Kala dia datang, Mikail langsung menyambutnya dengan pembuka, “Sesuai dengan permintaan Anda, semua hidangan malam ini adalah masakan khas Turki.” Sembari menarik kursi besar yang menjadi tempatnya, laki-laki itu pun melanjutkan, “Nyonya Salim sedang bersiap. Sebentar lagi kemungkinan akan datang.”
“Kamu lihat rupanya?” Arsen bertanya begitu sembari sedikit mendongak. “Ceritakan tentang dia.”
“Cukup parah.” Mikail memulai sembari bertepuk tangan satu kali guna memanggil para pelayan. “Nyonya Salim rupanya termasuk ke dalam kategori manusia yang kelelahan sedikit saja akan terlihat perubahannya. Selain wajah yang berubah tirus, badannya agak kurus, kantung matanya menghitam, rambutnya kusam … sorot matanya juga datar. Tapi … entah mengapa saya merasakan emosi yang coba untuk ditahan.”
Hanya dengan mendengar, Arsen sudah bisa membayangkan bagaimana kacaunya Keith sekarang. Entah masalah apa yang wanita itu coba selesaikan tanpa berkompromi dengannya.
Tak biasanya.
Meski hubungan mereka berdua menegang dan merenggang semenjak lima tahun yang lalu, namun dia yakin betul bila Keith bukanlah tipikal orang yang mau bersusah payah seorang diri di saat ada cecunguk sepertinya yang bisa wanita itu suruh-suruh dengan satu kali menjentikkan jemari.
Sudah jelas bukan? Selain karena Arsen punya posisi strategis di pemerintahan, dia kenal bahkan akrab dengan tokoh-tokoh penting di berbagai bidang. Jelas, seorang Keith Rennee Salim tak akan membuang-buang tenaga hanya untuk memikirkan beban yang tak seberapa.
Ada Arsen, manusia yang berstatus sebagai suami wanita itu yang bisa disuruh-suruh dengan begitu mudahnya.
“Sekarang kau baru pulang?” Dan kala figur dari wanita yang membebani bahunya itu menampakkan diri, Arsen langsung menyambutnya dengan tanya. “Kemarin-kemarin amnesia hingga kau tak tahu ke mana arah jalan pulang?”
Hanya desahan yang wanita itu keluarkan. Bahkan ketika dia lanjut untuk mencecar, “Masih ingat rumah? Masih ingat kalau kau yang bersikeras untuk mempertahan hubungan kita? Dua malam aku menunggumu pulang, kau malah hilang.”
Tak biasanya, wanita itu hanya mendesah. Kemudian duduk dengan tenang. Lalu memandang ke arahnya dengan sorot mata yang begitu datar.
“Lalu?” tanya wanita itu. “Kau mau aku tak pulang begitu? Agar ayah dan ibumu pusing tujuh keliling lantaran aset berharga sepertiku memutuskan untuk pergi darimu?”
Meski perkataan wanita itu terdengar pedas, namun Arsen merasa bila ada emosi yang wanita itu tahan. Dari sorot matanya, penjelasan Mikail tidak salah. Dan itu tak biasa. Karena dia tahu bila Keith adalah manusia pemarah yang tak akan membiarkan emosi itu melukai fisiknya. Namun baru kali ini, dia melihat wanita itu yang mencoba menahan amarah demi suatu hal. Bukannya melampiaskan segala hal padanya, seperti biasanya.
“Lagi pula, siapa yang menyuruhmu pulang? Kalau begitu jangan pulang.” Wanita itu melanjutkan. Sembari tertawa sinis kala menyorot ke arahnya dengan datar. “Aku bahkan tak pernah memaksamu untuk pulang ketika kau memilih menghabiskan waktumu dengan jalang murahan yang entah mungkin kau dapatkan dari rumah pelelangan.”
“Kau sakit?” Alih-alih bereaksi atas perkataan wanita itu barusan, dia memilih bertanya. Walau canggungnya begitu terasa. Tapi meski begitu, dia tak menyesali keputusannya. “Wajahmu pucat. Apa perlu kupanggilkan dokter pribadimu untuk kemari?”
