Kita tidak pernah tahu hati kita akan berlabuh kepada siapa. Yang pasti aku mengetahui satu hal, aku ingin sembuh dari trauma dan luka masa lalu dengan mempercayai cinta. Dan dengan cinta, aku ingin melabuhkan hatiku pada orang yang tepat. Aku hanya berusaha membuka hatiku pada orang lain, selebihnya akan kupasrahkan. Biarkan hati yang memilih jalan pulangnya...
~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~Pertama, Sean. Dia entah kenapa tidak terlihat di kantor selama seminggu ini. Sebenarnya aku senang dengan keadaan ini karena tidak harus bertemu dengan pria menyebalkan itu. Namun, hatiku berkata lain. Hatiku seakan merindukan sosok Sean. Pria yang hangat dan dingin dalam satu waktu. Pria yang tidak hanya kasar, tetapi juga bisa lembut sekali kepadaku. Meski baru bertemu beberapa kali, entah kenapa aku seakan merasakan hal itu. Sebuah rasa sesak karena tak melihat sosoknya selama seminggu ini.
Kedua adalah Zevran. Sejam setelah makan pagi seminggu yang lalu, dia harus berangkat ke Jerman untuk bertemu salah seorang koleganya. Dan katanya urusannya tak sebentar, paling tidak dua minggu ia akan berada di sana. Itu juga membuatku sedih. Entah kenapa aku seperti merasa kehilangan seorang pelindungku. Salah satu bagian dari hidupku serasa hilang. Aku merasakan semangatku hilang dan menguap begitu saja.
"Hei, lo kenapa? Ngelamun aja." seru Mila mengagetkanku.
Ah, iya. Aku sekarang sedang berada di Mall bersama Mila. Hari ini kebetulan hari sabtu alias akhir pekan. Jadi Mila mengajakku untuk bertemu dan jalan-jalan di sini. Dan bodohnya aku lupa kalau aku sedang bersamanya sekarang. Memikirkan dua orang pria itu sepertinya bisa membuatku melupakan keberadaan sahabatku sendiri.
Aku merasa beruntung memiliki sahabat seperti Mila. Dia orang yang ceria dan lucu. Dan satu lagi, dia orang yang peka. Entah bagaimana dia bisa tahu kalau aku sedang bersedih dan badmood sehingga dia mengajakku jalan-jalan dengan tujuan menghiburku. Harus kuakui, bakat terpendamnya itu membuatku kagum padanya.
"Ah, gak papa." elakku.
"Gak usah bohong deh. Gue tahu kalau lo itu rindu sama seseorang." Aku langsung mendelik ke arahnya.
"Kok bisa?" sahutku cepat.
"Ketahuan kali dari wajah lo. Udah deh, gak usah bohong. Gue kan berpengalaman dalam hal percintaan. Putus 25 kali dengan 25 cowok berbeda membuat gue banyak pengalaman dalam hal seperti ini." katanya sambil tersenyum gak jelas.
Aku tersenyum hambar.
Mila memang unik dengan banyaknya kisah cintanya yang berujung kandas tersebut. Bagi kebanyakan orang, dia mungkin seorang wanita gampangan yang sering gonta-ganti pacar. Tapi bagiku ia bukan seorang wanita seperti itu. Sebenarnya Mila adalah orang yang serius dengan suatu hubungan. Namun mengingat umurnya yang sudah mencapai 26 tahun, ditambah desakan dari kedua orang tuanya membuatnya menuntut ke setiap pria yang sedang mendekatinya untuk segera melamar dan menikahinya.
