak bisa menginap ya, Nek. Kasihan Kinan nanti malam dia tidur sendirian dalam keadaan sakit.” Raga menolehkan kepala ke arah Nenek.
Nenek hanya melengos pelan dan mengibaskan tangannya acuh sebelum kemudian mengajak keduanya kembali masuk ke dalam rumah. Tampak di meja ruang tamu sudah terhidang tiga cangkir teh hangat lengkap dengan beraneka ragam olahan kue dari toko kue ternama di kota.
“Cobain lapis legitnya. Kamu suka kan, Tari?”
“Suka, Nek.”
“Nenek sudah pisahin buat kamu bawa dan berikan juga kepada Nenekmu. Dia pasti juga suka kan?”
Sudah menjadi rahasia umum di kampung ini bahwa Nenek Lasmi berteman akrab dengan Neneknya Tari, Hamidah pada semasa mereka muda sampai berusia senja. Satu alasan besar Nenek Lasmi begitu merestui hubungan Tari dan Raga karena kedekatannya dengan keluarga Tari.
Dulu sekali, Nenek Lasmi pernah ingin menjodohkan anaknya, ayahnya Raga dengan anak Nenek Hamidah, Rahayu, ibunya Tari. Namun, mereka tidak berjodoh. Hingga pada saat dirinya tahu Raga dan Tari sempat menjalin hubungan, hal itu menimbulkan kembali keinginannya untuk menjodohkan mereka berdua.
“Nggak usah repot-repot, Nek. Raga kan bawain ini buat Nenek.” Tari menggelengkan kepalanya keras.
“Raga pasti setuju kok, iya kan, Raga?” tanya Nenek menelengkan kepalanya.
“Iya, bawa saja. Sebenarnya aku bawa banyak kok dan memang tadinya mau ngasih buat kamu sebagai tanda terima kasih karena udah mau nemenin Nenek disini.”
Tari mendongak. Matanya berbinar mendengar ucapan Raga sebelumnya.
“Makasih banyak, aku senang kok nemenin Nenek. Setelah kembali ke rumah orang tuaku, aku jadi punya kehidupan.”
Raga menatap wanita itu dengan sorot mata ragu-ragu. Mulutnya sudah setengah membuka lalu sejurus kemudian ia menutup mulutnya. Ada keengganan yang membuatnya mengurungkan niatnya.
“Katakan saja, Raga.”
Sontak Raga mendongak. Terkejut karena rupanya Tari menyadarinya.
“Katakan saja apa yang membuatmu penasaran.”
Sementara di sebelahnya, Nenek Lasmi diam-diam memperhatikan keduanya sambil menyesap teh hangat.
“Apa kamu baik-baik saja?”
Seulas senyum hambar tersungging di bibirnya. “Awalnya tidak, sudah pasti. Tapi sekarang aku sudah baik. Bahkan lebih baik.”
“Apa yang terjadi sama kamu sebenarnya, Tari?”
“Dia… ringan tangan.”
Sontak saja Raga dan Nenek Lasmi mengucap istighfar bersamaan.
“Jadi dia melakukan kekerasan sama kamu?” tanya Raga lagi seolah masih belum percaya dengan apa yang didengarnya.
“Sudah kamu laporkan?” tanya Nenek Lasmi. Kini seluruh perhatian tertuju pada Tari.
Tari menggeleng. “Aku nggak mau ngelaporin, Nek. Biarin aja, yang penting aku udah bisa terbebas dari dia. Buktinya sekarang aku bisa bangkit dari keterpurukan. Aku hanya butuh dijauhkan oleh orang semacam dia.”
Sesaat Raga menatap sendu wajah Tari. Setengah tak menyangka bahwa wanita yang pernah ia bahagiakan kini harus mengalami perjalanan pernikahan yang cukup menyedihkan.
***
“Kasihan sekali ya hidupnya Tari,” ujar Nenek Lasmi tak lama setelah Tari pamit menjelang makan siang tadi karena ada urusan mendadak.
