Tak ada yang berani untuk sekadar menyebut namanya. Hadirnya wanita itu di sana, bagai magnet yang memikat siapa saja. Namun di saat yang sama, eksistensi Keith Rennee Salim bagai larangan yang tak boleh sembarangan untuk dilanggar.
Dan alasan-alasan yang dia sebutkan di atas menyebabkan nyaris semua orang hanya berani menyapa wanita yang sedari tadi menggenggam telapak tangannya itu hanya dengan nama. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu untuk mencapai titik di mana mereka bisa memanggil nama. Seperti Arsen, misalnya.
Bahkan di dalam Koesnaedi pun hanya diperuntukkan bagi keluarga intinya saja yang mampu memanggil wanita itu dengan nama depannya. Seluruh keluarga besar, bawahan, bahkan keluarga besar Keith sendiri pun tak punya kuasa.
Hanya wanita itu yang dapat menentukan siapa saja yang mampu mencapainya.
Bukan tanpa alasan mengapa nama Keith tak pernah sekalipun disebut oleh sembarang orang. Bukan juga karena wanita itu mengemban status sebagai pewaris mutlak dari Salim Group. Apalagi, cerita-cerita yang beredar di mana pemimpin keluarga Salim bahkan harus menunggu kehadiran Keith selama nyaris dua puluh tahun.
Namun ada alasan yang lebih personal. Alasan yang tak pernah dikatakan. Bahkan dengannya sekalipun, selaku suami dari anak semata wayang pemimpin keluarga itu.
“Arsen.”
Panggilan itu lantas menyadarkan Arsen dari lamunan. Segera dia memberi senyuman. Kala dilihatnya Tuan Henry dan Nyonya Tin memberi sapaan. Pada satu-satunya menantu yang bisa mereka dapatkan.
“Malam, Bu, Ayah,” sahutnya kemudian seraya merenggangkan genggaman. Membiarkan Keith mengambil napas dengan pelan karena harus menahan raut kesal akibat keputusan mendadak yang dia ambil beberapa waktu yang lalu. “Maaf, aku cukup sibuk untuk sering memberi kabar.”
“Tak mengapa.” Tuan Henry menimpalinya. “Ayah tahu, maka dari itu ayah lakukan sedikit trik untuk bisa melonggarkan waktumu yang hanya dihabiskan dengan kerja dan kerja. Hadirmu di sini cukup memberi pertanda jika kami tak begitu kesepian dengan hanya memiliki satu anak perempuan yang nakalnya luar biasa.”
Jujur saja, mendengar kalimat yang langsung keluar dari ayah mertuanya itu nyaris membuat Arsen tertawa. Ditambah dengan rupa Keith di sebelahnya yang sudah membelalakan kedua mata ketika dia sengaja mencuri pandang sambil menahan tawa.
“Ayah!” Keith berseru. Dengan kuku-kuku jemari yang sengaja tak diwarnai apalagi dipasangan pernak-pernik itu melayangkan satu cubitan pada tangan. Kala menyadari bila dia mati-matian menahan untuk tidak tertawa. “Jangan bicara yang bukan-bukan! Kalau didengar oleh para tamu undangan, mereka akan punya asumsi kalau manusia sesempurna aku ini tukang tantrum bila keinginannya tak dituruti.”
“Bukannya benar?” Arsen kelepasan. Dan ketika sadar, dia segera memalingkan muka. Sementara kedua mertuanya tertawa. Menyisakan Keith yang mati-matian untuk tidak menghunuskan sorot sinis padanya.
Wanita itu … benar-benar mempertaruhkan segalanya hanya demi menjaga nama.
“Kau!” wanita itu berbisik setelah mendekat. Dengan kuku-kukunya yang menancap di punggung tangan kanan. “Jangan pikir kalau aku tak akan balas dendam padamu nanti!”
Entah mengapa, Arsen justru tertantang guna melihat seberapa kuat wanita itu bisa menahan diri untuk tidak menggila seperti bagaimana mereka berdua ketika berkelahi di rumah.
