“Tuan.”
Panggilan itu segera Arsen tanggapi dengan dehaman. Namun tanggapannya tak kunjung dibalas dengan jawaban. Jadi, sejenak dia menutup kerjaan. Sembari melepas kacamata yang sedari bertengger di batang hidungnya, dia menatap ke arah di mana asistennya berada.
“Kamu tak mendengar sahutan saya?”
Lelaki jangkung berkulit pucat di sebelah kanan tubuhnya menggeleng segan. “Bukan begitu, Tuan. Hanya saja, saya rasa topik pembicaraan kali ini akan mengganggu konsentrasi Anda. Namun, saya tak bisa menunda-nunda untuk memberitahukannya kepada Anda.”
“Katakan.” Satu kata itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Mikail paham. Meski topik yang keluar dari mulut lelaki itu akan menjadi perusuh konsetrasi nantinya, itu tak mengapa. Karena Arsen bukan tipikal orang yang sabaran.
Dia tak bisa menahan gejolak ingin tahu jikalau hal itu menyangkut dirinya, keluarganya, orang terkasihnya, dan juga … wanita yang menjadi nyonya di rumahnya.
“Nyonya Salim tadi sedikit … menyebabkan kekacauan.” Mikail kemudian berdeham. Dengan kepalan kedua tangan yang disatukan. Tampak gugup dan enggan untuk meneruskan. Namun Arsen memberi perintah melalui tatapan yang mau tak mau, harus dipenuhi oleh laki-laki itu. “Nona Hannah disinggung berkali-kali setelah acara tadi siang. Etika Nyonya Salim pun menjadi perdebatan hangat. Namun, yang paling buruk adalah sudah banyak yang tahu mengenai kehamilan Nona Hannah, Tuan. Ini cukup … serius jika terus-menerus dibiarkan.”
“Biarkan.”
“Tuan?”
Arsen memberi anggukkan. Karena dia percaya, bila apa pun yang coba manusia sembunyikan lambat laun akan terbongkar juga. Bagai bangkai yang coba disimpan, akan tercium juga baunya.
“Wanita itu menginginkannya.” Dengan cepat kembali mengenakan kacamata seperti semula. Namun kali ini, dia tetap biarkan berkas-berkas yang belum usai dia tinjau dengan hati-hati serta perhitungan. “Lagi pula, wanita itu yang menolak untuk bercerai. Andai dia tak bekeras hati untuk mempertahankan sesuatu yang tak mampu dipertahankan lagi, mungkin keadaan tak akan menjadi seperti sekarang.”
Seketika, kepalanya kembali memutar memori di mana lusa kemarin, dia membawa surat yang harus Keith tanda tangani. Dia ingin segera bercerai. Dia sudah menyerah untuk bertahan. Dia tak mau menjadi pijakan wanita yang tak pernah sekalipun menganggapnya ada di saat ada wanita yang mampu memahaminya.
Arsen merasa akan menyesal seumur hidup bila dia terus-menerus membiarkan Hannah tanpa kepastian. Sejak lima tahun yang lalu, wanita itu harus berdiri dengan kedua kaki sendiri ketika orang-orang mulai menghakimi. Mulai mencurigai. Dari mana datangnya pundi-pundi rupiah yang wanita itu miliki jika bukan dengan menjual diri.
Terlebih, dia tak ingin seperti ayahnya. Dia tak mau terus-menerus menduakan wanita yang seumur hidup akan dibebani rasa dendam satu sama lain hanya karena seorang pria. Meski dia yakin, Keith tak akan pernah merasakannya.
Walau mereka pernah berkata bila saling mencinta. Namun dulu, itu hanyalah sebagai formalitas saja.
Wanita itu mati rasa.
“Tanyakan kondisi Hannah,” titahnya kemudian seraya beranjak dari kursi kerja. Melangkah tak jauh untuk mengambil mantel hitamnya yang tergantung di tiang khusus yang wanitanya beli sebagai hadiah lantaran pusing selalu melihat jas maupun mantel miliknya selalu berserakan di atas kursi kerja. “Bilang padanya, saya akan berkunjung nanti setelah mampir ke rumah. Ibu pasti menunggu saya untuk berkeluh kesah.”