Di tempatnya, Raga terdiam. Tidak merespon. Kepalanya tertunduk, sorot matanya tidak tertuju pada satu fokus apapun pertanda bahwa pikirannya sedang berkelana. Terpisah dari raganya.
“Mungkin kalau dia jadi nikah sama kamu, dia nggak harus mengalami pernikahan yang pahit bersama dengan mantan suaminya yang suka main tangan itu,” lanjut Sang Nenek lagi. Matanya menatap Raga penuh selidik.
“Memang sudah begitu jalan hidupnya, Nek.” Raga menjawab singkat.
“Seandainya saja kalian menikah waktu itu…”
“Nanti dia juga pasti akan mendapatkan kebahagiaannya sendiri.”
“Kalau sama kamu, dia pasti bahagia.”
Raga sontak mendongak. Menatap Sang Nenek setengah tak percaya dengan apa yang dikatakannya. Bagaimana bisa Nenek berkata seperti itu disaat dirinya sudah menikah saat ini?
“Maksudnya, Nek?”
“Ya, nggak apa-apa. Nenek cuma masih berandai-andai setelah melihat kamu nggak bahagia.”
Tenggorokan Raga tercekat. “Aku bahagia kok.”
“Apa kamu yakin?” Nenek menatap mata Raga lekat-lekat.
Tak siap dengan itu, detik selanjutnya, Raga memalingkan wajahnya. Untuk menutupi kegelisahannya, pria itu kembali menyuapkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Namun, rasa ayam semur kesukaannya itu mendadak terasa hambar.
“Nenek tahu kamu sangat menginginkan anak, Raga. Tapi kamu harus menutupinya hanya untuk membuat Kinan tidak merasa kecil. Padahal kamu boleh saja menuntutnya,” ujar Nenek lagi.
“Kinan pasti lebih terpukul dengan ini, Nek. Dia juga sama-sama menginginkan anak sama sepertiku.”
“Andai aja kamu menikah dengan Tari, mungkin kalian sudah dikaruniai anak-anak yang lucu.”
Ujung bibir Raga berkedut. “Belum tentu, Nek. Itu masih menjadi Misteri Ilahi. Aku dan Kinan juga sudah berusaha semaksimal mungkin.”
“Tapi usaha kalian selalu saja gagal kan?”
Raga tidak menjawab. Toh kan pasti neneknya tahu betul apa yang terjadi.
“Karena yang bermasalah itu pasti Kinan, nggak mungkin kamu. Kamu ingat kan, apa yang dikatakan oleh Aki Karim?”
Raga termangu. Tentu saja dia ingat. Waktu itu Neneknya mengajak dirinya menemui seorang sesepuh yang katanya memiliki bakat melihat sesuatu dari dalam diri seseorang.
Aki Karim berkata padanya bahwa kesehatan reproduksi Raga benar-benar sehat sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saat itu, Raga tidak mau semerta-merta langsung percaya karena dia belum melakukan tes kesehatan secara medis.
“Kamu jadi mau pulang langsung hari ini?” tanya Nenek yang sepertinya memahami gerak-gerik tak nyaman dari pria itu.
“Iya, Nek. Kinan lagi sakit. Aku nggak tega ninggalin dia sendirian.”
Nenek hanya mendengus pelan.
Raga menyadarinya, tapi ia memilih untuk tidak memberikan respon apapu.
“Ya sudah, tunggu dulu, Nenek mau bawain lauk makan buat kamu. Si Kinan pasti nggak akan masak malam ini dengan alasan sakitnya itu.” Seusai berkata begitu, Nenek Lasmi pun bangkit dan berjalan perlahan menuju dapur.
Tidak lama kemudian, terdengar suara orang terjatuh disertai dengan bunyi perabotan yang berhamburan.
“Nenek!”
