Beranda / Romansa / Diary Rain / Part 1 - Pertemuan dan Awal Segalanya

Share

Part 1 - Pertemuan dan Awal Segalanya

Penulis: Pyp Raesland
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Harapan untuk sebuah kebahagiaan selalu ada.

Tapi selalu ada harga yang harus dibayar.

Apakah aku sanggup? Padahal luka ini belum kering.

Luka ini selalu basah kembali, bersama hujan yang tiap kali turun....

~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~

Rain POV

2015

"Tidak!!!!"

Ada seseorang yang tidak pernah bisa lepas dari mimpi buruk, bahkan setelah kejadian buruk menimpanya bertahun-tahun lamanya. Salah satunya aku. Hampir setiap hari aku mengalami mimpi yang sama. Dan hari ini, aku kembali mengalaminya.

Mataku mulai membiasakan sinar matahari yang perlahan masuk dari jendela kamarku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali. Dan tak lama, kesadaranku kembali. Aku masih mengingatnya. Mimpi buruk itu tak pernah membiarkanku tenang walau sehari. Aku seperti buronan, yang diteror, kemudian dipaksa mengaku. Kira-kira begitulah yang terjadi selama 14 tahun ini.

Namun aku tak menggubrisnya kali ini. Aku sudah terlalu biasa. Aku segera menyingkirkan selimutku dan beranjak menuju kamar mandi. Jam yang sudah menunjukkan pukul 6 pagi membuatku harus segera mempersiapkan diri. Aku bisa terlambat bekerja kalau aku meneruskan kembali memikirkan mimpi buruk itu.

Tak butuh waktu lama. Aku sudah siap dengan kemeja putih yang dibalut jas wanita berwarna biru dongker, lengkap dengan rok berwarna sama dengan jasnya yang panjangnya semata kaki. Kemudian tak lupa aku memakai pelembap, foundation, bedak, blush on, make up lainnya secara tipis dan menggoreskan sedikit lipgloss berwarna merah muda ke bibir. Rambutku yang hitam dengan panjang sebahu kubiarkan terurai. Dan sebelum berangkat, tak lupa kusemprotkan parfum dengan wangi melati, wangi kesukaanku. Mungkin sedikit aneh bagi wanita muda sepertiku memakai parfum melati, yang banyak dikatakan orang sebagai minyak nyong-nyong. Namun bagiku, itu tidak masalah. Aku suka wanginya, dan tidak terlalu merusak hidung. Mungkin memang selera orang berbeda-beda sehingga aku juga tidak terlalu memikirkannya.

Setelah menyandang tas kerja, aku pun keluar dan mengunci pintu rumah kontrakanku. Dengan percaya diri, aku melangkahkan kaki ke arah jalan raya. Sesekali aku menyapa orang lewat yang kebetulan kukenal sambil sesekali melirik ke arah jalan.

"Taksi!"

Sebuah taksi yang meluncur itu berhenti. Dan aku segera menaikinya tanpa pikir panjang lagi. Taksi itu segera saja meluncur kembali tanpa perintah untuk kedua kali.

Supir taksi itu sudah hapal dengan kebiasaanku karena aku hampir setiap hari menaiki taksi ini kalau berangkat bekerja. Semacam berlangganan, walau aku secara pribadi tak pernah mengatakan bahwa aku ingin berlangganan taksinya setiap pagi di hari kerja. Hanya saja seperti si sopir paham akan potensi penghasilannya kalau setiap pagi melewati jalan ini dan bertemu denganku.

Aku mengambil ponselku dari dalam tas. Sebuah pesan langsung masuk ketika aku menghidupkan ponselku. Aku hampir saja lupa kalau aku sudah mematikan benda berwarna hitam itu selama seharian. Aku hanya malas kalau benda itu tak kumatikan. Selain karena notifikasi dari sosial media yang menggunung, juga telpon dari Mila, sahabatku yang selalu saja menggodaku.

Ralat. Bukan menggoda, tetapi menerorku. Dia bahkan hampir setiap hari menerorku dengan menelponku. Entah apa yang dipikirkannya setiap kali menelponku. Yang jelas, topik pembicaraannya tak pernah habis. Mulai dari makanan, pacar, bahkan sampai urusan dia harus pakai baju apa ke kantor. Dan terkadang itulah yang membuatku sedikit terhibur.

From : 082234567xxx

Rain, bisa kita ketemu hari ini? Jam 7 malam, di kafe biasanya. Sepulang kerja. Ok? Gue tunggu.

