Home / Romansa / Diary Rain / Part 4 - Aku dan Sean

Share

Part 4 - Aku dan Sean

Author: Pyp Raesland
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Orang bilang cinta itu datang tiba-tiba. Dan aku percaya. Aku mengalaminya. Tapi hatiku juga sakit. Sakit melihatnya bersama orang lain sesaat setelah pertemuan kedua. Apakah kalian percaya bahwa hubungan antara seorang pria dan wanita itu murni sahabat? Ingatlah perkataanku, bahwa hujan dan pelangi itu sepasang kekasih. Yang hadir dan saling melengkapi, walau hanya sesaat. Begitu pula dengan seorang pria dan wanita...

~(Sean Reynald Tanubradja)~

"Lo kok murung sih, Rain?" Tanya Arina yang sukses membuatku tergagap.

Melihat reaksiku, Arina langsung tertawa terbahak-bahak. "Cie, yang lagi jatuh cinta."

"Hah?" Teriakku terkejut.

Sontak saja Arina langsung menutup mulutku dengan tangannya. "Jangan keras-keras. Ini kantor, Rain."

Aku mengangguk dan Arina melepaskan tangannya dari mulutku.

"Lo jangan macam-macam deh. Jangan sembarangan ngomong. Emang tahu dari mana? Gue aja gak pernah dekat sama cowok mana pun." Sanggahku.

"Gak pernah dekat sama cowok? Terus, pak Sean kemarin deketin lo apaan coba? Mana keliatannya kalian dekat lagi."

Pupil mataku langsung membesar? Pak Sean? Deketin aku? Bukannya pak Sean itu pemilik perusahaan ini?

"Jangan gila deh, Rin. Kemarin gak ada yang deketin gue kok." balasku.

Arina segera mendekatiku dan duduk di hadapanku. Tatapannya sukses membuatku canggung karena terkesan mengintimidasi, meski aku tahu Arina seserius itu.

"Aduh, kayaknya lo itu beneran pikun ya? Kemarin itu jelas-jelas pak Sean datangin meja lo terus ngasih bekal makanannya ke lo? Apa masih nyangkal lagi? Itu gosip udah nyebar satu perusahaan, Rain. Jangan ngelak napa!" jelas Arina sambil berdecak gemas.

Aku terbatuk-batuk. Memang wajar kan kalau aku terkejut?

"Beneran? Jadi yang kemarin itu pak Sean?"

"Lo itu memang pikun atau beneran gak tahu, sih?" Arina bersungut-sungut.

"Gue beneran gak tahu, Rin." ucapku sambil mengacungkan dua jariku membentuk huruf v.

"Jadi sekarang lo udah tahu, kan?" tanyanya.

Aku cuma mengangguk.

"Gimana? Ada debaran-debaran di hati lo?" tanya Arina sambil tersenyum jahil.

"Apaan sih, lo? Biasa aja." ucapku. Dan memang benar. Aku biasa saja dengan sikap pak Sean kemarin.

"Astaga, kayaknya gue perlu meriksain lo ke dokter mata deh. Denger ya, Rain. Pak Sean itu ganteng, masih muda, kaya lagi. Siapa wanita yang gak tertarik?" ucap Arina gemas.

"Gue." jawabku sambil mengacungkan jari.

"Gue bisa gila lama-lama." ujar Arina gemas. Ia segera beranjak pergi dengan wajah ditekuk.

Aku hanya tertawa melihat ekspresi Arina. Bagiku dia teman sekantor yang blak-blakan dan ekspresif. Berbeda dengan teman kantor kebanyakan yang justru main kucing-kucingan saat membicarakan teman sekantor mereka.

Namun, beberapa detik kemudian aku jadi teringat ucapan Arina. Aku murung dan aku jatuh cinta? Pada siapa? Pak Sean? Ah, tidak mungkin. Aku baru saja bertemu dengan dia kemarin. Pertemuan pertama. Dan aku biasa saja. Mana mungkin ada cinta pada pandangan pertama?

Aku teringat dengan perkataan beberapa teman sekantorku yang sudah menikah. Mereka bilang bahwa jatuh cinta bisa ditandai dengan jantung yang berdetak lebih cepat saat berada di dekat orang yang kita cintai. Apa itu benar? Jika benar demikian, aku selalu merasakan debaran keras saat berada di dekat Zevran, bukan dengan pak Sean. Tapi benarkah itu cinta? Apakah itu bukan hanya sekadar rasa sayangku kepada Zevran sebagai seorang sahabat? Entahlah. Aku benar-benar pusing jika memikirkan hal ini.

