Home / Romansa / Diary Rain / Part 2 - Perasaan yang Tidak Kusadari

Share

Part 2 - Perasaan yang Tidak Kusadari

Author: Pyp Raesland
last update Last Updated: 2021-06-06 14:13:56

Aku tidak tahu akan jadi apa hidupku di masa depan. Manusia cuma bisa berharap dan berusaha. Tuhan yang menentukan. Tapi, aku tahu satu hal. Selama sahabatku ada di sisiku, semua masalahku akan sanggup kuhadapi...

~(Milanda Revalido Sulistya)~

"Tolongin gue, Rain!"

Aku hanya diam saja. Mila menghambur ke pelukanku sesaat setelah ia masuk ke kafe. Aku yang tak mengerti apapun hanya menyambut pelukannya. Biarkan ia memelukku dulu. Kalau tangisnya sudah reda, Mila pasti akan cerita. Aku tahu watak Mila.

"Dia udah ngerebut semuanya, Rain. Semuanya! Sekarang semuanya sirna sudah. Musnah harapan. Musnah dunia!" isaknya dalam pelukanku.

Aku mengernyit. Dia? Semuanya? Siapa? Dan bersamaan dengan itu, aku melihat banyak tatapan sinis dari orang-orang di kafe. Aku pun merasa tidak enak.

"Mila, udahan dulu. Ayo kita duduk. Gak enak diliat orang banyak." bisikku tepat di telinganya.

Sesaat tangisnya berhenti. Ia segera melepas pelukanku dan mengedarkan pandangan ke segala arah. Begitu menyadarinya, ia langsung tersenyum jahil dan duduk.

Aku menghela napas. Memang beginilah Mila, sedetik yang lalu dia nangis bombay dan berlagak seperti orang depresi dan gila. Namun sedetik berikutnya, ia bisa langsung tersenyum dan tertawa senang. Aku terkadang merasa sebal. Namun aku tak pernah bisa marah dengan sikapnya itu. Dia adalah sahabatku yang paling dekat, setelah Zevran tentunya.

"Udah?" tanyaku ketika melihat dia sudah terlihat tenang.

Mila mengangguk. Aku pun segera duduk di hadapannya.

"Sekarang elu cerita ke gue. Kenapa lo nangis? Kenapa lo dandan bisa berantakan begini? Elo gak biasanya begini. Terus dia yang mengambil semuanya itu siapa?" Cecarku pada Mila.

Mila meringis.

Astaga? Apa yang sebenarnya dia lakukan? Apa dia sedang bersandiwara padaku? Awas saja kalau sampai itu terjadi.

"Sebenarnya gak terlalu serius sih, Rain. Hanya saja..." ucapnya terpotong.

"Hanya apa, Mil? Lo jangan membuat gue kesal dong!" ucapku. Aku benar-benar kesal sekarang.

"Daud mutusin gue." Ucapnya cepat, namun penuh penekanan dan nada yang serendah mungkin.

Seketika aku mendelik. Terdengar nada nelangsa dari ucapannya.

Daud, pacar Mila sejak 2 tahun terakhir. Daud, lelaki yang membuat Mila berhenti mengejar cowok lain dan tobat menjadi  playgirl. Daud yang dewasa dan berjiwa besar. Dia selalu ada untuk Mila. Saat Mila sedih maupun senang, selama dua tahun ini.

Dan sekarang, Daud memutuskan untuk berhenti berada di sisi Mila. Ada apa ini? Melihat wajah nelangsa Mila, aku pun tak jadi kesal padanya.

"Gue tahu lo mau tanya apa. Makanya gue kasih tahu." Ucapnya sambil menarik napas perlahan.

"Dia cuma manfaatin gue, Rain. Dia taruhan sama temennya, dan sekarang dia udah menang. Dia ninggalin gue gitu aja. Dia udah ambil semua hati gue. Semuanya. Tapi itu sia-sia." jelasnya beruntun.

