Home / Romansa / Diary Rain / Part 5 - Melihat Situasi

Share

Part 5 - Melihat Situasi

Author: Pyp Raesland
last update Last Updated: 2021-06-06 14:22:09

Alam seakan mendekatkan kami berdua. Jujur saja, aku tak memiliki rasa itu. Tapi apakah benar begitu? Semua yang dilakukannya tampak nyata. Tapi merapuhkan jiwaku, secara perlahan...

~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~

Di sinilah aku. Berdesak-desakan dengan pengunjung lain di sebuah mall besar di kotaku ini bersama dua orang sahabat terbaikku. Dan tebak, apa yang terjadi sebelum ini?

Benar sekali.

Mila dengan polosnya mengatakan tujuannya tanpa sempat kucegah. Dan itu terjadi di foodcourt tadi. Zevran langsung tertawa lepas dan aku hanya menunduk malu.

Awas saja kau, Mila, batinku.

"Bisakah kita berhenti sebentar? Aku capek. Dan jujur saja, aku ingin pulang." ucapku saat kami bertiga sudah sampai di lantai atas mall itu. Dan tentu saja setelah lepas dari desakan pengunjung mall yang membludak, mengingat ini akhir pekan dan awal bulan. Sungguh perpaduan yang sangat pas.

"Belum. Ini masih jam 6. Dan baju itu belum kamu pakai." jawab Zevran sambil terus berjalan.

"Ha? Terus aku harus memakainya begitu?" tanyaku.

Apakah Zevran tidak berpikir bahwa membawa baju ini saja aku sudah tidak mau? Apalagi disuruh memakai. Baju ini lebih layak disebut sebagai gaun. Dengan panjangnya yang kuperkirakan semata kaki, itu memang tidak terlalu buruk. Tapi bagian atasnya tak menutup sempurna. Apakah aku akan memamerkan pundakku pada khalayak ramai? Aku langsung menggeleng cepat.

Melihatku menggeleng, Zevran menghentikan langkahnya. Ia segera berbalik menghadapku.

"Itu untuk kau pakai ke pesta nanti bersamaku, Rain. Pakai saja. Kumohon, demi aku." ucapnya memohon. Aku melirik Mila yang sedari tadi sibuk mengurusi belanjaannya yang seabrek. Ia nampak kewalahan.

"Baiklah." jawabku akhirnya. Tak ada gunanya berdebat dengan Zevran sekarang. Lagipula aku sudah berjanji dengannya kemarin.

Zevran langsung tersenyum lebar.

"Baiklah, kalau begitu. Mil, maukah kau membantuku?" 

Mila yang sedari tadi sibuk sendiri langsung menoleh ke arah Zevran. "Ya?"

"Aku akan membawakan semua belanjaanmu ke mobil, tapi maukah kau membawa Rain ke salon di mall ini? Dandanilah dia dengan cantik. Dan juga, pakaikan dia baju yang kubelikan untuknya. Bagaimana?" tanya Zevran.

"Deal." jawab Mila tanpa berpikir. Dan aku cuma melongo mendengarnya.

Mila benar-benar keterlaluan.

***

"Ayolah, Rain. Ini tidak akan buruk." bujuk Mila saat aku sudah selesai make up dan memakai gaun berwarna hitam itu.

Aku menggeleng. Aku masih setia menyembunyikan diriku di balik korden bilik ganti. Jujur saja, aku merasa kurang nyaman memakai gaun terbuka seperti ini. Belum lagi aku harus memakai high heels setinggi 17 sentimeter yang membuatku agak kesusahan berjalan. Aku memang jarang sekali memakai heels setinggi itu. Tapi hari ini, aku dipaksa memakainya.

"Kayaknya elo memang sekongkol sama Zevran buat bikin gue begini, deh." sungutku.

"Udah, deh." jawab Mila sambil menarikku keluar. Ia menghadapkanku ke sebuah cermin yang besar.

