Kinara terbangun dengan napas yang tidak beraturan, mimpi buruk. Ia melihat jam yang berada di sebelah nakasnya, pukul enam lebih tiga puluh menit. Dipejamkan matanya sejenak sembari mengatur napasnya yang terlihat masih memburu. Bayangan buruk akan kejadian semalam masih terekam jelas di dalam benak Kinara. Jika saja semalam ia tidak kembali lagi hanya untuk mengambil tas miliknya yang tertinggal, mungkin ia tidak akan menyaksikan kejadian buruk yang menimpa seorang pria malang.
“Kinara, Abang berangkat dulu. Sarapannya sudah Abang siapin di meja makan.” Suara Stefano—kakak laki-laki Kinara terdengar dari depan pintu kamarnya.
Setelah mendengar langkah kaki yang menjauh dari depan pintu kamarnya, Kinara mulai bangkit dari tempat tidur. Ia melangkahkan kakinya menuju ke arah jendela. Pikirannya masih saja terbayang akan kejadian semalam yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Seorang pria dengan keji menembak pria lain yang tengah bersimpuh memohon ampun. Entah perselisihan apa yang terjadi diantara mereka, namun ia tidak pernah membenarkan tindakan menghilangkan nyawa seseorang.
Deringan ponsel dari nakas samping tempat tidur membuat Kinara terkejut. Ia menoleh sejenak sebelum melangkahkan kakinya mengambil benda yang kini tengah berdering dengan keras. Kinara menghembuskan napasnya ketika mengetahui siapa yang menelpon dirinya sepagi ini. Surya—nama yang tertera di layar ponsel miliknya.
“Halo,” sapanya dengan malas.
Kinara memejamkan matanya ketika mendengar segala bentuk pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Kinara yakin Surya tidak akan melepasnya begitu saja setelah dirinya yang tiba-tiba pergi begitu saja dari pesta semalam. Sahabatnya itu tahu jika ada sesuatu yang janggal pada Kinara ketika ia kembali dengan wajah pucat dan berpamitan untuk segera pulang.
“Kasih gue waktu buat jelasin semuanya,” jawabnya. Kinara rasa menceritakan semua kejadian yang ia lihat semalam kepada Surya bukanlah hal yang tepat untuk sekarang. Yang terpenting saat ini adalah menenangkan dirinya terlebih dahulu agar ia bisa melupakan semua kejadian itu.
“Udah dulu ya Sur, gue mau siap-siap buat ke butik,” balasnya setelah ia mendapat beberapa protes dari Surya karena tidak ingin menceritakan apa yang dialaminya semalam.
Kinara melemparkan ponsel miliknya ke arah tempat tidur setelah ia memutuskan panggilan dengan Surya. Ia mendudukkan diri sejenak sebelum kemudian melangkah ke arah kamar mandi. Kinara harus mandi dan mencari udara segar setelah ini agar pikirannya bisa jernih kembali.
***
Diserapnya kopi yang tersaji di depannya sembari memandang para pejalan kaki dari dalam café. Kinara memutuskan untuk minum segelas kopi pagi ini di café dekat butiknya. Ia merasa harus menenangkan pikirannya terlebih dahulu sebelum memulai pekerjaannya. Dipandangnya sekeliling café yang terlihat sedikit senggang pagi ini. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang menikmati hidangan di hadapannya. Mungkin mereka beberapa orang yang belum sempat sarapan di rumah mereka.
Kinara kembali mengalihkan pandangannya ketika sebuah notifikasi pesan dari ponselnya berbunyi. Sang sekertaris yang menanyakan keberadaan dirinya. Namun belum sempat ia membalas pesan dari sekretarisnya, sebuah pesan baru muncul dan berhasil membuat senyum Kinara mengembang. Pesan manis dari sang kekasih—Atala Virzi yang mengatakan jika ia menunggu Kinara di depan butik perempuan itu.
Diambilnya segera tas miliknya yang ia letakkan di kursi kosong sebelahnya setelah membalas pesan dari sang sekertaris dan juga sang kekasih. Ia melangkah kakinya keluar café dengan riang, seakan lupa akan semua mimpi buruk yang baru menimpanya beberapa jam lalu.
