Home / Romansa / Diary Rain / Part 10 - Berkecamuk

Share

Part 10 - Berkecamuk

Author: Pyp Raesland
last update Last Updated: 2021-06-07 16:02:36

Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu.  

Hening. 

Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini. 

Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. 

"Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas. 

Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki diriku sendiri yang tidak bisa bersikap tegas dan justru melemah. 

Memori-memori luka masa lalu membombardir diriku seketika itu juga. 

"Rain, kamu harus kuat! Biar ibu yang menghadapinya. Kamu segera keluar rumah, ya begitu ibu menariknya masuk. Kamu paham, kan?"

Rain kecil hanya mengangguk.

Setelahnya, ibunya dengan sikap tegar membuka pintu yang sedari tadi diketuk dengan kerasnya. Di baliknya, terlihat seorang pria berusia 40 tahunan dengan tampilan lusuh dan wajah garang langsung menggertak ibu Rain keras.

Rain tidak mau melihatnya. Ia membuang muka.

Sambil menangis, ia lari ke luar rumah, sesuai permintaan ibunya.

Tak lama, teriakan seorang wanita terdengar meraung-raung. Rain kecil mendengarnya dengan samar-samar. Hatinya perih, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Ia terus melangkah pergi, bersama rintik hujan yang terus turun membasahi dunia manusia.

Aku masih sangat ingat bagaimana pria yang kusebut ayah itu melakukan kekerasan pada ibuku belasan tahun lalu. Dan sekarang aku bahkan masih teringat pada kisah kelam masa lalu itu. 

Sungguh tragis. 

Setelah beberapa menit aku mencoba menenangkan diri, akhirnya aku memutuskan untuk mandi. Meski tadi pagi aku sudah mandi, tapi mandi lagi tidak akan menjadi masalah. 

'Mungkin saja mandi akan menyegarkan otakku kembali.' Batinku. 

Segera aku mengambil handuk dan beberapa potong pakaian, lalu aku bergegas menuju kamar mandi. 

Tepat sebelum kakiku masuk ke kamar mandi, samar-samar aku mendengar suara nyanyian. 

Lirik lagu yang bahkan sangat kukenali. Suara yang juga sepertinya tidak asing di telingaku. 

~Sesi Lagu~ 

Kapan lagi kutulis untukmu 

Tulisan-tulisan indahku yang dulu 

Pernah warnai dunia 

Puisi terindahku hanya untukmu 

Mungkinkah kau kan kembali lagi 

Menemaniku menulis lagi 

Kita arungi bersama 

Puisi terindahku hanya untukmu 

-Jikustik, Puisi- 

~Sesi Lagu Berakhir~ 

Seketika tubuhku membeku. Pikiranku langsung melayang. 

Suara itu seperti berada tak jauh dari rumahku.

Aku langsung menoleh ke arah jendela kamar. Segera aku berlari dan membukanya dengan tidak sabar. 

Dan aku tidak kalah terkejutnya. 

Tepat di seberang jalan, di sebuah rumah putih minimalis tetapi nampak mewah dan berkelas, aku melihat seorang pria muda dengan mobil sport birunya terparkir di halaman depan. 

Hatiku terasa sesak. Keringat dingin membasahi dahiku. Baju yang kupegang beserta handuknya jatuh. Aku bahkan tidak sanggup menguasai logikaku lagi. 

Segera aku berlari ke pintu rumahku. Kubuka dengan cepat dan tanpa pikir panjang aku lari ke seberang jalan, tepat di depan rumah pria yang kulihat itu. 

Napasku terengah-engah. 

Mataku melihat ke arah pria itu lekat. Tidak, lebih tepatnya sangat lekat. Jantungku berdebar tidak karuan, hatiku merasakan berbagai perasaan campur aduk. 

Tak berselang lama, dia menyadari keberadaanku dan berbalik menghadapku. 

Jantungku seakan mencelos. Dan lagu yang samar-samar kudengar tadi berasal dari mobilnya. Dia memutar lagu itu cukup keras hingga aku bisa mendengarnya. 