Mikail tersenyum sebelum mengekori langkahnya di belakang sembari menggengam ponsel guna menghubungi penjaga yang dia sewa untuk wanitanya. Jelas, Arsen harus memberi perhatian lebih karena ada orang gila yang bisa kapan saja mendobrak masuk hanya untuk mengeluarkan sepatah dua patah kata sindiran.
Dia tak mau bila beban pikiran akan memengaruhi tumbuh kembang janin yang tengah Hannah jaga sekarang. Setelah beberapa tahun lalu, wanita itu kehilangan. Dia pun sama. Selain merasa kehilangan, tak dapat dipungkiri bila Arsen cukup kesal.
Lantaran kejadian itu, Keith tak mampu dia singkirkan. Hingga sekarang, wanita itu makin semena-mena dan menganggapnya bagai jongos yang bekerja di bawah telapak kakinya.
“Ada rencana mampir ke sebuah tempat, Tuan?”
Gelengan tegas dia berikan. Pada pertanyaan yang wajib dilontarkan asisten pribadi yang bekerja untuknya. Nyaris dua puluh empat jam selalu berada di sisinya.
“Langsung saja,” jawabnya, terdengar begitu terburu-buru. Seiring dengan sebuah notifikasi pesan dari Hannah. Hanya sekilas dia dapat membaca isi pesan wanitanya yang mengabari bila wanita itu baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirkan pasal kekacauan siang tadi. Dan seketika, kedua sudut bibirnya terangkat walau hanya sedikit.
“Saya ingin cepat-cepat bertemu Ibu lalu bermalam dengan Hannah.”
“Mohon taruh ponselnya, Tuan. Kita akan berangkat.”
Anggukkan samar dia berikan sebagai tanggapan. Karena di dalam mobil, Arsen selalu mewanti-wanti siapa saja untuk tak menganggu fokusnya pada jalanan kota. Dia selalu menyisihkan waktu untuk memperhatikan keadaan di luar sana setelah berjam-jam waktu yang dia punya hanya dihabiskan oleh kerja, dan kerja.
Tak perlu memakan waktu lama diperjalanan untuk sampai ke rumahnya yang berada di dalam kawasan kediaman utama. Taman yang membetang luas telah tertangkap oleh mata. Sedikit membuat Arsen mengerjap lantaran perubahan pemandangan yang baru saja dia lihat terasa begitu kontras di mata.
Namun dia tak perlu memikirkannya. Dia hanya perlu bekerja. Memperoleh pencapaian. Melakukan apa pun yang ayahnya perintahkan.
“Tak usah ikut dengan saya,” ujarnya, kala Mikail telah membukakan pintu di kursi penumpang sembari mempersilakannya untuk keluar. “Kamu bisa istirahat sebentar. Mungkin pembicaraan saya dengan Ibu akan memakan waktu yang lumayan. Pakai waktumu sebaik mungkin.”
Laki-laki itu hanya mengangguk patuh atas perintahnya. Dan Arsen pun tak memerlukan jawaban panjang-lebar karena kini, orang yang dia maksud telah menunggu kedatangannya. Dengan wajah cemas, khawatir, marah, serta kesal yang coba dibungkam dengan senyuman paksa. Kala Ayah beserta permaisurinya pun ikut menyambut kedatangannya.
“Esok, ada waktumu yang bisa ayah pinjam sebentar?”
Arsen tak langsung menjawab. Dia memilih memperhitungkan agendanya yang telah dirancang oleh Mikail, dan menemukan celah di mana dia bisa meluangkan waktu.
“Ada. Waktuku selalu ada jika Ayah yang menginginkannya.”
Pria itu … untuk pertama kali selama bertahun-tahun dia mulai menginjakkan kaki di kediaman utama ini tersenyum. Begitu lebar. Bukan senyum kecil yang biasanya selalu ditahan. Seakan, pria itu tak lagi merasa cemas apalagi takut untuk merasa bangga.
