“Benar bukan yang saya katakan, Nyonya. Bekas lukanya akan terlalu kontras dengan warna kulit Anda.”
Keith tak menampiknya. Kala dia memutuskan untuk duduk di meja rias. Mematut diri pada cermin bening yang memperlihatkan tubuhnya dengan jelas. Luka yang dihasilkan dari cekikan Arsen pada lehernya itu terlihat begitu kontras.
Kulitnya terlalu putih untuk menyembunyikan luka yang dihasilkan. Dan bermacam-macam cara pun masih juga tak mampu untuk menutupinya agar siang ini, dia bisa berlenggok tanpa perlu ditanyai oleh mertuanya yang terlalu cerewet untuk dia hadapi.
“Ambilkan saja aku scarf,” titahnya. Kala jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya telah memberinya sinyal untuk segera beranjak dari dalam kamar.
Dia harus segera datang jika tak mau disuruh-suruh seperti budak. Karena fakta mengejutkan mengenai keluarga Arsen baru terkuak ketika mereka berdua telah resmi menikah.
Keluarga pria itu bisa dibilang terlalu kolot, kuno, dan kadang-kadang terkesan begitu norak. Mulai dari menganggap anak adalah investasi, tak mengizinkan para perempuan yang ada di keluarga mereka melajang melebihi usia yang mereka yakini akan sulit mencari suami, dan masih banyak lagi. Intinya, keluarga pria itu patriarki mampus yang hobinya menyusahkan diri. Dan Keith tidak didesain untuk melakukan hal-hal yang akan menyusahkan diri.
Dia punya uang. Dia punya kuasa. Dan masih ada sumber daya manusia yang akan berlutut hanya untuk bekerja di bawahnya. Jadi, mengapa dia harus repot-repot untuk melakukan kegiatan menyakiti diri sendiri hanya untuk memberi kesan yang baik pada para tetua keluarga ini?
“Nanti sore, bilang pada para pelayan jangan sampai ada yang menyediakan makan malam.” Keith berkata begitu tepat ketika Bianca mengulurkan apa yang dia minta. Dan sembari menutupi luka di lehernya dengan salah satu scarf yang dia koleksi dari merek ternama.
Sebetulnya, Keith tak terlalu suka dengan warna dan coraknya. Namun setidaknya, jika dipadukan dengan pakaian yang dia kenakan sekarang akan terlihat pas di mata. Jadi, dia merasa sedikit tak menyesal untuk jauh-jauh ke luar negeri hanya untuk membelinya.
“Baik, Nyonya. Ada lagi yang ingin Anda sampaikan pada mereka?”
Mendengar pertanyaannya Bianca, Keith jadi punya ide paling konyol untuk dilakukan sepanjang lima tahun dia menjadi salah satu nyonya di kediaman Koesnaedi utama.
“Jangan ada yang berani menuruti perintah Arsen malam ini. Aku benci dia. Katakan pada mereka jika masih ingin berada di rumah ini, jangan berani membantah.”
Tawa kecil langsung keluar begitu saja. Bersamaan dengan geli di sekujur badannya kala membayangkan bagaimana pundungnya Arsen nanti, bila tahu dia melakukan hal iseng sebagai pembalasan atas cekikan yang pria itu lakukan padanya semalam.
Yah … meski tidak terasa impas namun itu sudah cukup untuk mewarnai harinya.
“Oh, ya.” Ketika dia akan berdiri, dia baru teringat akan satu hal penting yang harus kembali dia konfirmasi. “Jalang itu … tak akan datang atau diundang bukan, Bianca?”
Kala yang dia jadikan lawan bicara tak segara menjawab tanyanya, Keith mendongakkan kepala. Menatap bagaimana perubahan garis wajah yang perempuan itu tampilkan ketika tak mau memperlihatkan kedua mata kala berbicara padanya.
“Kau tak sopan.”
“M-maaf, Nyonya. Saya—”
“Aku paham, potongnya dengan segera. Karena Keith tahu apa arti dari diamnya Bianca. “Dia diundang. Sialan.” Dengan rasa kesal yang menjalar di dada, dia masukkan hal-hal penting ke dalam mini Lady Dior kesayangannya. “Arsen memang bajingan. Padahal aku lusa kemarin aku telah mengonfirmasi sendiri, jika jalang itu tak akan hadir di acara pagi ini. Pasti bajingan itu yang menyuruh Hannah untuk datang ke sini.”
