Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal.
Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini.
Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun.
Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, seperti yang biasanya kulakukan.
Hari ini benar-benar aku tidak ingin melakukan apapun. Hingga ...
Brrt! Brrrrrrttttt!
Gawaiku bergetar selama beberapa saat.
Dengan malas, aku meraihnya dari meja kecil di samping tempat tidurku.
Tertera nama Mila di sana. Ia mengirimiku sebuah foto lewat aplikasi pesan daring.
'Tumben Mila ngirim foto. Biasanya pesan suara kalau memang penting banget.' Tanyaku dalam hati.
Kemudian gawaiku bergetar lagi. Mila mengirim banyak sekali foto. Belum sempat aku mengunduh foto-foto yang dikirimnya, ia menuliskan sebuah pesan.
From : Milanda Revalido Sulistya
To : Rainisa Soedibjo Tunggal
ELU BURUAN KE SINI! ATAU ELU BAKAL NYESEL KEHILANGAN DIA, RAIN! ELU BAKAL NYESEL SELAMANYA!
Aku yang membacanya terperanjat. Capslock jebol dan dia mengisyaratkan penyesalan. Aku cepat-cepat mengunduh semua foto yang dikirimkan.
Bola mataku membulat seketika. Aku melongo selama beberapa detik.
Beberapa saat kemudian, otakku mulai mencerna apa yang terjadi. Seketika itu juga aku sadar dan langsung loncat berlari ke kamar mandi.
***
Hanya dalam 10 menit aku sudah berada di tempat yang Mila maksud dalam pesannya. Mataku berputar ke sekeliling, menyapu seluruh tempat itu untuk menemukan tempat yang dimaksud oleh Mila dan keberadaannya.
Sejurus kemudian, mataku menangkap keberadaan Mila.
Aku kemudian berlari menghampirinya. Aku berharap dan berdoa terus sejak berangkat dari rumah tadi, semoga aku tidak terlambat. Semoga saja aku tidak mendapatkan penyesalan atau semacamnya.
Begitu sampai di sana, aku langsung mencengkeram bahu Mila dan mencecarnya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
"Mil! Cepat! Di mana dia? Apa yang kmu katakan padanya? Bagaimana dia bisa kemari? Apa kamu yang memberitahunya? Kamu kan tahu ini satu-satunya yang kuberitahukan padamu."
Mila menunjuk ke belakangku. Reflek aku berbalik dan melihatnya berdiri tegap di belakangku. Ia membelakangiku dan melihat pemandangan kota dari atas dengan helaan napas berat yang panjang. Tangan kanannya memegang koper hitam, menandakan ia memang benar-benar akan pergi sesuai perkataannya kemarin. Ia memakai tuxedo biru dan celana kain panjang hitam, lengkap dengan sepatu hitam yang mengkilat.
Aku tahu, aku kemarin terlalu terkejut mendengar setiap pernyataannya yang mendadak. Sehingga membuatku hilang kendali dan pergi begitu saja.
Tetapi sekarang, aku tahu, aku harus mengatakan yang sebenarnya. Bukan karena aku egois, tapi hatiku sepertinya juga tidak mampu menanggung beban ini terlalu lama. Apalagi berpisah Jerman-Indonesia adalah jarak yang cukup jauh sehingga aku akan kesulitan mendapatkan kesempatan lain.
Perlahan, aku melangkahkan kakiku mendekat. Aku menarik napas panjang dan mengatur ritme jantungku agar bisa berkata dengan jelas dan tepat.
"Pemandangan di sini cukup indah, tetapi sayang akhirnya kamu mengetahuinya." Kataku lembut.
Zevran seketika membalikkan badan dan menoleh ke arahku. Aku langsung melemparkan senyum.
"Kamu di sini?" Tanyanya.
"Yes. And I got surprise from Mila that you come here too. Bagaimana aku bisa melewatkan kesempatan ini di saat kamu juga akhirnya tahu tempat persembunyianku dari Mila?"
Ya. Tempat ini adalah sebuah tebing tinggi di kotaku, sekitar 1 jam dari pusat kota. Tempatnya sangat sepi dan sangat jarang orang ke sini. Aku memberitahu Mila 2 bulan yang lalu kalau aku sering ke sini saat aku sedang ingin sendiri dan merasa capek dengan dunia. Dan tak kusangka, Mila memberitahu Zevran hari ini dan mereka datang ke sini.
"A-a-aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan saja." Jawabnya terbata-bata.
Aku mengangguk. "Zev, benarkah kamu akan pergi?"
Ia mengangguk cepat. "Kurasa tempat ini akan menjadi saksi kita bahwa aku akan pergi. Awalnya aku ke sini hanya ingin mengucapkan selamat tinggal pada tempat favoritmu. Tak kusangka takdir membawaku bertemu kamu sekali lagi. Mungkin aku harus mengucapkan perpisahan padamu dan juga tempat kesukaanmu."