“Benarkah?” bisiknya sembari memberi senyuman. “Kau akan balas dendam? Di saat aku memutuskan untuk menelepon ayahmu sesuai bagaimana yang beliau inginkan?”
“Jangan sok menampakkan senyum bisnismu ketika dihadapan kedua orangtuaku!”
Arsen tak bisa lagi untuk menyembunyikan tawa. Meski dia tahu bila tawa itu cukup untuk menyita atensi para tamu undangan yang berdiri di sekitar mereka berdua, dia mengeluarkannya. Kemudian merangkul pundak Keith tanpa permisi meskipun wanita itu menunjukkan gestur tak suka.
Dia melakukannya untuk memberi kesan bila mereka berdua tengah bercanda. Sebajingan apa pun dia, jelas tak mungkin baginya untuk merusak harga diri wanita yang menjadi istrinya.
Seburuk apa pun perkelahian mereka. Seburuk apa pun perlakuan wanita itu padanya. Dan seburuk apa pun perlakuan yang dia berikan pada istrinya. Arsen tetaplah manusia.
Dia cukup tahu diri untuk tidak melampaui batas yang akan dia sesali dikemudian hari.
“Kau—”
Sengaja Arsen dengan cepat membungkam amarah wanita itu dengan satu kecupan singkat di bibir. Karena kalau tidak, Keith benar-benar akan meledakkan amarah di sini. Di tengah-tengah para tamu undangan yang berasal dari kalangan yang eksistensinya bahkan hanya diketahui oleh beberapa orang.
Tentu itu akan membuat citra seorang Keith Renne Salim yang tegas, mandiri, dan punya pengendalian emosi tingkat tinggi lenyap begitu saja.
Dan untungnya, kala dia menjauhkan wajah setelah memberi kecupan, sorot mata Keith yang menatapnya tampak mengerti. Meski ada rasa benci yang jauh lebih dominan menyertai.
Toh, dia telah memaklumi.
“Jangan kau ulangi lagi!” Keith berbisik setelah menarik kerah kemejanya untuk mendekatkan kembali wajah yang telah dijauhkan tadi.
Dan gerakan yang wanita itu berikan cukup mengejutkan. Terutama kenyataan bila kini jarak mereka terlalu dekat hingga dapat membaui napas satu sama membuat Arsen nyaris tersentak.
“Kau—” Dia mengurungkan niat untuk melakukan pembelaan diri bila apa yang Keith lakukan sekarang ini sungguh mampu membuat detak jantungnya tak keruan. Bukan. Bukan karena dia takut bila muncul benih cinta di antara mereka berdua.
Melainkan fakta bila salah satu tamu undangan yang ada merupakan seseorang yang begitu penting dikehidupan wanitanya hingga mereka dapat saling bertukar kabar tentang apa saja. Itu yang membuat Arsen sedikit waswas kala menyadari keberadaan salah satu orang terdekat Hannah.
“Kau apa!” Keith menuntut padanya. Bahkan ketika dia mulai menjauhkan diri, wanita itu mengekori langkahnya. Dan sialnya, tingkah mereka saat ini lebih mirip seperti sepasang suami-istri yang tengah dimabuk asmara setelah melakukan adegan mesra.
“Jangan menjadikan pandangan para tamu undangan orangtuamu mengira bahwa hubungan kita semesra kisah romansa, Keith.” Arsen berkomentar. Begitu pelan. Kala mereka berdua memilih untuk berhenti di sudut ruangan yang digunakan untuk penggelaran pesta peringatan tak diisi oleh manusia. “Ada Ayah Hannah yang sialnya hadir di sini.”
“Oh …” Wanita menggerling. Bukan terlihat tengah menggoda untuk mengajak bercinta. Namun untuk memulai peperangan dengannya. Dan benar saja, wanita itu bahkan mendekat dengan wajah sensual ke arahnya sambil berkata, “Jadi, ayah dari jalang kesayanganmu datang? Wow! Aku terkesan! Tak kusangka bila jalang itu berasal dari keluarga kaya raya.”