Bola mataku langsung membesar membaca pesan itu. Ini nomor siapa? Dan bagaimana dia tahu nomorku. Kemudian kafe biasanya? Aku hanya pernah sekali ke kafe bersama teman SMA ku, dan menurutku bukan dia.

Mendadak satu nama muncul di otakku.

Mila.

Aku yakin sekali. Hanya dia yang selalu menyebut kafe di seberang kantorku sebagai "kafe biasanya". Mungkin dia ganti nomor.

Tanpa kusadari aku tersenyum sekilas.

Mila ada-ada saja, batinku.

***

Aku masih berkutat dengan komputer lawas di meja kerjaku kala jam makan siang dimulai. Aku masih harus menyelesaikan laporan keuangan bulan ini karena besok harus disetorkan kepada atasan. Sebagai pekerja yang baik, aku harus menyelesaikan pekerjaan yang telah diberikan. Apalagi aku digaji lumayan tinggi untuk pekerjaan ini.

"Rain, lo gak makan siang dulu?" tanya Arina, teman sekantorku. Dia satu divisi denganku. Pekerjaannya pun sama, hanya saja beda tempat. Aku bekerja di lantai 2. Sedangkan dia di lantai 4.

"Duluan aja deh, Rin. Gue masih banyak pekerjaan nih. Takut gak selesai." Jawabku sambil terus menatap layar monitor.

"Oke, deh. Terserah lo. Tapi jangan sampai sakit, ya?" Katanya sambil berlalu.

Aku tak menjawab. Hanya bergumam tak jelas. Laporan setumpuk ini membuat kepalaku pusing.

Sejenak aku menghentikan aktivitasku. Entah kenapa otakku tiba-tiba stagnan dan meminta istirahat. Beberapa detik kemudian pusing yang kurasakan semakin menjadi. Aku pun ingat bahwa aku belum makan apapun dari kemarin. Aku hanya meringis mengingat hal itu. Tanganku kemudian memegangi perutku.

"Kalau perut lo sakit, mending makan aja dulu. Jangan ditahan. Gue tahu kalau lo belum makan."

Deg!!

Suara itu? Suara siapa? Aku seperti pernah mendengarnya.

Tak lama kemudian, sebuah kotak makan berwarna biru berada di meja kerjaku. Aku refleks menoleh.

Seorang pria berusia sebaya denganku tengah tersenyum sambil menatap kotak biru itu dengan matanya yang juga kebiruan. Seakan ia mengisyaratkan bahwa makanan itu untukku.

"Elo siapa?" Tanyaku saat baru tersadar dari kekagumanku.

Pria itu menurutku mempesona dan berkharisma. Wajahnya seperti orang bule. Matanya biru dan hidungnya mancung. Bibirnya merah muda, tanda dia bukan perokok. Dan rambutnya dipotong rapi. Badannya tegap. Menarik.

"Udah, jangan banyak tanya. Makan aja bekal gue. Ntar kalo lo sakit, jadi panjang urusannya." Kata pria itu sambil berlalu.

Aku memutar bola mataku melihat tingkahnya. Memberiku makanan dengan wadah miliknya lalu meninggalkannya begitu saja. Sangat bossy sekali, pikirku.

Dan satu hal lagi. Aku tak pernah melihat pria itu sebelumnya di kantor ini, tapi kenapa hari ini dia bisa ada di sini? Bahkan aku tidak mengenalnya tapi aku merasa tak asing mendengar suaranya. Apakah aku berhalusinasi? Ah, tidak mungkin.

Aku melirik kotak makan itu. Agak perih juga rasanya perutku. Aku ragu, haruskah aku makan makanan orang lain? Dengan ragu-ragu aku membuka kotak makan itu. Isinya sederhana. Telor ceplok setengah matang, 3 potong sosis panggang, dan roti tawar 3 lembar.

Aku ragu.

Ah tapi bodo amat. Toh ini juga dikasih kan? Gue gak minta juga. Pikirku.

Segera saja kuraih sendok dan garpu lalu kulahap telur dan sosis itu. Biarlah. Dia juga kan yang memberikannya padaku. Dan aku hanya menuruti keinginannya, yaitu mengisi perutku yang sejak kemarin belum terisi.

Mengingat perutku belum terisi, aku jadi memikirkan penyebabnya.