Aku melayangkan pandanganku kembali ke layar monitor. Saat akan mulai mengetik, tiba-tiba aku mencium aroma maskulin di dekatku.

Seperti aroma pria, pikirku.

Aku refleks menoleh dan mendapati seorang pria tengah berdiri di depan meja kerjaku. Aku melongo.

Sekejap kemudian aku sadar dan segera berdiri.

"Se-selamat siang, pak Sean!" ucapku patah-patah.

Tak ada ekspresi dalam wajah pemilik perusahaan itu. Astaga, orang ini.

"Lo belum makan, kan? Ikut gue makan, gimana?" tanyanya.

Nadanya terdengar sedikit memohon. Namun, mimik wajahnya tak berubah.

Tuhan, apakah pemilik perusahaan ini memang berwajah seperti ini? Apakah memang dia tidak pernah bisa berekspresi?

"Maaf, Pak." ucapku akhirnya. "Saya tidak bisa. Ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan hari ini juga."

Bohong? Aku tidak bohong. Memang banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sekarang. Lagipula, aku memang jarang sekali makan siang di kantor. Aku lebih suka berkutat dengan pekerjaanku daripada sekedar menghabiskan waktu untuk menikmati makanan kantor.

Sia-sia, begitu pemikiranku.

"Tapi, gue memaksa." ucapnya tegas.

Aku melotot. Bahasanya bahkan memakai lo-gue, bukannya saya Anda. Ini jelas bukan dalam ranah profesional antara bawahan dan atasan. Lalu, bagaimana bisa sebuah ajakan berubah menjadi perintah? Aku tidak habis pikir dengan pemikiran bosku yang satu ini.

"Tapi pak..."

Perkataanku terpotong karena tanganku langsung saja digandeng oleh pria aneh ini dan ia langsung membawaku menyususri koridor kantor. Membiarkan tatapan para rekan kerjaku yang keheranan sekaligus sinis.

"Pak, jangan bergandengan seperti ini. Tidak enak dilihat banyak orang." ucapku mengingatkan.

Namun sepertinya ucapanku tak direspon olehnya. Ia terus saja menggandeng tanganku. Melewati banyak koridor dan lorong di kantor. Yang paling menakjubkan adalah melewati ratusan pasang mata yang seakan-akan siap menelanjangiku karena digandeng oleh direktur utama perusahaan. Dan dia baru berhenti setelah kami sampai di kantin kantor.

"Kita duduk di sini." ucapnya dingin. Dia menunjuk sebuah bangku panjang tak jauh dari tempatku dengannya berdiri sekarang.

Dan tanpa babibu lagi, dia langsung duduk. Aku yang kesal bercampur lapar, segera saja duduk. Pekerjaanku takkan cepat selesai kalau seperti ini. Aku bisa pulang telat.

"Tolong jangan panggil gue bapak. Kita seumuran. Panggil saja Sean."

Aku menoleh sekilas. Dia ngomong sama siapa sebenarnya? Benarkah padaku? Lalu kenapa tak menoleh kepadaku?

Orang aneh, batinku.

"Baiklah, Sean." ucapku akhirnya. Dan disaat yang bersamaan, kulihat ia tersenyum hangat. Melihatnya tersenyum, aku akhirnya memaksa diriku tersenyum. Tak baik jika senyuman orang tak dibalas senyuman. Itu pemikiranku.

Tak berapa lama, makanan dan minuman yang entah kapan dipesan, datang. Sepertinya sebelum kami berdua datang, makanan dan minuman ini sudah dipesan terlebih dahulu.

Begitu makanan dihidangkan, aku sedikit canggung duduk bersama dengan pria ini. Senyumnya itu tadi hangat, tulus sekali. Entah kenapa, hatiku merasakan sesuatu yang aneh.

"Ayo dimakan." katanya.

Aku menganggukkan kepala sedikit dan mulai melahap makananku. Sejak pagi tadi aku belum makan karena aku terlambat bangun. Jadi sekarang, begitu melihat makanan aku langsung melahapnya. Rasa laparku terpenuhi. Abaikan saja tatapan sinis orang-orang kantor. Mereka pasti berpikir aku seorang wanita penggoda. Tapi maaf, itu bukan sifatku. Aku juga tidak mengerti kenapa bosku bisa menjadi seperti ini.