Jarak antara café dan butik miliknya tidaklah jauh. Hanya membutuhkan sekitar sepuluh menit berjalan ia sudah bisa melihat pintu masuk butik miliknya. Senyum Kinara kembali mengembang ketika ia mendapati sang kekasih tengah menunggunya tepat didepan pintu masuk. Maka tanpa membuang waktu, ia sedikit mempercepat langkah kakinya agar segera sampai dan menyambut kekasih hatinya.
“Hai,” sapa lelaki yang kini tengah memandang ke arah Kinara dengan mata teduhnya. Tanpa berpikir panjang ia segera berlari dan memeluk lelaki jakung yang sedikit terkejut dengan tindakan Kinara. “Are you okay?” tanyanya.
Kinara menganggukkan kepalanya tanpa berniat melepas pelukannya. Ia semakin mengeratkan dan menenggelamkan wajahnya ke dada Atala. Meskipun ada rasa penasaran dalam diri Atala ia memutuskan untuk tetap memeluk kekasihnya tanpa bertanya lebih lanjut.
Hampir satu menit pasangan kekasih itu berdiam sambil berpelukan di depan pintu masuk butik, hingga kemudian Kinara mulai melepaskan pelukan eratnya dan menatap mata sang kekasih. Ada sebuah ketenangan ketika ia bertemu tatap dengan mata teduh milik Atala.
“Sudah sedikit membaik?” Alata bertanya dengan suara yang begitu halus.
Kinara kembali mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Alata sebelum kemudian menggenggam tangan sang kekasih dan menuntunnya untuk mengikuti langkah kakinya masuk kedalam butik.
“Mbak Kinara.” langkah sepasang kekasih itu harus terhenti ketika seorang wanita menghampiri mereka. Caca—sekertaris Kinara yang beberapa menit lalu mengirim pesan menanyakan keberadaan Kinara kini tengah berdiri dengan sedikit gelisah.
“Iya ca,” sahut Kinara ketika menyadari kegugupan dari sang sekretaris. “Ada masalah?” tanyanya.
“Ada sedikit masalah dengan pesanan dari Mrs. Lala.” Caca memainkan kuku jarinya untuk menghilangkan rasa gelisahnya sebelum kemudian kembali berkata.”beliau ingin pesanannya diselesaikan hari ini,”
Kinara membelalakkan matanya mendengar perkataan Caca. Bukannya gaun pesanan Mrs. Lala baru akan diambil minggu depan, bagaimana bisa ia ingin selesai malam ini. Yang benar saja.
“Bukannya gaun pesanannya baru akan diambil minggu depan?” tanya Kinara kepada sang sekretaris.
“Seharusnya iya. Tapi Mrs. Lala bilang jika acara yang dihadirinya mengalami perubahan dan maju hari ini,” jelas Caca.
Kinara memejamkan mata dan mencoba mengatur napasnya ketika emosi mulai melanda dirinya. Ia tidak ingin meledak di pagi hari ini. Sudah cukup segala kejadian dan mimpi buruk ia rasakan semalam. Hari ini ia ingin sedikit menenangkan pikirannya.
“Berikan nomor telepon milik Mrs. Lala,” perintah Kinara kepada sang sekretaris. Tanpa membuat Kinara menunggu maka segera diserahkannya sebuah lembaran berisi nomor dan juga rincian pesanan dari kliennya yang bernama Mrs. Lala itu.
Dilihatnya sejenak data yang ada di tangannya, kemudian melangkahkan kakinya menuju ruangannya meninggalkan Caca dan Alata begitu saja. Kinara terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di ponsel miliknya dan berjalan sedikit tergesa ke arah ruang kerja pribadinya.
“Pak Alata,” sapa Caca ketika mendapati lelaki itu masih berdiam diri dihadapannya.
Alata tersenyum membalas sapaan Caca dan kemudian melangkahkan kakinya mengikuti Kinara yang kini terlihat sudah masuk kedalam ruang kerjanya terlebih dahulu. Alata tidak heran dengan tingkah Kinara yang tiba-tiba meninggalkannya begitu saja. Wanita itu akan melupakan apapun yang ada disampingnya ketika kepanikan mulai menghampirinya. Alata awalnya kesal dengan hal itu, namun setelah hampir tiga tahun menjalani hubungan dengan Kinara ia bisa memaklumi kebiasaan buruk wanita itu dan mulai bisa menerimanya.