Mila kembali menangis. Namun kali ini ia menangis dengan anggun, tidak seperti ketika datang tadi. Aku tak sampai hati mendengar pengakuan Mila. Sampai segitunya Daud pada sahabatnya ini? Apakah Daud memang tak punya hati? Apakah kebersamaan selama dua tahun itu tak cukup baginya untuk mencintai Mila?

Aku tak tahu. Yang kutahu, sekarang sahabatku ini menangis dan dia butuh ketenangan. Aku berusaha menenangkannya yang kembali menangis.

"Udah dong, Mil. Jangan nangis terus! Cowok kayak gitu gak pantas elu tangisin. Elu kudu kuat, harus sabar. Elu bisa menghadapi ini semua, Mil." Hiburku.

Namun Mila sepertinya butuh lebih dari sekadar hiburan. Dia masih terus menangis walau sudah kubujuk dengan kata-kata, bahkan sampai kue yang kupesan kuberikan padanya. Namun bukannya diam, dia malah semakin menjadi.

Baiklah Tuhan, aku akan menjalankan satu cara terakhirku untuk Mila.

*** 

"Gimana?" tanyaku pada Mila. 

"Sekarang gue baru ngerti, Rain. Ternyata apa yang lo lakuin itu bermanfaat banget. Buktinya, gue ngerasa lebih tenang sekarang." jawab Mila dengan senang. 

Ia masih terus menikmati setiap tetes air hujan yang turun. Ya, aku akhirnya memaksa Mila melakukan seperti apa yang kulakukan saat aku sedang sedih. Bercerita pada hujan. Dan kebetulan di sini, hujan hampir setiap hari turun, terlebih ini memasuki bulan Desember. Bulan yang penuh hujan. Dan kebetulan, saat aku menyeret Mila ke jalan ini, hujan mulai turun. Dan aku pada akhirnya juga menikmatinya. 

"Makanya jangan asal menilai dulu kalau belum pernah lo lakuin, Mil." Kataku sambil mencipratkan air pada Mila. 

Mila pun geram dan membalasku. Sampai akhirnya kami saling berkejar-kejaran. Hari semakin malam dan jalanan semakin sepi. Tapi aku dan Mila masih tetap meneruskan tindakan kami. 

Mila yang mulai kelelahan berhenti mengejarku. Ia duduk di bawah sebuah pohon. Dan aku pun mengikutinya, mengambil tempat tepat di sampingnya. Kami basah kuyup, kedinginan, tapi hati kami merasa puas. 

"Rain." panggil Mila.

"Hm." 

"Kadang, lo ngerasa gak kalau hidup itu gak adil?" tanya Mila. 

"Kalau lo tanya itu, gue gak bisa bilang bahwa hidup ini gak adil. Gue udah ngalamin berbagai macam kehidupan. Dan gue merasa bahwa hidup masing-masing sudah ada porsinya masing-masing, Mil." Jawabku. 

"Kenapa kok begitu?" Tanya Mila lagi. 

Mataku kemudian memandang ke atas. Kunikmati lagi setiap tetesan hujan . Mendadak hatiku kembali merasakan kepedihan yang mendalam itu lagi.

"Karena hidup itu anugerah. Bukan sebuah musibah." Jawabku dengan suara tercekat. 

"Lo minimal pasti udah tahu, Mil. Gue yatim piatu. Kemudian hidup di panti asuhan, dan seterusnya. Tapi nyatanya, di balik semua itu, Tuhan menyimpan hikmahnya. Dia kasih hikmah itu bersamaan dengan kerasnya hidup gue. Dan elu tahu? Selama gue di panti, gue melihat banyak sekali anak-anak lain yang mengalami kejadian jauh lebih buruk dari yang gue alami. Dari situ, gue merasa bersyukur banget, sekalipun gue tahu, gue bahkan juga gak pernah bisa ngelupain kejadian 14 tahun yang lalu itu." Paparku. Suaraku bergetar, tanda aku menahan tangis. 

"Lo itu ternyata gak berubah, ya Rain." Timpal Mila lirih. 