Tak biasanya, wanita itu justru menanggapi perhatiannya dengan begitu wajar. Bukan balik melakukan godaan, atau mengancamnya kalau wanita itu akan melapor pada Hannah seperti kejadian yang sudah-sudah.
“Tak perlu.” Keith kemudian menyahut begitu. Setelah menggeleng lemah, sembari menyorot tak minat pada satu hidangan pembuka yang tersaji di atas meja sebab Arsen tahu, bila wanita itu benci terlalu banyak disuguhkan hidangan ketika makan malam.
“Sakitku tak perlu membuat orang repot.”
“Tetap saja.” Jika kemarin-kemarin, wanita itu yang bersikeras, sekarang gilirannya. Bukannya ada benih-benih cinta. Namun Keith tetaplah istrinya. Mau ditaruh di mana mukanya bila mertuanya tahu jika dia tak becus mengurus anak semata wayang mereka. “Kau perlu bantuan, dan jangan berharap kau bisa pergi dari sini sebelum makan.”
Peringatannya terlontar kala Keith menunjukkan tanda-tanda hendak pergi menghilang. Tanpa menyentuh makanan yang baru dihidangkan. Masih mengepulkan uap panas yang menandakan bila makanan itu masih baru. Masih masuk ke dalam standar kelayakan yang wanita itu mau.
“Kalau aku pergi,” wanita itu memandangnya dengan tak suka, mulai memperlihatkan emosi yang tadi disamarkan dengan sorot datarnya, “kau mau apa? Mau melapor pada Ayah? Pada Ibu? Atau pada orangtuamu?”
Tawa meremehkan itu kembali terdengar. Dan entah mengapa, Arsen menunggunya. Dia menantinya. Terutama pada kalimat sinis yang wanita itu lontarkan untuknya.
“Sadar diri, Arsen. Jika kau melapor pada mereka, mau ditaruh di mana mukamu? Bahkan selokan rumah ini saja tak layak untuk manusia rendahan sepertimu.”
Tangan pelayan yang tengah mengangkut piring hidangan pembuka untuk ditukar dengan hidangan utama bergetar. Wajah mereka basah kuyup lantaran ketakutan. Karena jikalau Keith mulai menghinanya, mengatainya, meremehkannya, itu adalah pertanda bila semua orang yang terkena amarah yang wanita itu ledakkan karenanya.
Namun, dia justru menunggunya. Entah dia ini sakit jiwa atau terlalu lama disuguhi sikap tidak normal dari istrinya, tapi Arsen merasa bila Keith yang begitu adalah Keith yang dia kenal. Keith yang begitu adalah Keith yang normal.
Jadi, dia tak perlu susah payah untuk mencari-cari segala dugaan.
“Sayangnya … suamimu ini memang tidak tahu diri.” Arsen membalas dengan senyuman. Setelah mengangkat gelas wine yang memang dikhususkan hanya untuknya. Dia menyesap cairan itu dengan perlahan. Sembari mencuri pandang. Pada Keith yang berdiri, hingga menyebabkan kursi yang wanita itu duduki terjatuh ke belekang sampai menghasilkan bunyi.
“Duduklah, Keith.”
“Tak sudi!” Meski emosi, suara wanita itu belum meninggi. “Kau pikir, aku pulang kemari untukmu? Untuk menuntaskan rasa khawatirmu kalau-kalau dengan tiadanya aku, kariermu di dua tempat itu perlahan akan meredup?”
“Jelas, aku tak pernah begitu.” Senyumnya kembali dia sunggingkan. “Aku hanya mengkhawatirkanmu jadi, kumohon duduklah. Sembari kita makan dan membahas masalah yang ada di yayasan beasiswamu.”
Di luar dugaan, wanita tu terdiam. Menunduk, memandang ke bawah. Tepatnya pada hidangan utama yang tersaji di atas meja. Kemudian mengangkat kepala. Hanya untuk memperlihatkannya raut wajah penuh amarah seperti biasa.
Namun sialnya … tak pernah sekalipun selama lima tahun mereka saling mencaci, kedua mata wanita itu berkaca-kaca. Entah karena apa.
“Kau—duduklah.” Alih-alih menanyakannya, Arsen memilih untuk mengabaikannya. “Makanlah. Kau perlu tenaga untuk mencaciku.”