Dan abaikan juga dengan pemikiranku tentang makan siang di kantor adalah suatu hal yang sia-sia. Aku hanya mencari alasan saja agar tak disebut workaholic, meski memang itulah kenyataannya.

"Gimana? Enak?" tanyanya dengan senyum yang kembali menghias di bibirnya itu.

Dia kembali bertanya? Padaku? Padahal dia tadi bersikap dingin padaku? Kurasa memang benar jika seorang yang salah makan akan mendadak jadi gila. Dan bosku yang satu ini, sepertinya ia mengalami peristiwa itu.

Aku mengangguk. Tak enak kan kalau aku tidak menjawab? Dan anggukan kecil dariku kuanggap sebagai sebuah jawaban.

"Jadi, gimana? Kamu suka?" tanyanya.

Sebentar? Sejak kapan kata "lo-gue" yang sejak kemarin hingga beberapa menit lalu dia ucapkan ke padaku berubah menjadi "aku-kamu"? 

Lagi-lagi aku menganggukkan kepala.

"Bisa gak pertanyaanku dijawab dengan kata-kata? Kamu pikir aku bukan manusia sehingga kamu harus memakai bahasa isyarat?" sindirnya.

Aku sedikit tersedak. Tuh, kan? Ada apa dengan pria ini? Kenapa dia mendadak menjadi manis padaku?

"Baiklah, pak. Eh, Sean." jawabku sedikit gagap.

Dia hanya terkekeh pelan melihatku terkejut. Dan aku langsung memasang wajah paling menyebalkan di dunia.

***

Hari ini aku memutuskan pulang lebih awal. Pulang lebih awal itu hanya bagiku saja. Karena pulang tepat saat jam kerja berakhir, bagiku itu sama saja pulang lebih awal. Biasanya aku akan pulang 1 sampai 3 jam setelahnya. Biasa, pekerjaan yang bagiku lebih penting.

Aku mempunyai alasan kali ini. Yang pertama, Mila. Dia kemarin sudah membuatku paranoid dengan bisikannya, dan tadi dia juga sudah mencecarku dengan kata-kata itu lagi lewat telepon. Cerita. Dan kali ini dia benar-benar memaksaku. Aku hanya mengiyakan saja. Dan alhasil kami berjanji bahwa kami akan bertemu di mall. Selain memaksaku bercerita tentang Zevran, dia juga ingin mengajakku belanja. Tuhan, sepertinya aku salah mengajaknya hujan-hujanan kemarin. Otaknya pasti sudah berpindah tempat. Entah perasaanku saja atau memang Mila memang sudah bersifat begitu dari lama.

Kedua, Zevran. Dia mengajakku yang entah kenapa aku yakin sekali kalau itu sebuah pesta. Dan itu jam 8 malam. Akan mepet sekali waktunya kalau aku pulang jam 6. Maka aku memutuskan pulang tepat waktu.

Aku melangkahkan kakiku keluar dari gedung kantor. Baru beberapa langkah, aku mendapati sesosok pria yang kukenal. Zevran? Aku terkejut saat melihat Zevran berada di depan kantorku saat aku baru saja pulang kantor. Bagaimana dia bisa di sini? Apakah dia tidak bekerja? Dan bukankah kemarin dia bilang akan menjemputku jam 8 malam?

Aku melirik jam tanganku sekilas. Ini baru saja jam 5 sore. Masih 3 jam lagi dari waktu yang dia tentukan. Lalu kenapa dia di sini? Aku memutuskan mendekatinya daripada bertanya-tanya tidak jelas.

"Hai." sapaku.

Zevran hanya menautkan alisnya sambil tersenyum ke arahku.

Dan senyuman itu seakan membuat duniaku berhenti. Apakah aku terpesona? Mungkin iya. Pada sahabatku sendiri? Salahkah aku?

"Kenapa kau di sini? Bermaksud menemuiku? Bukankah kemarin kau bilang jam 8 malam?" tanyaku. Aku sekarang berdiri di hadapannya. Menatapnya yang memakai sweater berleher panjang berwarna biru kesukaannya dengan celana jeans yang di mataku tampak pas. Rambutnya yang rapi dan kecoklatan semakin menambah aura kewibawaannya.