Mataku langsung melotot mendengar perkataan Mila. 

"Gak berubah gimana?" Tanyaku. 

"Kita ini udah bersahabat lima tahun. Dan selama ini gue gak pernah melihat lo ngeluh ke orang lain. Bahkan sama gue aja juga nggak. Tapi lo selalu cerita ke gue, kalau semua masalah lo udah lo ceritain ke hujan. Setiap cerita hidup lo, entah seneng, entah susah, lo pasti cerita ke hujan. Dan sampai sekarang, gue cuma ngerti itu aja. Masalah lo apa, gue gak pernah tahu. Bahkan juga tentang adil atau gaknya hidup. Lo selalu bilang, hidup itu adil. Meskipun gue tahu, hidup lo itu pasti sama aja kayak orang lain, punya masalah. Dan elo udah mengambil banyak banget pelajaran hidup dari banyak orang selama ini. Gue salut elo kuat dan gak pernah ngeluh dengan semua permasalahan di hidup elo." Kata Mila panjang lebar. Perlahan dihapusnya kedua air matanya, meski tak terlalu berguna karena hujan juga masih turun, bahkan cenderung semakin lebat. 

Aku tersenyum. 

"Gue ini manusia, Mil. Gue juga punya masalah. Dan semua masalah itu, tidak membuat hidup menjadi tak adil. Itu hanya ujian. Bukan musibah.  Dan bahkan setiap kali hujan turun, gue selalu ngerasa kalau masalah gue itu larut dan hilang bersama hujan." Jawabku. 

"Kenapa mesti hujan?" Tanya Mila. 

"Hujan itu beda, Mil. Dia hidup, tapi selalu setia mendengarkan cerita gue. Dia sumber kehidupan, tapi tak pernah kesal atau sebal dengan cerita yang gue ungkapkan. Dia anugrah Tuhan yang turun ke bumi, tapi tak pernah menampakkan egonya dan menolak mendengarkan cerita manusia kayak gue ini. Dan itu yang membuat gue selalu bercerita dengan hujan. Bagi gue hujan adalah pendengar cerita yang paling baik." jelasku. 

Mila tersenyum kecut. "Gue sama sekali gak pernah tahu masalah elo, Rain. Tapi elo selalu tahu masalah gue kayak gimana. Gue selalu cerita. Tapi elo enggak. Padahal menurut gue, kalau elo sampai menjadikan hujan sebagai tempat bercerita, maka gue yakin elo pasti menghadapi masalah yang serius, Rain. Bahkan mungkin masalah yang sangat besar." Mila mengucapkannya dengan getir. Dipandangnya Rain dengan lekat dan penuh haru. 

"Gue gak mau membebani pikiran orang lain dengan masalah gue, Mil. Karena menurut gue, hidup itu tak boleh menyusahkan orang lain. Lagipula masalah gue itu bukan masalah yang bisa didengarkan orang lain. Dan mungkin, pemikiran lo itu ada benarnya juga, Mil." ucapku. 

Hening. Kami sama-sama terdiam. Mencari kebenaran dalam diri masing-masing. Sebab terkadang kebenaran itu tertutup oleh rasa ego yang muncul, penyakit hati manusia yang tak pernah hilang sampai akhir zaman. Dan aku terkadang masih merasakan kuatnya ego sebagai seorang manusia. Ego yang mampu membawa manusia ke jalan yang buruk. Seperti 14 tahun yang lalu. 

"Mil." 

"Hm." Jawab Mila. 

"Jangan pernah ragu untuk cerita ke gue, ya? Elo boleh cerita apa pun ke gue, meski...." Kataku terputus. 

"Meski apa, Rain?" tanya Mila. 

"Meskipun gue bukan sahabat yang baik, jangan pernah ragu ke gue. Gue yakin, gue masih bisa elo sebut sahabat walaupun gue gak pernah cerita apapun sama elo. Maafin gue, ya? " Ucapku sambil tersenyum. 