“Tak perlu.” Dengan nada bicara begitu dingin, wanita itu berkata. Sembari menatapnya. Dengan sorot mata yang lebih datar dari sebelumnya. “Aku … tak perlau makan satu meja dengan orang tak tahu malu sepertimu.”
“Kau ini sebenarnya kenapa?” Arsen bertanya begitu dengan sembari mengernyitkan alisnya. “Apa kau sedih karena kandidat yang kau pilih bermasalah? Bicaralah.”
“Tak perlu.” Lagi-lagi wanita itu menyahut begitu. “Aku tak perlu membicarakan masalah penting dengan sampah sepertimu.” Kali ini wanita itu benar-benar akan pergi menghilang.
Dan itu membuat emosinya meradang.
Jadi, ketika wanita itu balik badan dan hendak berjalan, segera dia menyusul dengan cepat. Hanya untuk mencekal tangan wanita itu kuat-kuat. Sembari memberi sorot tajam agar wanita itu mau kembali mendekat.
“Kubilang duduklah,” titahnya. “Aku tak akan mengulanginya. Jadi Keith, kumohon duduklah.”
“Tak sudi.” Dengan rahang yang mengetat, wanita itu menimpali. “Aku tak sudi duduk satu meja dengan bajingan sepertimu.”
“Duduklah.” Sekali lagi, dia meminta pada wanita itu untuk mematuhi. Meski dia tahu bila wanita itu akan menimpali dengan segala penolakan yang membuatnya emosi. “Kubilang duduklah, Keith. Kau perlu makan.”
“Kubilang tak sudi, Arsen!” Meski wanita itu kembali menimpali dan masih tak mau mematuhi, dia sebisa menjaga emosi. “Apa kau tuli? Apa bersetebuh dengan jalangmu itu merusakkan fungsi indra-indra milikmu?”
“Keith,” sekesal apa pun dibuatnya dia saat ini, Arsen mencoba untuk tak termakan emosi. “Kumohon, duduklah. Mari kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin untuk kali ini saja.”
“Kau tuli?” Namun agaknya wanita itu tak mau mendengarnya. “Sudah kubilang aku tak sudi!”
“Duduklah.”
“Kubilang tak sudi—”
“SAYA BILANG DUDUK SEKARANG!” bentakkannya menggema. Menyentak wanita yang berada di hadapannya, juga seluruh manusia yang ada di sekitarnya.
Namun pandangannya hanya terpaku pada satu manusia. Yang kini mati-matian membekukan raga. Menahan ketakutan yang mendadak menyelimuti jiwa.
Demi Tuhan dia tak sengaja. Dia meninggikan suara lantaran wanita itu tak mendengarkannya. Dia marah karena wanita itu mencoba lari ketika dia ingin menaruh rasa peduli barang malam ini saja. Meski harusnya, dia perlu marah lantaran makian demi makian yang wanita itu lontarkan padanya.
Harusnya, amarahnya kini tertuju pada bagaimana wanita itu yang selalu memandang rendah dirinya. Tak menghargainya. Tak menganggapnya ada sebagai manisua.
Tapi entah kenapa, ketika dia memandangi wanita yang sekarang ini sebisa mungkin menahan agar air mata tak menetes dari kedua mata, menahan erangan sakit yang menggerayangi tubuhnya, Arsen dibuat marah karenanya.
Arsen marah karena wanita itu enggan untuk dilihat ketika dalam kondisi paling lemah.
“Saya bilang duduk!” Dengan cepat Arsen berseru. Kala wanita itu menyentak tangannya, hendak lari dari hadapannya. Namun wanita itu kalah cepat. Kalah kuat. Dan kalah sehat.
“Kamu perlu makan. Turuti apa yang saya katakan hanya untuk semalam jika kamu masih mau tidur di rumah ini. Atau kamu bisa saya pulangkan ke rumah orangtua kamu sekarang.”
Mungkin, ancamannya berhasil membuat wanita itu patuh. Meski menunjukkan raut wajah menahan kesal. Kemudian meremas kedua paha seraya menundukkan kepala. Setelah menatapnya dengan mata yang bergetar, serta tubuh yang gemetar.