Di sampingnya, Bianca hanya diam. Bahkan ketika parfum berbotol kaca mulai dia benturkan ke atas permukaan rias dengan kencang hingga retakan yang melukai telapak tangannya, perempuan itu tetap diam.
Karena diam adalah hal yang paling benar dilakukan oleh orang-orang yang bekerja untuknya jika amarah menguasai jiwa. Dia tak suka bila emosinya harus direcoki oleh orang yang dia bayar dengan uangnya.
“Pastikan supir yang menjemputku datang setelah acara puncak nanti dilaksanakan.” Sembari berhenti menggengam botol parfum yang kini nyaris pecah, Keith memberi perintah. Dan dengan secepat kilat Bianca undur diri untuk melakukan tugas yang telah dia beri.
Sebab Keith benci, bila ada suara knalpot mobil yang menjemput terdengar ketika dia masih dibalut dengan emosi. Bisa-bisa, dia bakar rumah tiga lantai yang dia huni ini.
“Siap, terkendali.” Entah datang dari arah mana, tahu-tahu Bianca berada di sampingnya. Melapor dengan napas tersengal-sengal, yang membuat Keith mau tak mau melirik walau hanya sekilas saja.
“Lelah ya, bekerja di bawahku?” Tiba-tiba, pertanyaan itu Keith keluarkan. Setelah nyaris lima tahu Bianca menggantikan asisten pribadinya yang telah berpulang.
Selamanya. Mungkin pria tua itu sekarang telah berada di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Keith berani jamin itu karena asisten pribadi yang telah berada di sisinya sejak dia masih kecil itu begitu baik padanya.
Terlalu baik, malah. Selalu mengikuti perintahnya. Sekonyolnya apa pun itu, pria itu tetap melakukan yang terbaik untuknya.
“Tidak,” dengan pelan Bianca menjawab. Seraya menundukkan kepala, kala dia memutuskan untuk kembali menoleh sekilas. “Saya senang bekerja dengan Anda.”
Keith hanya tersenyum sejenak. Karena dipikirannya, dia tengah membayangkan bagaimana hebohnya acara yang telah digelar mertuanya yang super ribet itu lantaran ketidakhadirannya.
Dia selalu menepati ucapannya. Karena tepat pada acara puncak yang telah tergantikan dengan acara yang lebih santai. Keith datang dengan dagu terangkat. Memasabodohkan tatapan penuh penghakiman yang ditujukan padanya. Dan jangan lupakan, bagaimana tubuhnya yang melenggok dengan begitu anggun lantaran red bottom heels yang membalut kakinya menunjang langkahnya untuk terlihat begitu.
“Siang, Bu. Maaf, aku sengaja telat.”
Senyum bangga segera dia pasang untuk menembalkan wajahnya dari gunjingan para tetua dan antek-anteknya. Begitu dia melihat mertuanya yang tengah berbicara, dengan satu manusia yang menjadi alasan mengapa dia cukup tidak sudi untuk berlama-lama berada di acara siang ini.
“Arsen sudah pergi, tadi.” Mertuanya balas tersenyum sembari mempersilakannya untuk duduk di salah satu kursi yang melingkari meja khusus para tetua.
Acara ini memang selalu digelar untuk memberi kesan pada para penyokong keluarga.
“Dia datang?” dengan pelan, Keith bertanya pada sang ibu mertua. Untung dulu kedua orangtuanya memutuskan untuk mengikuti permintaannya masuk ke dalam kelas akting. Karena kalau tidak, wajah murkanya sudah pasti dijadikan santapan nikmat di siang hari. “Bukannya dia ada rapat dengan dewan direksi sebelum hadir di acara salah satu menteri? Untuk apa mampir ke sini?”
Ibu mertuanya, Dahlia Kusno Adji, menjawab dengan nada sinis yang terlalu kentara, “Jelas datang! Dia bagian dari Koesnaedi. Sesibuk apa pun, Arsen wajib datang. Sementara kau? Kerja berat pun tidak, tapi memilih untuk telat?”