"Aku tidak akan memaksamu tinggal atau meneriakimu seperti kemarin, Zev. Aku tahu bahwa aku tidak punya hak atas hidupmu. Tapi izinkan aku memberimu jawaban atas pertanyaanmu empat bulan yang lalu di pesta kolegamu." Jawabku setenang mungkin.
Zevran nampak terkejut mendengar perkataanku.
"Zev," ucapku memulai jawabanku.
"Jawabanku ini hanya akan kamu dengarkan sekali. Benar-benar sekali. Maka kamu harus mendengarkannya dengan seksama. Dan aku harap kamu akan mengerti keputusanku, Zev." Sambungku.
Zevran menatapku lekat.
"Jawabanku..." jawabku menggantung.
Hening. Seakan-akan dunia juga mendukungku untuk membuat sedikit drama pada momen seperti ini.
"Aku adalah raga pada cinta yang telah kau embuskan dengan tulus, Zev. Aku akan menjadi telentang sama makan abu, tengkurap sama makan tanah."
"Hah? Maksudnya?" Matanya membelalak keheranan.
"Silakan cari artinya, Zev. Temui aku lagi jika kamu sudah berhasil menemukan artinya. Karena itu adalah jawabanku." Jawabku dengan senyum simpul.
"Rain." Ucapnya tertahan melihatku berlalu.
Sementara Mila hanya melongo menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Zevran. Alih-alih memberikan jawaban langsung, aku malah memberikan jawaban yang membuat kepala orang pusing.
Tapi aku tak peduli itu. Aku tersenyum dan lega telah memberikan jawaban untuk Zevran. Setidaknya, meski dia nanti terlambat menyadarinya, dia telah tahu perasaanku yang sesungguhnya.
Mengenai peribahasa itu, ah aku sendiri tak mau ambil pusing. Biarkan Zevran mencarinya sampai ketemu.
Langkahku hari ini bagiku terasa ringan, ditemani dengan merah senja yang menari-nari di ufuk barat.
Aku mengambil headset-ku dan mendengarkan sebuah lagu yang mewakili perasaanku hari ini.
~Sesi Lagu Dimulai~
From : Milanda Revalido Sulistya Elu yakin dia bakal paham maksud lu, Rain? Gue aja bahkan gak paham maksud elu apa. Mila mengirimkan pesan chatting lewat aplikasi pesan. Aku membacanya sambil tertawa geli. Dengan cepat aku mengetik balasannya. From : Rainisa Soedibjo Tunggal Gue sih yakin dia pasti akan tahu dan paham maksud gue. Tapi entah kapannya. Lagipula dia pasti berusaha semaksimal mungkin menemukan jawabannya. :) Tak berselang lama, balasan dari Mila masuk. From : Milanda Revalido Sulistya Hei! Belum tentu! Bisa aja dia gak paham artinya sampai beberapa waktu. Dia bahkan gak tahu ungkapan elu itu termasuk apa wkwk. Tapi by the way, apakah elu gak mau berbagi jawaban ke gue? XD Aku melotot membacanya. Bagaimana bisa dia minta bocoran? Aku tahu Mila tak pernah sanggup berbohong. Memberitahuka
Aku menguap panjang dan merasa bahwa ada yang hangat pada tubuhku. Samar-samar kudengar alunan lagu dari Beyonce yang aku bahkan lupa judulnya apa. Sebuah selimut menutupi tubuhku, sementara aku akhirnya sadar bahwa aku sedang di sebuah mobil mini cooper yang tengah melaju membelah jalanan kota. Di belakang kemudi nampak Sean yang tidak bergeming sedikit pun. Ia fokus pada jalan sambil sesekali melempar pandangan ke kanan kiri. Aku di jok belakang merasa kikuk. Dengan masih berpakaian kerja, aku diajak Sean memutari hampir seluruh pasar malam, dan berakhir aku memilih tidur setelahnya di jok belakang. AC mobil yang cukup dingin barangkali membuatnya akhirnya menyelimutiku. "Kamu sudah bangun?" Tanyanya. Ia sepertinya sadar kalau aku sudah membuka mata sedari beberapa saat lalu. "Hmm." Jawabku dengan malas. Aku masih meringkuk manja dengan e
Aku mengetik laporan keuangan dengan malas. Sesekali aku menguap dengan lebar sembari menegakkan punggungku. Aku benar-benar tidak bisa fokus. Bahkan aku hanya bisa membuat jurnal umum untuk transaksi satu hari, belum sampai pada buku besar, arus kas, apalagi laporan rugi laba. Aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak. Kulihat jam tanganku. Sudah pukul 11.30 WIB. Tandanya sebentar lagi akan masuk waktu istirahat siang. Sepertinya aku tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Akan lebih baik jika aku meminta izin masuk setengah hari, daripada laporanku berantakan dan berakhir aku berada di meja interogasi. Membayangkannya saja aku begidik ngeri. Dengan segera aku menuju lift dan naik ke lantai 4 untuk meminta izin. Namun, belum sempat aku menekan tombol, sebuah tangan menyerobot dan menekan tombol lantai teratas. Segera saja aku menoleh. Dan aku mendapati Se