"Apa kau tidak percaya padaku?" Seruan itu mengagetkanku.

Aku menoleh. Kudapati pria yang sangat kukenal dan kusayangi tengah memandangku lekat.

"Aku hanya ingin sendiri, menikmati kemesraanku dengan alam, curhat dengan tetesan-tetesan air ini. Apakah itu tidak boleh?" Tanyaku.

Pria itu menatapku tajam. Rahangnya mengeras. Tatapan teduhnya berganti setajam pisau. Tubuhnya juga sama-sama basah sepertiku. Kami berdua sama-sama berada di bawah hujan. Namun sepertinya ia mengabaikan hawa dingin dan menusuk tulang tersebut.

"Kenapa kau selalu menyiksa dirimu sendiri, Rain? Apa kau tidak kasihan pada ibumu? Apa kau tidak sayang dirimu?" Tanya pria itu.

Aku hanya meringis. Setetes air mataku lolos, namun tak kentara karena hujan.

"Aku hanya mengenang ibuku, Zev. Apa itu tidak boleh? Apakah aku tidak boleh berharap? Apakah aku juga tak boleh menangis bersama langit? Kau tahu, Zev, hanya dengan hujan aku bisa menangis dan menceritakan apapun. Hanya dengan hujan, aku menemukan diriku kembali. Diriku yang hilang, 14 tahun yang lalu."

Zevran Abraham Radjoan, lelaki di hadapanku, sahabat lelakiku satu-satunya sejak 10 tahun yang lalu. Zevran memiliki mata hazel yang menarik. Dan itu selalu berhasil menghipnotisku.

Dan kenapa kami bisa saling mengenal? Kami sama-sama mengenal karena aku dan Zevran diasuh di sebuah panti asuhan bersama. Dan setelah kami dewasa, kami tinggal berdekatan. Rumah kontrakanku berada tepat di depan rumahnya. Rumah milik Zevran sendiri dari hasil kerja kerasnya. Dia orang yang baik dan ramah. Dia juga yang selalu menemaniku, di sini. Setiap kali hujan turun. Dan aku tak pernah tahu mengapa ia bisa mengetahui dimana aku berada. Bisa saja dia memata-mataiku. Namun yang jelas, dia sangat mengetahui sifat dan kebiasaanku.

Melihatku mulai menangis, Zevran segera melangkah mendekat kemudian menarikku dan memelukku. Aku terisak di dadanya. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya. Dan aku merasakan detak jantungku memburu. Selalu seperti ini. Aku tak tahu penyebabnya.

"Menangislah yang keras, Rain. Menangislah yang keras. Aku akan selalu berada di sini. Aku akan selalu menemanimu. Tak peduli siang ataupun malam. Jangan kau tutupi luka itu." Kata Zevran.

Tuhan, bagaimana mungkin ada sahabat sebaik dia? Dan kenapa aku selalu lemah begini? Apakah aku jatuh cinta padanya?

Aku tersenyum miris mengingatnya. Sejak hujan malam itu, aku belum mengisi perutku hingga sekarang. Aku terlalu rapuh. Entah kenapa aku sendiri yang berpikiran begitu. Dan setiap kali memikirkannya, mood-ku langsung memburuk.

Aku segera menutup kotak makan itu dan kembali berkutat dengan pekerjaanku. Aku tak mau lagi memikirkan hal yang sedih sekarang ini.

Bagiku, kebaikan Zevran sangat tulus. Dan aku terlalu bodoh membiarkannya mengetahui lukaku yang belum sepenuhnya sembuh.

***

Jam tepat pukul 6 kala laporan itu selesai. Dan aku bisa mengambil napas lega. Setidaknya aku sudah menyelesaikan pekerjaanku.

Jam pulang sudah berlalu satu jam yang lalu. Dan suasana kantor sudah sepi. Hanya terdengar beberapa suara keyboard komputer diketik, pertanda ada beberapa orang lagi yang lembur.

Aku teringat sms Mila. Maka dengan segera aku mengambil tasku dan berjalan keluar kantor. Saat akan memasuki lift, aku kembali bertemu dengan pria tadi siang.

Pria itu? Apakah dia bekerja di sini?, batinku.

Aku menepis rasa penasaran itu dan segera memasuki lift. Berdiri tepat di sebelah pria itu membuatku dapat mencium aroma parfumnya. Kalem dan maskulin.

Tak lama, pintu lift terbuka. Dia segera keluar mendahuluiku. Aku hanya memutar bola mataku dan mengikutinya keluar.