Sayangnya, Keith tak begitu gampang tersulut emosi oleh perkataan bernada sinis dan terkesan kuno dari ibu mertuanya ini. Jadi, dengan begitu santai dia menimpali, “Jelas. Aku bisa datang kapan pun yang kumau, Bu. Dan aku tak perlu bekerja begitu berat sampai-sampai merangkap profesi seperti yang Arsen lakukan. Karena cecunguk seperti kalianlah yang bekerja untukku. Aku punya banyak uang.”
Bisa dipastikan ibu mertuanya itu mengelus dada, menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa berkali-kali dengan mulutnya. Kemudian dengan segera mengajak para tetua bangka itu untuk pergi. Agar memberi kesan yang begitu baik untuk diri, dan sebaliknya pada sang menantu yang kini ditinggal dengan seorang wanita tak tahu diri.
“Kalau kau?” tanyanya, dengan senyum lebar yang menghiasi wajah berserinya. “Mengapa memilih menghadiri undangan yang tak penting ini daripada bekerja. Kau harus bekerja dengan keras, Hannah! Agar kau bisa menyalin apa pun yang kupakai untuk kau unggah di sosial media!”
Sebetulnya, Keith ingin tertawa setengah mati saat melihat bagaimana tegang wajah Hannah ketika ditinggal berdua dengannya. Entah mungkin wanita itu tengah merencanakan pelarian diri agar tak berinteraksi dengannya. Atau mungkin tengah memikirkan mau menjawab dengan perkataan apa dari tanya yang sengaja dia lontarkan dengan suara cukup keras barusan agar mendapatkan atensi dari keluarga.
“A-aku—”
“Aku paham, aku paham!” Sembari mengibaskan satu tangan, Keith mengangguk paham. Dan jangan lupakan, senyum lebar yang tadinya menghiasi wajahnya itu telah digantikan dengan senyum merendahkan. “Kau tak perlu bekerja bukan? Ada Arsen yang bahkan sudi untuk merangkap profesi hanya untuk memenuhi kebutuhan jalang sepertimu ini. Lagi pula, kau juga lemah.”
Nyaris saja Keith mengeluarkan tawa bernada merendahkan itu pada Hannah. Namun mau bagaimana pun, dia ini manusia biasa. Dia harus memiliki rasa peduli meski hanya setetes air dari sendok teh yang sekarang ini dia pegang dengan sepenuh hati.
Dengan begitu, orang-orang yang kini mengalihkan atensi mereka sepenuhnya pada mereka berdua akan menganggap bahwa Keith Rennee Salim masihlah seorang manusia.
“Tapi … jangan coba-coba mengujiku, Hannah.” Sedetik kemudian, semua senyuman merendahkan itu berubah. Menjadi raut angkuh yang selalu Keith tampilkan guna mempertegas statusnya yang berbeda. Jauh lebih tinggi dari Hannah, maupun orang-orang di sekitarnya. “Kau bisa memilih tak mengacau hari ini jika tak ingin berurusan denganku. Karena sejujurnya, kau bahkan tak masuk ke dalam kategori cecunguk yang akan menguntungkan ataupun merugikanku. Kau adalah entitas yang sama sekali tak memiliki pengaruh dalam hidupku.”
“K-kau!” Hannah berdiri. Menyebabkan kursi yang wanita itu duduki terbanting ke atas lantai hingga menghasilkan bunyi nyaring yang mampu membuat ruangan ini senyap dalam hitungan detik. “Kau pikir kau siapa? Kau pikir, aku tak meng—”
“Ya, kau tak bisa.” Tanpa menunggu wanita yang terlihat jelas sekali tengah mengandung seorang bayi di perutnya menyelesaikan ucapan, Keith memotong dengan decakan. “Kau tak bisa. Bahkan tidak dengan bayi yang kau harapkan akan lahir ke dunia.”
“Kau keterlaluan!”
Keith mengangguk, mengiyakan. “Kuakui, aku memang keterlaluan.”
“Aku tak akan membiarkan semua ini!” Cepat-cepat wanita itu memberesi berbagai hal yang berserakan lantaran gerakan spontan tadi. Memunguti benda-benda di dalam mini Lady Dior yang sama persis dengan miliknya yang tengah bertengger di atas kursi. Hannah dengan cepat mengemasi.