***
Sayup-sayup Kinan mendengar dering ponsel dari dalam kamarnya. Buru-buru ia mematikan kompor dan setengah berlari mengambil ponsel yang layarnya tertera nama suaminya yang tengah memanggil. Kondisi dirinya saat ini sudah cukup jauh lebih baik, berkat istirahatnya yang cukup dan juga obat yang sempat ditinggalkan Raga untuk dirinya. Maka ketika sore hari menjelang, ia buru-buru bangkit untuk menyiapkan makan malam untuk kepulangan suaminya. “Halo, Mas Raga?” “Kinan, apa kamu belum baca pesanku?” sahut Raga dari seberang panggilan. Tersirat kecemasan dari nada suaranya. “Oh, maaf, Mas. Aku lagi di dapur tadi jadi nggak terdengar ada bunyi pesan masuk. Ada apa, Mas? Apa kamu sudah di jalan pulang?” “Sepertinya aku tidak bisa pulang malam ini.” Pria itu mendesah berat. Kinan mengerutkan keningnya. “Ada yang terjadi, Mas?” “Tadi Nenek jatuh di dapur dan sekarang sedang ada di puskesmas.” Kinan terkesiap. Matanya terbelalak saking terkejutnya. “Astaghfirullah. Bagaimana keadaan Nen
“Mas?” Kinan menyambut kedatangan suaminya dua hari kemudian. Pria itu tampaknya mengambil satu hari cuti dadakan karena kejadian ini.Kinan mengulurkan tangan dan mengecup lembut punggung tangan Raga yang tampak lebih diam dari biasanya. Tidak ada senyuman yang keluar dari bibir Raga. Wajah pria itu tampak berbeda dari biasanya.‘Mungkin itu karena Mas Raga terlalu lelah karena insiden kemarin.’ Kinan menepis pikiran negatif yang sudah mulai menari-nari dalam benaknya.Raga melangkahkan kakinya gontai menuju dalam rumah sederhana yang ia beli melalui proses KPR sebelum ia menikahi Kinan tiga tahun yang lalu. Kinan pikir, pria itu akan duduk di sofa tapi langkah kakinya masih berjalan mantap menuju dapur hingga membuka lemari pendingin dan mengambil satu botol air mineral dingin lalu meneguknya seperti orang yang kehausan atau seperti orang yang sedang ingin mendinginkan kepalanya yang panas? “Apa terjadi sesuatu, Mas?” Kinan tak kuasa menahan rasa penasarannya. Raga sontak terbatu
Kecurigaan yang Kinan rasakan selama hampir sebulan terakhir perlahan mulai luntur setelah Raga akhirnya mulai sedikit terbuka dengan mengajaknya pulang menemui Nenek Lasmi setelah urusan seminarnya selesai. “Assalamualaikum.” Kinan mengucapkan salam seraya melangkahkan kaki di jalan setapak menuju pintu masuk. “Waalaikumsalam.” Seorang wanita berambut panjang yang digelung cepol muncul dari dalam rumah Nenek Lasmi. Seketika saja langkah Kinan terhenti. Matanya menatap penampilan Tari yang mengenakan baju terusan khas rumahan berwarna hijau muda bermotif bunga dan dedaunan. Keningnya mengerut dan benaknya sudah dipenuhi satu pertanyaan besar. Kenapa Tari sudah berkunjung sepagi ini dengan pakaian yang lebih pantas disebut baju tidur itu? “Halo Kinan,” sapaan Tari dengan suara yang terlalu kentara dibuat-buat itu menyadarkannya dari lamunan.Kinan menyunggingkan senyum terpaksa. “Tari? Sudah berkunjung sepagi ini?” Bukannya menjawab, wanita itu hanya menyunggingkan senyum penuh m