Sebenarnya bagiku usia 26 tahun tidak tergolong tua. Malah masih muda. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi orang tua Mila. Mereka berpikir bahwa Mila sudah terlalu tua di usianya. Dan itulah yang membuat mereka mendesak Mila agar cepat menikah.Mila sebenarnya juga setuju saja dengan orang tuanya. Ditambah lagi dia mempunyai prinsip bahwa jika cowok itu serius maka ia pasti akan mengajak ceweknya untuk menikah. Makanya Mila tak pernah bisa bertahan lama dengan cowok karena mereka langsung dituding dengan pertanyaan seperti itu oleh Mila, seperti kapan menikahiku, kapan melamarku, dan sebagainya. Alasannya sederhana. Mereka belum ingin menikah. Dan Mila pun menerimanya walaupun dengan sakit hati. Sebenarnya Mila ukuran cewek yang setia dan tidak neko-neko. Hanya saja cara berpikirnya dan desakan orang tua yang membuatnya tampak seperti ini. Seperti seorang playgirl yang padahal kenyataannya tidaklah seperti itu. Dia hanya wanita yang menuntut keseriusan suatu hubungan pada pria yang tidak tepat. Dan aku merasa prihatin dengan nasib Mila. Aku hanya bisa berharap kalau suatu saat akan ada seorang pria yang bisa menerima Mila apa adanya dan memulai hubungan serius dengan Mila.
"Tuh, kan lo ngelamun lagi." Dan aku langsung tersedak mendengarnya.
"Apaan sih? Nggak juga." sanggahku.
"Lo itu gak berbakat bohong. Ketauan kali." ucap Mila seraya tertawa. Dan aku cuma bisa menundukkan kepala dengan maksud menyembunyikan rasa malu yang kualami.
"Udah deh, ceritain aja ke gue. Lo mikir apa? Mikirin siapa? Zevran?" tanyanya.
Raut wajahku langsung berubah seketika mendengar pertanyaan itu. Ada rasa tidak nyaman dan aneh yang menjalari tubuhku. Ada apa ini? Kenapa hatiku terasa sesak mendengar nama sahabatku itu?"Hush! Ngaco, lo!" Sanggahku.
Mila langsung tertawa.
Aku tahu Mila benar, setidaknya saah satu dari penyebab aku murung memanglah Zevran. Tetapi aku memilih bungkam dengan rasa yang kualami. Setelah memikirkan Zevran, Sean, dan Mila secara bersamaan, rasanya aku memang seperti Tuhan yang tengah memikirkan segala takdir untuk umat-umat-Nya. Maka, aku segera menepis perasaan itu sebelum semua kondisi memaksaku untuk sedih dan menangis lagi. Dan itu tidak boleh sampai terjadi.
"Kenapa bengong? Yuk, jalan lagi." katanya seraya berjalan mendahuluiku.
Aku yang baru sadar dari lamunanku langsung berjalan lebih cepat untuk mengejarnya. Dalam hati aku merutuki kebodohanku.
***
"Kenapa ini bisa salah, Rain? Apa kau tidak tahu kalau kesalahan laporan ini didengar bos, kau bisa dipecat. Tidak, bukan hanya kau, tapi juga aku." semprot pak Tomo padaku. Ia kepala bagian dari divisiku. Makanya ia sangat marah saat tahu aku membuat laporan yang salah. Untung saja laporan itu belum diserahkan ke bagian atasan.
"Maaf, pak." ucapku pelan. Hanya itu saja yang bisa kuucapkan. Aku tidak bisa menyangkalnya karena ini memang pekerjaanku dan kesalahanku. Aku yang ceroboh dan tidak teliti.
"Perbaiki ini secepatnya. Kalau perlu hari ini juga selesai." bentaknya padaku membuatku semakin menunduk dalam.
Aku segera mengambil laporan yang salah itu. Setelah pamit undur diri aku melangkah keluar dari ruangan itu dengan langkah gontai. Hari ini hari senin pertama kerja setelah kemarin libur, namun entah mengapa banyak sekali kesalahan yang telah kubuat.Yang pertama, aku hampir saja memakai sandal ke kantor kalau saja aku tidak diingatkan oleh Mila yang kebetulan menelponku. Kedua, aku membuat kesalahan dalam laporan keuangan bulan ini sehingga dipanggil menghadap kepala bagian. Entah akan ada beberapa kesalahan lagi yang akan kuperbuat.