Namun Keith selalu mendahului. Dia berdiri, hendak beranjak pergi dari acara konyol ini. Tapi Hannah meneriaki namanya dengan nada bicara yang begitu dia benci.
“Keith! Kau pikir kau bisa lari begitu saja setelah mengacaukanku?” Wanita dengan cepat menghampirinya yang telah menjauh dari meja. Dengan napas tersengal, wanita itu berkata, “Kau pikir aku tak tahu-menahu mengenai isi perjanjian pernikahanmu dengan Arsen lima tahun yang lalu?” Dan seketika karakter asli dari wanita itu ditunjukkan.
Menyebabkan senyum Keith sedikit mengembang. “Benarkah?” Sebisa mungkin dia mencoba untuk tampak tertekan. Namun sayang, dia tak terlatih untuk membuat Hannah senang. “Apa kau mengira bayi itu bisa mengusirku? Jika iya, maka Arsen telah membohongimu, Hannah. Gila saja. Mana mungkin hal itu bisa memisahkan kami berdua?”
Dan diamnya Hannah menuntun Keith untuk segera beranjak pergi. Setidaknya, misinya untuk membuat hari Arsen kacau akan terealisasikan melalui wanita bodoh itu.
“Tuan.”Panggilan itu segera Arsen tanggapi dengan dehaman. Namun tanggapannya tak kunjung dibalas dengan jawaban. Jadi, sejenak dia menutup kerjaan. Sembari melepas kacamata yang sedari bertengger di batang hidungnya, dia menatap ke arah di mana asistennya berada.“Kamu tak mendengar sahutan saya?”Lelaki jangkung berkulit pucat di sebelah kanan tubuhnya menggeleng segan. “Bukan begitu, Tuan. Hanya saja, saya rasa topik pembicaraan kali ini akan mengganggu konsentrasi Anda. Namun, saya tak bisa menunda-nunda untuk memberitahukannya kepada Anda.”“Katakan.” Satu kata itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Mikail paham. Meski topik yang keluar dari mulut lelaki itu akan menjadi perusuh konsetrasi nantinya, itu tak mengapa. Karena Arsen bukan tipikal orang yang sabaran.Dia tak bisa menahan gejolak ingin tahu jikalau hal itu menyangkut dirinya, keluarganya, orang terkasihnya, dan juga … wanita yang menjadi nyonya di rumahnya. “Nyonya Salim tadi sedikit … menyebabkan kekacauan.” Mika
Kala Bianca memberi tahu bila Arsen akan bermalam bersama Hannah, Keith merasa tertipu. Namun dia masih berpikiran untuk menunda keisengan dengan berkata, “Besok pagi saja, jangan ada satu pun pelayan yang melayaninya.”Tapi agaknya, dunia tengah berseteru dengannya. Sampai sore menjelang malam ini pun, batang hidung seorang Arsenio Koesnaedi tak pernah sekalipun dia jumpai. Bahkan, kabar pria itu pun tak dia ketahui.Entah mungkin saja mati, atau diculik oleh para pembenci pemerintah yang akhir-akhir ini tengah gila-gilaan melakukan demonstrasi.“Bajingan itu belum pulang juga dari tadi?” Tak dapat dipungkiri, bila nada bicaranya mendadak meninggi. Menyebabkan Bianca yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir antiknya tersentak, hingga beberapa tetes teh yang masih mengepulkan uap panas itu mengenai punggung tangan. Dan nyaris saja, perempuan itu benar-benar mengguyurkan satu teko teh panas ke tubuhnya.“Kau ini,” desisnya kesal setengah mati sembari dengan hati-hati mendorong teko
Tak pernah sekalipun dia merasa secemas ini. Tak pernah sekalipun dia merasa begitu gelisah seperti sekarang ini. Dan tak pernah sekalipun di hidupnya Keith merencanakan untuk berlutut sembari memohon pada para cecunguk yang berakhir membuatnya menjadi rendah diri.“Rendah diri?” gumamnya pada diri sendiri. “Yang benar saja! Bajingan itu tak ada apa-apanya!”Seorang Arsenio Koesnaedi jelas tidak ada apa-apanya dibanding dia. Namun pria itu telah sukses membuatnya merasakan cemas, gelisah, lebih dominan amarah, serta rasa-rasa lain yang dia tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.Karena berhubung tinggal menunggu waktu, Bianca akan datang ke dalam ruangan luas yang biasanya tak pernah membuatnya merasa setertekan sekarang. Membawanya pergi hanya seorang diri ke pesta perayaan pernikahan yang akan berujung menimbulkan kekecewaan.Keith ingin marah. Namun pada siapa?Sumber amarahnya justru tak pernah menampakkan batang hidung di hadapannya. Mau melampiaskan pada pekerja? Yang ada rumo