Mila membalas senyumanku dan langsung memelukku. "Jangan minta maaf, Rain. Semua orang punya cara tersendiri dalam membagi cerita tentang masalahnya. Gue gak marah kalau elo gak cerita. Itu hak elo, lagipula gue juga tahu penyebabnya apa. Gak masalah sama sekali." 

"Jadi, kita sahabat?" Tanyaku lebih jelas. 

"We are best friend forever, Rain." Tukas Mila.

Dan kami pun tertawa bersama. 

"Rain." 

Deg! Jantungku mencelos. 

Aku mendengar suara lain memanggilku.

Related chapters

  • Diary Rain   Part 3 - Aku dan Zevran

    Apakah lukamu begitu dalam sehingga kau tak bisa melihatku? Apakah aku tak cukup berhasil untuk membuatmu jatuh cinta padaku?Lihatlah sejenak, Rain. Lihatlah aku. Akulah pelangi yang kau tunggu setelah hujan malam itu. Lihatlah. Meski aku tak bisa sepenuhnya menghapus luka itu, setidaknya warna baru hadir dalam hidupmu. Jangan menjadi bintang di malam kelabu, terlihat dekat, namun sangat sulit kugapai...~(Zevran Abraham Radjoan)~ Aku menoleh dan mendapati seorang pria menatap ke arahku dan Mila. Seluruh tubuhnya basah dan rambutnya yang kecoklatan berantakan. Tubuhnya tegap. Dan ia menatapku sendu."Zevran." Ucapku lirih.Mila cuma melongo. Sedangkan aku segera berdiri dan mendekati Zevran.

    Last Updated : 2021-06-06
  • Diary Rain   Part 4 - Aku dan Sean

    Orang bilang cinta itu datang tiba-tiba. Dan aku percaya. Aku mengalaminya. Tapi hatiku juga sakit. Sakit melihatnya bersama orang lain sesaat setelah pertemuan kedua. Apakah kalian percaya bahwa hubungan antara seorang pria dan wanita itu murni sahabat? Ingatlah perkataanku, bahwa hujan dan pelangi itu sepasang kekasih. Yang hadir dan saling melengkapi, walau hanya sesaat. Begitu pula dengan seorang pria dan wanita... ~(Sean Reynald Tanubradja)~ "Lo kok murung sih, Rain?" Tanya Arina yang sukses membuatku tergagap. Melihat reaksiku, Arina langsung tertawa terbahak-bahak. "Cie, yang lagi jatuh cinta." "Hah?" Teriakku terkejut. Sontak saja Arina langsung menutup mulutku dengan tangannya. "Jangan keras-keras. Ini kantor, Rain." Aku mengangguk dan Arina melepaskan

    Last Updated : 2021-06-06
  • Diary Rain   Part 5 - Melihat Situasi

    Alam seakan mendekatkan kami berdua. Jujur saja, aku tak memiliki rasa itu. Tapi apakah benar begitu? Semua yang dilakukannya tampak nyata. Tapi merapuhkan jiwaku, secara perlahan... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Di sinilah aku. Berdesak-desakan dengan pengunjung lain di sebuah mall besar di kotaku ini bersama dua orang sahabat terbaikku. Dan tebak, apa yang terjadi sebelum ini? Benar sekali. Mila dengan polosnya mengatakan tujuannya tanpa sempat kucegah. Dan itu terjadi di foodcourt tadi. Zevran langsung tertawa lepas dan aku hanya menunduk malu. Awas saja kau, Mila, batinku. "Bisakah kita berhenti sebentar? Aku capek. Dan jujur saja, aku ingin pulang." ucapku saat kami bertiga sudah sampai di lantai atas mall itu. Dan tentu saja setelah lepas dari desa