Benar bukan dugaannya. Wanita itu mencari gara-gara. Meski dia akui bila dialah yang memulainya. Namun percayalah … dia mencoba memperbaikinya. Tapi tidak dengan wanita itu yang justru ingin memperparah keadaan yang terjadi di antara mereka.
Segera Arsen berseru untuk menghentikan tingkah istrinya, “Jangan mendekat!” Namun entah mengapa, seruannya barusan justru menambah keparahan. Bahkan mampu membuat senyum iblis di wajah Keith melebar dengan bahagia.
Dia benar-benar tak tahu harus bersikap bagaimana bila harus berhadapan dengan wanita itu di ruangan yang dipenuhi oleh manusia.
Di lain sisi, dia tak ingin menyebabkan ayah dari wanitanya salah paham bila dia tak serius dalam menjalin hubungan. Namun di lain sisi, dia tak mau menjatuhkan nama baik wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Sebenci apa pun dia. Menjatuhkan nama baik istrinya sendiri bukanlah gayanya. Justru itu adalah tindakan bodoh baginya.
Namun Keith benar-benar tengah mengujinya.
“Kau tak perlu malu-malu begitu, Arsen! Aku ini istrimu!” Senyum iblis wanita itu makin lebar. Seiring dengan tawa pelan dari tamu undangan lantaran seruan wanita itu sengaja dikeraskan. Sengaja untuk memancing perhatian. “Kau bisa menciumku kapan saja, di mana saja, dan dengan cara seperti apa yang kau mau.”
Spontan tangannya mengepal kuat-kuat. Terutama kala wanita itu tertawa geli dengan penuh kepalsuan sembari merengkuh badannya ke dalam pelukan. Kemudian dengan sialnya wanita itu berjinjit hanya untuk membalas satu kecupan yang tadi dia layangkan.
“Bagaimana? Kau bahagia?” tanya wanita itu dengan raut bahagia. Dan jangan pernah lupakan senyum iblisnya! Oh, Tuhan. Arsen bisa gila!
“Keith, kau—”
“Sssttt!” Wanita itu menempelkan satu telunjuk di bibirnya. Suskes untuk membungkam dia yang hendak mengeluarkan keluhan. Bila tingkah wanita itu telah melampaui batasan. “Kau dengar sendiri apa yang Ayah katakan, bukan? Kau ini … harus bisa menjadi sumber kebahagiaan!”
“Tapi, Keith, ini bukan cara—”
“Sssttt!” Wanita itu mampu kembali membuatnya bungkam. Atau mungkin, dia saja yang terlalu lemah? Terlalu memikirkan bagaimana reputasi wanita itu di hadapan para tamu undangan. “Ini pembalasan dariku!”
Rahangnya spontan mengerat. Seiring dengan sorot tak suka yang dia layangkan kala wanita itu mulai bertingkah manja. Dari mulai mulai memainkan kancing kemejanya, mengendus wewangian miliknya, sampai melayangkan kecupan-kecupan yang akan memperparah ekspetasi dari para tamu undangan pada hubungan mereka berdua.
Sampai tiba-tiba satu pelayan menghampiri mereka. “Nona Salim, maaf menganggu. Ada hal penting yang harus Anda tahu.”
Harusnya, Arsen berterima kasih ketika pelayan itu mendekat. Dengan nampan mengkilap yang ternyata berisikan sebuah amplop berwarna hitam pekat. Namun ketika mendadak ekspresi wajah Keith berubah menjadi begitu serius, dia justru tercekat.
Bahkan ketika wanita itu mulai menjauh, lalu menghilang ditelan oleh lautan manusia yang memenuhi ruangan, dia masih terpaku sendirian. Dengan rasa penasaran atas apa yang sebenarnya ada di dalam amplop itu hingga mampu membuat Keith berubah dalam sekejap?
