Aku tak bermaksud melukaimu, sama sekali. Aku hanya ingin menyadarkanmu, ingin memberitahumu, bahwa meskipun aku orang baru di hidupmu, tetapi aku juga berhak mencintaimu. Meski aku tahu hatimu bukan untukku, tapi setidaknya berilah aku waktu, buka saja sedikit jalan, aku ingin merengkuh indahnya cinta itu. Bersamamu...
~(Sean Reynald Tanubraja)~Kami sekarang berada di parkiran mobil. Aku melihat pergelangan tanganku yang baru saja dicengkram olehnya. Pergelangan tanganku nampak memerah karena kuatnya cengkraman pria itu. Rasanya lumayan panas.
Namun, bukan itu fokus utamaku, tapi pria yang sekarang berada di hadapanku ini. Tatapannya serasa menusukku. Namun, aku tidak peduli. Aku juga menatap tajam ke arahnya. Tidak seharusnya ia begini padaku. Dan aku memang benar-benar marah pada pria ini.
"Apa yang kau lakukan? Kau mau menculikku? Atau memaksaku lagi?" tanyaku dengan nada tinggi. Dan pria itu hanya diam. Menatapku sangat lekat. Entah apa yang dia pikirkan.
Aku tahu dia adalah bosku. Tapi ini dalam kondisi yang berbeda. Dia memaksaku bahkan melakukan kontak fisik denganku. Aku tak bisa menerimanya. Aku bukan perempuan lemah seperti yang ada dalam cerita romance remaja. Perempuan-perempuan itu selalu menangis kala dirundung sebuah masalah, apalagi menyangkut seorang laki-laki. Tapi itu tidak berlaku bagiku. Aku hanya akan menangis bila hujan. Catat itu, semua kerapuhanku hanya akan muncul saat hujan. Termasuk tangisan. Hujanku adalah tanggung jawabku.
"Apa kau memang tidak berniat menjawab, Sean?!" tanyaku lagi. Kali ini dengan nada lebih tinggi lagi. Persis seperti orang yang kesetanan.
"Ya, aku akan membawamu dari sini." jawabnya penuh penekanan dan tanpa ekspresi. Hanya sorot matanya yang menampakkan kemarahan yang menyala-nyala."Kau tidak berhak melakukannya. Kau bukan siapa-siapaku." ucapku.
Dia tersenyum miring. "Kau milikku, Rain."
Amarahku serasa naik ke ubun-ubun mendengar perkataannya. Bagaimana dia bisa mengakui aku miliknya? Apakah aku ini barang yang bisa dimiliki sesuka hati? Apakah dia tidak berpikir bagaimana perasaanku?
"Aku bukan milikmu! Kita baru mengenal dua hari. Dan ingat, aku tidak pernah berkomitmen apa pun denganmu." kataku sambil beranjak pergi. Aku tak harus melayani seorang bos gila seperti dia.
"Dan aku akan membuatmu berkomitmen untukku." ucap Sean.
Dan ucapannya itu tadi membuat langkahku terhenti. Dadaku serasa bergemuruh mendengar perkataannya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku. Aku merasakan gejolak di hatiku. Namun terasa seperti sebuah luka. Jujur saja, aku benar-benar ingin menampar wajahnya itu, namun aku tak melakukannya mengingat ia adalah bosku.
"Tolong buktikan. Dan pastikan apakah kau atau aku yang terluka." ucapku tanpa menoleh. Sejurus kemudian, aku kembali meneruskan langkahku yang sempat terhenti. Tak kupedulikan ia yang menggeram seperti orang marah.
***
Aku segera menghempaskan tubuhku dengan kasar ke tempat tidurku. Aku belum mengganti gaun yang kupakai dengan baju yang biasa kupakai di rumah. Aku merasa malas menggantinya. Aku masih mengingat bagaimana perlakuan Sean padaku tadi. Dan efeknya adalah aku langsung mengajak Zevran pulang setelah itu.
Awalnya Zevran menolak, namun melihatku yang menatapnya seperti orang yang kesetanan membuatnya mengalah. Ia pun ikut pulang bersamaku. Dan selama di mobil, kami berdua seperti orang yang asing. Diam saja tanpa ada percakapan. Sepertinya Zevran tahu kalau aku sedang tidak mood untuk diajak bicara.