Melihat penampilanku sendiri di cermin, aku merasa takjub. Benarkah itu aku? Wanita yang tampak di cermin itu serasa sempurna. Dan apakah itu aku? Aku tak percaya itu. Tanpa sadar mulutku menganga.

"Iya, itu lo." jawab Mila seakan-akan dia mengetahui apa yang kupikirkan.

"Udah,jangan kelamaan ngaca! Ayo!"

Dan tanpa permisi, ia segera menarik tanganku dan mengajakku keluar dari mall.

"Zevran sudah menunggu." katanya. Dan aku hanya mengangguk pasrah.

Mila membawaku menyusuri mall itu. Dari satu lantai ke lantai lainnya. Dan aku merasa tidak enak. Banyak tatapan lelaki hidung belang yang seakan menelanjangiku. Aku risih melihatnya.

Tak lama kemudian, kami sudah sampai di lantai dasar dan segera berjalan keluar. Kulihat Zevran sudah menungguku di mobilnya. Dia sudah berganti baju dengan memakai kemeja putih dan dasi kupu-kupu yang dipadukan dengan tuxedo abu-abu yang nampak pas di tubuhnya. Rambutnya terlihat klimis dengan style rambut baru.

Benarkah dia Zevran? Secepat itukah ia berganti baju dan model rambut? Astaga. Dia semakin tampan.

"Zev, ini pacar lo gue balikin. Dia udah gue dandanin sedemikian rupa. Gimana?" tanya Mila begitu kami sampai di hadapannya. Aku menatap Mila tajam. Tapi Mila hanya tersenyum jahil.

Zevran menatapku dari atas sampai bawah. Matanya tidak berkedip sekalipun.

Apakah aku jelek? Pemikiran itu terus menghantuiku.

"Cantik. Thanks, Mil." jawabnya.

Aku langsung tersenyum.

"Sama-sama." jawab Mila.

"Eh, gue balik dulu, ya. Udah jam 8. Udah malam. Dan Zevran, jangan sampai sahabat gue ini lecet, ya!" kata Mila.

Zevran hanya tersenyum. Dan Mila segera melangkah masuk ke mobilnya, sebelum akhirnya mobilnya hilang dari pandanganku, melaju meninggalkan pelataran parkir mall itu.

"Ayo." suara Zevran membuyarkan lamunanku.

"Oh, oke." jawabku singkat.

Aku segera menaiki mobilnya bersamaan dengannya. Tak lama, mobil itu sudah melaju kencang, membelah jalanan kota. 

***

Aku dan Zevran telah sampai di sebuah mansion yang tampak megah. Iringan musik klasik yang terdengar merdu di telingaku seakan mengantarkan kami berdua untuk segera memasuki mansion itu. Aku segera melangkahkan kakiku sambil menggamit lengan Zevran. Beberapa orang yang tak kukenal menyipitkan matanya, menatap ke arahku dan Zevran. Aku tak tahu arti tatapan itu. Aku berusaha mengabaikannya.

"Kita akan menemui seseorang." ucap Zevran di telingaku tepat setelah kami berdua masuk ke mansion itu.

Aku masih terpesona dengan dekorasi mansion itu. Arsitektur bangunannya yang sangat indah, seperti bukan bangunan yang dirancang oleh orang Indonesia. Dan tentang dekorasinya? Ah, iya itu sangat menarik. Klasik dan terlihat simpel, namun tidak mengurangi kesan glamor dan mewahnya pesta itu. Belum lagi tatanannya yang sedemikian rupa, ditambah dengan tingginya atap mansion itu semakin menambah mewah pesta itu. Ah, ini seperti pesta impianku. Kuharap aku bisa menikah dengan pesta seperti ini. Tapi siapa yang akan mengajakku menikah? 

"Kita sampai." ucapan Zevran itu yang langsung menyadarkanku dari lamunanku.

Sampai? Sampai dimana?