Selepas menghilang dari acara perayaan pernikahan kedua mertuanya, figur Keith tak pernah lagi dia lihat di kala pulang. Bahkan kemarin, seharian Arsen menunggu. Menyempatkan diri untuk mencuri waktu agar mampu menghubungi Kepala Pelayan untuk mengabarinya jika ada tanda-tanda kepulangan wanita itu.Namun nihil. Hingga hari telah berganti, dan dia kembali pulang di malam hari pun tidak ada tanda-tanda bila Keith telah pulang. Menjadikan beban pikirnya bertambah dua kali lipat dari biasanya.Karena jujur saja jika boleh memilih, Arsen tentu akan pasrah kalau diberi beban kerjaan melimpah daripada harus menebak-nebak isi otak manusia yang paling tidak bisa dia tebak itu.“Bianca masih juga tak bisa dihubungi?” Arsen bertanya begitu sembari melangkah keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang melilit pinggangnya, juga handuk kecil yang dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya.Dan tanpa menunggu jawaban dari Mikail dia memberi perintah, “Segera amankan keadaan. Jangan sampai ada orang l
Kala dia datang, Mikail langsung menyambutnya dengan pembuka, “Sesuai dengan permintaan Anda, semua hidangan malam ini adalah masakan khas Turki.” Sembari menarik kursi besar yang menjadi tempatnya, laki-laki itu pun melanjutkan, “Nyonya Salim sedang bersiap. Sebentar lagi kemungkinan akan datang.”“Kamu lihat rupanya?” Arsen bertanya begitu sembari sedikit mendongak. “Ceritakan tentang dia.”“Cukup parah.” Mikail memulai sembari bertepuk tangan satu kali guna memanggil para pelayan. “Nyonya Salim rupanya termasuk ke dalam kategori manusia yang kelelahan sedikit saja akan terlihat perubahannya. Selain wajah yang berubah tirus, badannya agak kurus, kantung matanya menghitam, rambutnya kusam … sorot matanya juga datar. Tapi … entah mengapa saya merasakan emosi yang coba untuk ditahan.”Hanya dengan mendengar, Arsen sudah bisa membayangkan bagaimana kacaunya Keith sekarang. Entah masalah apa yang wanita itu coba selesaikan tanpa berkompromi dengannya.Tak biasanya. Meski hubungan mereka
Mendadak, pria itu menunjukkan rupa aslinya tadi malam. Menatapnya dengan sorot mata yang dingin juga begitu tajam. Namun dinginnya tatapan kedua mata pria itu bukan seperti biasanya. Bukan seperti yang sudah-sudah hingga dia bisa mengabaikannya.Tatapan dingin yang pria itu berikan padanya tadi malam begitu membekukan. Menjadikan seluruh tubuhnya gemetar. Dan akan terdengar bohong jika Keith berkata bila dia tak ketakutan. Kala bayang-bayang tajamnya sorot mata pria itu masih membekas di dada.Namun justru yang mendominasi isi kepalanya sekarang adalah bagaimana pria itu menghadapi para pelayan yang menggunjinginya di belakang dengan begitu … tampan.Ah, sialan. Harusnya semalam, Keith tidak usah bersusah payah berjalan. Meniti langkah hanya untuk menyusul Arsen yang bersikeras mengambilkan barangnya yang kemungkinan menghilang di ruang makan.Jadi, dia tak perlu mendengar bagaimana tampannya pria itu ketika bilang, “Bisa kalian ulangi, apa yang kalian bilang barusan?”Dengan kedua m