Pada dirinya yang sekarang telah mampu diandalkan dalam segala hal.
“Ayah segera kabari tentang acaranya. Tunggu saja.”
Refleks Arsen mengangguk paham. Kemudian atensinya beralih pada Ibu mana kala Ayah dan wanita yang menjadi nomor satu di hidup pria itu berlalu.
“Pelan-pelan, Bu,” pintanya, tepat ketika wanita yang kini mendekat ke arahnya itu menarik tubuhnya untuk masuk ke dalam rumah dengan segera.
Hanya untuk berteriak sebelum berkata, “Istrimu … istrimu sudah gila, Arsen! Ibu malu! Malu setengah mati saat dia dengan gampangnya mengeluarkan kata-kata seolah tak pernah mengenyam pendidikan tinggi!”
Napasnya terembus pelan. Kala wanita yang barusan berteriak itu mulai memperlihatkan sisi paling lemah padanya. Hanya di depannya.
“Mungkin, dia bosan, Bu.”
“Bosan?” Arsen lantas diam. Sadar jika dia salah dalam memberi tanggapan. “Kamu tahu, bagaimana pedasnya ucapan suadara ayahmu, kakek-nenekmu, dan teman-teman mereka ketika ibu di sana?” Dia masih diam ketika Ibu mengeluhkan segala hal yang ada dikarenakan satu wanita yang juga mengacaukan ketenangannya.
“Kamu tak akan tahu gimana rendahnya ibumu dipandang oleh mereka-mereka hanya karena kelakuan istrimu!” Wanita itu kini berdiri. Berjalan ke sana kemari, tak menentu hanya untuk mengusir rasa depresi. Namun sesekali, Arsen tahu ke mana arah pandangan ibunya itu sejak tadi.
Laci meja rias yang di dalamnyya terdapat obat-obatan antidepresan. Obat yang jika dalam satu sampai sepuluh kali mungkin membantu, namun lama-lama akan menjadi candu. Hingga ketika ada hal yang menjadi pemicu, obat itu akan selalu bercokol di kepala bagi siapa pun yang telah ditaklukan olehnya.
“Hanya karena dia dari keluarga Salim, dia pikir dia pikir bisa menggampang kita.” Tetesan air mata wanita itu mulai membahasahi muka. Seiring dengan tubuhnya yang meluruh ke atas lantai, tangis pilu yang sudah menjadi makanan sehari-hari Arsen yang dulu itu terdengar oleh telinga. “Hanya karena dia lebih dari kita, dia tak pernah sekalipun mau mendengarkan ibu! Padahal, ini juga demi kebaikannya. Ibu sampai sekarang masih tak paham, sebenarnya mengapa Keith berubah menjadi seseorang yang begitu memandang kita adalah manusia rendahan?”
Gelengan lemah wanita berikan. Kala dia mencoba menguatkan. “Tak bisa, Arsen. Selama lima tahun ini, ibu sudah mencoba untuk bersabar. Sebisa mungkin, ibu memahami karakter dia. Tapi apa balasannya? Keith semakin menjadi-jadi. Dia tak pernah satu kali saja mau mendengarkan ibu. Apalagi untuk memahami! Mungkin dia bisa mati hanya karena dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tak dia sukai!”
“Lalu, Ibu mau aku bagaimana?” dengan pelan, Arsen mulai bersuara. Mencoba sebisa mungkin untuk mengangkat beban pikiran di hati kepala ibunya. “Ibu katakan apa saja, aku akan dengarkan dan lakukan.”
Wanita itu lantas mendongak. Setelah mengerjapkan kedua mata yang makin basah oleh air mata. “Segera omongkan persoalan Hannah dengan ayahmu, Arsen. Ibu tak mau, bila hubunganmu dengan Hannah yang disembunyikan itu akan mencemari nama baikmu.”
Mendadak dia meragu. Bagai seluruh bagian tubuhnya menolak untuk bersatu, mengiyakan permintaan ibu. Namun … bukankah ini yang dia mau?