“Kau bajingan.” Wanita itu mengeluarkan cacian. Namun dia menanggapinya dengan anggukkan. “Kusumpahi kau mati kalau tak hidup bersama dengan orang yang paling kau benci.”
Karena khusus malam ini Arsen menerima segala umpatan, sumpah serapah, serta makian. Dengan imbalan, malam ini wanita itu mematuhi segala hal yang dia ucapkan.
Terasa impas, bukan?
Mendadak, pria itu menunjukkan rupa aslinya tadi malam. Menatapnya dengan sorot mata yang dingin juga begitu tajam. Namun dinginnya tatapan kedua mata pria itu bukan seperti biasanya. Bukan seperti yang sudah-sudah hingga dia bisa mengabaikannya.Tatapan dingin yang pria itu berikan padanya tadi malam begitu membekukan. Menjadikan seluruh tubuhnya gemetar. Dan akan terdengar bohong jika Keith berkata bila dia tak ketakutan. Kala bayang-bayang tajamnya sorot mata pria itu masih membekas di dada.Namun justru yang mendominasi isi kepalanya sekarang adalah bagaimana pria itu menghadapi para pelayan yang menggunjinginya di belakang dengan begitu … tampan.Ah, sialan. Harusnya semalam, Keith tidak usah bersusah payah berjalan. Meniti langkah hanya untuk menyusul Arsen yang bersikeras mengambilkan barangnya yang kemungkinan menghilang di ruang makan.Jadi, dia tak perlu mendengar bagaimana tampannya pria itu ketika bilang, “Bisa kalian ulangi, apa yang kalian bilang barusan?”Dengan kedua m
Kala secercah cahaya tertangkap oleh kelopak matanya yang perlahan dia buka, Keith mencoba menebak-nebak di mana dia berada. Dari mulai menoleh sedikit demi sedikit ke arah kanan dan kiri, hingga mencoba membaui obat-obatan yang menjadi ciri khas kamar ruang inap.Nihil. Semua yang dia lihat, cium, dan dengar ada berada di dalam kategori wajar. Dia berada di dalam kamar. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang memicu detak jantungnya melaju kencang bersamaan dengan sebuah suara yang tak asing tiba-tiba terdengar.“Anda sudah siuman?” Dilihatnya pria paruh baya dengan pakaian rapi yang tahu-tahu telah berdiri di samping kiri. Mengecek laju selang infus yang tahu-tahu telah tertancap di punggung tangan sebelah kiri. “Saya terkejut mendengar Anda yang jatuh pingsan dari asisten Bapak Arsen tadi pagi. Tumben sekali. Tak biasanya Anda begini.”Dengan memberi anggukkan samar, Keith menyetujui. “Apa … yang kau beri tahu Arsen dan orang-orang pasal penyakitku?”Pria itu memberi senyuman. Terlih
“Apa mobil barang masih ada di halaman depan?”Alih-alih mencari jawaban atas bingkisan misterius yang dia dapatkan, Keith memilih mengabaikannya. Melemparnya dengan sembarang. Tak peduli bila isi dari bingkisan misterius yang dia dapatkan berantakan.Hingga menarik atensi Bianca untuk mengeluarkan pertanyaan, “Mengapa Nyonya melemparnya? Bukannya ini barang milik Anda.”Dan dengan bahu yang terangkat serta sorot meremehkan, Keith menjawab, “Apa aku akan melempar barang yang kusayang?” Sembari melangkah setelah menendang kotak yang terbuka, menampilkan isi berupa tas unik yang sudah pasti merupakan hasil karya seni perancang ternama, dia berkata, “Aku bahkan tak membelinya. Dan bukannya tugasmu untuk mencari tahu mengapa aku melemparnya?”Setelahnya, Keith merampas heels hijau zamrud yang Bianca ambil untuknya. Dipasang dengan rapi pada kedua kakinya. Cantik. Senyumnya lantas mengembang begitu saja. Namun pudar dalam waktu sebentar kala melihat figur Bianca yang justru mengemasi bingk