Kala secercah cahaya tertangkap oleh kelopak matanya yang perlahan dia buka, Keith mencoba menebak-nebak di mana dia berada. Dari mulai menoleh sedikit demi sedikit ke arah kanan dan kiri, hingga mencoba membaui obat-obatan yang menjadi ciri khas kamar ruang inap.Nihil. Semua yang dia lihat, cium, dan dengar ada berada di dalam kategori wajar. Dia berada di dalam kamar. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang memicu detak jantungnya melaju kencang bersamaan dengan sebuah suara yang tak asing tiba-tiba terdengar.“Anda sudah siuman?” Dilihatnya pria paruh baya dengan pakaian rapi yang tahu-tahu telah berdiri di samping kiri. Mengecek laju selang infus yang tahu-tahu telah tertancap di punggung tangan sebelah kiri. “Saya terkejut mendengar Anda yang jatuh pingsan dari asisten Bapak Arsen tadi pagi. Tumben sekali. Tak biasanya Anda begini.”Dengan memberi anggukkan samar, Keith menyetujui. “Apa … yang kau beri tahu Arsen dan orang-orang pasal penyakitku?”Pria itu memberi senyuman. Terlih
“Apa mobil barang masih ada di halaman depan?”Alih-alih mencari jawaban atas bingkisan misterius yang dia dapatkan, Keith memilih mengabaikannya. Melemparnya dengan sembarang. Tak peduli bila isi dari bingkisan misterius yang dia dapatkan berantakan.Hingga menarik atensi Bianca untuk mengeluarkan pertanyaan, “Mengapa Nyonya melemparnya? Bukannya ini barang milik Anda.”Dan dengan bahu yang terangkat serta sorot meremehkan, Keith menjawab, “Apa aku akan melempar barang yang kusayang?” Sembari melangkah setelah menendang kotak yang terbuka, menampilkan isi berupa tas unik yang sudah pasti merupakan hasil karya seni perancang ternama, dia berkata, “Aku bahkan tak membelinya. Dan bukannya tugasmu untuk mencari tahu mengapa aku melemparnya?”Setelahnya, Keith merampas heels hijau zamrud yang Bianca ambil untuknya. Dipasang dengan rapi pada kedua kakinya. Cantik. Senyumnya lantas mengembang begitu saja. Namun pudar dalam waktu sebentar kala melihat figur Bianca yang justru mengemasi bingk
Wanita itu benar-benar membuat agendanya kacau.Dia yang harusnya mengantar Hannah ke dokter kandungan tepat waktu jadi terlambat. Dia yang harusnya bisa menghabiskan banyak waktu dengan wanitanya jadi terhambat. Ada setumpuk kerjaan di dua kantor yang menantinya. Ada segudang harapan yang dia emban dari ayahnya.Dan ada wanita itu yang siap mengacaukan segalanya.“Kamu sudah tanya Bianca mengenai kondisi Keith sekarang?” Meski segala hal yang wanita itu lakukan membuat dia kesal, masih sempat Arsen bertanya. Setidaknya, dia bisa memastikan bila wanita itu baik-baik saja.“Ponsel Bianca tidak aktif, Tuan.” Mikail yang telah membukakan pintu kursi penumpang menyahut seraya menutup kembali. Kemudian mempersilakannya untuk masuk sambil mengimbuhi, “Sepertinya Nyonya Salim memerintahkan Bianca untuk cuti. Atau mungkin …”Arsen paham. Perangai Keith yang buruk sudah pasti membuat siapa pun akan berasumsi bila kepergian Bianca dari rumah ini adalah karena perempuan itu telah dipecat oleh sa
“Kau sengaja telat pergi bekerja?” Wanita itu datang menyapa. Duduk di kursi meja makan setelah melewatinya dengan tenang. Seakan mereka berdua semalam tak melakukan apa-apa.Seolah, semalam tak terjadi apa-apa di antara mereka.“Kau sudah beradaptasi?” tanya wanita itu lagi. Kali ini sambil mengedik ke arahnya satu kali. “Sudah merasa familier dengan hak-hak istimewa yang kau dapat ketika menduduki tingkat tertinggi?”Arsen memilih diam, tak menanggapi. Kemudian segera duduk di kursi, mengabaikan wanita itu yang telah memulai sarapan pagi. Sesekali, dia menatap bagaimana wanita itu yang fokus mengiris daging dengan pisau dan garpu. Tanpa menuntut jawaban darinya yang menjadi kebiasaan wanita itu.“Apa kau sehat?” Kala seiris daging telah dia telan, tanya itu pun terlontar. Namun lawan bicaranya tak kunjung memberi tanggapan. Jadi, Arsen memberi imbuhan, “Dilihat dari rupamu, kau belum mandi bukan?”Wanita itu langsung membanting pisau dan garpu. Sembari mengunyah daging yang berada d