Kala Bianca memberi tahu bila Arsen akan bermalam bersama Hannah, Keith merasa tertipu. Namun dia masih berpikiran untuk menunda keisengan dengan berkata, “Besok pagi saja, jangan ada satu pun pelayan yang melayaninya.”Tapi agaknya, dunia tengah berseteru dengannya. Sampai sore menjelang malam ini pun, batang hidung seorang Arsenio Koesnaedi tak pernah sekalipun dia jumpai. Bahkan, kabar pria itu pun tak dia ketahui.Entah mungkin saja mati, atau diculik oleh para pembenci pemerintah yang akhir-akhir ini tengah gila-gilaan melakukan demonstrasi.“Bajingan itu belum pulang juga dari tadi?” Tak dapat dipungkiri, bila nada bicaranya mendadak meninggi. Menyebabkan Bianca yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir antiknya tersentak, hingga beberapa tetes teh yang masih mengepulkan uap panas itu mengenai punggung tangan. Dan nyaris saja, perempuan itu benar-benar mengguyurkan satu teko teh panas ke tubuhnya.“Kau ini,” desisnya kesal setengah mati sembari dengan hati-hati mendorong teko
Tak pernah sekalipun dia merasa secemas ini. Tak pernah sekalipun dia merasa begitu gelisah seperti sekarang ini. Dan tak pernah sekalipun di hidupnya Keith merencanakan untuk berlutut sembari memohon pada para cecunguk yang berakhir membuatnya menjadi rendah diri.“Rendah diri?” gumamnya pada diri sendiri. “Yang benar saja! Bajingan itu tak ada apa-apanya!”Seorang Arsenio Koesnaedi jelas tidak ada apa-apanya dibanding dia. Namun pria itu telah sukses membuatnya merasakan cemas, gelisah, lebih dominan amarah, serta rasa-rasa lain yang dia tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.Karena berhubung tinggal menunggu waktu, Bianca akan datang ke dalam ruangan luas yang biasanya tak pernah membuatnya merasa setertekan sekarang. Membawanya pergi hanya seorang diri ke pesta perayaan pernikahan yang akan berujung menimbulkan kekecewaan.Keith ingin marah. Namun pada siapa?Sumber amarahnya justru tak pernah menampakkan batang hidung di hadapannya. Mau melampiaskan pada pekerja? Yang ada rumo
Tak ada yang berani untuk sekadar menyebut namanya. Hadirnya wanita itu di sana, bagai magnet yang memikat siapa saja. Namun di saat yang sama, eksistensi Keith Rennee Salim bagai larangan yang tak boleh sembarangan untuk dilanggar.Dan alasan-alasan yang dia sebutkan di atas menyebabkan nyaris semua orang hanya berani menyapa wanita yang sedari tadi menggenggam telapak tangannya itu hanya dengan nama. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu untuk mencapai titik di mana mereka bisa memanggil nama. Seperti Arsen, misalnya.Bahkan di dalam Koesnaedi pun hanya diperuntukkan bagi keluarga intinya saja yang mampu memanggil wanita itu dengan nama depannya. Seluruh keluarga besar, bawahan, bahkan keluarga besar Keith sendiri pun tak punya kuasa.Hanya wanita itu yang dapat menentukan siapa saja yang mampu mencapainya.Bukan tanpa alasan mengapa nama Keith tak pernah sekalipun disebut oleh sembarang orang. Bukan juga karena wanita itu mengemban status sebagai pewaris mutlak dari Salim Grou