Wanita itu benar-benar membuat agendanya kacau.Dia yang harusnya mengantar Hannah ke dokter kandungan tepat waktu jadi terlambat. Dia yang harusnya bisa menghabiskan banyak waktu dengan wanitanya jadi terhambat. Ada setumpuk kerjaan di dua kantor yang menantinya. Ada segudang harapan yang dia emban dari ayahnya.Dan ada wanita itu yang siap mengacaukan segalanya.“Kamu sudah tanya Bianca mengenai kondisi Keith sekarang?” Meski segala hal yang wanita itu lakukan membuat dia kesal, masih sempat Arsen bertanya. Setidaknya, dia bisa memastikan bila wanita itu baik-baik saja.“Ponsel Bianca tidak aktif, Tuan.” Mikail yang telah membukakan pintu kursi penumpang menyahut seraya menutup kembali. Kemudian mempersilakannya untuk masuk sambil mengimbuhi, “Sepertinya Nyonya Salim memerintahkan Bianca untuk cuti. Atau mungkin …”Arsen paham. Perangai Keith yang buruk sudah pasti membuat siapa pun akan berasumsi bila kepergian Bianca dari rumah ini adalah karena perempuan itu telah dipecat oleh sa
“Kau sengaja telat pergi bekerja?” Wanita itu datang menyapa. Duduk di kursi meja makan setelah melewatinya dengan tenang. Seakan mereka berdua semalam tak melakukan apa-apa.Seolah, semalam tak terjadi apa-apa di antara mereka.“Kau sudah beradaptasi?” tanya wanita itu lagi. Kali ini sambil mengedik ke arahnya satu kali. “Sudah merasa familier dengan hak-hak istimewa yang kau dapat ketika menduduki tingkat tertinggi?”Arsen memilih diam, tak menanggapi. Kemudian segera duduk di kursi, mengabaikan wanita itu yang telah memulai sarapan pagi. Sesekali, dia menatap bagaimana wanita itu yang fokus mengiris daging dengan pisau dan garpu. Tanpa menuntut jawaban darinya yang menjadi kebiasaan wanita itu.“Apa kau sehat?” Kala seiris daging telah dia telan, tanya itu pun terlontar. Namun lawan bicaranya tak kunjung memberi tanggapan. Jadi, Arsen memberi imbuhan, “Dilihat dari rupamu, kau belum mandi bukan?”Wanita itu langsung membanting pisau dan garpu. Sembari mengunyah daging yang berada d
Lama Arsen terdiam. Membiarkan kilat cahaya menyilaukan kedua mata. Serta satu pertanyaan yang digaungkan belasan manusia berdenging di telinga. Dia memilih menandai rupa-rupa manusia yang ada sebelum berkata, “Jelas bukan, saya tidak memiliki hubungan?”Gaungan belasan manusia dengan kilatan cahaya yang menyilaukan seketika hilang. Ditelan keheningan kala hunusan tajam dia berikan seraya menandai rupa-rupa perwakilan para media sampah yang ada.“Jangan menggaungkan asumsi-asumsi sampah kalian di sini,” lanjutnya. Sambil melirik pada beberapa penjaga yang berdatangan ke arahnya. “Saya tandai kalian bila merilis artikel-artikel sampah yang menganggu rumah tangga saya.”Lalu dengan anggukkan, Arsen biarkan gaungan serta kilatan cahaya kamera itu dialihkan oleh Mikail dengan tenang. Sementara beberapa penjaga mengawal. Membawanya untuk turun ke parkiran bawah tanah.“Identitas mereka sudah saya dapatkan semua.” Mikail datang menyapa. Dengan napas tersengal dan tampilan berantakan, laki-l
Meski banyak minusnya, Keith cukup senang dengan pelayanan yang Mikail berikan untuknya.Laki-laki jangkung itu punya cara kerja yang tertata rapi. Tidak terburu-buru. Tidak terlalu melibatkan perasaan walau sesekali, dia melihat bagaimana laki-laki yang gemetar kala menyodorkan dalaman miliknya yang tertinggal, atau mendadak buang muka kala dia keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan handuk saja.Karena Mikail bekerja untuk Arsen, Keith merasa aneh kala melihat tingkah polos laki-laki persoalan wanita. Dia pikir … laki-laki itu akan terbiasa.“Kau tak usah mengantarku.” Segera dia memberi tahu. Kala laki-laki itu hendak mengambil mobil bertepatan dengan dia yang akan pergi. “Aku ingin menghabiskan waktu sendiri. Kau bisa langsung pergi ke majikanmu.”Mulanya laki-laki itu menolak. “Tapi, Tuan—” Namun ucapannya segera terhenti kala Keith menghunuskan sorot tajam yang tak menyukai bagaimana cara laki-laki itu menolak perintah yang dia beri.“Jangan jadi orang tuli,” peringatnya. Sam