Tak ada yang berani untuk sekadar menyebut namanya. Hadirnya wanita itu di sana, bagai magnet yang memikat siapa saja. Namun di saat yang sama, eksistensi Keith Rennee Salim bagai larangan yang tak boleh sembarangan untuk dilanggar.Dan alasan-alasan yang dia sebutkan di atas menyebabkan nyaris semua orang hanya berani menyapa wanita yang sedari tadi menggenggam telapak tangannya itu hanya dengan nama. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu untuk mencapai titik di mana mereka bisa memanggil nama. Seperti Arsen, misalnya.Bahkan di dalam Koesnaedi pun hanya diperuntukkan bagi keluarga intinya saja yang mampu memanggil wanita itu dengan nama depannya. Seluruh keluarga besar, bawahan, bahkan keluarga besar Keith sendiri pun tak punya kuasa.Hanya wanita itu yang dapat menentukan siapa saja yang mampu mencapainya.Bukan tanpa alasan mengapa nama Keith tak pernah sekalipun disebut oleh sembarang orang. Bukan juga karena wanita itu mengemban status sebagai pewaris mutlak dari Salim Grou
Selepas menghilang dari acara perayaan pernikahan kedua mertuanya, figur Keith tak pernah lagi dia lihat di kala pulang. Bahkan kemarin, seharian Arsen menunggu. Menyempatkan diri untuk mencuri waktu agar mampu menghubungi Kepala Pelayan untuk mengabarinya jika ada tanda-tanda kepulangan wanita itu.Namun nihil. Hingga hari telah berganti, dan dia kembali pulang di malam hari pun tidak ada tanda-tanda bila Keith telah pulang. Menjadikan beban pikirnya bertambah dua kali lipat dari biasanya.Karena jujur saja jika boleh memilih, Arsen tentu akan pasrah kalau diberi beban kerjaan melimpah daripada harus menebak-nebak isi otak manusia yang paling tidak bisa dia tebak itu.“Bianca masih juga tak bisa dihubungi?” Arsen bertanya begitu sembari melangkah keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang melilit pinggangnya, juga handuk kecil yang dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya.Dan tanpa menunggu jawaban dari Mikail dia memberi perintah, “Segera amankan keadaan. Jangan sampai ada orang l
Kala dia datang, Mikail langsung menyambutnya dengan pembuka, “Sesuai dengan permintaan Anda, semua hidangan malam ini adalah masakan khas Turki.” Sembari menarik kursi besar yang menjadi tempatnya, laki-laki itu pun melanjutkan, “Nyonya Salim sedang bersiap. Sebentar lagi kemungkinan akan datang.”“Kamu lihat rupanya?” Arsen bertanya begitu sembari sedikit mendongak. “Ceritakan tentang dia.”“Cukup parah.” Mikail memulai sembari bertepuk tangan satu kali guna memanggil para pelayan. “Nyonya Salim rupanya termasuk ke dalam kategori manusia yang kelelahan sedikit saja akan terlihat perubahannya. Selain wajah yang berubah tirus, badannya agak kurus, kantung matanya menghitam, rambutnya kusam … sorot matanya juga datar. Tapi … entah mengapa saya merasakan emosi yang coba untuk ditahan.”Hanya dengan mendengar, Arsen sudah bisa membayangkan bagaimana kacaunya Keith sekarang. Entah masalah apa yang wanita itu coba selesaikan tanpa berkompromi dengannya.Tak biasanya. Meski hubungan mereka