“Lo udah gila ya Will?” pertanyaan itu terdengar beberapa kali dari mulut Harsya. Pria itu masih tidak habis pikir dengan semua hal gila yang ada dibenak William. “Ini masih jam kerja,” sahut William dengan tegas. “Bodo amat dengan jam kerja. Lo mau pecat gue silahkan. Gue cuma mau memastikan hal gila yang ada dipikiranmu saat ini,” kata Harsya dengan menggebu-gebu. Ia pikir penjelasan dari William lebih penting daripada peraturan yang sudah mereka sepakati untuk selalu berbicara dengan sopan di tengah jam kerja. Karena ini menyangkut hidup sahabat Harsya kedepannya. William melirik sekilas tangan Harsya yang terlihat mencengkram kemudi dengan begitu erat. Pria itu sepertinya benar-benar kesal dengan pernyataan yang William lontarkan beberapa jam lalu. “Terus lo mau gue gimana? Bunuh dia juga supaya dia tetap tutup mulut?” tanya William dengan santai. “Itu jauh lebih gila!” teriak Harsya yang membuat William sedikit terlonjak. “Lo mau Stefano
Kinara masih berkutat dengan pekerjaannya sedari pagi. Ia bahkan melupakan jam makan siangnya hanya karena harus segera menyelesaikan pesanan kliennya yang akan diambil secara mendadak malam ini. Sedangkan Alata sudah pergi sejak pagi tadi setelah ia memberikan sebuah ciuman untuk kekasihnya yang sedang panik dikejar deadline. “Masuk!” teriak Kinara ketika sebuah ketukan dari luar pintu terdengar. Terlihat Caca sang sekertaris yang berjalan sedikit tergesa ke arahnya dengan membawa sebuah ponsel di tangannya. “Aku sudah menghubungi Mrs. Lala Ca, jadi kamu nggak usah panik juga. Pesanannya juga bisa selesai malam ini” ucap Kinara ketika Caca sudah berada di dekatnya. “Bukan masalah pesanan Mrs. Lala mbak, ini telepon dari Pak Stefano,” Kinara mengernyit mendengar perkataan sang sekretaris. Mengapa kakaknya menghubunginya melalui ponsel Caca? Padahal ia bisa langsung menghubungi Kinara lewat ponsel Kinara sendiri. “Ponsel mbak Kinara katanya nggak aktif
William mengambil napas dengan dalam dan menghembuskannya secara perlahan sebelum kemudian berkata “Stef aku ingin melamar adikmu,” Stefano mendelik mendengar pernyataan tiba-tiba dari laki-laki di depannya ini. Apa katanya barusan? Ia ingin melamar Adiknya? Dari mana William tahu tentang adiknya sedangkan Stefano sendiri tidak pernah sekalipun menyinggung keberadaan sang adik. “Dari mana kau tahu aku mempunyai seorang adik?” tanyanya menyelidik. “Stef sebelumnya aku menjawab pertanyaanmu aku minta maaf.” Stefano memandang dengan tatapan tajam ke arah William yang kini tengah mengambil napas dan menghembuskannya untuk kedua kali. Seakan apa yang akan disampaikan adalah sesuatu hal yang besar. “Aku bertemu dengannya semalam di kelab, dan dia mengatakan jika kau adalah kakaknya,” William menjeda ucapannya. Ia memandang Harsya yang kini sedang berdiri dengan gugup di sebelahnya. “dan kita melakukan sesuatu hal yang tidak terduga,” Stefano menatap tajam k
Stefano mulai melonggarkan pelukannya setelah menyadari jika tangisan Kinara mulai mereda. Ditatapnya Kinara dengan iba. Mata sembab dan hidung merah yang menghiasi wajahnya membuat Stefano tidak tega untuk bertanya perihal lamaran yang dilakukan William beberapa saat lalu.Stefano membantu Kinara berdiri. Dirapikannya anak rambut yang menutupi wajah sembabnya sembari memberikan belaian ringan. Kinara memang cenderung akan meluapkan emosinya dengan tidak terkendali apabila dihadapkan dengan situasi yang membuat dirinya shock. Hal itu mulai terjadi semenjak kepergian orang tua mereka. Hal-hal kecil yang kadang membuatnya sedikit marah dan ketakutan akan dipendam hingga suatu ketika semua akan meledak jika ia dihadapkan dengan situasi yang tidak pernah ia inginkan.“Dia jahat,” lirih Kinara yang masih bisa Stefano dengar “aku melihatnya menembak seseorang di parkiran kelab malam.” Stefano mengernyitkan alisnya mendengar penjelasan sang adik. Willi