"Mr. Leo, apa kabar?" ucap Zevran pada seorang lelaki yang berdiri di hadapan kami. Seorang lelaki tua yang masih terlihat sehat di usianya itu. Dia mengenakan jas hitam yang pas ditubuhnya. Zevran menjabat tangan lelaki tua itu dan disambut baik olehnya.

"Halo, Zevran. Senang melihatmu disini." jawabnya sambil tersenyum.

Aku ikut tersenyum dan menjabat tangan lelaki bernama Mr. Leo itu seperti yang Zevran lakukan. "Siapa dia?" tanya Mr. Leo.

Zevran mengedipkan mata ke arahku sebelum akhirnya menjawab "Dia calon istriku."

Langsung saja aku mendelik. Apa maksud perkataannya tadi? Calon istri? Aku balik memandangnya dengan tatapan tajam. Sedangkan yang ditatap cuma tersenyum miring sambil mengedipkan mata.

Astaga. Menyebalkan!

"Oh, ya? Wah, ini bisa jadi berita yang sangat bagus. Aku tunggu undangannya kalau begitu." jawab Mr. Leo. Zevran hanya tersenyum.

"Baiklah, Zevran. Selamat menikmati pesta ya! Aku akan menemui anakku dulu." kata Mr. Leo.

"Baiklah, Mister. Kami akan dengan senang hati menikmati pesta ini." jawab Zevran. Mr. Leo tersenyum sesaat ke arah kami berdua sebelum akhirnya ia beranjak pergi.

Begitu ia pergi, aku segera memandang Zevran. Meminta penjelasan tentang maksud dari perkataannya tadi.

"Baiklah, akan aku jelaskan." ucap Zevran setelah melihat sorot mataku yang nampak mengintimidasi. Dia nampak menghela napas panjang.

"Aku mencintaimu, Rain." ucapnya tepat. Tepat. Sangat jelas.

Dan perkataannya itu sukses membuat hatiku mencelos. Aku sangat terkejut. Jantungku berdetak lebih keras dari sebelumnya. Hatiku berdebar-debar. Jadi, Zevran mencintaiku? Dan dia dengan mudahnya mengucapkannya padaku? Tunggu sebentar. Aku benar-benar sangat terkejut. Hati dan pikiranku seolah-olah langsung bekerja secara cepat.

Aku terdiam dan berusaha menyelami hatiku sendiri. Berusaha menemukan sebuah rasa yang mungkin saja ada di dalam rongga dadaku ini. Tapi aku masih sangat bingung. Aku menyimpan rasa senang mendengar pengakuan Zevran. Tapi di sisi lain, aku merasa sedih. Apakah artinya dia tidak tulus menjadi sahabatku? Apakah karena rasa cinta itu ia selalu setia mendengarkan ceritaku dan mencariku setiap kali hujan turun? Apakah karena cinta itu pula ia sering memberikan perhatian lebih kepadaku?

Jujur, aku bingung. Ini tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Aku bahkan tidak tahu apakah aku menyimpan rasa yang sama untuknya.

"Kamu tidak perlu menjawab itu sekarang, Rain. Aku hanya ingin kamu tahu isi hatiku saja, setidaknya untuk sekarang. Apapun jawabanmu nantinya, aku akan menerimanya. Aku tidak bisa memaksamu menerimaku yang kemudian justru berakhir menyakitimu."

Aku hanya tersenyum kecil mendengar pernyataan Zevran. Sebuah senyum yang kupaksakan. Aku tahu, dalam hati dia berharap besar kepadaku, tapi aku yang masih bingung dengan hatiku sendiri, memilih menahan diri. Aku ingin tahu, benarkah aku mencintai Zevran atau itu hanya sebuah rasa suka dan nyaman di dekatnya.