Lama Arsen terdiam. Membiarkan kilat cahaya menyilaukan kedua mata. Serta satu pertanyaan yang digaungkan belasan manusia berdenging di telinga. Dia memilih menandai rupa-rupa manusia yang ada sebelum berkata, “Jelas bukan, saya tidak memiliki hubungan?”Gaungan belasan manusia dengan kilatan cahaya yang menyilaukan seketika hilang. Ditelan keheningan kala hunusan tajam dia berikan seraya menandai rupa-rupa perwakilan para media sampah yang ada.“Jangan menggaungkan asumsi-asumsi sampah kalian di sini,” lanjutnya. Sambil melirik pada beberapa penjaga yang berdatangan ke arahnya. “Saya tandai kalian bila merilis artikel-artikel sampah yang menganggu rumah tangga saya.”Lalu dengan anggukkan, Arsen biarkan gaungan serta kilatan cahaya kamera itu dialihkan oleh Mikail dengan tenang. Sementara beberapa penjaga mengawal. Membawanya untuk turun ke parkiran bawah tanah.“Identitas mereka sudah saya dapatkan semua.” Mikail datang menyapa. Dengan napas tersengal dan tampilan berantakan, laki-l
Meski banyak minusnya, Keith cukup senang dengan pelayanan yang Mikail berikan untuknya.Laki-laki jangkung itu punya cara kerja yang tertata rapi. Tidak terburu-buru. Tidak terlalu melibatkan perasaan walau sesekali, dia melihat bagaimana laki-laki yang gemetar kala menyodorkan dalaman miliknya yang tertinggal, atau mendadak buang muka kala dia keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan handuk saja.Karena Mikail bekerja untuk Arsen, Keith merasa aneh kala melihat tingkah polos laki-laki persoalan wanita. Dia pikir … laki-laki itu akan terbiasa.“Kau tak usah mengantarku.” Segera dia memberi tahu. Kala laki-laki itu hendak mengambil mobil bertepatan dengan dia yang akan pergi. “Aku ingin menghabiskan waktu sendiri. Kau bisa langsung pergi ke majikanmu.”Mulanya laki-laki itu menolak. “Tapi, Tuan—” Namun ucapannya segera terhenti kala Keith menghunuskan sorot tajam yang tak menyukai bagaimana cara laki-laki itu menolak perintah yang dia beri.“Jangan jadi orang tuli,” peringatnya. Sam
Lama Arsen terdiam. Membiarkan kilat cahaya menyilaukan kedua mata. Serta satu pertanyaan yang digaungkan belasan manusia berdenging di telinga. Dia memilih menandai rupa-rupa manusia yang ada sebelum berkata, “Jelas bukan, saya tidak memiliki hubungan?”Gaungan belasan manusia dengan kilatan cahaya yang menyilaukan seketika hilang. Ditelan keheningan kala hunusan tajam dia berikan seraya menandai rupa-rupa perwakilan para media sampah yang ada.“Jangan menggaungkan asumsi-asumsi sampah kalian di sini,” lanjutnya. Sambil melirik pada beberapa penjaga yang berdatangan ke arahnya. “Saya tandai kalian bila merilis artikel-artikel sampah yang menganggu rumah tangga saya.”Lalu dengan anggukkan, Arsen biarkan gaungan serta kilatan cahaya kamera itu dialihkan oleh Mikail dengan tenang. Sementara beberapa penjaga mengawal. Membawanya untuk turun ke parkiran bawah tanah.“Identitas mereka sudah saya dapatkan semua.” Mikail datang menyapa. Dengan napas tersengal dan tampilan berantakan, laki-l