“Sya lo masuk mobil dulu. Gue mau ambil barang gue yang ketinggalan di kantornya Stef.” Belum sempat Harsya membalas ucapan William, lelaki itu sudah melangkahkan kaki menjauh. Harsya menghela napas melihat William memasuki lift yang akan membawanya menuju kantor Stefano. Entah apa yang ada di benak sahabatnya itu hingga melakukan hal gila. Melamar seorang wanita asing hanya karena menjadi saksi pembunuhan yang William lakukan. Biasanya William tidak akan ambil pusing dan akan menghabisi siapapun yang terlibat di tempat kejadian, entah mereka target atau hanya sekedar saksi yang melihat aksinya. Namun entah mengapa William malah ingin menjerat gadis itu dengan pernikahan. Tapi satu hal yang Harsya tahu dari wanita asing yang ternyata adik dari rekan bisnis sekaligus teman mereka adalah ia memiliki mata teduh mirip dengan mendiang adik William. Mungkin itu yang membuat William tidak bisa membunuhnya. Harsya menyandarkan tubuhnya pada kap depan mobil sembari memainkan
Kinara mengerang kesal memandang layar ponsel miliknya. Pasalnya sang kekasih – Alata tidak dapat dihubungi semenjak pagi tadi. Padahal semalam ia bilang akan sarapan bersama dengan Kinara, namun hingga jam menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit tidak ada tanda-tanda kemunculan Alata. Sepertinya Kinara harus rela untuk tidak bersarapan pagi ini, mengingat lima belas menit lagi ia akan meeting bersama dengan kliennya.Ini masih pagi tapi mengapa rasanya begitu menyebalkan. Dimulai dari Stefano yang mengabaikan dirinya setelah pernyataan yang ia lontarkan semalam, hingga sang kekasih yang mengingkari janjinya untuk sarapan bersama. Dihembuskan napas beratnya sebelum menyambar beberapa berkas yang telah ia siapkan untuk meeting pagi ini. Namun baru saja ia akan melangkah keluar dari ruang kerjanya, pintu ruangan itu terbuka dengan kasar dan menampilkan seorang lelaki gila yang begitu ia benci.“Selamat pagi sayang,” Sapanya dengan senyum manis
William tersenyum mengerikan seraya mengacungkan pistol ke arah pria yang kini tengah bersimpuh di hadapannya. Dion Aryatama—pria yang semasa sekolah selalu mengejek William hanya karena dirinya anak yatim piatu kini tengah memohon ampun dihadapannya. “Will, gue minta maaf. Gue tau gue salah Will, tapi gue mohon jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua baik-baik Will,” kata Dion dengan suara yang terdengar begitu putus asa. “Apa lo bilang? Bicarakan baik-baik? Setelah apa yang lo lakuin ke adik gue lo minta kita bicara dengan baik-baik?!” teriak William dengan penuh emosi. Dion menyeritkan alisnya mendengar teriakan William. Mengapa William berbicara tentang adiknya? Dion kira apa yang William lakukan sekarang adalah bentuk dari kekesalan semasa sekolah karena ia kerap mengejeknya. “Salsa, gadis yang ditemukan mati mengenaskan di Gudang Sekolah adalah adik gue.” Dion membelalakkan matanya mendengar perkataan William. “Dan lo! Dion Aryatama
Kinara mengerang kesal memandang layar ponsel miliknya. Pasalnya sang kekasih – Alata tidak dapat dihubungi semenjak pagi tadi. Padahal semalam ia bilang akan sarapan bersama dengan Kinara, namun hingga jam menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit tidak ada tanda-tanda kemunculan Alata. Sepertinya Kinara harus rela untuk tidak bersarapan pagi ini, mengingat lima belas menit lagi ia akan meeting bersama dengan kliennya.Ini masih pagi tapi mengapa rasanya begitu menyebalkan. Dimulai dari Stefano yang mengabaikan dirinya setelah pernyataan yang ia lontarkan semalam, hingga sang kekasih yang mengingkari janjinya untuk sarapan bersama. Dihembuskan napas beratnya sebelum menyambar beberapa berkas yang telah ia siapkan untuk meeting pagi ini. Namun baru saja ia akan melangkah keluar dari ruang kerjanya, pintu ruangan itu terbuka dengan kasar dan menampilkan seorang lelaki gila yang begitu ia benci.“Selamat pagi sayang,” Sapanya dengan senyum manis