"Hai! Kita bertemu lagi." Dia menyapaku sambil tersenyum ramah. 

"Berapa lama, ya? Empat bulan, kalau nggak salah. Betul?" Sambungnya. 

Bulir-bulir air mata seketika lolos dari kedua sudut mataku. 

"Zev." Balasku dengan suara lirih dan tercekat. 

Zevran kembali tersenyum. Mata hazelnya benar-benar menarik. Tulus. Teduh. Lesung pipitnya semakin membuat senyumannya terlihat berkharisma dan menghipnotis. 

"Bagaimana kabarmu, Rain? Sehat?" 

Aku mengangguk cepat. "Ya. Aku baik-baik saja." 

'Tapi hatiku tidak, Zev.' Sambungku dalam hati. 

"Syukurlah. Kamu sehat selalu, ya! Jaga diri baik-baik." Ucapnya tulus. 

"Kamu mau kemana, Zev? Apakah kamu hanya mampir? Apakah kamu akan pergi lagi?" Tanyaku dengan suara bergetar. 

Pikiranku saat ini dipenuhi dengan berbagai spekulasi tidak jelas dan berlebihan. Hatiku semakin tidak karuan juga mendengar pernyataannya yang sangat mengkhawatirkan.

Zevran perlahan mendekatiku. Ia menatap kedua mataku lekat, seakan-akan mencari sesuatu di dalam mataku. 

Ia menghela napas panjang, kemudian menarikku ke dalam pelukannya. Didekapnya tubuhku erat. Aku juga membalas pelukannya. Erat. Seakan-akan kami berdua tidak ingin dipisahkan. 

Namun, tidak berselang lama. Hanya beberapa saat sebelum akhirnya Zevran melepaskan pelukannya dariku. 

"Kenapa, Zev?" Tanyaku. 

Dia tersenyum. Tetapi kali ini berbeda. Senyumnya seakan dipaksakan. Aku bisa menebak ada sesuatu yang tidak biasa. 

"Rain, aku akan pindah ke Jerman, ke tempat di mana perusahaanku berkembang pesat. Dan hari ini, aku akan berkemas." 

Duniaku serasa runtuh seketika itu . 

"Mungkin, ini juga yang terbaik untuk kita, Rain. Kita tetap menjaga utuh persahabatan kita selama 14 tahun ini. Dan kita tetap bisa terhubung. Aku bahkan akan meneleponmu setiap hari, jika itu yang kamu mau." 

"Bahkan, hapeku juga sudah kunyalakan lagi." Sambungnya sambil menunjukkan gawai hitam dari saku celananya. 

Plak!!! 

Aku mendaratkan tamparan di pipinya. 

Dia memegangi pipinya. Aku menatap ke arahnya tajam. 

"Kamu pulang hanya untuk ini? Kamu bahkan tidak pernah bertanya kembali bagaimana jawabanku atas pertanyaanmu waktu di pesta dulu. Kamu bahkan tidak berjuang untukku dan memilih menghilang selama empat bulan. Apakah ini yang kamu katakan kalau kamu mencintaiku, Zev?" Aku berteriak keras di depannya. 

Zevran terdiam. Ditatapnya diriku. Seakan-akan ada yang ingin diucapkannya, tetapi ditahan. 

"Zev, apakah kamu juga tidak tahu bahwa aku bahkan memikirkanmu di setiap malamku? Pernahkah kamu memikirkannya juga? Apakah kamu hanya fokus pada perasaanmu sendiri tanpa memikirkan perasaanku?" Tanyaku sambil terisak. Pertahananku telah runtuh demi mendengar dia akan menetap di Jerman. 

"Rain." Ucapnya lirih. 

"Bukankah aku pernah bilang bahwa aku tidak akan meninggalkanmu? Bukankah kamu juga tahu lebih dari siapapun tentang cara bertemu denganku?" 