"Kenapa lemas gitu? Dapat ceramah apa aja dari kepala bagian kita itu?" tanya Arina saat tahu aku sudah kembali ke mejaku dengan wajah lebih murung dari yang sebelumnya. Saat ini dia sedang duduk di kursi kerjaku sambil memakan cemilan. Ini memang masih jam makan siang, karena itu Arina masih berani makan.
"Gak papa, kok. Gue cuma salah sedikit aja." jawabku lesu. Yah, aku bisa apa? Memang kenyataannya laporan itu salah meskipun cuma sedikit.
"Lo gak biasanya salah bikin laporan lho, Rain. Emang lo kenapa sampai bisa salah begitu? Lo ngelamun ya? Atau jangan-jangan raga lo aja yang ada di sini, tapi nyawa lo udah melayang entah kemana?"
Seketika itu aku langsung menjitak kepala Arina pelan."Apaan sih?" sahutnya sambil mengusap-usap kepalanya.
"Lo itu suka ngawur. Kalau gue emang seperti yang lo bilang, gue udah mati kali, Rin. Mikir pakai otak dong." jawabku sambil manyun.
Arina tertawa. "Lo kangen sama pak Sean, ya?"
"Hah? Ya, enggaklah." jawabku cepat.
"Nggak usah ngelak kali. Gue tahu kok lo suka sama pak Sean. Cuma lo gengsi aja ngakuinnya." jawab Arina sambil tersenyum jahil.
Aku memandang wajahnya kesal.
"Mending lo pergi aja deh. Kehadiran lo bukan membuat gue terhibur malah menambah stress." usirku sambil mendorong tubuhnya keluar dari kubikel kerjaku.
"Yah, jangan ngambek dong, Rain. Gue kan bercanda. Tapi kalau bener ya gak papa sih." sahutnya dengan cengiran lebarnya.
Aku segera menariknya keluar dari kubikel kerjaku. Secepat kilat aku mengambil alih tempat dudukku. Arina yang sempat terdorong keluar hanya memandangku sambil cemberut.
Aku tersenyum penuh kemenangan.
"Rasain. Salah sendiri kenapa suka banget jahilin orang."
Namun bukan Arina namanya kalau dia menyerah secepat itu. Dia mendekatiku dan menggelitiki pingganggku. Membuatku tertawa geli dan berusaha melepaskan diri dari tangan mautnya itu.
"Haha, udah Rin.." kataku sambil menahan air mataku karena terlalu lama tertawa."Gue bakal lepasin lo kalau lo bilang ampun dan minta maaf ke gue." ucapnya sambil terus menggelitiki aku.
"Iya, ii-iyaa. Ud-udahan, please!" kataku lemah sambil menahan tawaku. Arina benar-benar mrs. Penggelitik yang ulung.
"Oke, gue lepasin lo." kata Arina.
Begitu dia melepaskanku, aku segera lari keluar kubikel kerjaku sambil tertawa. Aku berpikir aku berhasil membodohinya.
Brukkk!
Aku menabrak seseorang saat lari dari Arina.
"Ma-maaf." ucapku sambil menunduk. Orang itu tidak jatuh. Namun sekilas melihat setelannya sepertinya dia orang penting di kantor ini. Aku belum sempat melihat wajahnya, namun aku tahu kalau Arina yang sedang berada di belakangku diam dan juga menunduk. Dugaanku semakin kuat kalau orang ini adalah atasan kantor. Kuharap ia bukan manajer atau wakil direktur. Kalau sampai itu terjadi, kemungkinan besar aku akan dipecat.
"Kamu ikut saya ke ruangan saya. Sekarang!" ucap orang itu datar. Penuh penekanan. Dan tanpa basa-basi lagi, ia melangkah pergi dengan beberapa orang di belakangnya yang tampak seperti pengawalnya.
Tapi, sebentar. Aku seperti mengenal suara itu.