Selepas menghilang dari acara perayaan pernikahan kedua mertuanya, figur Keith tak pernah lagi dia lihat di kala pulang. Bahkan kemarin, seharian Arsen menunggu. Menyempatkan diri untuk mencuri waktu agar mampu menghubungi Kepala Pelayan untuk mengabarinya jika ada tanda-tanda kepulangan wanita itu.Namun nihil. Hingga hari telah berganti, dan dia kembali pulang di malam hari pun tidak ada tanda-tanda bila Keith telah pulang. Menjadikan beban pikirnya bertambah dua kali lipat dari biasanya.Karena jujur saja jika boleh memilih, Arsen tentu akan pasrah kalau diberi beban kerjaan melimpah daripada harus menebak-nebak isi otak manusia yang paling tidak bisa dia tebak itu.“Bianca masih juga tak bisa dihubungi?” Arsen bertanya begitu sembari melangkah keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang melilit pinggangnya, juga handuk kecil yang dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya.Dan tanpa menunggu jawaban dari Mikail dia memberi perintah, “Segera amankan keadaan. Jangan sampai ada orang l
Kala dia datang, Mikail langsung menyambutnya dengan pembuka, “Sesuai dengan permintaan Anda, semua hidangan malam ini adalah masakan khas Turki.” Sembari menarik kursi besar yang menjadi tempatnya, laki-laki itu pun melanjutkan, “Nyonya Salim sedang bersiap. Sebentar lagi kemungkinan akan datang.”“Kamu lihat rupanya?” Arsen bertanya begitu sembari sedikit mendongak. “Ceritakan tentang dia.”“Cukup parah.” Mikail memulai sembari bertepuk tangan satu kali guna memanggil para pelayan. “Nyonya Salim rupanya termasuk ke dalam kategori manusia yang kelelahan sedikit saja akan terlihat perubahannya. Selain wajah yang berubah tirus, badannya agak kurus, kantung matanya menghitam, rambutnya kusam … sorot matanya juga datar. Tapi … entah mengapa saya merasakan emosi yang coba untuk ditahan.”Hanya dengan mendengar, Arsen sudah bisa membayangkan bagaimana kacaunya Keith sekarang. Entah masalah apa yang wanita itu coba selesaikan tanpa berkompromi dengannya.Tak biasanya. Meski hubungan mereka
Mendadak, pria itu menunjukkan rupa aslinya tadi malam. Menatapnya dengan sorot mata yang dingin juga begitu tajam. Namun dinginnya tatapan kedua mata pria itu bukan seperti biasanya. Bukan seperti yang sudah-sudah hingga dia bisa mengabaikannya.Tatapan dingin yang pria itu berikan padanya tadi malam begitu membekukan. Menjadikan seluruh tubuhnya gemetar. Dan akan terdengar bohong jika Keith berkata bila dia tak ketakutan. Kala bayang-bayang tajamnya sorot mata pria itu masih membekas di dada.Namun justru yang mendominasi isi kepalanya sekarang adalah bagaimana pria itu menghadapi para pelayan yang menggunjinginya di belakang dengan begitu … tampan.Ah, sialan. Harusnya semalam, Keith tidak usah bersusah payah berjalan. Meniti langkah hanya untuk menyusul Arsen yang bersikeras mengambilkan barangnya yang kemungkinan menghilang di ruang makan.Jadi, dia tak perlu mendengar bagaimana tampannya pria itu ketika bilang, “Bisa kalian ulangi, apa yang kalian bilang barusan?”Dengan kedua m
Kala secercah cahaya tertangkap oleh kelopak matanya yang perlahan dia buka, Keith mencoba menebak-nebak di mana dia berada. Dari mulai menoleh sedikit demi sedikit ke arah kanan dan kiri, hingga mencoba membaui obat-obatan yang menjadi ciri khas kamar ruang inap.Nihil. Semua yang dia lihat, cium, dan dengar ada berada di dalam kategori wajar. Dia berada di dalam kamar. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang memicu detak jantungnya melaju kencang bersamaan dengan sebuah suara yang tak asing tiba-tiba terdengar.“Anda sudah siuman?” Dilihatnya pria paruh baya dengan pakaian rapi yang tahu-tahu telah berdiri di samping kiri. Mengecek laju selang infus yang tahu-tahu telah tertancap di punggung tangan sebelah kiri. “Saya terkejut mendengar Anda yang jatuh pingsan dari asisten Bapak Arsen tadi pagi. Tumben sekali. Tak biasanya Anda begini.”Dengan memberi anggukkan samar, Keith menyetujui. “Apa … yang kau beri tahu Arsen dan orang-orang pasal penyakitku?”Pria itu memberi senyuman. Terlih
