Stefano mulai melonggarkan pelukannya setelah menyadari jika tangisan Kinara mulai mereda. Ditatapnya Kinara dengan iba. Mata sembab dan hidung merah yang menghiasi wajahnya membuat Stefano tidak tega untuk bertanya perihal lamaran yang dilakukan William beberapa saat lalu.
Stefano membantu Kinara berdiri. Dirapikannya anak rambut yang menutupi wajah sembabnya sembari memberikan belaian ringan. Kinara memang cenderung akan meluapkan emosinya dengan tidak terkendali apabila dihadapkan dengan situasi yang membuat dirinya shock. Hal itu mulai terjadi semenjak kepergian orang tua mereka. Hal-hal kecil yang kadang membuatnya sedikit marah dan ketakutan akan dipendam hingga suatu ketika semua akan meledak jika ia dihadapkan dengan situasi yang tidak pernah ia inginkan.
“Dia jahat,” lirih Kinara yang masih bisa Stefano dengar “aku melihatnya menembak seseorang di parkiran kelab malam.” Stefano mengernyitkan alisnya mendengar penjelasan sang adik. William menembak seseorang adalah sebuah kemustahilan. Bagaimana bisa lelaki yang menangis kala kucingnya meninggal bisa membunuh seseorang.
“Kau mungkin salah lihat,” Kata Stefano menanggapi ucapan adiknya “tenangkan diri mu dulu Kinara, baru kau bisa memberikan penjelasan tentang peristiwa tadi.”
Kinara menatap nyalang ke arah Stefano. Ia tidak terima dengan apa yang diucapkan sang Kakak. Bagaimana mungkin Kinara salah lihat ketika ia dengan jelas bertemu tatap dengan lelaki gila yang melamarnya beberapa saat lalu di Parkiran Kelab malam itu. Maka tanpa membalas perkataan sang Kakak, Kinara menyabar tas yang tergelatak di lantai, berjalan dengan kasar ke arah pintu keluar tanpa memperdulikan Stefano yang tengah memanggil namanya. Dibantingnya pintu ruangan Stefano dengan begitu keras seakan memberi sinyal jika ia marah kepada sang Kakak. Ia tidak peduli dengan sekertaris Stefano yang memandangnya dengan heran. Kinara hanya ingin segera pergi dan menenangkan diri untuk saat ini.
Ditekannya tombol lift yang berada tidak jauh dari ruangan Stefano dengan kasar berharap jika pintu lift di depannya segera terbuka. Namun sepertinya petaka kembali menyapa Kinara ketika pintu lift di depannya terbuka secara perlahan. Lelaki gila yang beberapa waktu lalu melamarnya kini berdiri di hadapannya dengan senyum remeh yang membuat Kinara begitu muak. Tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan lelaki itu Kinara segera berbalik ke arah ruangan Stefano. Menghadapi Stefano lebih baik dari pada berhadapan dengan pembunuh gila itu, pikirnya saat ini. Namun cengkraman di pergelangan tangannya dan tarikan kasar berhasil membawa Kinara masuk ke dalam lift.
“Lepaskan diriku berengsek!” Kinara mencoba memberontak tapi tidak membuat cengkraman tersebut terlepas.
Lelaki itu melempar tubuh Kinara hingga membentur tembok lift dengan begitu keras. Kinara berani bertaruh jika punggungnya akan memar setelah ini mengingat benturan keras yang ia terima.
Belum sempat Kinara protes, ia kembali dikejutkan oleh tindakan yang dilakukan lelaki di depannya yang tiba-tiba menghimpit tubuh Kinara dengan tembok di belakangnya. Kinara semakin membeku ketika merasakan belaian halus pada rambutnya, ditambah aroma parfum maskulin yang begitu mendominasi membuat jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya.
“Tutup mulutmu dan berada di sampingku atau Stefano mati di tanganku.” Kinara membelalakkan mata mendengar ucapan lirih lelaki di depannya. Namun ia segera menutupi keterkejutannya dengan pandangan tajam ke arah lelaki itu. Ia tidak boleh terlihat lemah dan takut, pikirnya.
“Tidak akan semudah itu untuk membunuh Stefano,” Ucapnya sembari mendorong pelan tubuh besar di depannya. Ditunjukkan sebuah senyuman sinis seakan menantang apa yang dikatakan lelaki di hadapannya ini.