Ralat. Aku memang mengenal suara itu.
Sean.
Dia telah kembali ke kantor lagi? Dan kali ini aku menabraknya? Apa yang telah keperbuat? Mati-matian berusaha menghindarinya namun sekarang malah aku yang menjerumuskan diriku sendiri kepadanya.
Aku mendongakkan kepala. Melihatnya yang berjalan membelakangiku dengan gaya bossy-nya sebelum menghilang di belokan. Aku menatap Arina tak percaya. Dan Arina dengan matanya seakan berkata "Turuti saja" dan itu membuatku seakan melemah seluruhnya.
Meski enggan, aku tetap saja melangkahkan kakiku menuju ke arah yang sama dengan Sean tadi. Berbelok ke arah lift untyk menuju ke ruangan paling keramat bagi sebagian besar karyawan kantor. Lantai paling atas, hanya ada satu ruangan di sana. Ruangan CEO perusahaan.
Dan, kalian bisa sebut ini kesalahan ketigaku hari ini.
***
"Tak perlu bicara banyak, aku hanya ingin meluruskan percakapan kita tempo hari." katanya dengan tenang.
Sean memandangku dari atas sampai bawah. Namun, aku tak melihat tatapan dinginnya itu. Ia terlihat lebih hangat sejak terakhir kali kami bertemu.
Dan di sinilah aku. Berdiri di hadapan CEO perusahaan tempatku bekerja. Dan CEO itu membicarakan hal di luar pekerjaan kami. Hal pribadi. Kupikir aku akan disemprot olehnya karena masalah tabrakan tadi. Namun rupanya, dia tidak membahasnya. Dan aku sedikit lega dengan itu.
"Aku hanya ingin kau bersikap seperti biasa saja, Rain. Anggap saja itu tidak pernah terjadi." ucapnya. Benar-benar santai dan tenang seperti tak ada masalah dengan kejadian seminggu yang lalu.
Hal itu sukses membuatku melongo.
Aku marah karena dia memintaku melupakan kejadian seminggu yang lalu. Apa dia tidak berpikir kalau aku sangat sakit hati dengan sikapnya tempo hari? Dan sekarang dengan mudahnya dia menyuruhku melupakan semuanya? Apakah dia gila?
Namun di sisi lain, hatiku seakan setuju untuk memberinya maaf. Aku juga tidak sampai hati untuk tidak memaafkannya. Ada apa dengan hatiku? Apakah mungkin aku mulai jatuh cinta?
Segera kutepis perasaan itu. Tidak mungkin aku jatuh cinta padanya. Bahkan aku baru mengenalnya beberapa hari.
"Kau bingung kenapa?" tanyanya.
Aku mengerutkan keningku. Entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Aku seakan tak mampu mengontrol detak jantungku sendiri. Ada apa denganku?
"Aku bingung harus berbuat apa." ucapku. Terkesan sinis, namun semua kata itu meluncur begitu saja dari mulutku tanpa bisa kucegah. Dan catat, tidak memakai bahasa formal seperti seharusnya seorang bawahan kepada atasan.
"What are you talking about?" tanyanya. Dia mengerutkan kening. Bisa kulihat ia sangat terkejut mendengar perkataanku.
"Maaf, tapi aku bukan orang yang bisa menutupi perasaan, Sean. Aku butuh penjelasan. Bukan sikapmu yang suka memerintah itu. Kamu tahu kalau kita disini sedang membahas masalah pribadi. Jadi aku takkan menggunakan sopan santunku yang seharusnya." cerocosku.
Terkesan berani, memang. Itulah aku. Aku tidak bisa menyembunyikan kekesalanku pada seseorang, meskipun itu kepada seorang pemilik perusahaan sekali pun.
Namun yang berhasil kulihat, dia hanya tersenyum tipis melihat ekspresiku. Dan aku benar-benar kesal."Jadi apa yang kamu mau, Rain?"