Ada apa sih dengan pria ini? Kenapa tadi siang baik dan sekarang dingin begini? Apa dia memang aneh seperti ini?

Pria itu berjalan ke parkiran mobil. Aku hanya memandangnya sekilas sebelum akhirnya berjalan menuju kafe seberang jalan. Masih jam 6 lebih sedikit, aku bisa makan dahulu sambil menunggu Mila datang.

Aku membuka pintu kafe itu dan segera memilih tempat duduk paling ujung, dekat jendela.

"Maaf, boleh saya tahu pesanan Anda, Nona?" Seorang wanita muda berbaju pelayan datang kepadaku.

"Red velvet cake and choco lava cake satu, sama orange juicenya satu." kataku.

Pelayan itu mengangguk setelah mencatat pesananku. Dan dia segera undur diri setelahnya.

Aku mengedarkan pandanganku keluar kaca sembari menunggu pesananku datang.

Seorang wanita yang sepertinya kukenal sedang berjalan kemari.

Tunggu!

Apa betul itu Mila? Rambutnya terlihat berantakan. Wajahnya terlihat lesu dengan mata bengkaknya. Terlihat seperti orang depresi dan habis menangis. Dan Mila sedang berjalan menuju ke kafe ini.

Tuhan, apa yang terjadi?

Bab terkait

  • Diary Rain   Part 2 - Perasaan yang Tidak Kusadari

    Aku tidak tahu akan jadi apa hidupku di masa depan. Manusia cuma bisa berharap dan berusaha. Tuhan yang menentukan. Tapi, aku tahu satu hal. Selama sahabatku ada di sisiku, semua masalahku akan sanggup kuhadapi... ~(Milanda Revalido Sulistya)~"Tolongin gue, Rain!"Aku hanya diam saja. Mila menghambur ke pelukanku sesaat setelah ia masuk ke kafe. Aku yang tak mengerti apapun hanya menyambut pelukannya. Biarkan ia memelukku dulu. Kalau tangisnya sudah reda, Mila pasti akan cerita. Aku tahu watak Mila."Dia udah ngerebut semuanya, Rain. Semuanya! Sekarang semuanya sirna sudah. Musnah harapan. Musnah dunia!" isaknya dalam pelukanku.Aku mengernyit. Dia? Semuanya? Si

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Diary Rain   Part 3 - Aku dan Zevran

    Apakah lukamu begitu dalam sehingga kau tak bisa melihatku? Apakah aku tak cukup berhasil untuk membuatmu jatuh cinta padaku?Lihatlah sejenak, Rain. Lihatlah aku. Akulah pelangi yang kau tunggu setelah hujan malam itu. Lihatlah. Meski aku tak bisa sepenuhnya menghapus luka itu, setidaknya warna baru hadir dalam hidupmu. Jangan menjadi bintang di malam kelabu, terlihat dekat, namun sangat sulit kugapai...~(Zevran Abraham Radjoan)~ Aku menoleh dan mendapati seorang pria menatap ke arahku dan Mila. Seluruh tubuhnya basah dan rambutnya yang kecoklatan berantakan. Tubuhnya tegap. Dan ia menatapku sendu."Zevran." Ucapku lirih.Mila cuma melongo. Sedangkan aku segera berdiri dan mendekati Zevran.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Diary Rain   Part 4 - Aku dan Sean

    Orang bilang cinta itu datang tiba-tiba. Dan aku percaya. Aku mengalaminya. Tapi hatiku juga sakit. Sakit melihatnya bersama orang lain sesaat setelah pertemuan kedua. Apakah kalian percaya bahwa hubungan antara seorang pria dan wanita itu murni sahabat? Ingatlah perkataanku, bahwa hujan dan pelangi itu sepasang kekasih. Yang hadir dan saling melengkapi, walau hanya sesaat. Begitu pula dengan seorang pria dan wanita... ~(Sean Reynald Tanubradja)~ "Lo kok murung sih, Rain?" Tanya Arina yang sukses membuatku tergagap. Melihat reaksiku, Arina langsung tertawa terbahak-bahak. "Cie, yang lagi jatuh cinta." "Hah?" Teriakku terkejut. Sontak saja Arina langsung menutup mulutku dengan tangannya. "Jangan keras-keras. Ini kantor, Rain." Aku mengangguk dan Arina melepaskan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Diary Rain   Part 5 - Melihat Situasi