“Oh iya? Lalu bagaimana jika aku bermain dengan kekasih tersayangmu itu, sepertinya menarik.” Senyum sinis Kinara luntur seketika. Bagaimana bisa lelaki itu tahu jika Kinara memiliki seorang kekasih. Setelah melamarnya dengan tiba-tiba, kini lelaki itu berbicara mengenai kekasih Kinara, dia gila batin Kinara.
Belum sempat Kinara membalas perkataan lelaki di depannya pintu lift terbuka, menampilkan beberapa karyawan yang akan menaiki lift tersebut. Terlihat tatapan memuja dan kagum dari beberapa karyawan wanita di depan pintu lift ketika sosok lelaki di depannya ini menebar senyum manis. Ekspresi dingin dan senyum sinis yang ia tunjukkan kepada Kinara bebarapa saat lalu hilang tanpa jejak, membuat Kinara kembali membatin jika lelaki itu benar-bener gila.
“Sampai bertemu besok sayang, aku akan merindukanmu.” Sebuah usapan lembut kembali hinggap di kepala Kinara membuat beberapa karyawan wanita yang menyaksikan hal tersebut memekik tertahan. Sedangkan Kinara hanya berdiri dengan pandangan heran melihat perubahan sikap dari lelaki itu.
***
Kinara mengerang tertahan ketika ia melempar tubuhnya ke tempat tidur. Ia lupa jika dirinya mendapat benturan begitu keras di punggung akibat dorongan lelaki gila itu. Maka tanpa berpikir pajang ia segera melepas blazer yang dikenakan dan berlari ke arah cermin. Diangkatnya baju yang ia kenakan dan terlihat punggungnya mulusnya yang sedikit membiru.
“Bajingan itu benar-benar menghancurkan hariku,” keluhnya. Kinara butuh ketenangan sekarang, harinya benar-benar buruk setelah bertemu dengan lelaki itu. Dan sepertinya berendam di air hangat sembari menikmati segelas anggur merupakan pilihan yang tepat.
Baru saja ia ingin menyiapkan segala perlengkapan yang akan ia butuhkan untuk berendam sebelum sebuah ketukan dari luar pintu kamarnya mengintrupsi. Kinara mendesah pasrah mengetahui siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Padahal jam baru menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit kenapa Stefano sudah pulang. Biasanya kakak nya itu akan pulang menjelang tengah malam.
“Kinara aku tahu kau ada di dalam,” Suara tegas milik Stefano membuat Kinara bergidik ngeri. Tanpa membuat Stefano menunggu lebih lama, maka Kinara segera bergegas dan membuka pintu kamarnya.
Terlihat Stefano yang menatap datar ke arahnya. Kemeja milik lelaki itu terlihat kusut. Bahkan dua kancing teratasnya sudah tidak terpasang. Lengan yang digulung hingga siku dan rambut berantakan yang membuat penampilan Stefano semakin kacau.
“Aku tidak ada hubungan apapun dengan lelaki itu,” Ucap Kinara “harus berapa kali aku bilang pada mu, aku benar-benar tidak ada hubungan apapun dengan lelaki gila itu.”
“William namanya, bukan lelaki gila.” Ralat Stefano. Kinara mendelik tajam mendengar pembelaan dari Stefano kepada lelaki itu. Entah apa yang telah mereka berdua lakukan hingga membuat Stefano begitu membelanya. “Jika kau tidak memiliki hubungan dengannya, kenapa William tiba-tiba melamar mu di kantor ku? Atau kau benar-benar tidur dengannya?”
Kinara memejamkan mata mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Stefano. Bagaimana bisa Kakaknya menuduh dirinya telah tidur dengan lelaki lain. Kinara benar-benar tidak habis pikir dengan isi pikiran Stefano.
“Entah hubungan apa yang telah terjalin diantara kalian tapi aku adikmu Stef, dan bisa-bisanya kau menuduh adikmu sendiri tidur dengan lelaki lain disaat aku sendiri memiliki kekasih. Terserah kau lebih percaya pada dirinya atau aku sebagai adikmu, tapi satu yang pasti aku tidak memiliki hub…” Kinara menjeda ucapannya ketika teringat sesuatu. “tidak, aku punya hubungan dengannya. Iya aku memiliki hubunagn dengan lelaki itu. Sebagai seorang saksi dan tersangka dalam sebuah kasus pembunuhan.” Stefano membeku mendengar ucapan terakhir dari Kinara.