Setelah kejadian itu, perasaannya mulai makin tidak karuan. Berulang kali ia mengatakan bahwa sikap Raga yang kontradiktif dengan pernyataannya sebelumnya membuat mereka kerap kali dilanda pertikaian kecil. “Aku hanya spontan, Kinan. Kalaupun itu bukan Tari, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama,” tuturnya pada saat itu. Tapi Kinan tentu saja tidak mudah langsung percaya. Firasatnya mengatakan hal yang lain. Namun, Kinan tidak bisa semakin mencecar suaminya hanya berdasarkan firasatnya saja. Terlebih mereka sudah beberapa kali berada dalam situasi panas. “Percaya sama aku, Kinan. Aku khawatir bukan berarti aku masih ada rasa sama dia. Aku hanya spontan dan kejadiannya itu begitu cepat. Kamu harus percaya aku yah,” tutup Raga malam hari itu. Katanya, apa yang kita takutnya, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan bukan? Meski berat, tapi Kinan mencoba untuk menekan rasa tidak nyaman yang masih bercokol di hatinya. Setengah berharap bahwa ini semua hanya terjadi dalam kepalan
“Sus, saya nggak apa-apa kan? Saya udah boleh pulang yah?” Kinan terus menanyakan hal yang sama sejak kedatangannya ke instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta terdekat dari tempat kejadian tadi.“Sebentar ya, Bu. Dokter masih harus lihat hasil rontgen dulu,” jawab Suster ramah sebelum kemudian pergi berlalu.Kinan hanya bisa mendesah pelan di ranjang IGD yang diberi sekat kanan dan kirinya. Sekali lagi, ia terus mengecek ponselnya beberapa menit sekali hanya untuk memastikan bahwa Raga telah membaca pesannya. Namun, hasilnya nihil.Kinanti: Mas, kamu dimana? Apa sudah dalam perjalanan pulang? Seharusnya hari ini pulang kan?Serentetan pesan dan panggilan tak terjawab sudah ia lakukan tapi tak kunjung mendapatkan hasil. Suam
Ruang tamu rumah terasa hening sejak kedatangan mereka beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang berani membuka mulut. Semuanya menunggu Raga yang masih terpaku dalam duduknya. Bahunya tampak sudah terkulai lemas. Sementara Nenek Lasmi dan Tari masih memilih diam seribu bahasa. Kinan masih terus meremas kedua tangannya. Hal yang sejak tadi ia lakukan hanya untuk membantu menenangkan dirinya. Seribu pertanyaan rasanya sudah berkumpul dalam benaknya namun lidahnya mendadak kelu. “Kinan, ada sesuatu yang belum aku ceritakan padamu.” Raga membuka suara pada menit berikutnya. Semua pasang mata kini tertuju pada sosok Raga yang sudah mengangkat kepalanya. Mulutnya kembali tertutup rapat. Memberi jeda. Detik berlalu lebih lambat dari biasanya. “Aku sudah menikahi Tari.” Degup jantungnya semula berdetak kencang, kini seolah berhenti seketika. Kinan mengerjapkan mata beberapa kali. Detik berikutnya telinganya berdengung kencang hingga membuatnya sakit. “Apa maksudnya?” Suaranya tercekat
Kinan bergeming. Tak mampu untuk menggapai ponsel yang masih berdering di depannya. “Apa yang akan aku katakan pada Ibu?” gumamnya lirih. Ia tahu betul, ibunya mempunyai intuisi yang sangat kuat apalagi jika itu dikaitkan dengan anak semata wayangnya. Bagaimana jika ibunya tahu jika pernikahannya dengan Raga sudah hancur? Bagaimana jika ayahnya mendengar kabar ini akan langsung drop? Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati ayahnya ketika tahu Kinan tidak diperlakukan baik seperti janji Raga kepada ayahnya. Bahwa ia akan menjaga putri semata wayangnya. Bahwa ia akan menjadi suami yang baik untuk putrinya. Nyeri di hatinya kembali muncul. Begitu menusuk. Air mata tak berhenti mengalir. Kinan terkulai lemas di pinggir ranjang sembari memukul dadanya yang terasa sesak. Megap-megap mencari udara. Wajah Kinan semakin pucat pasi. Ia tidak bisa membayangkan itu semua. “Ya Tuhan, kenapa aku harus ditempatkan pada posisi seperti ini? Apa salahku ya Tuhan?” jerit suara hat