"Aku menunggumu. Ingin mengajakmu belanja." jawabnya.

"Hah? Kenapa tidak bilang dulu?" tanyaku cepat. Aku benar-benar terkejut.

Dia ingin mengajakku belanja dan tidak bilang dulu? Apakah aku bermimpi? Bagaimana dengan janjiku dengan Mila? Aku baru saja menelponnya beberapa menit sebelum aku keluar kantor dan dia berkata sedang dalam perjalanan. Lalu jika Zevran mengajakku belanja, bagaimana dengan Mila? Tidak mungkin aku membatalkannya begitu saja, kan?

"Kenapa? Kau tidak mau? Ayolah." bujuknya.

Melihat wajahnya yang terkesan merayu seperti itu, aku merasa tidak tega. Tapi bagaimana janjiku dengan Mila? Oh, Zev, kau benar-benar membuatku gila.

"Boleh saja, tapi aku juga membuat janji yang sama dengan Mila. Dan dia sedang dalam perjalanan kemari." ucapku akhirnya. Lebih baik jujur daripada membuatku pusing. Lagipula berbohong bukanlah keahlianku.

"Kalau begitu, kita belanja bertiga." jawabnya cepat. Bahkan aku baru saja selesai menjelaskan.

Kontan saja aku melotot ke arahnya. Arrggghhh, bisa kacau kalau begini.

Apakah kau tidak berpikir, Zev, kalau kau akan membuatku malu dengan jawabanmu barusan? Kenapa kau tidak berpikir dulu, sih? 

Mila orangnya tidak bisa diam dengan mulutnya yang ember itu. Dia pasti terang-terangan mengaku tentang tujuannya mengajakku belanja pada Zevran. Aduh, aku bisa malu kalau begini. Kenapa dua orang ini permintaannya selalu aneh, sih? Tidak aneh bagi orang kebanyakan. Tapi sangat aneh jika waktunya bersamaan dan itu mengandung tujuan tertentu. Hhh, sepertinya aku salah sangka kalau mengira Zevran dan Mila itu sahabat yang baik. Salah besar. Bagiku mereka sangat baik. Baik dalam kerja sama untuk membuatku pusing. Tuhan, bantulah aku.

"Hei, kenapa melotot begitu? Biasa saja. Belanja bertiga kan bukan suatu masalah. Atau kau memang mau belanja berdua saja denganku?" goda Zevran saat melihat ekspresiku.

Aku langsung menatapnya kesal. Tidakkah dia itu peka? Ah, ya aku lupa. Zevran itu manusia. Mana mungkin bisa membaca pikiran. Lagipula, dia spesies pria yang paling tidak peka menurutku.

"Belanja saja sendiri kalau begitu!"

Dia langsung tertawa.

Related chapters

  • Diary Rain   Part 5 - Melihat Situasi

    Alam seakan mendekatkan kami berdua. Jujur saja, aku tak memiliki rasa itu. Tapi apakah benar begitu? Semua yang dilakukannya tampak nyata. Tapi merapuhkan jiwaku, secara perlahan... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Di sinilah aku. Berdesak-desakan dengan pengunjung lain di sebuah mall besar di kotaku ini bersama dua orang sahabat terbaikku. Dan tebak, apa yang terjadi sebelum ini? Benar sekali. Mila dengan polosnya mengatakan tujuannya tanpa sempat kucegah. Dan itu terjadi di foodcourt tadi. Zevran langsung tertawa lepas dan aku hanya menunduk malu. Awas saja kau, Mila, batinku. "Bisakah kita berhenti sebentar? Aku capek. Dan jujur saja, aku ingin pulang." ucapku saat kami bertiga sudah sampai di lantai atas mall itu. Dan tentu saja setelah lepas dari desa

  • Diary Rain   Part 6 - Antara Sean dan Zevran

    Aku tak bermaksud melukaimu, sama sekali. Aku hanya ingin menyadarkanmu, ingin memberitahumu, bahwa meskipun aku orang baru di hidupmu, tetapi aku juga berhak mencintaimu. Meski aku tahu hatimu bukan untukku, tapi setidaknya berilah aku waktu, buka saja sedikit jalan, aku ingin merengkuh indahnya cinta itu. Bersamamu... ~(Sean Reynald Tanubraja)~ "Apa yang kau lakukan?" teriakku saat aku berhasil lepas dari cengkraman pria itu. Kami sekarang berada di parkiran mobil. Aku melihat pergelangan tanganku yang baru saja dicengkram olehnya. Pergelangan tanganku nampak memerah karena kuatnya cengkraman pria itu. Rasanya lumayan panas. Namun, bukan itu fokus utamaku, tapi pria yang sekarang berada di hadapanku ini. Tatapannya serasa menusukku. Namun, aku tidak peduli.