“Apa mobil barang masih ada di halaman depan?”Alih-alih mencari jawaban atas bingkisan misterius yang dia dapatkan, Keith memilih mengabaikannya. Melemparnya dengan sembarang. Tak peduli bila isi dari bingkisan misterius yang dia dapatkan berantakan.Hingga menarik atensi Bianca untuk mengeluarkan pertanyaan, “Mengapa Nyonya melemparnya? Bukannya ini barang milik Anda.”Dan dengan bahu yang terangkat serta sorot meremehkan, Keith menjawab, “Apa aku akan melempar barang yang kusayang?” Sembari melangkah setelah menendang kotak yang terbuka, menampilkan isi berupa tas unik yang sudah pasti merupakan hasil karya seni perancang ternama, dia berkata, “Aku bahkan tak membelinya. Dan bukannya tugasmu untuk mencari tahu mengapa aku melemparnya?”Setelahnya, Keith merampas heels hijau zamrud yang Bianca ambil untuknya. Dipasang dengan rapi pada kedua kakinya. Cantik. Senyumnya lantas mengembang begitu saja. Namun pudar dalam waktu sebentar kala melihat figur Bianca yang justru mengemasi bingk
Meski banyak minusnya, Keith cukup senang dengan pelayanan yang Mikail berikan untuknya.Laki-laki jangkung itu punya cara kerja yang tertata rapi. Tidak terburu-buru. Tidak terlalu melibatkan perasaan walau sesekali, dia melihat bagaimana laki-laki yang gemetar kala menyodorkan dalaman miliknya yang tertinggal, atau mendadak buang muka kala dia keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan handuk saja.Karena Mikail bekerja untuk Arsen, Keith merasa aneh kala melihat tingkah polos laki-laki persoalan wanita. Dia pikir … laki-laki itu akan terbiasa.“Kau tak usah mengantarku.” Segera dia memberi tahu. Kala laki-laki itu hendak mengambil mobil bertepatan dengan dia yang akan pergi. “Aku ingin menghabiskan waktu sendiri. Kau bisa langsung pergi ke majikanmu.”Mulanya laki-laki itu menolak. “Tapi, Tuan—” Namun ucapannya segera terhenti kala Keith menghunuskan sorot tajam yang tak menyukai bagaimana cara laki-laki itu menolak perintah yang dia beri.“Jangan jadi orang tuli,” peringatnya. Sam
Lama Arsen terdiam. Membiarkan kilat cahaya menyilaukan kedua mata. Serta satu pertanyaan yang digaungkan belasan manusia berdenging di telinga. Dia memilih menandai rupa-rupa manusia yang ada sebelum berkata, “Jelas bukan, saya tidak memiliki hubungan?”Gaungan belasan manusia dengan kilatan cahaya yang menyilaukan seketika hilang. Ditelan keheningan kala hunusan tajam dia berikan seraya menandai rupa-rupa perwakilan para media sampah yang ada.“Jangan menggaungkan asumsi-asumsi sampah kalian di sini,” lanjutnya. Sambil melirik pada beberapa penjaga yang berdatangan ke arahnya. “Saya tandai kalian bila merilis artikel-artikel sampah yang menganggu rumah tangga saya.”Lalu dengan anggukkan, Arsen biarkan gaungan serta kilatan cahaya kamera itu dialihkan oleh Mikail dengan tenang. Sementara beberapa penjaga mengawal. Membawanya untuk turun ke parkiran bawah tanah.“Identitas mereka sudah saya dapatkan semua.” Mikail datang menyapa. Dengan napas tersengal dan tampilan berantakan, laki-l