“Kau sengaja telat pergi bekerja?” Wanita itu datang menyapa. Duduk di kursi meja makan setelah melewatinya dengan tenang. Seakan mereka berdua semalam tak melakukan apa-apa.Seolah, semalam tak terjadi apa-apa di antara mereka.“Kau sudah beradaptasi?” tanya wanita itu lagi. Kali ini sambil mengedik ke arahnya satu kali. “Sudah merasa familier dengan hak-hak istimewa yang kau dapat ketika menduduki tingkat tertinggi?”Arsen memilih diam, tak menanggapi. Kemudian segera duduk di kursi, mengabaikan wanita itu yang telah memulai sarapan pagi. Sesekali, dia menatap bagaimana wanita itu yang fokus mengiris daging dengan pisau dan garpu. Tanpa menuntut jawaban darinya yang menjadi kebiasaan wanita itu.“Apa kau sehat?” Kala seiris daging telah dia telan, tanya itu pun terlontar. Namun lawan bicaranya tak kunjung memberi tanggapan. Jadi, Arsen memberi imbuhan, “Dilihat dari rupamu, kau belum mandi bukan?”Wanita itu langsung membanting pisau dan garpu. Sembari mengunyah daging yang berada d
Wanita itu benar-benar membuat agendanya kacau.Dia yang harusnya mengantar Hannah ke dokter kandungan tepat waktu jadi terlambat. Dia yang harusnya bisa menghabiskan banyak waktu dengan wanitanya jadi terhambat. Ada setumpuk kerjaan di dua kantor yang menantinya. Ada segudang harapan yang dia emban dari ayahnya.Dan ada wanita itu yang siap mengacaukan segalanya.“Kamu sudah tanya Bianca mengenai kondisi Keith sekarang?” Meski segala hal yang wanita itu lakukan membuat dia kesal, masih sempat Arsen bertanya. Setidaknya, dia bisa memastikan bila wanita itu baik-baik saja.“Ponsel Bianca tidak aktif, Tuan.” Mikail yang telah membukakan pintu kursi penumpang menyahut seraya menutup kembali. Kemudian mempersilakannya untuk masuk sambil mengimbuhi, “Sepertinya Nyonya Salim memerintahkan Bianca untuk cuti. Atau mungkin …”Arsen paham. Perangai Keith yang buruk sudah pasti membuat siapa pun akan berasumsi bila kepergian Bianca dari rumah ini adalah karena perempuan itu telah dipecat oleh sa
“Apa mobil barang masih ada di halaman depan?”Alih-alih mencari jawaban atas bingkisan misterius yang dia dapatkan, Keith memilih mengabaikannya. Melemparnya dengan sembarang. Tak peduli bila isi dari bingkisan misterius yang dia dapatkan berantakan.Hingga menarik atensi Bianca untuk mengeluarkan pertanyaan, “Mengapa Nyonya melemparnya? Bukannya ini barang milik Anda.”Dan dengan bahu yang terangkat serta sorot meremehkan, Keith menjawab, “Apa aku akan melempar barang yang kusayang?” Sembari melangkah setelah menendang kotak yang terbuka, menampilkan isi berupa tas unik yang sudah pasti merupakan hasil karya seni perancang ternama, dia berkata, “Aku bahkan tak membelinya. Dan bukannya tugasmu untuk mencari tahu mengapa aku melemparnya?”Setelahnya, Keith merampas heels hijau zamrud yang Bianca ambil untuknya. Dipasang dengan rapi pada kedua kakinya. Cantik. Senyumnya lantas mengembang begitu saja. Namun pudar dalam waktu sebentar kala melihat figur Bianca yang justru mengemasi bingk
Kala secercah cahaya tertangkap oleh kelopak matanya yang perlahan dia buka, Keith mencoba menebak-nebak di mana dia berada. Dari mulai menoleh sedikit demi sedikit ke arah kanan dan kiri, hingga mencoba membaui obat-obatan yang menjadi ciri khas kamar ruang inap.Nihil. Semua yang dia lihat, cium, dan dengar ada berada di dalam kategori wajar. Dia berada di dalam kamar. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang memicu detak jantungnya melaju kencang bersamaan dengan sebuah suara yang tak asing tiba-tiba terdengar.“Anda sudah siuman?” Dilihatnya pria paruh baya dengan pakaian rapi yang tahu-tahu telah berdiri di samping kiri. Mengecek laju selang infus yang tahu-tahu telah tertancap di punggung tangan sebelah kiri. “Saya terkejut mendengar Anda yang jatuh pingsan dari asisten Bapak Arsen tadi pagi. Tumben sekali. Tak biasanya Anda begini.”Dengan memberi anggukkan samar, Keith menyetujui. “Apa … yang kau beri tahu Arsen dan orang-orang pasal penyakitku?”Pria itu memberi senyuman. Terlih