Ketika Kinan akhirnya keluar dari kamar setelah menerima panggilan telepon dari ibunya, barulah ia sadari bahwa keadaan rumah sudah dalam keadaan sepi.Ia termenung di tempatnya berdiri. Menatap ruang tamu yang menjadi saksi dimana pertengkaran terjadi, dimana sebuah fakta yang paling tidak ingin ia dengar keluar dari mulut suaminya.Bahunya kembali terkulai, namun dengan cepat Kinan menggeleng keras berupaya untuk menepisnya.“Bukan itu yang menjadi fokusku sekarang, aku harus menunggu Mas Raga pulang,” gumamnya pelan diiringi sebuah rasa miris yang memenuhi perasaannya.Beberapa saat yang lalu ia menginginkan pria itu enyah dari hidupnya, namun kini ia harus mencari kembali pria itu.Kinan tertawa sumbang. Mentertawakan hidupnya.Sejurus kemudian, pintu depan terbuka diikuti dengan kemunculan Raga yang tampaknya terkejut melihat Kinan berdiri mematung di ruang tengah rumahnya.“Kinan?” tanyanya sedikit terkejut ketika melihat istrinya berdiri mematung di tengah rumah. Ia melangkah m
“Hai Mbak, hari ini datang lebih siang?” Seorang barista muda menyapa kedatangan Kinan. “Iya nih, ada yang harus aku kerjakan dulu tadi.” Kinan membalas senyuman ramah barista itu. “Oh lagi sibuk banget sepertinya ya. Pesan seperti biasa?”Kinan mengangguk. “Tambah satu sloki espresso ya dan Butter Croissant satu.” “Siap, butuh kopi yang lebih strong banget kayaknya Mbak.” “Iya nih, deadline udah tinggal dikit lagi. Mesti dikebut.” “Sip, pesanannya sudah masuk. Mbak duduk aja dulu, nanti pesanannya aku yang anterin. Spot biasa juga masih kosong tuh, tumben. Biasanya rebutan. Jodohnya Mbak Kinan.” “Ah, bisa aja kamu. Makasih banyak, Jes.” Senyuman Kinan semakin mengembang. Barista yang bernama Jessica itu membalasnya dengan kedipan sebelah mata. Kinan berbalik badan dan menuju salah satu spot favoritnya yang terletak di sudut ruangan, sedikit tertutup karena adanya pilar yang menyembul di antara bangunan namun memiliki jendela besar yang bisa memantau pergerakan orang di luaran
Tari tak kuasa mengepalkan tangan dan meremas ujung dasternya. Gejolak amarah sudah mulai memenuhi hatinya. Terlebih ketika pria itu mulai bangkit dan berjalan memasuki kamarnya yang ditempati bersama Kinan. Matanya berkilat tajam ke arah pintu yang tertutup rapat itu. “Jangan dipikirin apa kata Raga. Sekarang dia boleh ngomong begitu, tapi kita nggak pernah tahu apa yang terjadi kedepannya.” Nenek Lasmi berkata. Tari menoleh. Melepaskan genggamannya pada ujung daster. Melemaskan ototnya dan kembali mengatur emosinya. “Iya, Nek. Aku paham kok. Ah, Kinan begitu beruntung mendapatkan suami seperti Raga.” Tari mengulas senyumnya terpaksa. ‘Mestinya aku yang mendapatkan Raga kala ini,’ lanjutnya dalam hati. Matanya terpaku pada pintu kamar yang tertutup. Kamar kedua yang terletak di paling belakang rumah ini bisa dibilang tidak cukup layak untuk disebut kamar. Kini ia harus menempati kamar itu bersama dengan Nenek Lasmi yang semakin membuatnya sesak. ‘Seharusnya aku yang menempati ka