“Sya lo masuk mobil dulu. Gue mau ambil barang gue yang ketinggalan di kantornya Stef.” Belum sempat Harsya membalas ucapan William, lelaki itu sudah melangkahkan kaki menjauh. Harsya menghela napas melihat William memasuki lift yang akan membawanya menuju kantor Stefano. Entah apa yang ada di benak sahabatnya itu hingga melakukan hal gila. Melamar seorang wanita asing hanya karena menjadi saksi pembunuhan yang William lakukan. Biasanya William tidak akan ambil pusing dan akan menghabisi siapapun yang terlibat di tempat kejadian, entah mereka target atau hanya sekedar saksi yang melihat aksinya. Namun entah mengapa William malah ingin menjerat gadis itu dengan pernikahan. Tapi satu hal yang Harsya tahu dari wanita asing yang ternyata adik dari rekan bisnis sekaligus teman mereka adalah ia memiliki mata teduh mirip dengan mendiang adik William. Mungkin itu yang membuat William tidak bisa membunuhnya. Harsya menyandarkan tubuhnya pada kap depan mobil sembari memainkan
Stefano mulai melonggarkan pelukannya setelah menyadari jika tangisan Kinara mulai mereda. Ditatapnya Kinara dengan iba. Mata sembab dan hidung merah yang menghiasi wajahnya membuat Stefano tidak tega untuk bertanya perihal lamaran yang dilakukan William beberapa saat lalu.Stefano membantu Kinara berdiri. Dirapikannya anak rambut yang menutupi wajah sembabnya sembari memberikan belaian ringan. Kinara memang cenderung akan meluapkan emosinya dengan tidak terkendali apabila dihadapkan dengan situasi yang membuat dirinya shock. Hal itu mulai terjadi semenjak kepergian orang tua mereka. Hal-hal kecil yang kadang membuatnya sedikit marah dan ketakutan akan dipendam hingga suatu ketika semua akan meledak jika ia dihadapkan dengan situasi yang tidak pernah ia inginkan.“Dia jahat,” lirih Kinara yang masih bisa Stefano dengar “aku melihatnya menembak seseorang di parkiran kelab malam.” Stefano mengernyitkan alisnya mendengar penjelasan sang adik. Willi
William mengambil napas dengan dalam dan menghembuskannya secara perlahan sebelum kemudian berkata “Stef aku ingin melamar adikmu,” Stefano mendelik mendengar pernyataan tiba-tiba dari laki-laki di depannya ini. Apa katanya barusan? Ia ingin melamar Adiknya? Dari mana William tahu tentang adiknya sedangkan Stefano sendiri tidak pernah sekalipun menyinggung keberadaan sang adik. “Dari mana kau tahu aku mempunyai seorang adik?” tanyanya menyelidik. “Stef sebelumnya aku menjawab pertanyaanmu aku minta maaf.” Stefano memandang dengan tatapan tajam ke arah William yang kini tengah mengambil napas dan menghembuskannya untuk kedua kali. Seakan apa yang akan disampaikan adalah sesuatu hal yang besar. “Aku bertemu dengannya semalam di kelab, dan dia mengatakan jika kau adalah kakaknya,” William menjeda ucapannya. Ia memandang Harsya yang kini sedang berdiri dengan gugup di sebelahnya. “dan kita melakukan sesuatu hal yang tidak terduga,” Stefano menatap tajam k