Mendadak, pria itu menunjukkan rupa aslinya tadi malam. Menatapnya dengan sorot mata yang dingin juga begitu tajam. Namun dinginnya tatapan kedua mata pria itu bukan seperti biasanya. Bukan seperti yang sudah-sudah hingga dia bisa mengabaikannya.Tatapan dingin yang pria itu berikan padanya tadi malam begitu membekukan. Menjadikan seluruh tubuhnya gemetar. Dan akan terdengar bohong jika Keith berkata bila dia tak ketakutan. Kala bayang-bayang tajamnya sorot mata pria itu masih membekas di dada.Namun justru yang mendominasi isi kepalanya sekarang adalah bagaimana pria itu menghadapi para pelayan yang menggunjinginya di belakang dengan begitu … tampan.Ah, sialan. Harusnya semalam, Keith tidak usah bersusah payah berjalan. Meniti langkah hanya untuk menyusul Arsen yang bersikeras mengambilkan barangnya yang kemungkinan menghilang di ruang makan.Jadi, dia tak perlu mendengar bagaimana tampannya pria itu ketika bilang, “Bisa kalian ulangi, apa yang kalian bilang barusan?”Dengan kedua m
Kala secercah cahaya tertangkap oleh kelopak matanya yang perlahan dia buka, Keith mencoba menebak-nebak di mana dia berada. Dari mulai menoleh sedikit demi sedikit ke arah kanan dan kiri, hingga mencoba membaui obat-obatan yang menjadi ciri khas kamar ruang inap.Nihil. Semua yang dia lihat, cium, dan dengar ada berada di dalam kategori wajar. Dia berada di dalam kamar. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang memicu detak jantungnya melaju kencang bersamaan dengan sebuah suara yang tak asing tiba-tiba terdengar.“Anda sudah siuman?” Dilihatnya pria paruh baya dengan pakaian rapi yang tahu-tahu telah berdiri di samping kiri. Mengecek laju selang infus yang tahu-tahu telah tertancap di punggung tangan sebelah kiri. “Saya terkejut mendengar Anda yang jatuh pingsan dari asisten Bapak Arsen tadi pagi. Tumben sekali. Tak biasanya Anda begini.”Dengan memberi anggukkan samar, Keith menyetujui. “Apa … yang kau beri tahu Arsen dan orang-orang pasal penyakitku?”Pria itu memberi senyuman. Terlih
Meski banyak minusnya, Keith cukup senang dengan pelayanan yang Mikail berikan untuknya.Laki-laki jangkung itu punya cara kerja yang tertata rapi. Tidak terburu-buru. Tidak terlalu melibatkan perasaan walau sesekali, dia melihat bagaimana laki-laki yang gemetar kala menyodorkan dalaman miliknya yang tertinggal, atau mendadak buang muka kala dia keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan handuk saja.Karena Mikail bekerja untuk Arsen, Keith merasa aneh kala melihat tingkah polos laki-laki persoalan wanita. Dia pikir … laki-laki itu akan terbiasa.“Kau tak usah mengantarku.” Segera dia memberi tahu. Kala laki-laki itu hendak mengambil mobil bertepatan dengan dia yang akan pergi. “Aku ingin menghabiskan waktu sendiri. Kau bisa langsung pergi ke majikanmu.”Mulanya laki-laki itu menolak. “Tapi, Tuan—” Namun ucapannya segera terhenti kala Keith menghunuskan sorot tajam yang tak menyukai bagaimana cara laki-laki itu menolak perintah yang dia beri.“Jangan jadi orang tuli,” peringatnya. Sam
Lama Arsen terdiam. Membiarkan kilat cahaya menyilaukan kedua mata. Serta satu pertanyaan yang digaungkan belasan manusia berdenging di telinga. Dia memilih menandai rupa-rupa manusia yang ada sebelum berkata, “Jelas bukan, saya tidak memiliki hubungan?”Gaungan belasan manusia dengan kilatan cahaya yang menyilaukan seketika hilang. Ditelan keheningan kala hunusan tajam dia berikan seraya menandai rupa-rupa perwakilan para media sampah yang ada.“Jangan menggaungkan asumsi-asumsi sampah kalian di sini,” lanjutnya. Sambil melirik pada beberapa penjaga yang berdatangan ke arahnya. “Saya tandai kalian bila merilis artikel-artikel sampah yang menganggu rumah tangga saya.”Lalu dengan anggukkan, Arsen biarkan gaungan serta kilatan cahaya kamera itu dialihkan oleh Mikail dengan tenang. Sementara beberapa penjaga mengawal. Membawanya untuk turun ke parkiran bawah tanah.“Identitas mereka sudah saya dapatkan semua.” Mikail datang menyapa. Dengan napas tersengal dan tampilan berantakan, laki-l