“Sya lo masuk mobil dulu. Gue mau ambil barang gue yang ketinggalan di kantornya Stef.” Belum sempat Harsya membalas ucapan William, lelaki itu sudah melangkahkan kaki menjauh. Harsya menghela napas melihat William memasuki lift yang akan membawanya menuju kantor Stefano. Entah apa yang ada di benak sahabatnya itu hingga melakukan hal gila. Melamar seorang wanita asing hanya karena menjadi saksi pembunuhan yang William lakukan. Biasanya William tidak akan ambil pusing dan akan menghabisi siapapun yang terlibat di tempat kejadian, entah mereka target atau hanya sekedar saksi yang melihat aksinya. Namun entah mengapa William malah ingin menjerat gadis itu dengan pernikahan. Tapi satu hal yang Harsya tahu dari wanita asing yang ternyata adik dari rekan bisnis sekaligus teman mereka adalah ia memiliki mata teduh mirip dengan mendiang adik William. Mungkin itu yang membuat William tidak bisa membunuhnya. Harsya menyandarkan tubuhnya pada kap depan mobil sembari memainkan
Kinara mengerang kesal memandang layar ponsel miliknya. Pasalnya sang kekasih – Alata tidak dapat dihubungi semenjak pagi tadi. Padahal semalam ia bilang akan sarapan bersama dengan Kinara, namun hingga jam menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit tidak ada tanda-tanda kemunculan Alata. Sepertinya Kinara harus rela untuk tidak bersarapan pagi ini, mengingat lima belas menit lagi ia akan meeting bersama dengan kliennya.Ini masih pagi tapi mengapa rasanya begitu menyebalkan. Dimulai dari Stefano yang mengabaikan dirinya setelah pernyataan yang ia lontarkan semalam, hingga sang kekasih yang mengingkari janjinya untuk sarapan bersama. Dihembuskan napas beratnya sebelum menyambar beberapa berkas yang telah ia siapkan untuk meeting pagi ini. Namun baru saja ia akan melangkah keluar dari ruang kerjanya, pintu ruangan itu terbuka dengan kasar dan menampilkan seorang lelaki gila yang begitu ia benci.“Selamat pagi sayang,” Sapanya dengan senyum manis
William tersenyum mengerikan seraya mengacungkan pistol ke arah pria yang kini tengah bersimpuh di hadapannya. Dion Aryatama—pria yang semasa sekolah selalu mengejek William hanya karena dirinya anak yatim piatu kini tengah memohon ampun dihadapannya. “Will, gue minta maaf. Gue tau gue salah Will, tapi gue mohon jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua baik-baik Will,” kata Dion dengan suara yang terdengar begitu putus asa. “Apa lo bilang? Bicarakan baik-baik? Setelah apa yang lo lakuin ke adik gue lo minta kita bicara dengan baik-baik?!” teriak William dengan penuh emosi. Dion menyeritkan alisnya mendengar teriakan William. Mengapa William berbicara tentang adiknya? Dion kira apa yang William lakukan sekarang adalah bentuk dari kekesalan semasa sekolah karena ia kerap mengejeknya. “Salsa, gadis yang ditemukan mati mengenaskan di Gudang Sekolah adalah adik gue.” Dion membelalakkan matanya mendengar perkataan William. “Dan lo! Dion Aryatama
Kinara terbangun dengan napas yang tidak beraturan, mimpi buruk. Ia melihat jam yang berada di sebelah nakasnya, pukul enam lebih tiga puluh menit. Dipejamkan matanya sejenak sembari mengatur napasnya yang terlihat masih memburu. Bayangan buruk akan kejadian semalam masih terekam jelas di dalam benak Kinara. Jika saja semalam ia tidak kembali lagi hanya untuk mengambil tas miliknya yang tertinggal, mungkin ia tidak akan menyaksikan kejadian buruk yang menimpa seorang pria malang. “Kinara, Abang berangkat dulu. Sarapannya sudah Abang siapin di meja makan.” Suara Stefano—kakak laki-laki Kinara terdengar dari depan pintu kamarnya. Setelah mendengar langkah kaki yang menjauh dari depan pintu kamarnya, Kinara mulai bangkit dari tempat tidur. Ia melangkahkan kakinya menuju ke arah jendela. Pikirannya masih saja terbayang akan kejadian semalam yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Seorang pria dengan keji menembak pria lain yang tengah bersimpuh memohon ampun. Entah