    Last Updated : 2021-06-06
  • Diary Rain   Part 6 - Antara Sean dan Zevran

    Aku tak bermaksud melukaimu, sama sekali. Aku hanya ingin menyadarkanmu, ingin memberitahumu, bahwa meskipun aku orang baru di hidupmu, tetapi aku juga berhak mencintaimu. Meski aku tahu hatimu bukan untukku, tapi setidaknya berilah aku waktu, buka saja sedikit jalan, aku ingin merengkuh indahnya cinta itu. Bersamamu... ~(Sean Reynald Tanubraja)~ "Apa yang kau lakukan?" teriakku saat aku berhasil lepas dari cengkraman pria itu. Kami sekarang berada di parkiran mobil. Aku melihat pergelangan tanganku yang baru saja dicengkram olehnya. Pergelangan tanganku nampak memerah karena kuatnya cengkraman pria itu. Rasanya lumayan panas. Namun, bukan itu fokus utamaku, tapi pria yang sekarang berada di hadapanku ini. Tatapannya serasa menusukku. Namun, aku tidak peduli.

    Last Updated : 2021-06-06
  • Diary Rain   Part 7 - Memberi Kesempatan

    Kita tidak pernah tahu hati kita akan berlabuh kepada siapa. Yang pasti aku mengetahui satu hal, aku ingin sembuh dari trauma dan luka masa lalu dengan mempercayai cinta. Dan dengan cinta, aku ingin melabuhkan hatiku pada orang yang tepat. Aku hanya berusaha membuka hatiku pada orang lain, selebihnya akan kupasrahkan. Biarkan hati yang memilih jalan pulangnya... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Seminggu setelah kejadian di pesta itu. Seminggu pula setelah aku memasakkan makanan untuk Zevran. Selama seminggu itulah Sean tidak lagi menampakkan dirinya di hadapanku. Dan selama seminggu itulah aku tidak bisa bertemu dengan Zevran. Kalau harus jujur, itu semua terasa berat di hatiku. Pertama, Sean. Dia entah kenapa tidak terlihat di kantor selama seminggu ini. Sebenarnya ak

    Last Updated : 2021-06-06
  • Diary Rain   Part 8 - Bersama Mila

    Aku tak bermaksud membuatmu terluka, tapi jika memang ini jalannya takdir yang harus kujalani, aku rela. Bukankah takdir tak pernah licik? Dan senja bahkan masih indah dipandang walau sinarnya temaram.... ~Zevran Abraham Radjoan~ "Kau gila, Sean!" teriakku kepada Sean. Namun pria itu tak menggubrisku. Ia terus saja tertawa dan berlari menjauhiku. Percayalah, ia seorang pemilik perusahaan dan kelakuannya seperti layaknya anak kecil. Benar-benar menyebalkan. "Ayolah, Rain! Apakah kau tak tahu bahwa coklat itu sangat enak?" teriaknya sambil tertawa. Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku tahu enak jika semua coklat itu menempel di wajahku dan bukan di lidahku? Aah, aku juga yang salah. Kenapa aku percaya saja ucapan Sean yang jahil itu. "Pergi saja kau, Sean! Aku kesal padamu!"

    Last Updated : 2021-06-06
  • Diary Rain   Part 9 - Bertemu Kembali

    Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu. ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan matak

    Last Updated : 2021-06-06
  • Diary Rain   Part 10 - Berkecamuk

    Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu. Hening. Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini. Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. "Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas. Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki d

    Last Updated : 2021-06-07

Latest chapter

  • Diary Rain   Part 32 - Neraka (2)

    Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan

  • Diary Rain   Part 31 - Neraka (1)

    Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.

  • Diary Rain   Part 30 - Bangkit

    Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber

  • Diary Rain   Part 29 - Persiapan

    "Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.