"Aku tahu, kisah kita mungkin saja berakhir tanpa pernah dimulai. Aku juga sangat tahu, bahwa kamu dilema antara memilihku atau dia. Aku juga tahu, kamu mungkin saja memikirkanku sebatas pada bahwa aku adalah sahabat terbaikmu sejak 14 tahun lalu. Tapi bagiku, semua ini tidak mudah. Memendam sebuah rasa tanpa balas padahal aku harus bertemu kamu setiap hari saja aku sudah sangat tersiksa, apalagi setelah mengungkapkannya padamu dan ternyata kamu justru memberi kesempatan pada orang kain." Jelasnya. 

"Rain, bahkan jika bunga mekar sebelum kuncupnya berkembang sempurna, maka layu adalah jawabannya. Dan bahkan ketika hujanmu telah reda bersama kedatangannya, rela adalah satu-satunya jalan berdamai dan paling bahagia. Maka biarkanlah kisah ini cukup sampai di sini saja. Biarkan kamu dan aku berjalan masing-masing tanpa gundah. Semoga setelah denganku, akan kau temui pelangi indah selepas hujan malam panjang. Dan semoga, kamu menemukan cinta yang membahagiakan selepas purnama kelabu tanpa undangan. Jika memang kita berjodoh, semesta akan selalu punya cara untuk mempertemukan dan mempersatukan kita lagi. Percayalah! Jika memang kamu jodohku, saat kita bertemu kembali, maka aku akan memperjuangkanmu lagi dengan jauh lebih. Tetapi untuk sekarang, tanyakanlah lagi pada hatimu. Siapa sebenarnya yang berada di sana. Sahabatmu ini, Zevran, akan tetap ada sebagai sahabatmu sampai mati." Ungkapnya panjang lebar. 

Saat ini aku bahkan kehilangan kata-kata. 

~Sesi Lagu~ 

With December comes the glimmer on her face

And I get a bit nervous

I get a bit nervous now

In the twelve months on

I won't make friends with change

When everyone's perfect can we start over again?

The playgrounds they get rusty and your

Heart beats another ten thousand times before

I got the chance to say

I miss you

When it gets hard

I get a little stronger now

I get a little braver now

And when it gets dark

I get a little brighter now

I get a little wiser now

Before I give my heart away

Well we met each other at the house of runaways

I remember it perfectly

We were running on honesty

We moved together like a silver lock and key

But now that your lock has changed

I know I can't fit that way

The playgrounds they get rusty and your

Heart beats another ten thousand times before

I got the chance to say

I want you

When it gets hard

I get a little stronger now

I get a little braver now

And when it gets dark

I get a little brighter now

I get a little wiser now

Before I give my heart away

When it gets hard

I get a little stronger now

I get a little braver now

And when it gets dark

I get a little brighter now

I get a little wiser now

Before I give my heart away

 

-New Empire, A Little Braver- 

 

~Sesi Lagu Berakhir~ 

Related chapters

  • Diary Rain   Part 11 - Antara Pergi dan Mencari

    Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini. Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun. Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, sepert

    Last Updated : 2021-06-08
  • Diary Rain   Part 12 - Di Antara Dua Hati

    From : Milanda Revalido Sulistya Elu yakin dia bakal paham maksud lu, Rain? Gue aja bahkan gak paham maksud elu apa. Mila mengirimkan pesan chatting lewat aplikasi pesan. Aku membacanya sambil tertawa geli. Dengan cepat aku mengetik balasannya. From : Rainisa Soedibjo Tunggal Gue sih yakin dia pasti akan tahu dan paham maksud gue. Tapi entah kapannya. Lagipula dia pasti berusaha semaksimal mungkin menemukan jawabannya. :) Tak berselang lama, balasan dari Mila masuk. From : Milanda Revalido Sulistya Hei! Belum tentu! Bisa aja dia gak paham artinya sampai beberapa waktu. Dia bahkan gak tahu ungkapan elu itu termasuk apa wkwk. Tapi by the way, apakah elu gak mau berbagi jawaban ke gue? XD Aku melotot membacanya. Bagaimana bisa dia minta bocoran? Aku tahu Mila tak pernah sanggup berbohong. Memberitahuka