"Jelaskan semuanya. Kenapa kau bersikap kasar padaku saat acara pesta itu? Apa penyebabnya?"
Dia menghela napas panjang. Aku tahu, ia sedang menyiapkan hatinya untuk menjelaskan sesuatu kepadaku.
"Apakah kata-kataku kemarin kurang jelas? Aku mencintaimu, Rain."
Singkat, padat, jelas.
"Atas dasar apa kamu mencintaiku? Apakah kamu tidak tahu kita baru beberapa kali bertemu? Bagaimana kamu bisa menyimpulkannya secepat itu?" tanyaku.
"Apakah cinta butuh alasan, Rain? Aku berpikir tidak seperti itu. Cinta tidak butuh alasan. Orang-orang berpikir bahwa aku jatuh cinta. Maka aku percaya saja. Apakah kau tidak tahu kalau hatiku selalu berdegup kencang semenjak pertemuan pertama kita? Saat aku melihat wajahmu yang kelaparan dan aku menyodorkan bekalku sendiri, masakan ibuku, aku merasakan sesuatu yang aneh pada diriku. Namun aku menutupinya dengan sikap dinginku. Ketauhilah, aku sangat gugup waktu itu, dan aku memilih seperti itu. Apakah aku salah?" jelasnya panjang lebar. Tatapannya berubah seteduh embun dan sehangat perapian.
Aku termangu. Dia mencintaiku? Tanpa alasan? Benarkah demikian? Kenapa dia seberani itu mengungkapkannya?
"Itu tidak salah. Tapi sikapmu itu tidak bisa dibenarkan." kataku akhirnya. Nada suaraku kubuat agar setenang mungkin. Aku tidak ingin membuatnya berpikiran macam-macam kepadaku.
"Maafkan aku." dua kata itu terucap dari mulutnya. Kata yang kurasakan sangat tulus saat didengarkan dan aku melihat penyesalan di wajahnya.
Dia, Sean Reynald Tanubraja, pemilik sebuah perusahaan ternama di Indonesia, hampir menyaingi Zevran, menyatakan permintaan maafnya kepadaku. Apakah aku tidak salah dengar? Aku melihat ekspresi itu. Ia benar. Ia tidak bohong. Aku bisa melihatnya.
Sifat dingin yang biasa kukenal, bahkan sifat kasarnya seminggu lalu seakan menguap begitu saja hari ini. Sean, pria berkuasa itu, entah mengapa aku melihat sisi lain dirinya saat ini. Rapuh, lemah, dan tak berdaya. Hatinya yang sering dibicarakan banyak orang sebagai hati beku, aku melihatnya mencair. Dan sifat bossy-nya yang terkesan sombong, angkuh, dan menyebalkan seakan hilang ditelan bumi. Semua sifat itu tak dapat kulihat lagi dari wajah penyesalan itu.
"Aku hanya tak tahu harus berbuat apa. Aku cemburu karena kau datang ke pesta itu dengan Zevran. Dan kau tahu apa yang kudengar? Kau calon istrinya." ucapnya lirih. Sangat pelan bahkan. Tapi aku masih bisa mendengarnya.
Aku terkesiap. Aku juga baru mengingatnya. Mengingat kejadian di pesta itu. Zevran mengenalkanku kepada Mr. Leo, tuan rumah pesta sebagai calon istrinya. Dan sudah pasti bapak tua itu bercerita kepada koleganya, bahkan mungkin hampir semua tamu undangannya. Hal itulah yang mengingatkanku bahwa Zevran adalah pengusaha besar nomor 2 di Asia. Sudah pasti mendengar dia berbicara tentang calon istri akan menjadi berita terhangat, meski itu hanya di kalangan rekan pebisnisnya saja. Namun aku juga tidak yakin kalau berita itu tidak tercium oleh awak media. Namun aku berharap, semoga saja itu tidak terjadi.