Kinara masih berkutat dengan pekerjaannya sedari pagi. Ia bahkan melupakan jam makan siangnya hanya karena harus segera menyelesaikan pesanan kliennya yang akan diambil secara mendadak malam ini. Sedangkan Alata sudah pergi sejak pagi tadi setelah ia memberikan sebuah ciuman untuk kekasihnya yang sedang panik dikejar deadline. “Masuk!” teriak Kinara ketika sebuah ketukan dari luar pintu terdengar. Terlihat Caca sang sekertaris yang berjalan sedikit tergesa ke arahnya dengan membawa sebuah ponsel di tangannya. “Aku sudah menghubungi Mrs. Lala Ca, jadi kamu nggak usah panik juga. Pesanannya juga bisa selesai malam ini” ucap Kinara ketika Caca sudah berada di dekatnya. “Bukan masalah pesanan Mrs. Lala mbak, ini telepon dari Pak Stefano,” Kinara mengernyit mendengar perkataan sang sekretaris. Mengapa kakaknya menghubunginya melalui ponsel Caca? Padahal ia bisa langsung menghubungi Kinara lewat ponsel Kinara sendiri. “Ponsel mbak Kinara katanya nggak aktif
“Lo udah gila ya Will?” pertanyaan itu terdengar beberapa kali dari mulut Harsya. Pria itu masih tidak habis pikir dengan semua hal gila yang ada dibenak William. “Ini masih jam kerja,” sahut William dengan tegas. “Bodo amat dengan jam kerja. Lo mau pecat gue silahkan. Gue cuma mau memastikan hal gila yang ada dipikiranmu saat ini,” kata Harsya dengan menggebu-gebu. Ia pikir penjelasan dari William lebih penting daripada peraturan yang sudah mereka sepakati untuk selalu berbicara dengan sopan di tengah jam kerja. Karena ini menyangkut hidup sahabat Harsya kedepannya. William melirik sekilas tangan Harsya yang terlihat mencengkram kemudi dengan begitu erat. Pria itu sepertinya benar-benar kesal dengan pernyataan yang William lontarkan beberapa jam lalu. “Terus lo mau gue gimana? Bunuh dia juga supaya dia tetap tutup mulut?” tanya William dengan santai. “Itu jauh lebih gila!” teriak Harsya yang membuat William sedikit terlonjak. “Lo mau Stefano
Kinara terbangun dengan napas yang tidak beraturan, mimpi buruk. Ia melihat jam yang berada di sebelah nakasnya, pukul enam lebih tiga puluh menit. Dipejamkan matanya sejenak sembari mengatur napasnya yang terlihat masih memburu. Bayangan buruk akan kejadian semalam masih terekam jelas di dalam benak Kinara. Jika saja semalam ia tidak kembali lagi hanya untuk mengambil tas miliknya yang tertinggal, mungkin ia tidak akan menyaksikan kejadian buruk yang menimpa seorang pria malang. “Kinara, Abang berangkat dulu. Sarapannya sudah Abang siapin di meja makan.” Suara Stefano—kakak laki-laki Kinara terdengar dari depan pintu kamarnya. Setelah mendengar langkah kaki yang menjauh dari depan pintu kamarnya, Kinara mulai bangkit dari tempat tidur. Ia melangkahkan kakinya menuju ke arah jendela. Pikirannya masih saja terbayang akan kejadian semalam yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Seorang pria dengan keji menembak pria lain yang tengah bersimpuh memohon ampun. Entah
William tersenyum mengerikan seraya mengacungkan pistol ke arah pria yang kini tengah bersimpuh di hadapannya. Dion Aryatama—pria yang semasa sekolah selalu mengejek William hanya karena dirinya anak yatim piatu kini tengah memohon ampun dihadapannya. “Will, gue minta maaf. Gue tau gue salah Will, tapi gue mohon jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua baik-baik Will,” kata Dion dengan suara yang terdengar begitu putus asa. “Apa lo bilang? Bicarakan baik-baik? Setelah apa yang lo lakuin ke adik gue lo minta kita bicara dengan baik-baik?!” teriak William dengan penuh emosi. Dion menyeritkan alisnya mendengar teriakan William. Mengapa William berbicara tentang adiknya? Dion kira apa yang William lakukan sekarang adalah bentuk dari kekesalan semasa sekolah karena ia kerap mengejeknya. “Salsa, gadis yang ditemukan mati mengenaskan di Gudang Sekolah adalah adik gue.” Dion membelalakkan matanya mendengar perkataan William. “Dan lo! Dion Aryatama