    Last Updated : 2021-06-12
  • Diary Rain   Part 13 - Dilema

    Aku menguap panjang dan merasa bahwa ada yang hangat pada tubuhku. Samar-samar kudengar alunan lagu dari Beyonce yang aku bahkan lupa judulnya apa. Sebuah selimut menutupi tubuhku, sementara aku akhirnya sadar bahwa aku sedang di sebuah mobil mini cooper yang tengah melaju membelah jalanan kota. Di belakang kemudi nampak Sean yang tidak bergeming sedikit pun. Ia fokus pada jalan sambil sesekali melempar pandangan ke kanan kiri. Aku di jok belakang merasa kikuk. Dengan masih berpakaian kerja, aku diajak Sean memutari hampir seluruh pasar malam, dan berakhir aku memilih tidur setelahnya di jok belakang. AC mobil yang cukup dingin barangkali membuatnya akhirnya menyelimutiku. "Kamu sudah bangun?" Tanyanya. Ia sepertinya sadar kalau aku sudah membuka mata sedari beberapa saat lalu. "Hmm." Jawabku dengan malas. Aku masih meringkuk manja dengan e

    Last Updated : 2021-06-14
  • Diary Rain   Part 14 - Mencoba Berdamai

    Aku mengetik laporan keuangan dengan malas. Sesekali aku menguap dengan lebar sembari menegakkan punggungku. Aku benar-benar tidak bisa fokus. Bahkan aku hanya bisa membuat jurnal umum untuk transaksi satu hari, belum sampai pada buku besar, arus kas, apalagi laporan rugi laba. Aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak. Kulihat jam tanganku. Sudah pukul 11.30 WIB. Tandanya sebentar lagi akan masuk waktu istirahat siang. Sepertinya aku tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Akan lebih baik jika aku meminta izin masuk setengah hari, daripada laporanku berantakan dan berakhir aku berada di meja interogasi. Membayangkannya saja aku begidik ngeri. Dengan segera aku menuju lift dan naik ke lantai 4 untuk meminta izin. Namun, belum sempat aku menekan tombol, sebuah tangan menyerobot dan menekan tombol lantai teratas. Segera saja aku menoleh. Dan aku mendapati Se

    Last Updated : 2021-06-14
  • Diary Rain   Part 15 - Dia yang Pernah Singgah

    Blarrrr! Hujan turun dengan sangat derasnya sore ini, disertai dengan kilat yang menyambar-nyambar. Aku masih dengan pakaian kerjaku dan Mila sudah pulang dari kafe sejak beberapa saat lalu. Aku menatap langit mendung dan tetesan hujan dengan tatapan nanar. Masih tidak percaya bahwa aku tetap belum lepas dari bayangan 14 tahun yang lalu. Kini hatiku bergemuruh, seiring dengan kilat yang terus menyambar dan menghasilkan bunyi yang memekakkan telinga. Aku merasa sesak. Sebelumnya, saat aku masih dekat dengan Sean, aku bahkan sudah mulai terbiasa saat hujan turun. Namun, sekarang aku justru kembali seperti 14 tahun yang telah kujalani. Badanku mulai bergetar dan... Aku melebur kembali bersama hujan. Dalam langkah tegap, aku berjalan dengan suasana hati yang kembali meredup menerobos hujan lebat. Di saat orang lain berlarian mencari tempat berteduh, hanya aku

    Last Updated : 2021-06-15
  • Diary Rain   Part 16 - Kembalinya Sebuah Perahu yang Sempat Kupecahkan