Bagiku, mencintai dan menyukai itu berbeda. Cinta itu sebuah rasa, perasaan sayang dan tulus. Berbeda dengan rasa suka. Suka itu tidak tulus, mengedepankan ego dan nafsu semata. Dan sifatnya hanya sementara. Kuharap, Zevran mau menunggu jawabanku. Aku tidak ingin menyakiti dan membohonginya seperti yang dilakukan seorang lelaki tua padaku 14 tahun yang lalu. Selain itu, aku juga melakukannya untuk melindungi hatiku sendiri. Hatiku yang mudah hancur.

"Ayo, kita kesana!" ajak Zevran sambil menggandeng tanganku, setelah beberapa saat kami terdiam.

Aku hanya menurut saja. Aku di sini diajak olehnya, jadi tak mungkin aku akan menolaknya. Kemungkinan terburuk yang ada di pikiranku adalah aku tersesat di tengah lautan perempuan sosialita ini dengan tatapan lapar mereka. Aku mengerti saat mereka menatap Zevran dengan tatapan memangsa dan berharap. Tapi di sisi lain, mereka menatapku dengan tatapan membunuh. Jadi mereka pasti akan membunuhku jika mereka tahu aku tersesat dan terpisah dari Zevran. Percayalah, aku memang memikirkan hal itu sejak tiba di sini.

"Kenalkan ini rekan bisnisku, Sean."

Glek!!!

Seketika aku langsung menoleh ke arah orang yang dimaksud. Lamunanku buyar seketika. Benar. Lelaki itu tengah berdiri di hadapanku dengan Zevran, lengkap dengan tuxedo hitam yang pas di tubuhnya. Tatanan rambutnya terlihat lebih klimis dari biasanya.

"Sean." ucapnya padaku sambil mengulurkan tangannya.

Aku menerima uluran tangannya. Hanya sebentar saja karena aku langsung melepaskannya. Bosku ada di sini, di hadapanku. Dan dia seperti tidak mengenalku setelah sebelumnya ia mengajakku makan siang. Aku seperti orang yang baru dikenalnya. Aku mulai merasa tidak nyaman.

"Dia rekan bisnisku. Anggap saja kolega." ucap Zevran.

Aku langsung terbatuk. Dia rekan bisnis Zevran? Astaga, sepertinya aku berada di tengah-tengah dua singa yang sedang mencari mangsa. Di satu sisi Zevran yang hangat dan di sisi lain Sean yang dingin itu. Aku melemparkan tatapan singkat ke arah Sean. Aku menangkap suatu maksud di matanya.

Aku berusaha tersenyum. Dan dia hanya tersenyum sekilas kepadaku, sebelum akhirnya ia beranjak pergi.

"Aku pergi dulu ya, Zev. Silakan menikmati pestanya." ujarnya sebelum berlalu.

Zevran tersenyum dan melambaikan tangannya.

Aku tersenyum kecut. Sebuah pertemuan singkat dengan big boss di pesta dan aku bersama orang lain yang mengenalkan diriku sebagai calon istrinya. Dan sebelum Sean pergi, aku sempat menangkap tatapannya. Tatapan kekecewaan. Tidak menyenangkan. Percakapan singkat. Apa yang dia pikirkan? Kenapa tatapannya begitu tajam ke arahku?

"Bagaimana dia menurutmu? Tampan?"

Aku tergagap mendengar pertanyaan Zevran. Kenapa aku harus melamun dan memikirkan sikap Sean tadi? Ah, lupakan saja.

"Ah, ya. Tapi dia orang yang dingin, menurutku." jawabku.

"Tapi kau tertarik padanya? Cukup terlihat ketika kau melamun saat bertemu dengannya." ucap Zevran.

"Ah, tidak. Lupakan saja." sanggahku.

Aku tidak terpesona ataupun tertarik padanya. Aku hanya bingung dengan sikapnya tadi. Jujur saja, hatiku berkata begitu.