  • Diary Rain   Part 7 - Memberi Kesempatan

    Kita tidak pernah tahu hati kita akan berlabuh kepada siapa. Yang pasti aku mengetahui satu hal, aku ingin sembuh dari trauma dan luka masa lalu dengan mempercayai cinta. Dan dengan cinta, aku ingin melabuhkan hatiku pada orang yang tepat. Aku hanya berusaha membuka hatiku pada orang lain, selebihnya akan kupasrahkan. Biarkan hati yang memilih jalan pulangnya... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Seminggu setelah kejadian di pesta itu. Seminggu pula setelah aku memasakkan makanan untuk Zevran. Selama seminggu itulah Sean tidak lagi menampakkan dirinya di hadapanku. Dan selama seminggu itulah aku tidak bisa bertemu dengan Zevran. Kalau harus jujur, itu semua terasa berat di hatiku. Pertama, Sean. Dia entah kenapa tidak terlihat di kantor selama seminggu ini. Sebenarnya ak

  • Diary Rain   Part 8 - Bersama Mila

    Aku tak bermaksud membuatmu terluka, tapi jika memang ini jalannya takdir yang harus kujalani, aku rela. Bukankah takdir tak pernah licik? Dan senja bahkan masih indah dipandang walau sinarnya temaram.... ~Zevran Abraham Radjoan~ "Kau gila, Sean!" teriakku kepada Sean. Namun pria itu tak menggubrisku. Ia terus saja tertawa dan berlari menjauhiku. Percayalah, ia seorang pemilik perusahaan dan kelakuannya seperti layaknya anak kecil. Benar-benar menyebalkan. "Ayolah, Rain! Apakah kau tak tahu bahwa coklat itu sangat enak?" teriaknya sambil tertawa. Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku tahu enak jika semua coklat itu menempel di wajahku dan bukan di lidahku? Aah, aku juga yang salah. Kenapa aku percaya saja ucapan Sean yang jahil itu. "Pergi saja kau, Sean! Aku kesal padamu!"

  • Diary Rain   Part 9 - Bertemu Kembali

    Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu. ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan matak

  • Diary Rain   Part 10 - Berkecamuk

    Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu. Hening. Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini. Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. "Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas. Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki d

  • Diary Rain   Part 11 - Antara Pergi dan Mencari

    Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini. Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun. Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, sepert

  • Diary Rain   Part 12 - Di Antara Dua Hati

    From : Milanda Revalido Sulistya Elu yakin dia bakal paham maksud lu, Rain? Gue aja bahkan gak paham maksud elu apa. Mila mengirimkan pesan chatting lewat aplikasi pesan. Aku membacanya sambil tertawa geli. Dengan cepat aku mengetik balasannya. From : Rainisa Soedibjo Tunggal Gue sih yakin dia pasti akan tahu dan paham maksud gue. Tapi entah kapannya. Lagipula dia pasti berusaha semaksimal mungkin menemukan jawabannya. :) Tak berselang lama, balasan dari Mila masuk. From : Milanda Revalido Sulistya Hei! Belum tentu! Bisa aja dia gak paham artinya sampai beberapa waktu. Dia bahkan gak tahu ungkapan elu itu termasuk apa wkwk. Tapi by the way, apakah elu gak mau berbagi jawaban ke gue? XD Aku melotot membacanya. Bagaimana bisa dia minta bocoran? Aku tahu Mila tak pernah sanggup berbohong. Memberitahuka

Latest chapter

  • Diary Rain   Part 32 - Neraka (2)

    Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan

  • Diary Rain   Part 31 - Neraka (1)

    Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.

  • Diary Rain   Part 30 - Bangkit

    Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber

  • Diary Rain   Part 29 - Persiapan

    "Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.