    Alam seakan mendekatkan kami berdua. Jujur saja, aku tak memiliki rasa itu. Tapi apakah benar begitu? Semua yang dilakukannya tampak nyata. Tapi merapuhkan jiwaku, secara perlahan... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Di sinilah aku. Berdesak-desakan dengan pengunjung lain di sebuah mall besar di kotaku ini bersama dua orang sahabat terbaikku. Dan tebak, apa yang terjadi sebelum ini? Benar sekali. Mila dengan polosnya mengatakan tujuannya tanpa sempat kucegah. Dan itu terjadi di foodcourt tadi. Zevran langsung tertawa lepas dan aku hanya menunduk malu. Awas saja kau, Mila, batinku. "Bisakah kita berhenti sebentar? Aku capek. Dan jujur saja, aku ingin pulang." ucapku saat kami bertiga sudah sampai di lantai atas mall itu. Dan tentu saja setelah lepas dari desa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Diary Rain   Part 6 - Antara Sean dan Zevran

    Aku tak bermaksud melukaimu, sama sekali. Aku hanya ingin menyadarkanmu, ingin memberitahumu, bahwa meskipun aku orang baru di hidupmu, tetapi aku juga berhak mencintaimu. Meski aku tahu hatimu bukan untukku, tapi setidaknya berilah aku waktu, buka saja sedikit jalan, aku ingin merengkuh indahnya cinta itu. Bersamamu... ~(Sean Reynald Tanubraja)~ "Apa yang kau lakukan?" teriakku saat aku berhasil lepas dari cengkraman pria itu. Kami sekarang berada di parkiran mobil. Aku melihat pergelangan tanganku yang baru saja dicengkram olehnya. Pergelangan tanganku nampak memerah karena kuatnya cengkraman pria itu. Rasanya lumayan panas. Namun, bukan itu fokus utamaku, tapi pria yang sekarang berada di hadapanku ini. Tatapannya serasa menusukku. Namun, aku tidak peduli.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Diary Rain   Part 7 - Memberi Kesempatan

    Kita tidak pernah tahu hati kita akan berlabuh kepada siapa. Yang pasti aku mengetahui satu hal, aku ingin sembuh dari trauma dan luka masa lalu dengan mempercayai cinta. Dan dengan cinta, aku ingin melabuhkan hatiku pada orang yang tepat. Aku hanya berusaha membuka hatiku pada orang lain, selebihnya akan kupasrahkan. Biarkan hati yang memilih jalan pulangnya... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Seminggu setelah kejadian di pesta itu. Seminggu pula setelah aku memasakkan makanan untuk Zevran. Selama seminggu itulah Sean tidak lagi menampakkan dirinya di hadapanku. Dan selama seminggu itulah aku tidak bisa bertemu dengan Zevran. Kalau harus jujur, itu semua terasa berat di hatiku. Pertama, Sean. Dia entah kenapa tidak terlihat di kantor selama seminggu ini. Sebenarnya ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Diary Rain   Part 8 - Bersama Mila

    Aku tak bermaksud membuatmu terluka, tapi jika memang ini jalannya takdir yang harus kujalani, aku rela. Bukankah takdir tak pernah licik? Dan senja bahkan masih indah dipandang walau sinarnya temaram.... ~Zevran Abraham Radjoan~ "Kau gila, Sean!" teriakku kepada Sean. Namun pria itu tak menggubrisku. Ia terus saja tertawa dan berlari menjauhiku. Percayalah, ia seorang pemilik perusahaan dan kelakuannya seperti layaknya anak kecil. Benar-benar menyebalkan. "Ayolah, Rain! Apakah kau tak tahu bahwa coklat itu sangat enak?" teriaknya sambil tertawa. Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku tahu enak jika semua coklat itu menempel di wajahku dan bukan di lidahku? Aah, aku juga yang salah. Kenapa aku percaya saja ucapan Sean yang jahil itu. "Pergi saja kau, Sean! Aku kesal padamu!"

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Diary Rain   Part 9 - Bertemu Kembali

    Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu. ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan matak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Diary Rain   Part 32 - Neraka (2)

    Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan

  • Diary Rain   Part 31 - Neraka (1)

    Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.

  • Diary Rain   Part 30 - Bangkit

    Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber

  • Diary Rain   Part 29 - Persiapan

    "Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.