Dan kami kembali larut dalam suasana pesta. Ralat, bukan aku, tetapi Zevran. Aku masih merasa tidak nyaman karena pertemuan ini. Di pesta ini, Zevran menyatakan cinta kepadaku dan sesaat setelahnya bertemu dengan Sean yang melemparkan tatapan kesal kepadaku. Apa yang harus kulakukan dengan dua lelaki ini?

"Zev, aku mau ke toilet dulu." ijinku.

Zevran mengangguk dan melepaskan genggamannya pada tanganku.

Aku menuju ke belakang mansion besar itu. Lumayan susah karena aku harus melewati lautan manusia yang begitu banyak. Setelah bersusah payah, akhirnya aku sampai di bagian belakang mansion ini. Kulemparkan pandangan ke segala arah dan menemukan sebuah toilet di sudut halaman belakang.

Belum sempat aku melangkah, sebuah lengan besar mencekal pergelangan tanganku. Memaksaku menoleh ke arah orang tersebut.

"Kau?"

Belum sempat aku mengelak, orang itu segera menarikku dengan paksa.

Mau dibawa kemana aku? 

Related chapters

  • Diary Rain   Part 6 - Antara Sean dan Zevran

    Aku tak bermaksud melukaimu, sama sekali. Aku hanya ingin menyadarkanmu, ingin memberitahumu, bahwa meskipun aku orang baru di hidupmu, tetapi aku juga berhak mencintaimu. Meski aku tahu hatimu bukan untukku, tapi setidaknya berilah aku waktu, buka saja sedikit jalan, aku ingin merengkuh indahnya cinta itu. Bersamamu... ~(Sean Reynald Tanubraja)~ "Apa yang kau lakukan?" teriakku saat aku berhasil lepas dari cengkraman pria itu. Kami sekarang berada di parkiran mobil. Aku melihat pergelangan tanganku yang baru saja dicengkram olehnya. Pergelangan tanganku nampak memerah karena kuatnya cengkraman pria itu. Rasanya lumayan panas. Namun, bukan itu fokus utamaku, tapi pria yang sekarang berada di hadapanku ini. Tatapannya serasa menusukku. Namun, aku tidak peduli.

    Last Updated : 2021-06-06
  • Diary Rain   Part 7 - Memberi Kesempatan

    Kita tidak pernah tahu hati kita akan berlabuh kepada siapa. Yang pasti aku mengetahui satu hal, aku ingin sembuh dari trauma dan luka masa lalu dengan mempercayai cinta. Dan dengan cinta, aku ingin melabuhkan hatiku pada orang yang tepat. Aku hanya berusaha membuka hatiku pada orang lain, selebihnya akan kupasrahkan. Biarkan hati yang memilih jalan pulangnya... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Seminggu setelah kejadian di pesta itu. Seminggu pula setelah aku memasakkan makanan untuk Zevran. Selama seminggu itulah Sean tidak lagi menampakkan dirinya di hadapanku. Dan selama seminggu itulah aku tidak bisa bertemu dengan Zevran. Kalau harus jujur, itu semua terasa berat di hatiku. Pertama, Sean. Dia entah kenapa tidak terlihat di kantor selama seminggu ini. Sebenarnya ak

    Last Updated : 2021-06-06
  • Diary Rain   Part 8 - Bersama Mila

    Aku tak bermaksud membuatmu terluka, tapi jika memang ini jalannya takdir yang harus kujalani, aku rela. Bukankah takdir tak pernah licik? Dan senja bahkan masih indah dipandang walau sinarnya temaram.... ~Zevran Abraham Radjoan~ "Kau gila, Sean!" teriakku kepada Sean. Namun pria itu tak menggubrisku. Ia terus saja tertawa dan berlari menjauhiku. Percayalah, ia seorang pemilik perusahaan dan kelakuannya seperti layaknya anak kecil. Benar-benar menyebalkan. "Ayolah, Rain! Apakah kau tak tahu bahwa coklat itu sangat enak?" teriaknya sambil tertawa. Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku tahu enak jika semua coklat itu menempel di wajahku dan bukan di lidahku? Aah, aku juga yang salah. Kenapa aku percaya saja ucapan Sean yang jahil itu. "Pergi saja kau, Sean! Aku kesal padamu!"