“Aku ingin kita segera bercerai.”Satu kalimat itu terus-menerus bercokol di pikirannya. Enggan dienyahkan, apalagi dilupakan begitu saja. Bahkan, ketika batang hidung dari manusia yang melontarkan kalimat itu di ruang kerjanya pada lusa kemarin mulai tertangkap oleh kedua mata, kalimat itu masih enggan untuk pergi dari pikirannya.“Ada perlu apa semalam ini, Tuan Arse—”Belum saja Keith menyelesaikan ucapannya, berdiri dengan tegap dari duduk manisnya, mendadak satu tamparan dari tangan besar milik manusia itu melayang di pipi kirinya.“Kau apakan dia?” Arsen, manusia yang Keith maksud langsung mencecarnya dengan tanya. Setelah menamparnya, bahkan pria itu tak memberinya waktu untuk merasakan panas yang menjalar di pipi kirinya akibat kejadian beberapa detik yang lalu. “Sudah kuperingati kau bukan untuk jangan mengusiknya?”Tangan kirinya spontan meraba pipi. Memberi sentuhan di sana agar panas, nyeri, serta rasa sakit yang menjalar segera pergi. Setidaknya, agar campuran dari ketiga
Meski banyak minusnya, Keith cukup senang dengan pelayanan yang Mikail berikan untuknya.Laki-laki jangkung itu punya cara kerja yang tertata rapi. Tidak terburu-buru. Tidak terlalu melibatkan perasaan walau sesekali, dia melihat bagaimana laki-laki yang gemetar kala menyodorkan dalaman miliknya yang tertinggal, atau mendadak buang muka kala dia keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan handuk saja.Karena Mikail bekerja untuk Arsen, Keith merasa aneh kala melihat tingkah polos laki-laki persoalan wanita. Dia pikir … laki-laki itu akan terbiasa.“Kau tak usah mengantarku.” Segera dia memberi tahu. Kala laki-laki itu hendak mengambil mobil bertepatan dengan dia yang akan pergi. “Aku ingin menghabiskan waktu sendiri. Kau bisa langsung pergi ke majikanmu.”Mulanya laki-laki itu menolak. “Tapi, Tuan—” Namun ucapannya segera terhenti kala Keith menghunuskan sorot tajam yang tak menyukai bagaimana cara laki-laki itu menolak perintah yang dia beri.“Jangan jadi orang tuli,” peringatnya. Sam
Lama Arsen terdiam. Membiarkan kilat cahaya menyilaukan kedua mata. Serta satu pertanyaan yang digaungkan belasan manusia berdenging di telinga. Dia memilih menandai rupa-rupa manusia yang ada sebelum berkata, “Jelas bukan, saya tidak memiliki hubungan?”Gaungan belasan manusia dengan kilatan cahaya yang menyilaukan seketika hilang. Ditelan keheningan kala hunusan tajam dia berikan seraya menandai rupa-rupa perwakilan para media sampah yang ada.“Jangan menggaungkan asumsi-asumsi sampah kalian di sini,” lanjutnya. Sambil melirik pada beberapa penjaga yang berdatangan ke arahnya. “Saya tandai kalian bila merilis artikel-artikel sampah yang menganggu rumah tangga saya.”Lalu dengan anggukkan, Arsen biarkan gaungan serta kilatan cahaya kamera itu dialihkan oleh Mikail dengan tenang. Sementara beberapa penjaga mengawal. Membawanya untuk turun ke parkiran bawah tanah.“Identitas mereka sudah saya dapatkan semua.” Mikail datang menyapa. Dengan napas tersengal dan tampilan berantakan, laki-l