“Maksudnya gimana? Nenek ingin tinggal disini?” tanya Kinan sekali lagi dengan kening yang masih mengerut. “Bukan cuma Nenek aja, tapi Tari juga.” Wanita itu menoleh dan menatap Tari yang berdiri tak jauh darinya. Kinan mengikuti padangan Nenek. Wanita itu masih sama diamnya sejak kemarin. Apa dia mendadak jadi bisu? pikir Kinan jengah. “Bukannya Mas Raga sudah menyewakan sebuah rumah untuk Tari tinggali?” tanya Kinan kemudian. “Benar. Lalu setelah dipikir-pikir, Raga akan mengeluarkan uang dua kali lipat. Untuk KPR rumah ini dan untuk biaya sewa bulanan untuk rumah kontrakan. Sementara dia hanya bekerja sendirian, tak ada yang membantu. Sementara itu, rumah ini ada dua kamar tidur dan luasnya juga pas untuk ditinggali empat orang. Bukankah lebih baik menekan biaya pengeluaran? Kasihan Raga capek bekerja dan tidak ada yang membantu.” Nenek memberikan penjelasan seraya melayangkan tatapan yang merendahkan. “Bukankah sejak awal sudah diputuskan seperti itu? Kenapa sekarang menyes
Kinanti menyadari bahwa bahunya sudah semakin terkulai semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Meski Dokter mengatakan kondisi ayahnya masih bisa ditangani dengan baik tapi tetap tidak membuat wanita itu merasa tenang.Masalah menimpanya dengan bertubi-tubi kali ini. Belum juga ia selesai dari keterkejutannya karena suaminya menikah dengan mantan pacarnya, kini kesehatan ayahnya pun menurun dan harus menjalani prosedur pemasangan ring di jantungnya.Meski prosedur yang hanya memakan waktu 30 menit itu berhasil dilakukan dengan baik tanpa kendala, tapi tetap saja tidak menutupi fakta bahwa pernah ada penyumbatan pembuluh darah di jantungnya.Itu berarti Ayahnya tidak boleh lagi mengalami kejadian berat yang menganggunya.“Bagaimana jadinya k
Ketika Kinan akhirnya keluar dari kamar setelah menerima panggilan telepon dari ibunya, barulah ia sadari bahwa keadaan rumah sudah dalam keadaan sepi.Ia termenung di tempatnya berdiri. Menatap ruang tamu yang menjadi saksi dimana pertengkaran terjadi, dimana sebuah fakta yang paling tidak ingin ia dengar keluar dari mulut suaminya.Bahunya kembali terkulai, namun dengan cepat Kinan menggeleng keras berupaya untuk menepisnya.“Bukan itu yang menjadi fokusku sekarang, aku harus menunggu Mas Raga pulang,” gumamnya pelan diiringi sebuah rasa miris yang memenuhi perasaannya.Beberapa saat yang lalu ia menginginkan pria itu enyah dari hidupnya, namun kini ia harus mencari kembali pria itu.Kinan tertawa sumbang. Mentertawakan hidupnya.Sejurus kemudian, pintu depan terbuka diikuti dengan kemunculan Raga yang tampaknya terkejut melihat Kinan berdiri mematung di ruang tengah rumahnya.“Kinan?” tanyanya sedikit terkejut ketika melihat istrinya berdiri mematung di tengah rumah. Ia melangkah m
Kinan bergeming. Tak mampu untuk menggapai ponsel yang masih berdering di depannya. “Apa yang akan aku katakan pada Ibu?” gumamnya lirih. Ia tahu betul, ibunya mempunyai intuisi yang sangat kuat apalagi jika itu dikaitkan dengan anak semata wayangnya. Bagaimana jika ibunya tahu jika pernikahannya dengan Raga sudah hancur? Bagaimana jika ayahnya mendengar kabar ini akan langsung drop? Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati ayahnya ketika tahu Kinan tidak diperlakukan baik seperti janji Raga kepada ayahnya. Bahwa ia akan menjaga putri semata wayangnya. Bahwa ia akan menjadi suami yang baik untuk putrinya. Nyeri di hatinya kembali muncul. Begitu menusuk. Air mata tak berhenti mengalir. Kinan terkulai lemas di pinggir ranjang sembari memukul dadanya yang terasa sesak. Megap-megap mencari udara. Wajah Kinan semakin pucat pasi. Ia tidak bisa membayangkan itu semua. “Ya Tuhan, kenapa aku harus ditempatkan pada posisi seperti ini? Apa salahku ya Tuhan?” jerit suara hat