Blarrrr! Hujan turun dengan sangat derasnya sore ini, disertai dengan kilat yang menyambar-nyambar. Aku masih dengan pakaian kerjaku dan Mila sudah pulang dari kafe sejak beberapa saat lalu. Aku menatap langit mendung dan tetesan hujan dengan tatapan nanar. Masih tidak percaya bahwa aku tetap belum lepas dari bayangan 14 tahun yang lalu. Kini hatiku bergemuruh, seiring dengan kilat yang terus menyambar dan menghasilkan bunyi yang memekakkan telinga. Aku merasa sesak. Sebelumnya, saat aku masih dekat dengan Sean, aku bahkan sudah mulai terbiasa saat hujan turun. Namun, sekarang aku justru kembali seperti 14 tahun yang telah kujalani. Badanku mulai bergetar dan... Aku melebur kembali bersama hujan. Dalam langkah tegap, aku berjalan dengan suasana hati yang kembali meredup menerobos hujan lebat. Di saat orang lain berlarian mencari tempat berteduh, hanya aku
Aku menatap Bhaskara nanar. 3 tahun yang lalu aku melihatnya sebagai sosok superhero. Sekarang aku menatapnya sebaliknya. Penuh kebencian, dendam, dan amarah yang tak terbendung.Tubuhku bergetar hebat. Antara menangis dan berusaha kuat, aku bahkan tidak mampu menahan gejolak dalam diriku sendiri. Rasa-rasanya masih tidak percaya kalau 3 tahun menghilang akan membuatnya sedemikian drastis berubah."Bhas, is that you who loved me 3 years ago?" Ucapku parau.Aku masih menatapnya tak percaya. Kulihatnya sekali lagi dari ujung kepala sampai ujung kaki.Matanya masih mata hitam bulat yang tak pernah berubah. Gaya berpakaiannya masih sama, suka memakai kaos dan celana jeans panjang dan sepatu sport pria hitam putih. Dia sekarang bahkan memakai hoodie putih. Gaya rambutnya juga bahkan tak berubah sama sekali. Aku menatapnya lekat sekali lagi dan aku yakin dia bahkan tidak memiliki pe
Mataku mengerjap-ngerjap karena silau. Tanganku menutupi wajah dan mataku agar aku bisa membuka mataku dengan sempurna. Sejenak kemudian aku mencoba mengembalikan kesadaranku secara utuh. Kutepuk-tepuk pipiku dan kukucek mataku.Beberapa detik kemudian aku teringat kejadian semalam. Mataku langsung membulat. Kulihat sekelilingku dan aku menyadari sesuatu.Ini bukan kamarku!Lantas di mana aku? Aku merasa asing dengan dekorasi kamar ini. Aku ingat bahwa aku belum pernah melihat kamar ini sebelumnya.Kuedarkan pandanganku sekali lagi, menyapu seluruh sudut kamar. Barangkali ada salah satu tanda pengenal atau barang yang mungkin saja mengindikasikan bahwa ini kamar milik seseorang yang kukenal. Tapi nihil. Aku gagal mengenali kamar ini.Sekelebat ingatanku kembali pada sesosok yang menahanku. Apakah mungkin dia? Aku bahkan tak sempat melihat wajahnya ka
Aku berdiri di belakang Zevran yang tengah memasak. Kusilangkan dua tanganku di dada dan mengamatinya memasak. Dia sepertinya menghiraukan keberadaanku dan hanya fokus memasak. Aku tidak mau dicuekkan olehnya. Aku pun memberanikan diri membuka suara. "Zev, apakah kamu sedang mengabaikanku?" Tanyaku dengan nada penuh penekanan dan seakan-akan mengintimidasi. "Tidak. Hanya fokus masak aja biar gak gosong. Kamu duduk aja di kursi biasanya. Nanti kita makan bareng di situ." Jawabnya tanpa menoleh sedikit pun. Aku mendengus kesal. Aku pun mau tidak mau menunggu di tempat kami berdua biasa makan. Meja makan yang letaknya persis di depan bar dapur. Duduk di sini membuatku mengingat hari sebelum Zevran pergi selama 2 Minggu ke Jerman, setelah pesta koleganya hari itu. Setelah sebelumnya kesal, sekarang aku tersenyum-senyum sendiri mengingatnya. Tak
"You accept my ask about being my wife. You promises too that you accept me as a husband in state of joy and sorrow." Jawab Zevran cepat.Seketika senyumku melebar.Dia tahu artinya dan menjawab dengan tepat."Zev." Aku sangat bahagia dia tahu dan aku juga sangat menantikan moment ini.Zevran memandangku lekat. Aku menatapnya juga. Mata hazel itu, bibir yang menarik, tatapan yang teduh. Aku seakan terhipnotis dengan semua yang ada padanya."Rain." Ucapnya lagi. Kali ini dia menggenggam tanganku erat. Wajahnya ia majukan sehingga posisi wajahku dan wajahnya semakin dekat,
Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan
Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.
Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber
"Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.
Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku. Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif. Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun. Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga. Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu. Aku lantas men
Rain POV Aku terduduk lemas di sudut kamar inapku setelah Zevran melenggang keluar dari kamarku. Sejenak pikiranku kembali melayang ke hari pertama aku pergi dari hidupnya. -Flashback Dimulai- "Tapi nyonya..." sahutku terpotong. "Kamu tidak usah banyak tapi. Tinggal pilih! Mau Zevran mati di tanganku atau kau tinggalkan dia dan mengabdikan diri kepadaku." Jawab Tamara dengan suara penuh penekanan. "Apa alasan Anda begitu jahat padaku, hah?" Aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diriku. Ia pasti tahu bahwa nada suaraku sudah lumayan tinggi dan cukup kesal. Tetapi aku lupa bahwa ia adalah Tamara Dhananjaya yang begitu kuat dan bukan tandinganku. "Kamu masih bertanya? Ingat, perempuan jalang! Nina, istri Bhaskara, hampir bunuh diri karena Bhaskara terus memikirkanmu. Kau pikir aku tidak akan membalas dendam karenanya? Dia bahk
Aku menghentikan laju mobilku di sebuah jembatan tak jauh dari tempatku menemui Zack. Kututup pintu mobil dari luar dan aku membuang pandanganku ke sungai yang mengalir di bawahnya. Kuhela napas panjang dan aku benar-benar merasa bahwa aku tak mampu lagi berdiri dengan kakiku. Seketika aku luruh sambil menyangga tubuhku di tiang jembatan. Aku masih ingat setiap kata Zack. -Flashback Dimulai- "Cepat ceritakan padaku, Zack!" Ujarku tak sabar ketika bertemu Zack di ruanganku. Zack menunduk takut-takut, seakan-akan sesuatu yang akan dibicarakannya adalah hal besar. "Tuan, saya harap Tuan tidak akan terkejut mendengarnya." Zack berkata dengan sangat hati-hati. "Hmmm." Kulemparkan tatapan dinginku padanya sebagai balasan. Zack menunduk seketika. "Jadi begini, Tuan...." ia memulai l
Aku mendobrak pintu rumah keluarga Dhananjaya. Di sana banyak asisten rumah tangga dan para pegawai yang terkejut melihat kedatanganku lengkap dengan pasukan bersenjata. Aku memberikan kode pada sejumlah pasukan untuk mencari orang yang kumaksud. Tanpa pengulangan, mereka dengan sigap menyebar ke segala penjuru rumah. Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah, mencoba memahami situasi di sini. Tak berselang lama, terdengar suara berisik dari lantai 2… Aku yang mendengarnya segera berlari ke atas, meninggalkan para pegawai keluarga Dhananjaya di bawah yang menjadi sandera pasukan khususku. Begitu menginjakkan kaki di ubin pertama lantai 2, aku melihat Bhaskara tengah meronta-ronta di bawah kendali pasukan khususku. Sementara di sampingnya, Rain tengah memandangku datar. Ia seakan-akan tanpa ekspresi dan seperti mayat hidup. Hatiku bergetar. Tanpa aba-aba, aku reflek berlari dan memeluknya e
Aku melangkah maju dengan percaya diri. Kubuka semua pintu dan kuterobos semua penjagaan yang ada di gedung itu. Bahkan satpam di sana tak berani menghentikanku. "Minggir!" Teriakku dengan tatapan penuh ancaman dan aura sedingin kutub selatan. Di depanku, semua orang yang berkerumun di hadapan resepsionis langsung menepi, memberiku jalan yang kumaksud. Brakkk! Aku menggebrak meja resepsionis, membuat wanita petugas resepsionis langsung menunduk. Kulihat wajahnya. Orang Indonesia. Dia pasti paham perkataanku. "Berikan aku akses ke ruangan Dhananjaya. Cepat!" Hardikku. Wanita itu sontak ketakutan dan gemetar. Dia pasti tahu aku siapa dan tidak mungkin bereaksi seperti ini kalau ia tidak menyadari identitasku. Namun setelah mendengar suaraku, ia bahkan bungkam dan tak bergerak sama sekali. Ia bahkan tak menjalankan