    Aku menatap Bhaskara nanar. 3 tahun yang lalu aku melihatnya sebagai sosok superhero. Sekarang aku menatapnya sebaliknya. Penuh kebencian, dendam, dan amarah yang tak terbendung.Tubuhku bergetar hebat. Antara menangis dan berusaha kuat, aku bahkan tidak mampu menahan gejolak dalam diriku sendiri. Rasa-rasanya masih tidak percaya kalau 3 tahun menghilang akan membuatnya sedemikian drastis berubah."Bhas, is that you who loved me 3 years ago?" Ucapku parau.Aku masih menatapnya tak percaya. Kulihatnya sekali lagi dari ujung kepala sampai ujung kaki.Matanya masih mata hitam bulat yang tak pernah berubah. Gaya berpakaiannya masih sama, suka memakai kaos dan celana jeans panjang dan sepatu sport pria hitam putih. Dia sekarang bahkan memakai hoodie putih. Gaya rambutnya juga bahkan tak berubah sama sekali. Aku menatapnya lekat sekali lagi dan aku yakin dia bahkan tidak memiliki pe

    Last Updated : 2021-06-16
  • Diary Rain   Part 17 - Benar-Benar Kembali

    Mataku mengerjap-ngerjap karena silau. Tanganku menutupi wajah dan mataku agar aku bisa membuka mataku dengan sempurna. Sejenak kemudian aku mencoba mengembalikan kesadaranku secara utuh. Kutepuk-tepuk pipiku dan kukucek mataku.Beberapa detik kemudian aku teringat kejadian semalam. Mataku langsung membulat. Kulihat sekelilingku dan aku menyadari sesuatu.Ini bukan kamarku!Lantas di mana aku? Aku merasa asing dengan dekorasi kamar ini. Aku ingat bahwa aku belum pernah melihat kamar ini sebelumnya.Kuedarkan pandanganku sekali lagi, menyapu seluruh sudut kamar. Barangkali ada salah satu tanda pengenal atau barang yang mungkin saja mengindikasikan bahwa ini kamar milik seseorang yang kukenal. Tapi nihil. Aku gagal mengenali kamar ini.Sekelebat ingatanku kembali pada sesosok yang menahanku. Apakah mungkin dia? Aku bahkan tak sempat melihat wajahnya ka

    Last Updated : 2021-06-17
  • Diary Rain   Part 18 - Makan dan Kejutan

    Aku berdiri di belakang Zevran yang tengah memasak. Kusilangkan dua tanganku di dada dan mengamatinya memasak. Dia sepertinya menghiraukan keberadaanku dan hanya fokus memasak. Aku tidak mau dicuekkan olehnya. Aku pun memberanikan diri membuka suara. "Zev, apakah kamu sedang mengabaikanku?" Tanyaku dengan nada penuh penekanan dan seakan-akan mengintimidasi. "Tidak. Hanya fokus masak aja biar gak gosong. Kamu duduk aja di kursi biasanya. Nanti kita makan bareng di situ." Jawabnya tanpa menoleh sedikit pun. Aku mendengus kesal. Aku pun mau tidak mau menunggu di tempat kami berdua biasa makan. Meja makan yang letaknya persis di depan bar dapur. Duduk di sini membuatku mengingat hari sebelum Zevran pergi selama 2 Minggu ke Jerman, setelah pesta koleganya hari itu. Setelah sebelumnya kesal, sekarang aku tersenyum-senyum sendiri mengingatnya. Tak

    Last Updated : 2021-06-19

Latest chapter

  • Diary Rain   Part 32 - Neraka (2)

    Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan

  • Diary Rain   Part 31 - Neraka (1)

    Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.

  • Diary Rain   Part 30 - Bangkit

    Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber

  • Diary Rain   Part 29 - Persiapan

    "Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.