  • Diary Rain   Part 28 - Dua Hati yang Kembali

    Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku. Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif. Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun. Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga. Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu. Aku lantas men

  • Diary Rain   Part 27 - Masih Ragu

    Rain POV Aku terduduk lemas di sudut kamar inapku setelah Zevran melenggang keluar dari kamarku. Sejenak pikiranku kembali melayang ke hari pertama aku pergi dari hidupnya. -Flashback Dimulai- "Tapi nyonya..." sahutku terpotong. "Kamu tidak usah banyak tapi. Tinggal pilih! Mau Zevran mati di tanganku atau kau tinggalkan dia dan mengabdikan diri kepadaku." Jawab Tamara dengan suara penuh penekanan. "Apa alasan Anda begitu jahat padaku, hah?" Aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diriku. Ia pasti tahu bahwa nada suaraku sudah lumayan tinggi dan cukup kesal. Tetapi aku lupa bahwa ia adalah Tamara Dhananjaya yang begitu kuat dan bukan tandinganku. "Kamu masih bertanya? Ingat, perempuan jalang! Nina, istri Bhaskara, hampir bunuh diri karena Bhaskara terus memikirkanmu. Kau pikir aku tidak akan membalas dendam karenanya? Dia bahk

  • Diary Rain   Part 26 - Terkuak

    Aku menghentikan laju mobilku di sebuah jembatan tak jauh dari tempatku menemui Zack. Kututup pintu mobil dari luar dan aku membuang pandanganku ke sungai yang mengalir di bawahnya. Kuhela napas panjang dan aku benar-benar merasa bahwa aku tak mampu lagi berdiri dengan kakiku. Seketika aku luruh sambil menyangga tubuhku di tiang jembatan. Aku masih ingat setiap kata Zack. -Flashback Dimulai- "Cepat ceritakan padaku, Zack!" Ujarku tak sabar ketika bertemu Zack di ruanganku. Zack menunduk takut-takut, seakan-akan sesuatu yang akan dibicarakannya adalah hal besar. "Tuan, saya harap Tuan tidak akan terkejut mendengarnya." Zack berkata dengan sangat hati-hati. "Hmmm." Kulemparkan tatapan dinginku padanya sebagai balasan. Zack menunduk seketika. "Jadi begini, Tuan...." ia memulai l

  • Diary Rain   Part 25 - Hilang Ingatan

    Aku mendobrak pintu rumah keluarga Dhananjaya. Di sana banyak asisten rumah tangga dan para pegawai yang terkejut melihat kedatanganku lengkap dengan pasukan bersenjata. Aku memberikan kode pada sejumlah pasukan untuk mencari orang yang kumaksud. Tanpa pengulangan, mereka dengan sigap menyebar ke segala penjuru rumah. Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah, mencoba memahami situasi di sini. Tak berselang lama, terdengar suara berisik dari lantai 2… Aku yang mendengarnya segera berlari ke atas, meninggalkan para pegawai keluarga Dhananjaya di bawah yang menjadi sandera pasukan khususku. Begitu menginjakkan kaki di ubin pertama lantai 2, aku melihat Bhaskara tengah meronta-ronta di bawah kendali pasukan khususku. Sementara di sampingnya, Rain tengah memandangku datar. Ia seakan-akan tanpa ekspresi dan seperti mayat hidup. Hatiku bergetar. Tanpa aba-aba, aku reflek berlari dan memeluknya e

  • Diary Rain   Part 24 - Pengepungan

    Aku melangkah maju dengan percaya diri. Kubuka semua pintu dan kuterobos semua penjagaan yang ada di gedung itu. Bahkan satpam di sana tak berani menghentikanku. "Minggir!" Teriakku dengan tatapan penuh ancaman dan aura sedingin kutub selatan. Di depanku, semua orang yang berkerumun di hadapan resepsionis langsung menepi, memberiku jalan yang kumaksud. Brakkk! Aku menggebrak meja resepsionis, membuat wanita petugas resepsionis langsung menunduk. Kulihat wajahnya. Orang Indonesia. Dia pasti paham perkataanku. "Berikan aku akses ke ruangan Dhananjaya. Cepat!" Hardikku. Wanita itu sontak ketakutan dan gemetar. Dia pasti tahu aku siapa dan tidak mungkin bereaksi seperti ini kalau ia tidak menyadari identitasku. Namun setelah mendengar suaraku, ia bahkan bungkam dan tak bergerak sama sekali. Ia bahkan tak menjalankan

DMCA.com Protection Status