Aku menghela napas kasar, mencoba menenangkan diriku yang sedang meluap-luap ini. Andai saja hari ini hujan, aku pasti akan menceritakan semuanya. Tapi sayang, nampaknya langit hari ini sedang bersahabat dengan bahagia, hingga tak nampak adanya mendung atau tanda-tanda ia akan menangis.
Aku berusaha memejamkan mata. Berusaha melepaskan semua beban pikiran yang ada di benakku, tapi tak berhasil. Aku berguling-guling kesana kemari di atas kasurku tanpa bisa memejamkan mataku.
Aku pun bangkit dari tempat tidurku, menuju ke arah meja kecil yang ada di kamarku ini. Meja itu mirip meja belajar karena memang terdapat beberapa buku dan laptop meski tak kugunakan untuk belajar, melainkan untuk bekerja.
Aku duduk di kursi yang ada di dekat meja itu. Aku meraih laptopku dan segera menyalakannya. Setelah menyala, aku membuka sebuah folder yang tersimpan di laptop itu.
Sebuah novel.
Ya, aku memang gemar menulis. Aku mulai menyukai dunia kepenulisan semenjak aku memiliki laptop ini beberapa tahun lalu. Tepatnya, ada seorang donatur wanita yang baik hati kepadaku dan memberikannya padaku.
Aku mulai mengetik lanjutan cerita novel itu. Pikiranku sibuk memilih kata dan mengetikkannya di laptop. Terkadang aku harus men-scroll up novel itu karena ada beberapa bagian cerita yang terlupa. Setelah ingat kembali, aku melanjutkan mengetik ceritanya.
Aku menulis sebuah cerita tentang seorang gadis kecil yang kehilangan ibunya. Mirip seperti diriku? Memang benar. Aku seperti merefleksikan diriku sendiri dalam cerita itu. Hanya saja alur yang kubuat sedikit berbeda. Di dalam ceritaku, ibu gadis itu meninggal dunia. Sedangkan aku, aku bahkan tak tahu apakah ibuku sudah meninggal atau belum.
Mengingat tentang ibu, ingatanku kembali pada 14 tahun yang lalu. Seorang gadis berusia 12 tahun yang menangis di sebelah jasad ayah kandungnya yang kejam dan ibunya yang dibawa oleh segerombolan polisi gadungan. Bahkan saat gerombolan polisi gadungan itu tertangkap, gadis kecil itu tak pernah tahu nasib ibunya. Dan gadis kecil itu adalah aku.
Kenangan itu yang membuatku menjadi wanita yang kuat. Aku tak pernah menangis di depan orang lain, kecuali Zevran. Tentu saja karena Zevran selalu menemukanku saat hujan dan menangis.
Aku menangis saat hujan, karena dulu, untuk pertama kalinya aku menangis kehilangan adalah di saat hujan turun, di saat ibuku dibawa oleh orang-orang jahat itu. Bahkan saat polisi menyerahkanku ke panti asuhan, aku tak menangis. Apakah ada yang salah denganku? Entahlah. Aku memang sudah menjadi orang lain saat tragedi itu terjadi. Luka itu terlalu sakit untuk dilupakan.
Dua jam kemudian, aku menghentikan kegiatan menulisku. Aku menyimpan ceritaku dan menutup laptopku. Aku kehilangan ide untuk menulis. Pikiranku seakan buntu. Saat mengingat ibu, aku kembali rapuh. Aku kembali menjadi orang yang sangat rapuh. Aku tak menangis, tapi hatiku menjerit sakit. Masalahku dengan Sean tak lagi kuhiraukan.
Aku segera membuka jendela kamarku. Angin langsung berhembus masuk begitu jendela itu terbuka. Aku merasakan semilir angin itu. Kusandarkan kedua tanganku di kusen jendela. Menikmati pemandangan halaman depan rumah kontrakanku ini. Bunga-bunga yang sengaja kutanam saat aku dulu pindah kesini, sekarang sudah mekar dan warnanya pun sangat indah. Itu sedikit menghiburku.
Aku melemparkan tatapanku ke rumah yang berseberangan dengan rumah ini. Rumah Zevran. Gelap sekali. Sepertinya ia sudah tidur.
Bicara tentang Zevran, aku jadi ingat perlakuanku padanya tadi. Ia tidak salah apa-apa tapi turut menjadi korban kemarahanku.
Ah, aku jadi merasa bersalah.