“Kau sengaja telat pergi bekerja?” Wanita itu datang menyapa. Duduk di kursi meja makan setelah melewatinya dengan tenang. Seakan mereka berdua semalam tak melakukan apa-apa.Seolah, semalam tak terjadi apa-apa di antara mereka.“Kau sudah beradaptasi?” tanya wanita itu lagi. Kali ini sambil mengedik ke arahnya satu kali. “Sudah merasa familier dengan hak-hak istimewa yang kau dapat ketika menduduki tingkat tertinggi?”Arsen memilih diam, tak menanggapi. Kemudian segera duduk di kursi, mengabaikan wanita itu yang telah memulai sarapan pagi. Sesekali, dia menatap bagaimana wanita itu yang fokus mengiris daging dengan pisau dan garpu. Tanpa menuntut jawaban darinya yang menjadi kebiasaan wanita itu.“Apa kau sehat?” Kala seiris daging telah dia telan, tanya itu pun terlontar. Namun lawan bicaranya tak kunjung memberi tanggapan. Jadi, Arsen memberi imbuhan, “Dilihat dari rupamu, kau belum mandi bukan?”Wanita itu langsung membanting pisau dan garpu. Sembari mengunyah daging yang berada d
Wanita itu benar-benar membuat agendanya kacau.Dia yang harusnya mengantar Hannah ke dokter kandungan tepat waktu jadi terlambat. Dia yang harusnya bisa menghabiskan banyak waktu dengan wanitanya jadi terhambat. Ada setumpuk kerjaan di dua kantor yang menantinya. Ada segudang harapan yang dia emban dari ayahnya.Dan ada wanita itu yang siap mengacaukan segalanya.“Kamu sudah tanya Bianca mengenai kondisi Keith sekarang?” Meski segala hal yang wanita itu lakukan membuat dia kesal, masih sempat Arsen bertanya. Setidaknya, dia bisa memastikan bila wanita itu baik-baik saja.“Ponsel Bianca tidak aktif, Tuan.” Mikail yang telah membukakan pintu kursi penumpang menyahut seraya menutup kembali. Kemudian mempersilakannya untuk masuk sambil mengimbuhi, “Sepertinya Nyonya Salim memerintahkan Bianca untuk cuti. Atau mungkin …”Arsen paham. Perangai Keith yang buruk sudah pasti membuat siapa pun akan berasumsi bila kepergian Bianca dari rumah ini adalah karena perempuan itu telah dipecat oleh sa
“Apa mobil barang masih ada di halaman depan?”Alih-alih mencari jawaban atas bingkisan misterius yang dia dapatkan, Keith memilih mengabaikannya. Melemparnya dengan sembarang. Tak peduli bila isi dari bingkisan misterius yang dia dapatkan berantakan.Hingga menarik atensi Bianca untuk mengeluarkan pertanyaan, “Mengapa Nyonya melemparnya? Bukannya ini barang milik Anda.”Dan dengan bahu yang terangkat serta sorot meremehkan, Keith menjawab, “Apa aku akan melempar barang yang kusayang?” Sembari melangkah setelah menendang kotak yang terbuka, menampilkan isi berupa tas unik yang sudah pasti merupakan hasil karya seni perancang ternama, dia berkata, “Aku bahkan tak membelinya. Dan bukannya tugasmu untuk mencari tahu mengapa aku melemparnya?”Setelahnya, Keith merampas heels hijau zamrud yang Bianca ambil untuknya. Dipasang dengan rapi pada kedua kakinya. Cantik. Senyumnya lantas mengembang begitu saja. Namun pudar dalam waktu sebentar kala melihat figur Bianca yang justru mengemasi bingk