“Kau sengaja telat pergi bekerja?” Wanita itu datang menyapa. Duduk di kursi meja makan setelah melewatinya dengan tenang. Seakan mereka berdua semalam tak melakukan apa-apa.Seolah, semalam tak terjadi apa-apa di antara mereka.“Kau sudah beradaptasi?” tanya wanita itu lagi. Kali ini sambil mengedik ke arahnya satu kali. “Sudah merasa familier dengan hak-hak istimewa yang kau dapat ketika menduduki tingkat tertinggi?”Arsen memilih diam, tak menanggapi. Kemudian segera duduk di kursi, mengabaikan wanita itu yang telah memulai sarapan pagi. Sesekali, dia menatap bagaimana wanita itu yang fokus mengiris daging dengan pisau dan garpu. Tanpa menuntut jawaban darinya yang menjadi kebiasaan wanita itu.“Apa kau sehat?” Kala seiris daging telah dia telan, tanya itu pun terlontar. Namun lawan bicaranya tak kunjung memberi tanggapan. Jadi, Arsen memberi imbuhan, “Dilihat dari rupamu, kau belum mandi bukan?”Wanita itu langsung membanting pisau dan garpu. Sembari mengunyah daging yang berada d
Wanita itu benar-benar membuat agendanya kacau.Dia yang harusnya mengantar Hannah ke dokter kandungan tepat waktu jadi terlambat. Dia yang harusnya bisa menghabiskan banyak waktu dengan wanitanya jadi terhambat. Ada setumpuk kerjaan di dua kantor yang menantinya. Ada segudang harapan yang dia emban dari ayahnya.Dan ada wanita itu yang siap mengacaukan segalanya.“Kamu sudah tanya Bianca mengenai kondisi Keith sekarang?” Meski segala hal yang wanita itu lakukan membuat dia kesal, masih sempat Arsen bertanya. Setidaknya, dia bisa memastikan bila wanita itu baik-baik saja.“Ponsel Bianca tidak aktif, Tuan.” Mikail yang telah membukakan pintu kursi penumpang menyahut seraya menutup kembali. Kemudian mempersilakannya untuk masuk sambil mengimbuhi, “Sepertinya Nyonya Salim memerintahkan Bianca untuk cuti. Atau mungkin …”Arsen paham. Perangai Keith yang buruk sudah pasti membuat siapa pun akan berasumsi bila kepergian Bianca dari rumah ini adalah karena perempuan itu telah dipecat oleh sa
“Apa mobil barang masih ada di halaman depan?”Alih-alih mencari jawaban atas bingkisan misterius yang dia dapatkan, Keith memilih mengabaikannya. Melemparnya dengan sembarang. Tak peduli bila isi dari bingkisan misterius yang dia dapatkan berantakan.Hingga menarik atensi Bianca untuk mengeluarkan pertanyaan, “Mengapa Nyonya melemparnya? Bukannya ini barang milik Anda.”Dan dengan bahu yang terangkat serta sorot meremehkan, Keith menjawab, “Apa aku akan melempar barang yang kusayang?” Sembari melangkah setelah menendang kotak yang terbuka, menampilkan isi berupa tas unik yang sudah pasti merupakan hasil karya seni perancang ternama, dia berkata, “Aku bahkan tak membelinya. Dan bukannya tugasmu untuk mencari tahu mengapa aku melemparnya?”Setelahnya, Keith merampas heels hijau zamrud yang Bianca ambil untuknya. Dipasang dengan rapi pada kedua kakinya. Cantik. Senyumnya lantas mengembang begitu saja. Namun pudar dalam waktu sebentar kala melihat figur Bianca yang justru mengemasi bingk
Kala secercah cahaya tertangkap oleh kelopak matanya yang perlahan dia buka, Keith mencoba menebak-nebak di mana dia berada. Dari mulai menoleh sedikit demi sedikit ke arah kanan dan kiri, hingga mencoba membaui obat-obatan yang menjadi ciri khas kamar ruang inap.Nihil. Semua yang dia lihat, cium, dan dengar ada berada di dalam kategori wajar. Dia berada di dalam kamar. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang memicu detak jantungnya melaju kencang bersamaan dengan sebuah suara yang tak asing tiba-tiba terdengar.“Anda sudah siuman?” Dilihatnya pria paruh baya dengan pakaian rapi yang tahu-tahu telah berdiri di samping kiri. Mengecek laju selang infus yang tahu-tahu telah tertancap di punggung tangan sebelah kiri. “Saya terkejut mendengar Anda yang jatuh pingsan dari asisten Bapak Arsen tadi pagi. Tumben sekali. Tak biasanya Anda begini.”Dengan memberi anggukkan samar, Keith menyetujui. “Apa … yang kau beri tahu Arsen dan orang-orang pasal penyakitku?”Pria itu memberi senyuman. Terlih