“Kau sengaja telat pergi bekerja?” Wanita itu datang menyapa. Duduk di kursi meja makan setelah melewatinya dengan tenang. Seakan mereka berdua semalam tak melakukan apa-apa.Seolah, semalam tak terjadi apa-apa di antara mereka.“Kau sudah beradaptasi?” tanya wanita itu lagi. Kali ini sambil mengedik ke arahnya satu kali. “Sudah merasa familier dengan hak-hak istimewa yang kau dapat ketika menduduki tingkat tertinggi?”Arsen memilih diam, tak menanggapi. Kemudian segera duduk di kursi, mengabaikan wanita itu yang telah memulai sarapan pagi. Sesekali, dia menatap bagaimana wanita itu yang fokus mengiris daging dengan pisau dan garpu. Tanpa menuntut jawaban darinya yang menjadi kebiasaan wanita itu.“Apa kau sehat?” Kala seiris daging telah dia telan, tanya itu pun terlontar. Namun lawan bicaranya tak kunjung memberi tanggapan. Jadi, Arsen memberi imbuhan, “Dilihat dari rupamu, kau belum mandi bukan?”Wanita itu langsung membanting pisau dan garpu. Sembari mengunyah daging yang berada d
Wanita itu benar-benar membuat agendanya kacau.Dia yang harusnya mengantar Hannah ke dokter kandungan tepat waktu jadi terlambat. Dia yang harusnya bisa menghabiskan banyak waktu dengan wanitanya jadi terhambat. Ada setumpuk kerjaan di dua kantor yang menantinya. Ada segudang harapan yang dia emban dari ayahnya.Dan ada wanita itu yang siap mengacaukan segalanya.“Kamu sudah tanya Bianca mengenai kondisi Keith sekarang?” Meski segala hal yang wanita itu lakukan membuat dia kesal, masih sempat Arsen bertanya. Setidaknya, dia bisa memastikan bila wanita itu baik-baik saja.“Ponsel Bianca tidak aktif, Tuan.” Mikail yang telah membukakan pintu kursi penumpang menyahut seraya menutup kembali. Kemudian mempersilakannya untuk masuk sambil mengimbuhi, “Sepertinya Nyonya Salim memerintahkan Bianca untuk cuti. Atau mungkin …”Arsen paham. Perangai Keith yang buruk sudah pasti membuat siapa pun akan berasumsi bila kepergian Bianca dari rumah ini adalah karena perempuan itu telah dipecat oleh sa
“Apa mobil barang masih ada di halaman depan?”Alih-alih mencari jawaban atas bingkisan misterius yang dia dapatkan, Keith memilih mengabaikannya. Melemparnya dengan sembarang. Tak peduli bila isi dari bingkisan misterius yang dia dapatkan berantakan.Hingga menarik atensi Bianca untuk mengeluarkan pertanyaan, “Mengapa Nyonya melemparnya? Bukannya ini barang milik Anda.”Dan dengan bahu yang terangkat serta sorot meremehkan, Keith menjawab, “Apa aku akan melempar barang yang kusayang?” Sembari melangkah setelah menendang kotak yang terbuka, menampilkan isi berupa tas unik yang sudah pasti merupakan hasil karya seni perancang ternama, dia berkata, “Aku bahkan tak membelinya. Dan bukannya tugasmu untuk mencari tahu mengapa aku melemparnya?”Setelahnya, Keith merampas heels hijau zamrud yang Bianca ambil untuknya. Dipasang dengan rapi pada kedua kakinya. Cantik. Senyumnya lantas mengembang begitu saja. Namun pudar dalam waktu sebentar kala melihat figur Bianca yang justru mengemasi bingk
Kala secercah cahaya tertangkap oleh kelopak matanya yang perlahan dia buka, Keith mencoba menebak-nebak di mana dia berada. Dari mulai menoleh sedikit demi sedikit ke arah kanan dan kiri, hingga mencoba membaui obat-obatan yang menjadi ciri khas kamar ruang inap.Nihil. Semua yang dia lihat, cium, dan dengar ada berada di dalam kategori wajar. Dia berada di dalam kamar. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang memicu detak jantungnya melaju kencang bersamaan dengan sebuah suara yang tak asing tiba-tiba terdengar.“Anda sudah siuman?” Dilihatnya pria paruh baya dengan pakaian rapi yang tahu-tahu telah berdiri di samping kiri. Mengecek laju selang infus yang tahu-tahu telah tertancap di punggung tangan sebelah kiri. “Saya terkejut mendengar Anda yang jatuh pingsan dari asisten Bapak Arsen tadi pagi. Tumben sekali. Tak biasanya Anda begini.”Dengan memberi anggukkan samar, Keith menyetujui. “Apa … yang kau beri tahu Arsen dan orang-orang pasal penyakitku?”Pria itu memberi senyuman. Terlih