Aku memikirkan sesuatu. Bagaimana jika aku memasakkannya makanan? Hitung-hitung sebagai penebus rasa bersalahku. Apalagi sekarang hari Minggu. Aku libur sehingga bisa mengobrol banyak dengannya. Dan aku akan minta maaf. Sekalian berkunjung ke rumahnya. Ya, begitu lebih baik.
Kulirik jam dinding di kamarku.
Setengah tiga pagi, ucapku dalam hati.
Pasti cukup waktu jika aku memasak sekarang supaya nanti pagi aku bisa mengantarkannya ke rumah Zevran. Baiklah, aku akan memulai sekarang.
Dengan segera aku menutup jendela kamarku. Aku segera berganti pakaian dan menuju ke dapur. Kesedihanku tadi, entah kenapa berganti dengan semangat saat aku memikirkan masakan untuk Zevran. Terbesit rasa senang di hatiku. Tapi rasa itu tak kuhiraukan.***
Tepat pukul enam pagi, masakan yang kubuat sudah siap. Nasi bakar 3 bungkus, tiga telur mata sapi, ayam dan udang saus mentega. Semuanya lengkap dan tertata rapi dalam rantang makanan yang sudah kusiapkan. Semua itu makanan kesukaan Zevran. Aku mengetahuinya karena Zevran suka sekali makan ketiga menu itu. Saat pagi hari, ia akan makan telur ceplok, siang ia makan nasi bakar, dan malam ia akan makan ayam atau udang. Meski tidak setiap hari, tapi cukup sering ia makan ketiganya.
Ah, aku seperti istrinya saja.
Eh.....
Astaga? Apa yang kupikirkan? Lupakan.
Aku segera beranjak ke kamar mandi. Mandi dan berganti baju. Tak sampai 30 menit, aku sudah siap dengan kaos bertuliskan 'I'm in Love' dan celana training berwarna hitam yang berkombinasi dengan warna merah di beberapa bagiannya. Aku memang sengaja memakai kaos dan celana training karena menurutku simpel dan tidak berlebihan. Anggap saja aku ingin berolahraga pagi meskipun kenyataannya tidak.Aku segera melangkahkan kakiku menuju ke seberang jalan sambil membawa rantang makanan. Tak butuh waktu lama. Aku sudah sampai di depan rumah Zevran tak kurang dari 30 detik.
Aku memencet bel rumahnya. Tak terdengar ada sahutan dari dalam. Kupencet sekali lagi. Terdengar suara langkah kaki berderap mendekat. Aku yakin sekali, itu Zevran.
Benar saja. Saat pintu terbuka, aku mendapati Zevran yang membukakan pintu. Namun seketika itu aku melongo. Zevran sedang memakai kaos tanpa lengan yang sangat ketat dan celana pendek. Dan tubuhnya basah bermandikan keringat. Dia habis ngapain?
"Rain." ucapnya yang membuatku tersadar dari lamunanku.
"Hai, Zev." balasku.
"Silakan masuk dulu, aku habis nge-gym dan belum sempat mandi. Maaf bau keringat." ucapnya sambil mempersilakan aku masuk.
Aku mengangguk. "Nge-gym? Di rumah?" tanyaku sambil beranjak masuk. Kulihat dia menutup pintu dan mengikutiku dari belakang.
"Iya, aku punya alatnya sendiri di rumah."
Aku hanya ber-oh ria mendengar jawabannya. Aku segera duduk di kursi ruang tamunya. "Aku tunggu, kamu cepetan mandi. Aku bawain kamu makanan nih." kataku sambil mengacungkan rantang berisi masakanku.
"Wah, sepertinya aku beruntung hari ini. Ada cewek yang bawain makanan." jawabnya sambil tergelak dan melenggang menaiki tangga menuju ke kamar mandi di lantai dua rumahnya.
Aku hanya tersenyum kecut. Harus kuakui, kesannya memang seperti aku yang jatuh cinta padanya atau paling parah aku ini istrinya. Tapi tak apalah. Sekali-sekali. Lagipula ini juga karena aku mau minta maaf padanya.
Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah Zevran. Suasananya, tatanan rumahnya, bahkan dekorasi rumahnya masih sama. Tidak ada perubahan. Ruang tamu, dapur yang berbatasan langsung dengan ruang tamu dan ruang makan. Minimalis dan terlihat mewah.
Aku memang pernah beberapa kali berkunjung kesini. Jadi aku sangat hapal dengan tatanan ruang di lantai satu rumahnya. Namun, aku tak pernah menginjakkan kaki di lantai dua rumah Zevran. Jadi aku tak tahu ada ruangan apa saja di lantai dua rumahnya. Menurut perkiaraanku, di lantai dua rumahnya pasti hanya ada beberapa kamar tidur dan mungkin pula ruangan olahraga.