Mendadak, pria itu menunjukkan rupa aslinya tadi malam. Menatapnya dengan sorot mata yang dingin juga begitu tajam. Namun dinginnya tatapan kedua mata pria itu bukan seperti biasanya. Bukan seperti yang sudah-sudah hingga dia bisa mengabaikannya.Tatapan dingin yang pria itu berikan padanya tadi malam begitu membekukan. Menjadikan seluruh tubuhnya gemetar. Dan akan terdengar bohong jika Keith berkata bila dia tak ketakutan. Kala bayang-bayang tajamnya sorot mata pria itu masih membekas di dada.Namun justru yang mendominasi isi kepalanya sekarang adalah bagaimana pria itu menghadapi para pelayan yang menggunjinginya di belakang dengan begitu … tampan.Ah, sialan. Harusnya semalam, Keith tidak usah bersusah payah berjalan. Meniti langkah hanya untuk menyusul Arsen yang bersikeras mengambilkan barangnya yang kemungkinan menghilang di ruang makan.Jadi, dia tak perlu mendengar bagaimana tampannya pria itu ketika bilang, “Bisa kalian ulangi, apa yang kalian bilang barusan?”Dengan kedua m
Kala dia datang, Mikail langsung menyambutnya dengan pembuka, “Sesuai dengan permintaan Anda, semua hidangan malam ini adalah masakan khas Turki.” Sembari menarik kursi besar yang menjadi tempatnya, laki-laki itu pun melanjutkan, “Nyonya Salim sedang bersiap. Sebentar lagi kemungkinan akan datang.”“Kamu lihat rupanya?” Arsen bertanya begitu sembari sedikit mendongak. “Ceritakan tentang dia.”“Cukup parah.” Mikail memulai sembari bertepuk tangan satu kali guna memanggil para pelayan. “Nyonya Salim rupanya termasuk ke dalam kategori manusia yang kelelahan sedikit saja akan terlihat perubahannya. Selain wajah yang berubah tirus, badannya agak kurus, kantung matanya menghitam, rambutnya kusam … sorot matanya juga datar. Tapi … entah mengapa saya merasakan emosi yang coba untuk ditahan.”Hanya dengan mendengar, Arsen sudah bisa membayangkan bagaimana kacaunya Keith sekarang. Entah masalah apa yang wanita itu coba selesaikan tanpa berkompromi dengannya.Tak biasanya. Meski hubungan mereka
Selepas menghilang dari acara perayaan pernikahan kedua mertuanya, figur Keith tak pernah lagi dia lihat di kala pulang. Bahkan kemarin, seharian Arsen menunggu. Menyempatkan diri untuk mencuri waktu agar mampu menghubungi Kepala Pelayan untuk mengabarinya jika ada tanda-tanda kepulangan wanita itu.Namun nihil. Hingga hari telah berganti, dan dia kembali pulang di malam hari pun tidak ada tanda-tanda bila Keith telah pulang. Menjadikan beban pikirnya bertambah dua kali lipat dari biasanya.Karena jujur saja jika boleh memilih, Arsen tentu akan pasrah kalau diberi beban kerjaan melimpah daripada harus menebak-nebak isi otak manusia yang paling tidak bisa dia tebak itu.“Bianca masih juga tak bisa dihubungi?” Arsen bertanya begitu sembari melangkah keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang melilit pinggangnya, juga handuk kecil yang dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya.Dan tanpa menunggu jawaban dari Mikail dia memberi perintah, “Segera amankan keadaan. Jangan sampai ada orang l