  • Diary Rain   Part 28 - Dua Hati yang Kembali

    Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku. Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif. Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun. Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga. Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu. Aku lantas men

  • Diary Rain   Part 27 - Masih Ragu

    Rain POV Aku terduduk lemas di sudut kamar inapku setelah Zevran melenggang keluar dari kamarku. Sejenak pikiranku kembali melayang ke hari pertama aku pergi dari hidupnya. -Flashback Dimulai- "Tapi nyonya..." sahutku terpotong. "Kamu tidak usah banyak tapi. Tinggal pilih! Mau Zevran mati di tanganku atau kau tinggalkan dia dan mengabdikan diri kepadaku." Jawab Tamara dengan suara penuh penekanan. "Apa alasan Anda begitu jahat padaku, hah?" Aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diriku. Ia pasti tahu bahwa nada suaraku sudah lumayan tinggi dan cukup kesal. Tetapi aku lupa bahwa ia adalah Tamara Dhananjaya yang begitu kuat dan bukan tandinganku. "Kamu masih bertanya? Ingat, perempuan jalang! Nina, istri Bhaskara, hampir bunuh diri karena Bhaskara terus memikirkanmu. Kau pikir aku tidak akan membalas dendam karenanya? Dia bahk

  • Diary Rain   Part 26 - Terkuak

    Aku menghentikan laju mobilku di sebuah jembatan tak jauh dari tempatku menemui Zack. Kututup pintu mobil dari luar dan aku membuang pandanganku ke sungai yang mengalir di bawahnya. Kuhela napas panjang dan aku benar-benar merasa bahwa aku tak mampu lagi berdiri dengan kakiku. Seketika aku luruh sambil menyangga tubuhku di tiang jembatan. Aku masih ingat setiap kata Zack. -Flashback Dimulai- "Cepat ceritakan padaku, Zack!" Ujarku tak sabar ketika bertemu Zack di ruanganku. Zack menunduk takut-takut, seakan-akan sesuatu yang akan dibicarakannya adalah hal besar. "Tuan, saya harap Tuan tidak akan terkejut mendengarnya." Zack berkata dengan sangat hati-hati. "Hmmm." Kulemparkan tatapan dinginku padanya sebagai balasan. Zack menunduk seketika. "Jadi begini, Tuan...." ia memulai l

  • Diary Rain   Part 25 - Hilang Ingatan

    Aku mendobrak pintu rumah keluarga Dhananjaya. Di sana banyak asisten rumah tangga dan para pegawai yang terkejut melihat kedatanganku lengkap dengan pasukan bersenjata. Aku memberikan kode pada sejumlah pasukan untuk mencari orang yang kumaksud. Tanpa pengulangan, mereka dengan sigap menyebar ke segala penjuru rumah. Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah, mencoba memahami situasi di sini. Tak berselang lama, terdengar suara berisik dari lantai 2… Aku yang mendengarnya segera berlari ke atas, meninggalkan para pegawai keluarga Dhananjaya di bawah yang menjadi sandera pasukan khususku. Begitu menginjakkan kaki di ubin pertama lantai 2, aku melihat Bhaskara tengah meronta-ronta di bawah kendali pasukan khususku. Sementara di sampingnya, Rain tengah memandangku datar. Ia seakan-akan tanpa ekspresi dan seperti mayat hidup. Hatiku bergetar. Tanpa aba-aba, aku reflek berlari dan memeluknya e

  • Diary Rain   Part 24 - Pengepungan

    Aku melangkah maju dengan percaya diri. Kubuka semua pintu dan kuterobos semua penjagaan yang ada di gedung itu. Bahkan satpam di sana tak berani menghentikanku. "Minggir!" Teriakku dengan tatapan penuh ancaman dan aura sedingin kutub selatan. Di depanku, semua orang yang berkerumun di hadapan resepsionis langsung menepi, memberiku jalan yang kumaksud. Brakkk! Aku menggebrak meja resepsionis, membuat wanita petugas resepsionis langsung menunduk. Kulihat wajahnya. Orang Indonesia. Dia pasti paham perkataanku. "Berikan aku akses ke ruangan Dhananjaya. Cepat!" Hardikku. Wanita itu sontak ketakutan dan gemetar. Dia pasti tahu aku siapa dan tidak mungkin bereaksi seperti ini kalau ia tidak menyadari identitasku. Namun setelah mendengar suaraku, ia bahkan bungkam dan tak bergerak sama sekali. Ia bahkan tak menjalankan

DMCA.com Protection Status