Aku membuyarkan lamunanku saat kulihat dia menuruni tangga. Rambutnya terlihat basah. Dan aku dapat mencium aroma sabun yang sangat khas. Ya Tuhan, dia wangi sekali sehabis mandi.
Aku segera menepis pikiran kotorku itu dan mulai beranjak ke ruang makan yang bersebelahan dengan dapurnya. Zevran pernah berkata anggap saja rumah sendiri, jadi akupun menganggapnya begitu.
Aku segera menaruh makanan yang kubawa di atas piring. Kusiapkan sedemikian rupa hingga terlihat cantik. Dan setelah itu, aku menaruhnya di atas meja makan.
Kulirik Zevran yang dengan setia mengawasiku dari pintu masuk ke ruang makan. Dia menyenderkan tubuhnya ke kusen pintu dan menatapku lekat.
Aku tahu pandangan itu. Tatapan penuh cinta. Tapi tak kupedulikan.
Pertanyaannya kemarin membuatku bingung dan memutuskan untuk menyelami dahulu perasaanku. Tapi untuk sekarang, aku tidak mau memikirkannya dulu. Biarkan waktu yang menjawab. Aku hanya ingin bersahabat dengannya dulu untuk sekarang, tapi ke depannya aku pasrahkan pada Tuhan.
"Ayo!" ajakku saat aku sudah selesai menyiapkan makanannya.
Aku segera duduk di kursi. Dan Zevran mengikutiku. Ia mengambil tempat duduk di hadapanku.
"Tumben kamu membawakan makanan untukku. Ada apa ini?" tanyanya di saat aku tengah menyendokkan sepotong ayam saus mentega ke piringnya.
Aku melirik sekilas dan tersenyum.
Zevran mendengus kesal. "Jangan sampai kau berniat pamrih, Rain." Aku hanya tersenyum penuh arti. Namun sepertinya ia menangkap maksud senyumanku.
"Baiklah, katakan. Apa yang kau mau? Aku bisa gila meladeni gadis yang kucintai ini." ucapnya kesal tapi diiringi senyuman khas yang membuat lesung pipitnya nampak dan itu semakin membuatnya terlihat manis.
"Baiklah." kataku. Aku menghentikan aktivitasku menyiapkan makanan ke piringnya. Aku membenahi letak dudukku.
"Kau tahu, aku orang yang tidak suka basa-basi. Jadi, makanan ini adalah sebagai bentuk permintaan maafku padamu."
"Untuk?"
"Kejadian tadi malam. Saat aku memaksamu pulang dan mendiamkanmu selama di mobil." jawabku cepat.
"Mengapa harus minta maaf? Apakah aku terlihat marah kepadamu, ha?" tanyanya.
"Aku tak tahu. Aku hanya merasa tidak enak padamu. Setidaknya kalau kau tidak marah, kau pasti kesal. Makanya aku datang untuk menebus semua itu. Atas sikapku tadi malam." jawabku.
Dia menghela napas perlahan. Menyandarkan tubuh seksinya ke sandaran kursi. Aku hanya memandangnya penuh harap. Hatiku berdebar-debar menanti reaksinya.
Satu detik... Dua detik... Tiga detik....Ah, aku bisa gila lama-lama begini.
"Baiklah." jawab Zevran. Dan pada akhirnya, aku bisa kembali bernapas lega.
"Tapi jangan kau ulangi lagi, ya. Aku bisa bingung setengah mati saat kau mendiamkanku." ucapnya lagi. Tegas dan penuh penekanan. Terdengar mengintimidasi.Aku hanya menelan ludahku.
Sebenarnya, Zevran itu baik atau berpura-pura baik? Kenapa aku merasakan aura yang berbeda saat dia berkata penuh penekanan seperti itu?
"Jangan takut. Aku hanya bercanda."
Dan perkataannya itu sukses membuatku melotot garang ke arahnya.