Mendadak, pria itu menunjukkan rupa aslinya tadi malam. Menatapnya dengan sorot mata yang dingin juga begitu tajam. Namun dinginnya tatapan kedua mata pria itu bukan seperti biasanya. Bukan seperti yang sudah-sudah hingga dia bisa mengabaikannya.Tatapan dingin yang pria itu berikan padanya tadi malam begitu membekukan. Menjadikan seluruh tubuhnya gemetar. Dan akan terdengar bohong jika Keith berkata bila dia tak ketakutan. Kala bayang-bayang tajamnya sorot mata pria itu masih membekas di dada.Namun justru yang mendominasi isi kepalanya sekarang adalah bagaimana pria itu menghadapi para pelayan yang menggunjinginya di belakang dengan begitu … tampan.Ah, sialan. Harusnya semalam, Keith tidak usah bersusah payah berjalan. Meniti langkah hanya untuk menyusul Arsen yang bersikeras mengambilkan barangnya yang kemungkinan menghilang di ruang makan.Jadi, dia tak perlu mendengar bagaimana tampannya pria itu ketika bilang, “Bisa kalian ulangi, apa yang kalian bilang barusan?”Dengan kedua m
Kala dia datang, Mikail langsung menyambutnya dengan pembuka, “Sesuai dengan permintaan Anda, semua hidangan malam ini adalah masakan khas Turki.” Sembari menarik kursi besar yang menjadi tempatnya, laki-laki itu pun melanjutkan, “Nyonya Salim sedang bersiap. Sebentar lagi kemungkinan akan datang.”“Kamu lihat rupanya?” Arsen bertanya begitu sembari sedikit mendongak. “Ceritakan tentang dia.”“Cukup parah.” Mikail memulai sembari bertepuk tangan satu kali guna memanggil para pelayan. “Nyonya Salim rupanya termasuk ke dalam kategori manusia yang kelelahan sedikit saja akan terlihat perubahannya. Selain wajah yang berubah tirus, badannya agak kurus, kantung matanya menghitam, rambutnya kusam … sorot matanya juga datar. Tapi … entah mengapa saya merasakan emosi yang coba untuk ditahan.”Hanya dengan mendengar, Arsen sudah bisa membayangkan bagaimana kacaunya Keith sekarang. Entah masalah apa yang wanita itu coba selesaikan tanpa berkompromi dengannya.Tak biasanya. Meski hubungan mereka
Selepas menghilang dari acara perayaan pernikahan kedua mertuanya, figur Keith tak pernah lagi dia lihat di kala pulang. Bahkan kemarin, seharian Arsen menunggu. Menyempatkan diri untuk mencuri waktu agar mampu menghubungi Kepala Pelayan untuk mengabarinya jika ada tanda-tanda kepulangan wanita itu.Namun nihil. Hingga hari telah berganti, dan dia kembali pulang di malam hari pun tidak ada tanda-tanda bila Keith telah pulang. Menjadikan beban pikirnya bertambah dua kali lipat dari biasanya.Karena jujur saja jika boleh memilih, Arsen tentu akan pasrah kalau diberi beban kerjaan melimpah daripada harus menebak-nebak isi otak manusia yang paling tidak bisa dia tebak itu.“Bianca masih juga tak bisa dihubungi?” Arsen bertanya begitu sembari melangkah keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang melilit pinggangnya, juga handuk kecil yang dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya.Dan tanpa menunggu jawaban dari Mikail dia memberi perintah, “Segera amankan keadaan. Jangan sampai ada orang l