Mendadak, pria itu menunjukkan rupa aslinya tadi malam. Menatapnya dengan sorot mata yang dingin juga begitu tajam. Namun dinginnya tatapan kedua mata pria itu bukan seperti biasanya. Bukan seperti yang sudah-sudah hingga dia bisa mengabaikannya.Tatapan dingin yang pria itu berikan padanya tadi malam begitu membekukan. Menjadikan seluruh tubuhnya gemetar. Dan akan terdengar bohong jika Keith berkata bila dia tak ketakutan. Kala bayang-bayang tajamnya sorot mata pria itu masih membekas di dada.Namun justru yang mendominasi isi kepalanya sekarang adalah bagaimana pria itu menghadapi para pelayan yang menggunjinginya di belakang dengan begitu … tampan.Ah, sialan. Harusnya semalam, Keith tidak usah bersusah payah berjalan. Meniti langkah hanya untuk menyusul Arsen yang bersikeras mengambilkan barangnya yang kemungkinan menghilang di ruang makan.Jadi, dia tak perlu mendengar bagaimana tampannya pria itu ketika bilang, “Bisa kalian ulangi, apa yang kalian bilang barusan?”Dengan kedua m
Kala dia datang, Mikail langsung menyambutnya dengan pembuka, “Sesuai dengan permintaan Anda, semua hidangan malam ini adalah masakan khas Turki.” Sembari menarik kursi besar yang menjadi tempatnya, laki-laki itu pun melanjutkan, “Nyonya Salim sedang bersiap. Sebentar lagi kemungkinan akan datang.”“Kamu lihat rupanya?” Arsen bertanya begitu sembari sedikit mendongak. “Ceritakan tentang dia.”“Cukup parah.” Mikail memulai sembari bertepuk tangan satu kali guna memanggil para pelayan. “Nyonya Salim rupanya termasuk ke dalam kategori manusia yang kelelahan sedikit saja akan terlihat perubahannya. Selain wajah yang berubah tirus, badannya agak kurus, kantung matanya menghitam, rambutnya kusam … sorot matanya juga datar. Tapi … entah mengapa saya merasakan emosi yang coba untuk ditahan.”Hanya dengan mendengar, Arsen sudah bisa membayangkan bagaimana kacaunya Keith sekarang. Entah masalah apa yang wanita itu coba selesaikan tanpa berkompromi dengannya.Tak biasanya. Meski hubungan mereka
Selepas menghilang dari acara perayaan pernikahan kedua mertuanya, figur Keith tak pernah lagi dia lihat di kala pulang. Bahkan kemarin, seharian Arsen menunggu. Menyempatkan diri untuk mencuri waktu agar mampu menghubungi Kepala Pelayan untuk mengabarinya jika ada tanda-tanda kepulangan wanita itu.Namun nihil. Hingga hari telah berganti, dan dia kembali pulang di malam hari pun tidak ada tanda-tanda bila Keith telah pulang. Menjadikan beban pikirnya bertambah dua kali lipat dari biasanya.Karena jujur saja jika boleh memilih, Arsen tentu akan pasrah kalau diberi beban kerjaan melimpah daripada harus menebak-nebak isi otak manusia yang paling tidak bisa dia tebak itu.“Bianca masih juga tak bisa dihubungi?” Arsen bertanya begitu sembari melangkah keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang melilit pinggangnya, juga handuk kecil yang dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya.Dan tanpa menunggu jawaban dari Mikail dia memberi perintah, “Segera amankan keadaan. Jangan sampai ada orang l