“Lo udah gila ya Will?” pertanyaan itu terdengar beberapa kali dari mulut Harsya. Pria itu masih tidak habis pikir dengan semua hal gila yang ada dibenak William. “Ini masih jam kerja,” sahut William dengan tegas. “Bodo amat dengan jam kerja. Lo mau pecat gue silahkan. Gue cuma mau memastikan hal gila yang ada dipikiranmu saat ini,” kata Harsya dengan menggebu-gebu. Ia pikir penjelasan dari William lebih penting daripada peraturan yang sudah mereka sepakati untuk selalu berbicara dengan sopan di tengah jam kerja. Karena ini menyangkut hidup sahabat Harsya kedepannya. William melirik sekilas tangan Harsya yang terlihat mencengkram kemudi dengan begitu erat. Pria itu sepertinya benar-benar kesal dengan pernyataan yang William lontarkan beberapa jam lalu. “Terus lo mau gue gimana? Bunuh dia juga supaya dia tetap tutup mulut?” tanya William dengan santai. “Itu jauh lebih gila!” teriak Harsya yang membuat William sedikit terlonjak. “Lo mau Stefano
Kinara masih berkutat dengan pekerjaannya sedari pagi. Ia bahkan melupakan jam makan siangnya hanya karena harus segera menyelesaikan pesanan kliennya yang akan diambil secara mendadak malam ini. Sedangkan Alata sudah pergi sejak pagi tadi setelah ia memberikan sebuah ciuman untuk kekasihnya yang sedang panik dikejar deadline. “Masuk!” teriak Kinara ketika sebuah ketukan dari luar pintu terdengar. Terlihat Caca sang sekertaris yang berjalan sedikit tergesa ke arahnya dengan membawa sebuah ponsel di tangannya. “Aku sudah menghubungi Mrs. Lala Ca, jadi kamu nggak usah panik juga. Pesanannya juga bisa selesai malam ini” ucap Kinara ketika Caca sudah berada di dekatnya. “Bukan masalah pesanan Mrs. Lala mbak, ini telepon dari Pak Stefano,” Kinara mengernyit mendengar perkataan sang sekretaris. Mengapa kakaknya menghubunginya melalui ponsel Caca? Padahal ia bisa langsung menghubungi Kinara lewat ponsel Kinara sendiri. “Ponsel mbak Kinara katanya nggak aktif
William mengambil napas dengan dalam dan menghembuskannya secara perlahan sebelum kemudian berkata “Stef aku ingin melamar adikmu,” Stefano mendelik mendengar pernyataan tiba-tiba dari laki-laki di depannya ini. Apa katanya barusan? Ia ingin melamar Adiknya? Dari mana William tahu tentang adiknya sedangkan Stefano sendiri tidak pernah sekalipun menyinggung keberadaan sang adik. “Dari mana kau tahu aku mempunyai seorang adik?” tanyanya menyelidik. “Stef sebelumnya aku menjawab pertanyaanmu aku minta maaf.” Stefano memandang dengan tatapan tajam ke arah William yang kini tengah mengambil napas dan menghembuskannya untuk kedua kali. Seakan apa yang akan disampaikan adalah sesuatu hal yang besar. “Aku bertemu dengannya semalam di kelab, dan dia mengatakan jika kau adalah kakaknya,” William menjeda ucapannya. Ia memandang Harsya yang kini sedang berdiri dengan gugup di sebelahnya. “dan kita melakukan sesuatu hal yang tidak terduga,” Stefano menatap tajam k