Kala secercah cahaya tertangkap oleh kelopak matanya yang perlahan dia buka, Keith mencoba menebak-nebak di mana dia berada. Dari mulai menoleh sedikit demi sedikit ke arah kanan dan kiri, hingga mencoba membaui obat-obatan yang menjadi ciri khas kamar ruang inap.Nihil. Semua yang dia lihat, cium, dan dengar ada berada di dalam kategori wajar. Dia berada di dalam kamar. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang memicu detak jantungnya melaju kencang bersamaan dengan sebuah suara yang tak asing tiba-tiba terdengar.“Anda sudah siuman?” Dilihatnya pria paruh baya dengan pakaian rapi yang tahu-tahu telah berdiri di samping kiri. Mengecek laju selang infus yang tahu-tahu telah tertancap di punggung tangan sebelah kiri. “Saya terkejut mendengar Anda yang jatuh pingsan dari asisten Bapak Arsen tadi pagi. Tumben sekali. Tak biasanya Anda begini.”Dengan memberi anggukkan samar, Keith menyetujui. “Apa … yang kau beri tahu Arsen dan orang-orang pasal penyakitku?”Pria itu memberi senyuman. Terlih
Mendadak, pria itu menunjukkan rupa aslinya tadi malam. Menatapnya dengan sorot mata yang dingin juga begitu tajam. Namun dinginnya tatapan kedua mata pria itu bukan seperti biasanya. Bukan seperti yang sudah-sudah hingga dia bisa mengabaikannya.Tatapan dingin yang pria itu berikan padanya tadi malam begitu membekukan. Menjadikan seluruh tubuhnya gemetar. Dan akan terdengar bohong jika Keith berkata bila dia tak ketakutan. Kala bayang-bayang tajamnya sorot mata pria itu masih membekas di dada.Namun justru yang mendominasi isi kepalanya sekarang adalah bagaimana pria itu menghadapi para pelayan yang menggunjinginya di belakang dengan begitu … tampan.Ah, sialan. Harusnya semalam, Keith tidak usah bersusah payah berjalan. Meniti langkah hanya untuk menyusul Arsen yang bersikeras mengambilkan barangnya yang kemungkinan menghilang di ruang makan.Jadi, dia tak perlu mendengar bagaimana tampannya pria itu ketika bilang, “Bisa kalian ulangi, apa yang kalian bilang barusan?”Dengan kedua m
Kala dia datang, Mikail langsung menyambutnya dengan pembuka, “Sesuai dengan permintaan Anda, semua hidangan malam ini adalah masakan khas Turki.” Sembari menarik kursi besar yang menjadi tempatnya, laki-laki itu pun melanjutkan, “Nyonya Salim sedang bersiap. Sebentar lagi kemungkinan akan datang.”“Kamu lihat rupanya?” Arsen bertanya begitu sembari sedikit mendongak. “Ceritakan tentang dia.”“Cukup parah.” Mikail memulai sembari bertepuk tangan satu kali guna memanggil para pelayan. “Nyonya Salim rupanya termasuk ke dalam kategori manusia yang kelelahan sedikit saja akan terlihat perubahannya. Selain wajah yang berubah tirus, badannya agak kurus, kantung matanya menghitam, rambutnya kusam … sorot matanya juga datar. Tapi … entah mengapa saya merasakan emosi yang coba untuk ditahan.”Hanya dengan mendengar, Arsen sudah bisa membayangkan bagaimana kacaunya Keith sekarang. Entah masalah apa yang wanita itu coba selesaikan tanpa berkompromi dengannya.Tak biasanya. Meski hubungan mereka
Selepas menghilang dari acara perayaan pernikahan kedua mertuanya, figur Keith tak pernah lagi dia lihat di kala pulang. Bahkan kemarin, seharian Arsen menunggu. Menyempatkan diri untuk mencuri waktu agar mampu menghubungi Kepala Pelayan untuk mengabarinya jika ada tanda-tanda kepulangan wanita itu.Namun nihil. Hingga hari telah berganti, dan dia kembali pulang di malam hari pun tidak ada tanda-tanda bila Keith telah pulang. Menjadikan beban pikirnya bertambah dua kali lipat dari biasanya.Karena jujur saja jika boleh memilih, Arsen tentu akan pasrah kalau diberi beban kerjaan melimpah daripada harus menebak-nebak isi otak manusia yang paling tidak bisa dia tebak itu.“Bianca masih juga tak bisa dihubungi?” Arsen bertanya begitu sembari melangkah keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang melilit pinggangnya, juga handuk kecil yang dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya.Dan tanpa menunggu jawaban dari Mikail dia memberi perintah, “Segera amankan keadaan. Jangan sampai ada orang l