  • Diary Rain   Part 28 - Dua Hati yang Kembali

    Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku. Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif. Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun. Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga. Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu. Aku lantas men

  • Diary Rain   Part 27 - Masih Ragu

    Rain POV Aku terduduk lemas di sudut kamar inapku setelah Zevran melenggang keluar dari kamarku. Sejenak pikiranku kembali melayang ke hari pertama aku pergi dari hidupnya. -Flashback Dimulai- "Tapi nyonya..." sahutku terpotong. "Kamu tidak usah banyak tapi. Tinggal pilih! Mau Zevran mati di tanganku atau kau tinggalkan dia dan mengabdikan diri kepadaku." Jawab Tamara dengan suara penuh penekanan. "Apa alasan Anda begitu jahat padaku, hah?" Aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diriku. Ia pasti tahu bahwa nada suaraku sudah lumayan tinggi dan cukup kesal. Tetapi aku lupa bahwa ia adalah Tamara Dhananjaya yang begitu kuat dan bukan tandinganku. "Kamu masih bertanya? Ingat, perempuan jalang! Nina, istri Bhaskara, hampir bunuh diri karena Bhaskara terus memikirkanmu. Kau pikir aku tidak akan membalas dendam karenanya? Dia bahk

  • Diary Rain   Part 26 - Terkuak

    Aku menghentikan laju mobilku di sebuah jembatan tak jauh dari tempatku menemui Zack. Kututup pintu mobil dari luar dan aku membuang pandanganku ke sungai yang mengalir di bawahnya. Kuhela napas panjang dan aku benar-benar merasa bahwa aku tak mampu lagi berdiri dengan kakiku. Seketika aku luruh sambil menyangga tubuhku di tiang jembatan. Aku masih ingat setiap kata Zack. -Flashback Dimulai- "Cepat ceritakan padaku, Zack!" Ujarku tak sabar ketika bertemu Zack di ruanganku. Zack menunduk takut-takut, seakan-akan sesuatu yang akan dibicarakannya adalah hal besar. "Tuan, saya harap Tuan tidak akan terkejut mendengarnya." Zack berkata dengan sangat hati-hati. "Hmmm." Kulemparkan tatapan dinginku padanya sebagai balasan. Zack menunduk seketika. "Jadi begini, Tuan...." ia memulai l

  • Diary Rain   Part 25 - Hilang Ingatan

    Aku mendobrak pintu rumah keluarga Dhananjaya. Di sana banyak asisten rumah tangga dan para pegawai yang terkejut melihat kedatanganku lengkap dengan pasukan bersenjata. Aku memberikan kode pada sejumlah pasukan untuk mencari orang yang kumaksud. Tanpa pengulangan, mereka dengan sigap menyebar ke segala penjuru rumah. Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah, mencoba memahami situasi di sini. Tak berselang lama, terdengar suara berisik dari lantai 2… Aku yang mendengarnya segera berlari ke atas, meninggalkan para pegawai keluarga Dhananjaya di bawah yang menjadi sandera pasukan khususku. Begitu menginjakkan kaki di ubin pertama lantai 2, aku melihat Bhaskara tengah meronta-ronta di bawah kendali pasukan khususku. Sementara di sampingnya, Rain tengah memandangku datar. Ia seakan-akan tanpa ekspresi dan seperti mayat hidup. Hatiku bergetar. Tanpa aba-aba, aku reflek berlari dan memeluknya e

  • Diary Rain   Part 24 - Pengepungan

    Aku melangkah maju dengan percaya diri. Kubuka semua pintu dan kuterobos semua penjagaan yang ada di gedung itu. Bahkan satpam di sana tak berani menghentikanku. "Minggir!" Teriakku dengan tatapan penuh ancaman dan aura sedingin kutub selatan. Di depanku, semua orang yang berkerumun di hadapan resepsionis langsung menepi, memberiku jalan yang kumaksud. Brakkk! Aku menggebrak meja resepsionis, membuat wanita petugas resepsionis langsung menunduk. Kulihat wajahnya. Orang Indonesia. Dia pasti paham perkataanku. "Berikan aku akses ke ruangan Dhananjaya. Cepat!" Hardikku. Wanita itu sontak ketakutan dan gemetar. Dia pasti tahu aku siapa dan tidak mungkin bereaksi seperti ini kalau ia tidak menyadari identitasku. Namun setelah mendengar suaraku, ia bahkan bungkam dan tak bergerak sama sekali. Ia bahkan tak menjalankan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status