Kinara mengerang kesal memandang layar ponsel miliknya. Pasalnya sang kekasih – Alata tidak dapat dihubungi semenjak pagi tadi. Padahal semalam ia bilang akan sarapan bersama dengan Kinara, namun hingga jam menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit tidak ada tanda-tanda kemunculan Alata. Sepertinya Kinara harus rela untuk tidak bersarapan pagi ini, mengingat lima belas menit lagi ia akan meeting bersama dengan kliennya.Ini masih pagi tapi mengapa rasanya begitu menyebalkan. Dimulai dari Stefano yang mengabaikan dirinya setelah pernyataan yang ia lontarkan semalam, hingga sang kekasih yang mengingkari janjinya untuk sarapan bersama. Dihembuskan napas beratnya sebelum menyambar beberapa berkas yang telah ia siapkan untuk meeting pagi ini. Namun baru saja ia akan melangkah keluar dari ruang kerjanya, pintu ruangan itu terbuka dengan kasar dan menampilkan seorang lelaki gila yang begitu ia benci.“Selamat pagi sayang,” Sapanya dengan senyum manis
“Sya lo masuk mobil dulu. Gue mau ambil barang gue yang ketinggalan di kantornya Stef.” Belum sempat Harsya membalas ucapan William, lelaki itu sudah melangkahkan kaki menjauh. Harsya menghela napas melihat William memasuki lift yang akan membawanya menuju kantor Stefano. Entah apa yang ada di benak sahabatnya itu hingga melakukan hal gila. Melamar seorang wanita asing hanya karena menjadi saksi pembunuhan yang William lakukan. Biasanya William tidak akan ambil pusing dan akan menghabisi siapapun yang terlibat di tempat kejadian, entah mereka target atau hanya sekedar saksi yang melihat aksinya. Namun entah mengapa William malah ingin menjerat gadis itu dengan pernikahan. Tapi satu hal yang Harsya tahu dari wanita asing yang ternyata adik dari rekan bisnis sekaligus teman mereka adalah ia memiliki mata teduh mirip dengan mendiang adik William. Mungkin itu yang membuat William tidak bisa membunuhnya. Harsya menyandarkan tubuhnya pada kap depan mobil sembari memainkan
Stefano mulai melonggarkan pelukannya setelah menyadari jika tangisan Kinara mulai mereda. Ditatapnya Kinara dengan iba. Mata sembab dan hidung merah yang menghiasi wajahnya membuat Stefano tidak tega untuk bertanya perihal lamaran yang dilakukan William beberapa saat lalu.Stefano membantu Kinara berdiri. Dirapikannya anak rambut yang menutupi wajah sembabnya sembari memberikan belaian ringan. Kinara memang cenderung akan meluapkan emosinya dengan tidak terkendali apabila dihadapkan dengan situasi yang membuat dirinya shock. Hal itu mulai terjadi semenjak kepergian orang tua mereka. Hal-hal kecil yang kadang membuatnya sedikit marah dan ketakutan akan dipendam hingga suatu ketika semua akan meledak jika ia dihadapkan dengan situasi yang tidak pernah ia inginkan.“Dia jahat,” lirih Kinara yang masih bisa Stefano dengar “aku melihatnya menembak seseorang di parkiran kelab malam.” Stefano mengernyitkan alisnya mendengar penjelasan sang adik. Willi
William mengambil napas dengan dalam dan menghembuskannya secara perlahan sebelum kemudian berkata “Stef aku ingin melamar adikmu,” Stefano mendelik mendengar pernyataan tiba-tiba dari laki-laki di depannya ini. Apa katanya barusan? Ia ingin melamar Adiknya? Dari mana William tahu tentang adiknya sedangkan Stefano sendiri tidak pernah sekalipun menyinggung keberadaan sang adik. “Dari mana kau tahu aku mempunyai seorang adik?” tanyanya menyelidik. “Stef sebelumnya aku menjawab pertanyaanmu aku minta maaf.” Stefano memandang dengan tatapan tajam ke arah William yang kini tengah mengambil napas dan menghembuskannya untuk kedua kali. Seakan apa yang akan disampaikan adalah sesuatu hal yang besar. “Aku bertemu dengannya semalam di kelab, dan dia mengatakan jika kau adalah kakaknya,” William menjeda ucapannya. Ia memandang Harsya yang kini sedang berdiri dengan gugup di sebelahnya. “dan kita melakukan sesuatu hal yang tidak terduga,” Stefano menatap tajam k