Ruang tamu rumah terasa hening sejak kedatangan mereka beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang berani membuka mulut. Semuanya menunggu Raga yang masih terpaku dalam duduknya. Bahunya tampak sudah terkulai lemas. Sementara Nenek Lasmi dan Tari masih memilih diam seribu bahasa. Kinan masih terus meremas kedua tangannya. Hal yang sejak tadi ia lakukan hanya untuk membantu menenangkan dirinya. Seribu pertanyaan rasanya sudah berkumpul dalam benaknya namun lidahnya mendadak kelu. “Kinan, ada sesuatu yang belum aku ceritakan padamu.” Raga membuka suara pada menit berikutnya. Semua pasang mata kini tertuju pada sosok Raga yang sudah mengangkat kepalanya. Mulutnya kembali tertutup rapat. Memberi jeda. Detik berlalu lebih lambat dari biasanya. “Aku sudah menikahi Tari.” Degup jantungnya semula berdetak kencang, kini seolah berhenti seketika. Kinan mengerjapkan mata beberapa kali. Detik berikutnya telinganya berdengung kencang hingga membuatnya sakit. “Apa maksudnya?” Suaranya tercekat
“Sus, saya nggak apa-apa kan? Saya udah boleh pulang yah?” Kinan terus menanyakan hal yang sama sejak kedatangannya ke instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta terdekat dari tempat kejadian tadi.“Sebentar ya, Bu. Dokter masih harus lihat hasil rontgen dulu,” jawab Suster ramah sebelum kemudian pergi berlalu.Kinan hanya bisa mendesah pelan di ranjang IGD yang diberi sekat kanan dan kirinya. Sekali lagi, ia terus mengecek ponselnya beberapa menit sekali hanya untuk memastikan bahwa Raga telah membaca pesannya. Namun, hasilnya nihil.Kinanti: Mas, kamu dimana? Apa sudah dalam perjalanan pulang? Seharusnya hari ini pulang kan?Serentetan pesan dan panggilan tak terjawab sudah ia lakukan tapi tak kunjung mendapatkan hasil. Suam
Setelah kejadian itu, perasaannya mulai makin tidak karuan. Berulang kali ia mengatakan bahwa sikap Raga yang kontradiktif dengan pernyataannya sebelumnya membuat mereka kerap kali dilanda pertikaian kecil. “Aku hanya spontan, Kinan. Kalaupun itu bukan Tari, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama,” tuturnya pada saat itu. Tapi Kinan tentu saja tidak mudah langsung percaya. Firasatnya mengatakan hal yang lain. Namun, Kinan tidak bisa semakin mencecar suaminya hanya berdasarkan firasatnya saja. Terlebih mereka sudah beberapa kali berada dalam situasi panas. “Percaya sama aku, Kinan. Aku khawatir bukan berarti aku masih ada rasa sama dia. Aku hanya spontan dan kejadiannya itu begitu cepat. Kamu harus percaya aku yah,” tutup Raga malam hari itu. Katanya, apa yang kita takutnya, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan bukan? Meski berat, tapi Kinan mencoba untuk menekan rasa tidak nyaman yang masih bercokol di hatinya. Setengah berharap bahwa ini semua hanya terjadi dalam kepalan