Kita tidak pernah tahu hati kita akan berlabuh kepada siapa. Yang pasti aku mengetahui satu hal, aku ingin sembuh dari trauma dan luka masa lalu dengan mempercayai cinta. Dan dengan cinta, aku ingin melabuhkan hatiku pada orang yang tepat. Aku hanya berusaha membuka hatiku pada orang lain, selebihnya akan kupasrahkan. Biarkan hati yang memilih jalan pulangnya... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Seminggu setelah kejadian di pesta itu. Seminggu pula setelah aku memasakkan makanan untuk Zevran. Selama seminggu itulah Sean tidak lagi menampakkan dirinya di hadapanku. Dan selama seminggu itulah aku tidak bisa bertemu dengan Zevran. Kalau harus jujur, itu semua terasa berat di hatiku. Pertama, Sean. Dia entah kenapa tidak terlihat di kantor selama seminggu ini. Sebenarnya ak
Aku tak bermaksud membuatmu terluka, tapi jika memang ini jalannya takdir yang harus kujalani, aku rela. Bukankah takdir tak pernah licik? Dan senja bahkan masih indah dipandang walau sinarnya temaram.... ~Zevran Abraham Radjoan~ "Kau gila, Sean!" teriakku kepada Sean. Namun pria itu tak menggubrisku. Ia terus saja tertawa dan berlari menjauhiku. Percayalah, ia seorang pemilik perusahaan dan kelakuannya seperti layaknya anak kecil. Benar-benar menyebalkan. "Ayolah, Rain! Apakah kau tak tahu bahwa coklat itu sangat enak?" teriaknya sambil tertawa. Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku tahu enak jika semua coklat itu menempel di wajahku dan bukan di lidahku? Aah, aku juga yang salah. Kenapa aku percaya saja ucapan Sean yang jahil itu. "Pergi saja kau, Sean! Aku kesal padamu!"
Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu. ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan matak
Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu. Hening. Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini. Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. "Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas. Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki d
Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini. Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun. Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, sepert
From : Milanda Revalido Sulistya Elu yakin dia bakal paham maksud lu, Rain? Gue aja bahkan gak paham maksud elu apa. Mila mengirimkan pesan chatting lewat aplikasi pesan. Aku membacanya sambil tertawa geli. Dengan cepat aku mengetik balasannya. From : Rainisa Soedibjo Tunggal Gue sih yakin dia pasti akan tahu dan paham maksud gue. Tapi entah kapannya. Lagipula dia pasti berusaha semaksimal mungkin menemukan jawabannya. :) Tak berselang lama, balasan dari Mila masuk. From : Milanda Revalido Sulistya Hei! Belum tentu! Bisa aja dia gak paham artinya sampai beberapa waktu. Dia bahkan gak tahu ungkapan elu itu termasuk apa wkwk. Tapi by the way, apakah elu gak mau berbagi jawaban ke gue? XD Aku melotot membacanya. Bagaimana bisa dia minta bocoran? Aku tahu Mila tak pernah sanggup berbohong. Memberitahuka
Aku menguap panjang dan merasa bahwa ada yang hangat pada tubuhku. Samar-samar kudengar alunan lagu dari Beyonce yang aku bahkan lupa judulnya apa. Sebuah selimut menutupi tubuhku, sementara aku akhirnya sadar bahwa aku sedang di sebuah mobil mini cooper yang tengah melaju membelah jalanan kota. Di belakang kemudi nampak Sean yang tidak bergeming sedikit pun. Ia fokus pada jalan sambil sesekali melempar pandangan ke kanan kiri. Aku di jok belakang merasa kikuk. Dengan masih berpakaian kerja, aku diajak Sean memutari hampir seluruh pasar malam, dan berakhir aku memilih tidur setelahnya di jok belakang. AC mobil yang cukup dingin barangkali membuatnya akhirnya menyelimutiku. "Kamu sudah bangun?" Tanyanya. Ia sepertinya sadar kalau aku sudah membuka mata sedari beberapa saat lalu. "Hmm." Jawabku dengan malas. Aku masih meringkuk manja dengan e
Aku mengetik laporan keuangan dengan malas. Sesekali aku menguap dengan lebar sembari menegakkan punggungku. Aku benar-benar tidak bisa fokus. Bahkan aku hanya bisa membuat jurnal umum untuk transaksi satu hari, belum sampai pada buku besar, arus kas, apalagi laporan rugi laba. Aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak. Kulihat jam tanganku. Sudah pukul 11.30 WIB. Tandanya sebentar lagi akan masuk waktu istirahat siang. Sepertinya aku tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Akan lebih baik jika aku meminta izin masuk setengah hari, daripada laporanku berantakan dan berakhir aku berada di meja interogasi. Membayangkannya saja aku begidik ngeri. Dengan segera aku menuju lift dan naik ke lantai 4 untuk meminta izin. Namun, belum sempat aku menekan tombol, sebuah tangan menyerobot dan menekan tombol lantai teratas. Segera saja aku menoleh. Dan aku mendapati Se
Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan
Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.
Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber
"Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.
Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku. Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif. Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun. Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga. Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu. Aku lantas men
Rain POV Aku terduduk lemas di sudut kamar inapku setelah Zevran melenggang keluar dari kamarku. Sejenak pikiranku kembali melayang ke hari pertama aku pergi dari hidupnya. -Flashback Dimulai- "Tapi nyonya..." sahutku terpotong. "Kamu tidak usah banyak tapi. Tinggal pilih! Mau Zevran mati di tanganku atau kau tinggalkan dia dan mengabdikan diri kepadaku." Jawab Tamara dengan suara penuh penekanan. "Apa alasan Anda begitu jahat padaku, hah?" Aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diriku. Ia pasti tahu bahwa nada suaraku sudah lumayan tinggi dan cukup kesal. Tetapi aku lupa bahwa ia adalah Tamara Dhananjaya yang begitu kuat dan bukan tandinganku. "Kamu masih bertanya? Ingat, perempuan jalang! Nina, istri Bhaskara, hampir bunuh diri karena Bhaskara terus memikirkanmu. Kau pikir aku tidak akan membalas dendam karenanya? Dia bahk
Aku menghentikan laju mobilku di sebuah jembatan tak jauh dari tempatku menemui Zack. Kututup pintu mobil dari luar dan aku membuang pandanganku ke sungai yang mengalir di bawahnya. Kuhela napas panjang dan aku benar-benar merasa bahwa aku tak mampu lagi berdiri dengan kakiku. Seketika aku luruh sambil menyangga tubuhku di tiang jembatan. Aku masih ingat setiap kata Zack. -Flashback Dimulai- "Cepat ceritakan padaku, Zack!" Ujarku tak sabar ketika bertemu Zack di ruanganku. Zack menunduk takut-takut, seakan-akan sesuatu yang akan dibicarakannya adalah hal besar. "Tuan, saya harap Tuan tidak akan terkejut mendengarnya." Zack berkata dengan sangat hati-hati. "Hmmm." Kulemparkan tatapan dinginku padanya sebagai balasan. Zack menunduk seketika. "Jadi begini, Tuan...." ia memulai l
Aku mendobrak pintu rumah keluarga Dhananjaya. Di sana banyak asisten rumah tangga dan para pegawai yang terkejut melihat kedatanganku lengkap dengan pasukan bersenjata. Aku memberikan kode pada sejumlah pasukan untuk mencari orang yang kumaksud. Tanpa pengulangan, mereka dengan sigap menyebar ke segala penjuru rumah. Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah, mencoba memahami situasi di sini. Tak berselang lama, terdengar suara berisik dari lantai 2… Aku yang mendengarnya segera berlari ke atas, meninggalkan para pegawai keluarga Dhananjaya di bawah yang menjadi sandera pasukan khususku. Begitu menginjakkan kaki di ubin pertama lantai 2, aku melihat Bhaskara tengah meronta-ronta di bawah kendali pasukan khususku. Sementara di sampingnya, Rain tengah memandangku datar. Ia seakan-akan tanpa ekspresi dan seperti mayat hidup. Hatiku bergetar. Tanpa aba-aba, aku reflek berlari dan memeluknya e
Aku melangkah maju dengan percaya diri. Kubuka semua pintu dan kuterobos semua penjagaan yang ada di gedung itu. Bahkan satpam di sana tak berani menghentikanku. "Minggir!" Teriakku dengan tatapan penuh ancaman dan aura sedingin kutub selatan. Di depanku, semua orang yang berkerumun di hadapan resepsionis langsung menepi, memberiku jalan yang kumaksud. Brakkk! Aku menggebrak meja resepsionis, membuat wanita petugas resepsionis langsung menunduk. Kulihat wajahnya. Orang Indonesia. Dia pasti paham perkataanku. "Berikan aku akses ke ruangan Dhananjaya. Cepat!" Hardikku. Wanita itu sontak ketakutan dan gemetar. Dia pasti tahu aku siapa dan tidak mungkin bereaksi seperti ini kalau ia tidak menyadari identitasku. Namun setelah mendengar suaraku, ia bahkan bungkam dan tak bergerak sama sekali. Ia bahkan tak menjalankan