Kinara masih berkutat dengan pekerjaannya sedari pagi. Ia bahkan melupakan jam makan siangnya hanya karena harus segera menyelesaikan pesanan kliennya yang akan diambil secara mendadak malam ini. Sedangkan Alata sudah pergi sejak pagi tadi setelah ia memberikan sebuah ciuman untuk kekasihnya yang sedang panik dikejar deadline. “Masuk!” teriak Kinara ketika sebuah ketukan dari luar pintu terdengar. Terlihat Caca sang sekertaris yang berjalan sedikit tergesa ke arahnya dengan membawa sebuah ponsel di tangannya. “Aku sudah menghubungi Mrs. Lala Ca, jadi kamu nggak usah panik juga. Pesanannya juga bisa selesai malam ini” ucap Kinara ketika Caca sudah berada di dekatnya. “Bukan masalah pesanan Mrs. Lala mbak, ini telepon dari Pak Stefano,” Kinara mengernyit mendengar perkataan sang sekretaris. Mengapa kakaknya menghubunginya melalui ponsel Caca? Padahal ia bisa langsung menghubungi Kinara lewat ponsel Kinara sendiri. “Ponsel mbak Kinara katanya nggak aktif
“Lo udah gila ya Will?” pertanyaan itu terdengar beberapa kali dari mulut Harsya. Pria itu masih tidak habis pikir dengan semua hal gila yang ada dibenak William. “Ini masih jam kerja,” sahut William dengan tegas. “Bodo amat dengan jam kerja. Lo mau pecat gue silahkan. Gue cuma mau memastikan hal gila yang ada dipikiranmu saat ini,” kata Harsya dengan menggebu-gebu. Ia pikir penjelasan dari William lebih penting daripada peraturan yang sudah mereka sepakati untuk selalu berbicara dengan sopan di tengah jam kerja. Karena ini menyangkut hidup sahabat Harsya kedepannya. William melirik sekilas tangan Harsya yang terlihat mencengkram kemudi dengan begitu erat. Pria itu sepertinya benar-benar kesal dengan pernyataan yang William lontarkan beberapa jam lalu. “Terus lo mau gue gimana? Bunuh dia juga supaya dia tetap tutup mulut?” tanya William dengan santai. “Itu jauh lebih gila!” teriak Harsya yang membuat William sedikit terlonjak. “Lo mau Stefano
Kinara terbangun dengan napas yang tidak beraturan, mimpi buruk. Ia melihat jam yang berada di sebelah nakasnya, pukul enam lebih tiga puluh menit. Dipejamkan matanya sejenak sembari mengatur napasnya yang terlihat masih memburu. Bayangan buruk akan kejadian semalam masih terekam jelas di dalam benak Kinara. Jika saja semalam ia tidak kembali lagi hanya untuk mengambil tas miliknya yang tertinggal, mungkin ia tidak akan menyaksikan kejadian buruk yang menimpa seorang pria malang. “Kinara, Abang berangkat dulu. Sarapannya sudah Abang siapin di meja makan.” Suara Stefano—kakak laki-laki Kinara terdengar dari depan pintu kamarnya. Setelah mendengar langkah kaki yang menjauh dari depan pintu kamarnya, Kinara mulai bangkit dari tempat tidur. Ia melangkahkan kakinya menuju ke arah jendela. Pikirannya masih saja terbayang akan kejadian semalam yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Seorang pria dengan keji menembak pria lain yang tengah bersimpuh memohon ampun. Entah
William tersenyum mengerikan seraya mengacungkan pistol ke arah pria yang kini tengah bersimpuh di hadapannya. Dion Aryatama—pria yang semasa sekolah selalu mengejek William hanya karena dirinya anak yatim piatu kini tengah memohon ampun dihadapannya. “Will, gue minta maaf. Gue tau gue salah Will, tapi gue mohon jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua baik-baik Will,” kata Dion dengan suara yang terdengar begitu putus asa. “Apa lo bilang? Bicarakan baik-baik? Setelah apa yang lo lakuin ke adik gue lo minta kita bicara dengan baik-baik?!” teriak William dengan penuh emosi. Dion menyeritkan alisnya mendengar teriakan William. Mengapa William berbicara tentang adiknya? Dion kira apa yang William lakukan sekarang adalah bentuk dari kekesalan semasa sekolah karena ia kerap mengejeknya. “Salsa, gadis yang ditemukan mati mengenaskan di Gudang Sekolah adalah adik gue.” Dion membelalakkan matanya mendengar perkataan William. “Dan lo! Dion Aryatama