    Last Updated : 2021-06-06
  • Diary Rain   Part 9 - Bertemu Kembali

    Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu. ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan matak

    Last Updated : 2021-06-06
  • Diary Rain   Part 10 - Berkecamuk

    Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu. Hening. Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini. Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. "Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas. Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki d

    Last Updated : 2021-06-07
  • Diary Rain   Part 11 - Antara Pergi dan Mencari

    Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini. Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun. Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, sepert

    Last Updated : 2021-06-08
  • Diary Rain   Part 12 - Di Antara Dua Hati

    From : Milanda Revalido Sulistya Elu yakin dia bakal paham maksud lu, Rain? Gue aja bahkan gak paham maksud elu apa. Mila mengirimkan pesan chatting lewat aplikasi pesan. Aku membacanya sambil tertawa geli. Dengan cepat aku mengetik balasannya. From : Rainisa Soedibjo Tunggal Gue sih yakin dia pasti akan tahu dan paham maksud gue. Tapi entah kapannya. Lagipula dia pasti berusaha semaksimal mungkin menemukan jawabannya. :) Tak berselang lama, balasan dari Mila masuk. From : Milanda Revalido Sulistya Hei! Belum tentu! Bisa aja dia gak paham artinya sampai beberapa waktu. Dia bahkan gak tahu ungkapan elu itu termasuk apa wkwk. Tapi by the way, apakah elu gak mau berbagi jawaban ke gue? XD Aku melotot membacanya. Bagaimana bisa dia minta bocoran? Aku tahu Mila tak pernah sanggup berbohong. Memberitahuka

    Last Updated : 2021-06-12
  • Diary Rain   Part 13 - Dilema

    Aku menguap panjang dan merasa bahwa ada yang hangat pada tubuhku. Samar-samar kudengar alunan lagu dari Beyonce yang aku bahkan lupa judulnya apa. Sebuah selimut menutupi tubuhku, sementara aku akhirnya sadar bahwa aku sedang di sebuah mobil mini cooper yang tengah melaju membelah jalanan kota. Di belakang kemudi nampak Sean yang tidak bergeming sedikit pun. Ia fokus pada jalan sambil sesekali melempar pandangan ke kanan kiri. Aku di jok belakang merasa kikuk. Dengan masih berpakaian kerja, aku diajak Sean memutari hampir seluruh pasar malam, dan berakhir aku memilih tidur setelahnya di jok belakang. AC mobil yang cukup dingin barangkali membuatnya akhirnya menyelimutiku. "Kamu sudah bangun?" Tanyanya. Ia sepertinya sadar kalau aku sudah membuka mata sedari beberapa saat lalu. "Hmm." Jawabku dengan malas. Aku masih meringkuk manja dengan e

    Last Updated : 2021-06-14

Latest chapter

  • Diary Rain   Part 32 - Neraka (2)

    Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan

  • Diary Rain   Part 31 - Neraka (1)

    Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.

  • Diary Rain   Part 30 - Bangkit

    Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber

  • Diary Rain   Part 29 - Persiapan

    "Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.

  • Diary Rain   Part 28 - Dua Hati yang Kembali

    Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku. Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif. Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun. Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga. Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu. Aku lantas men