Dan sekarang, aku balik melihat ke arah Sean. Dia tampak begitu nelangsa dengan kenyataan yang dia ucapkan barusan. Seakan dia baru saja menemukan sebuah musibah dengan mengatakan hal itu. Aku yang melihatnya merasakan sebuah kepahitan. Ya, pahitnya kenyataan. Aku tahu kalau aku dan Zevran telah berbohong, namun tetap saja aku tak mampu membongkar kebohongan itu. Bukan egois, tapi karena Zevran bilang dia mencintaiku dan aku masih belum memberinya jawaban. Bukankah secara tidak langsung ia telah memintaku menjadi calon istrinya? Makanya secara tidak langsung, kami berdua tidak sepenuhnya berbohong.
Tapi itu hanya pemikiranku saja. Entah bagaimana pemikiran orang lain apabila mendengarnya.
"Apakah kau benar-benar serius dengan ucapanmu?" tanyaku kepada Sean. Pria itu bahkan sepertinya asyik dengan penyesalan sekaligus kesedihannya.
"Aku tidak pernah seserius ini, Rain." ucapnya. Kali ini dia sudah berani mengangkat kepalanya. Sepertinya ia berusaha menghibur dirinya sendiri dengan berusaha tegar.
Aku tersenyum sekilas. "Aku menghargai kejujuranmu, Sean. Walau bagaimana pun aku lebih menghargai kejujuran dibandingkan segalanya. Jangan buat dirimu sedih dengan semua ini, karena jika kau menginginkan diriku, kau harus berusaha mendapatkanku. Aku mengijinkanmu untuk berusaha, Sean. Buatlah aku mencintaimu, karena jujur saja, aku belum dimiliki oleh orang lain."
Sean tampak melongo mendengar penuturanku.
Sepertinya ia tampak tidak percaya dengan ucapanku. Aku memang tidak membiarkan semua pria mendekatiku, kecuali aku mengijinkannya. Bahkan aku akan memasang alarm keras pertanda bahaya di kepalaku jika mereka berani mendekatiku dalam jarak tak kurang dari tiga meter. Apalagi Sean, yang notabenenya mengetahui kalau aku adalah calon istri rekan bisnisnya. Meski itu tidak sepenuhnya benar, pasti banyak orang yang menyangka kalau aku wanita gila karena membicarakan ini dengan pria selain Zevran.
"Apakah itu berarti..." ucapannya terpotong.
"Ya." ucapku sambil pamit undur diri dari ruangan itu. Melangkahkan kakiku keluar dari ruangan mewah itu.
Tak kupedulikan Sean yang masih terdiam karena tidak menyangka dengan jawabanku.
Aku tak bermaksud membuatmu terluka, tapi jika memang ini jalannya takdir yang harus kujalani, aku rela. Bukankah takdir tak pernah licik? Dan senja bahkan masih indah dipandang walau sinarnya temaram.... ~Zevran Abraham Radjoan~ "Kau gila, Sean!" teriakku kepada Sean. Namun pria itu tak menggubrisku. Ia terus saja tertawa dan berlari menjauhiku. Percayalah, ia seorang pemilik perusahaan dan kelakuannya seperti layaknya anak kecil. Benar-benar menyebalkan. "Ayolah, Rain! Apakah kau tak tahu bahwa coklat itu sangat enak?" teriaknya sambil tertawa. Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku tahu enak jika semua coklat itu menempel di wajahku dan bukan di lidahku? Aah, aku juga yang salah. Kenapa aku percaya saja ucapan Sean yang jahil itu. "Pergi saja kau, Sean! Aku kesal padamu!"
Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu. ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan matak
Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu. Hening. Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini. Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. "Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas. Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki d
Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini. Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun. Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, sepert
From : Milanda Revalido Sulistya Elu yakin dia bakal paham maksud lu, Rain? Gue aja bahkan gak paham maksud elu apa. Mila mengirimkan pesan chatting lewat aplikasi pesan. Aku membacanya sambil tertawa geli. Dengan cepat aku mengetik balasannya. From : Rainisa Soedibjo Tunggal Gue sih yakin dia pasti akan tahu dan paham maksud gue. Tapi entah kapannya. Lagipula dia pasti berusaha semaksimal mungkin menemukan jawabannya. :) Tak berselang lama, balasan dari Mila masuk. From : Milanda Revalido Sulistya Hei! Belum tentu! Bisa aja dia gak paham artinya sampai beberapa waktu. Dia bahkan gak tahu ungkapan elu itu termasuk apa wkwk. Tapi by the way, apakah elu gak mau berbagi jawaban ke gue? XD Aku melotot membacanya. Bagaimana bisa dia minta bocoran? Aku tahu Mila tak pernah sanggup berbohong. Memberitahuka
Aku menguap panjang dan merasa bahwa ada yang hangat pada tubuhku. Samar-samar kudengar alunan lagu dari Beyonce yang aku bahkan lupa judulnya apa. Sebuah selimut menutupi tubuhku, sementara aku akhirnya sadar bahwa aku sedang di sebuah mobil mini cooper yang tengah melaju membelah jalanan kota. Di belakang kemudi nampak Sean yang tidak bergeming sedikit pun. Ia fokus pada jalan sambil sesekali melempar pandangan ke kanan kiri. Aku di jok belakang merasa kikuk. Dengan masih berpakaian kerja, aku diajak Sean memutari hampir seluruh pasar malam, dan berakhir aku memilih tidur setelahnya di jok belakang. AC mobil yang cukup dingin barangkali membuatnya akhirnya menyelimutiku. "Kamu sudah bangun?" Tanyanya. Ia sepertinya sadar kalau aku sudah membuka mata sedari beberapa saat lalu. "Hmm." Jawabku dengan malas. Aku masih meringkuk manja dengan e
Aku mengetik laporan keuangan dengan malas. Sesekali aku menguap dengan lebar sembari menegakkan punggungku. Aku benar-benar tidak bisa fokus. Bahkan aku hanya bisa membuat jurnal umum untuk transaksi satu hari, belum sampai pada buku besar, arus kas, apalagi laporan rugi laba. Aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak. Kulihat jam tanganku. Sudah pukul 11.30 WIB. Tandanya sebentar lagi akan masuk waktu istirahat siang. Sepertinya aku tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Akan lebih baik jika aku meminta izin masuk setengah hari, daripada laporanku berantakan dan berakhir aku berada di meja interogasi. Membayangkannya saja aku begidik ngeri. Dengan segera aku menuju lift dan naik ke lantai 4 untuk meminta izin. Namun, belum sempat aku menekan tombol, sebuah tangan menyerobot dan menekan tombol lantai teratas. Segera saja aku menoleh. Dan aku mendapati Se
Blarrrr! Hujan turun dengan sangat derasnya sore ini, disertai dengan kilat yang menyambar-nyambar. Aku masih dengan pakaian kerjaku dan Mila sudah pulang dari kafe sejak beberapa saat lalu. Aku menatap langit mendung dan tetesan hujan dengan tatapan nanar. Masih tidak percaya bahwa aku tetap belum lepas dari bayangan 14 tahun yang lalu. Kini hatiku bergemuruh, seiring dengan kilat yang terus menyambar dan menghasilkan bunyi yang memekakkan telinga. Aku merasa sesak. Sebelumnya, saat aku masih dekat dengan Sean, aku bahkan sudah mulai terbiasa saat hujan turun. Namun, sekarang aku justru kembali seperti 14 tahun yang telah kujalani. Badanku mulai bergetar dan... Aku melebur kembali bersama hujan. Dalam langkah tegap, aku berjalan dengan suasana hati yang kembali meredup menerobos hujan lebat. Di saat orang lain berlarian mencari tempat berteduh, hanya aku
Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan
Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.
Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber
"Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.
Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku. Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif. Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun. Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga. Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu. Aku lantas men
Rain POV Aku terduduk lemas di sudut kamar inapku setelah Zevran melenggang keluar dari kamarku. Sejenak pikiranku kembali melayang ke hari pertama aku pergi dari hidupnya. -Flashback Dimulai- "Tapi nyonya..." sahutku terpotong. "Kamu tidak usah banyak tapi. Tinggal pilih! Mau Zevran mati di tanganku atau kau tinggalkan dia dan mengabdikan diri kepadaku." Jawab Tamara dengan suara penuh penekanan. "Apa alasan Anda begitu jahat padaku, hah?" Aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diriku. Ia pasti tahu bahwa nada suaraku sudah lumayan tinggi dan cukup kesal. Tetapi aku lupa bahwa ia adalah Tamara Dhananjaya yang begitu kuat dan bukan tandinganku. "Kamu masih bertanya? Ingat, perempuan jalang! Nina, istri Bhaskara, hampir bunuh diri karena Bhaskara terus memikirkanmu. Kau pikir aku tidak akan membalas dendam karenanya? Dia bahk
Aku menghentikan laju mobilku di sebuah jembatan tak jauh dari tempatku menemui Zack. Kututup pintu mobil dari luar dan aku membuang pandanganku ke sungai yang mengalir di bawahnya. Kuhela napas panjang dan aku benar-benar merasa bahwa aku tak mampu lagi berdiri dengan kakiku. Seketika aku luruh sambil menyangga tubuhku di tiang jembatan. Aku masih ingat setiap kata Zack. -Flashback Dimulai- "Cepat ceritakan padaku, Zack!" Ujarku tak sabar ketika bertemu Zack di ruanganku. Zack menunduk takut-takut, seakan-akan sesuatu yang akan dibicarakannya adalah hal besar. "Tuan, saya harap Tuan tidak akan terkejut mendengarnya." Zack berkata dengan sangat hati-hati. "Hmmm." Kulemparkan tatapan dinginku padanya sebagai balasan. Zack menunduk seketika. "Jadi begini, Tuan...." ia memulai l
Aku mendobrak pintu rumah keluarga Dhananjaya. Di sana banyak asisten rumah tangga dan para pegawai yang terkejut melihat kedatanganku lengkap dengan pasukan bersenjata. Aku memberikan kode pada sejumlah pasukan untuk mencari orang yang kumaksud. Tanpa pengulangan, mereka dengan sigap menyebar ke segala penjuru rumah. Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah, mencoba memahami situasi di sini. Tak berselang lama, terdengar suara berisik dari lantai 2… Aku yang mendengarnya segera berlari ke atas, meninggalkan para pegawai keluarga Dhananjaya di bawah yang menjadi sandera pasukan khususku. Begitu menginjakkan kaki di ubin pertama lantai 2, aku melihat Bhaskara tengah meronta-ronta di bawah kendali pasukan khususku. Sementara di sampingnya, Rain tengah memandangku datar. Ia seakan-akan tanpa ekspresi dan seperti mayat hidup. Hatiku bergetar. Tanpa aba-aba, aku reflek berlari dan memeluknya e
Aku melangkah maju dengan percaya diri. Kubuka semua pintu dan kuterobos semua penjagaan yang ada di gedung itu. Bahkan satpam di sana tak berani menghentikanku. "Minggir!" Teriakku dengan tatapan penuh ancaman dan aura sedingin kutub selatan. Di depanku, semua orang yang berkerumun di hadapan resepsionis langsung menepi, memberiku jalan yang kumaksud. Brakkk! Aku menggebrak meja resepsionis, membuat wanita petugas resepsionis langsung menunduk. Kulihat wajahnya. Orang Indonesia. Dia pasti paham perkataanku. "Berikan aku akses ke ruangan Dhananjaya. Cepat!" Hardikku. Wanita itu sontak ketakutan dan gemetar. Dia pasti tahu aku siapa dan tidak mungkin bereaksi seperti ini kalau ia tidak menyadari identitasku. Namun setelah mendengar suaraku, ia bahkan bungkam dan tak bergerak sama sekali. Ia bahkan tak menjalankan