  • Diary Rain   Part 28 - Dua Hati yang Kembali

    Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku. Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif. Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun. Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga. Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu. Aku lantas men

  • Diary Rain   Part 27 - Masih Ragu

    Rain POV Aku terduduk lemas di sudut kamar inapku setelah Zevran melenggang keluar dari kamarku. Sejenak pikiranku kembali melayang ke hari pertama aku pergi dari hidupnya. -Flashback Dimulai- "Tapi nyonya..." sahutku terpotong. "Kamu tidak usah banyak tapi. Tinggal pilih! Mau Zevran mati di tanganku atau kau tinggalkan dia dan mengabdikan diri kepadaku." Jawab Tamara dengan suara penuh penekanan. "Apa alasan Anda begitu jahat padaku, hah?" Aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diriku. Ia pasti tahu bahwa nada suaraku sudah lumayan tinggi dan cukup kesal. Tetapi aku lupa bahwa ia adalah Tamara Dhananjaya yang begitu kuat dan bukan tandinganku. "Kamu masih bertanya? Ingat, perempuan jalang! Nina, istri Bhaskara, hampir bunuh diri karena Bhaskara terus memikirkanmu. Kau pikir aku tidak akan membalas dendam karenanya? Dia bahk

  • Diary Rain   Part 26 - Terkuak

    Aku menghentikan laju mobilku di sebuah jembatan tak jauh dari tempatku menemui Zack. Kututup pintu mobil dari luar dan aku membuang pandanganku ke sungai yang mengalir di bawahnya. Kuhela napas panjang dan aku benar-benar merasa bahwa aku tak mampu lagi berdiri dengan kakiku. Seketika aku luruh sambil menyangga tubuhku di tiang jembatan. Aku masih ingat setiap kata Zack. -Flashback Dimulai- "Cepat ceritakan padaku, Zack!" Ujarku tak sabar ketika bertemu Zack di ruanganku. Zack menunduk takut-takut, seakan-akan sesuatu yang akan dibicarakannya adalah hal besar. "Tuan, saya harap Tuan tidak akan terkejut mendengarnya." Zack berkata dengan sangat hati-hati. "Hmmm." Kulemparkan tatapan dinginku padanya sebagai balasan. Zack menunduk seketika. "Jadi begini, Tuan...." ia memulai l

  • Diary Rain   Part 25 - Hilang Ingatan

    Aku mendobrak pintu rumah keluarga Dhananjaya. Di sana banyak asisten rumah tangga dan para pegawai yang terkejut melihat kedatanganku lengkap dengan pasukan bersenjata. Aku memberikan kode pada sejumlah pasukan untuk mencari orang yang kumaksud. Tanpa pengulangan, mereka dengan sigap menyebar ke segala penjuru rumah. Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah, mencoba memahami situasi di sini. Tak berselang lama, terdengar suara berisik dari lantai 2… Aku yang mendengarnya segera berlari ke atas, meninggalkan para pegawai keluarga Dhananjaya di bawah yang menjadi sandera pasukan khususku. Begitu menginjakkan kaki di ubin pertama lantai 2, aku melihat Bhaskara tengah meronta-ronta di bawah kendali pasukan khususku. Sementara di sampingnya, Rain tengah memandangku datar. Ia seakan-akan tanpa ekspresi dan seperti mayat hidup. Hatiku bergetar. Tanpa aba-aba, aku reflek berlari dan memeluknya e

  • Diary Rain   Part 24 - Pengepungan

    Aku melangkah maju dengan percaya diri. Kubuka semua pintu dan kuterobos semua penjagaan yang ada di gedung itu. Bahkan satpam di sana tak berani menghentikanku. "Minggir!" Teriakku dengan tatapan penuh ancaman dan aura sedingin kutub selatan. Di depanku, semua orang yang berkerumun di hadapan resepsionis langsung menepi, memberiku jalan yang kumaksud. Brakkk! Aku menggebrak meja resepsionis, membuat wanita petugas resepsionis langsung menunduk. Kulihat wajahnya. Orang Indonesia. Dia pasti paham perkataanku. "Berikan aku akses ke ruangan Dhananjaya. Cepat!" Hardikku. Wanita itu sontak ketakutan dan gemetar. Dia pasti tahu aku siapa dan tidak mungkin bereaksi seperti ini kalau ia tidak menyadari identitasku. Namun setelah mendengar suaraku, ia bahkan bungkam dan tak bergerak sama sekali. Ia bahkan tak menjalankan

DMCA.com Protection Status