  • Diary Rain   Part 27 - Masih Ragu

    Rain POV Aku terduduk lemas di sudut kamar inapku setelah Zevran melenggang keluar dari kamarku. Sejenak pikiranku kembali melayang ke hari pertama aku pergi dari hidupnya. -Flashback Dimulai- "Tapi nyonya..." sahutku terpotong. "Kamu tidak usah banyak tapi. Tinggal pilih! Mau Zevran mati di tanganku atau kau tinggalkan dia dan mengabdikan diri kepadaku." Jawab Tamara dengan suara penuh penekanan. "Apa alasan Anda begitu jahat padaku, hah?" Aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diriku. Ia pasti tahu bahwa nada suaraku sudah lumayan tinggi dan cukup kesal. Tetapi aku lupa bahwa ia adalah Tamara Dhananjaya yang begitu kuat dan bukan tandinganku. "Kamu masih bertanya? Ingat, perempuan jalang! Nina, istri Bhaskara, hampir bunuh diri karena Bhaskara terus memikirkanmu. Kau pikir aku tidak akan membalas dendam karenanya? Dia bahk

  • Diary Rain   Part 26 - Terkuak

    Aku menghentikan laju mobilku di sebuah jembatan tak jauh dari tempatku menemui Zack. Kututup pintu mobil dari luar dan aku membuang pandanganku ke sungai yang mengalir di bawahnya. Kuhela napas panjang dan aku benar-benar merasa bahwa aku tak mampu lagi berdiri dengan kakiku. Seketika aku luruh sambil menyangga tubuhku di tiang jembatan. Aku masih ingat setiap kata Zack. -Flashback Dimulai- "Cepat ceritakan padaku, Zack!" Ujarku tak sabar ketika bertemu Zack di ruanganku. Zack menunduk takut-takut, seakan-akan sesuatu yang akan dibicarakannya adalah hal besar. "Tuan, saya harap Tuan tidak akan terkejut mendengarnya." Zack berkata dengan sangat hati-hati. "Hmmm." Kulemparkan tatapan dinginku padanya sebagai balasan. Zack menunduk seketika. "Jadi begini, Tuan...." ia memulai l

  • Diary Rain   Part 25 - Hilang Ingatan

    Aku mendobrak pintu rumah keluarga Dhananjaya. Di sana banyak asisten rumah tangga dan para pegawai yang terkejut melihat kedatanganku lengkap dengan pasukan bersenjata. Aku memberikan kode pada sejumlah pasukan untuk mencari orang yang kumaksud. Tanpa pengulangan, mereka dengan sigap menyebar ke segala penjuru rumah. Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah, mencoba memahami situasi di sini. Tak berselang lama, terdengar suara berisik dari lantai 2… Aku yang mendengarnya segera berlari ke atas, meninggalkan para pegawai keluarga Dhananjaya di bawah yang menjadi sandera pasukan khususku. Begitu menginjakkan kaki di ubin pertama lantai 2, aku melihat Bhaskara tengah meronta-ronta di bawah kendali pasukan khususku. Sementara di sampingnya, Rain tengah memandangku datar. Ia seakan-akan tanpa ekspresi dan seperti mayat hidup. Hatiku bergetar. Tanpa aba-aba, aku reflek berlari dan memeluknya e

  • Diary Rain   Part 24 - Pengepungan

    Aku melangkah maju dengan percaya diri. Kubuka semua pintu dan kuterobos semua penjagaan yang ada di gedung itu. Bahkan satpam di sana tak berani menghentikanku. "Minggir!" Teriakku dengan tatapan penuh ancaman dan aura sedingin kutub selatan. Di depanku, semua orang yang berkerumun di hadapan resepsionis langsung menepi, memberiku jalan yang kumaksud. Brakkk! Aku menggebrak meja resepsionis, membuat wanita petugas resepsionis langsung menunduk. Kulihat wajahnya. Orang Indonesia. Dia pasti paham perkataanku. "Berikan aku akses ke ruangan Dhananjaya. Cepat!" Hardikku. Wanita itu sontak ketakutan dan gemetar. Dia pasti tahu aku siapa dan tidak mungkin bereaksi seperti ini kalau ia tidak menyadari identitasku. Namun setelah mendengar suaraku, ia bahkan bungkam dan tak bergerak sama sekali. Ia bahkan tak menjalankan

DMCA.com Protection Status