"iya, kau diam sajalah! Biar aku yang menanganinya, akan kuselidiki siapa yang menyebar planfet itu. Aina, kau tenang saja ya? Sekarang kuliahlah yang rajin, biar cepat lulus, supaya nanti program bikin cucu keponakanku tidak terkendala, Kalau bisa comloude ya? buat bangga orang tuamu, supaya anak bujang ini juga senang."Aina tersenyum lebar mendapat nasehat dari Dekan-nya itu, sungguh perkataan nasehat yang tidak umum, sangat menggelitik telinga. Hasan justru acuh tak acuh dengan perkataan lelaki paruh baya itu, dia justru bicara dengan nada dingin."Aku tidak mau tahu, Om. Keluarkan dari kampus orang yang membuat masalah itu. Aku tunggu kabarnya dalam dua hari ini, jika dalam dua hari tidak ada pergerakan di sini, aku akan bertindak sendiri.""Iya, tenang sajalah kau. Tidak usah gegabah melakukan sesuatu. Sekarang kau pulang sana!" "Oke, ayo Sayang, kita pulang." Hasan mengamit tangan istrinya berjalan keluar.Rahmat Hidayat juga mengikuti pasangan muda itu keluar dari ruangannya.
"Apa-apaan kalian? Bergerombol di sini?" Suara Pak Rahmat menggelegar seantero pelataran kampus. Semua mahasisiwa terdiam, mereka hanya berkerumun tanpa mengucapkan kata, Sampai ada satu mahasisiwi yang terkenal cukup vokal berkata. "Pak, kami di sini mau menegakkan moralitas, kenapa ada mahasisiwa tuna susila bisa bebas belajar di sini tanpa ada sangsi." Gadis yang bicara ini termasuk ke dalam orang-orang yang menganiaya Aina kemarin, Aina hapal betul siapa orang yang berteriak dan menghinanya bahkan yang menjambak dan memukul wajahnya. Semua wajah mereka terukir jelas diingatan Aina, walau dia tidak hapal namanya, tetapi dia tahu betul dari prodi atau jurusan mana para gadis barbar itu. Mata Aina juga memindai setiap orang yang ada di sini, setiap mereka adalah orang-orang yang suka bergosip tentang dirinya, bahkan ada yang sering menyindir dan terang-terangan. Berdiri paling belakang, dua orang gadis tengah bersedekah dan tersenyum penuh kemenangan di bibirnya, tanpa berpikirpu
"Iya, aku rasa merekalah pelakunya. Aku tahu betul watak mereka, dulu aku satu kelas waktu di SMA 2, mereka juga sering menindasku. Okelah ketika itu aku masih jelek, nah sekarang aku sudah cantik, kan? Kenapa mereka masih juga mencari perkara denganku, apa mereka mengenaliku ya?" "Mereka sering menindasmu waktu SMA? Apa mereka pelaku yang membuat ban sepedamu kempes dua-duanya waktu itu?" "Ya, bisa jadi." "Kurasa mereka tidak mengenalimu, mereka hanya iri karena kau sangat cantik, orang seperti itu tidak suka ada yang menyaingi mereka." "Oh? Benarkah? Apa aku secantik itu?" Aina memegang pipinya yang merona, melihat itu Hasan menjadi gemas, ingin sekali melahap pipi dan bibir perempuan di sampingnya itu, sudut bibirnya melengkung melihat tingkah istrinya itu "Kau yang paling cantik di mata Abang, tidak ada wanita secantik dirimu di dunia ini," ujar Hasan dengan suara berat, matanya terus menatap jalan yang saat ini begitu padat. Aina hanya tertawa menanggapi perkataan suaminya
Aina sibuk mengerjakan tugas kuliah, jadwalnya hari ini begitu padat, dia masuk pukul delapan pagi, pulang jam dua siang. Dia masih menyempatkan mampir ke warung bakso untuk mengecek keadaan warung, dia bermaksud sebentar saja di warung karena tugas kuliahnya menumpuk dan harus dikumpulkan besok sebelum akhir pekan.Ketika sampai warung, Kamal dan Ihsan antusias menyambutnya."Ai, sudah beberapa hari kau tidak mampir ke sini.""Iya, maaf ya aku gak bisa bantu-bantu.""Bukan masalah itu, Ai. Aku tidak masalah jika kau tidak bisa bantu-bantu, tetapi ada sesuatu masalah penting yang harus aku katakan padamu," ujar Kamal dengan mimik wajah serius.Ihsan juga berekspresi sama persis seperti Kamal, biasanya anak itu akan cengengesan namun kali ini dia juga terlihat serius."Ada apa? Kok kelihatannya serius banget sih?""Begini, istri pak Karyo pemilik warung ini kemarin lusa meninggal dunia.""Oh, ya Allah ... Innalillahi wainna ilahi rojiun ....""Masalahnya, anak tunggal pak Karyo sekaran
Hasan turun dari mobil yang sudah terparkir dengan rapi di depan bandara, dia segera berlari menuju area kedatangan, dia sudah terlambat beberapa menit, pesawat yang ditunggunya juga sudah landing di bandara. Dari kejauhan sudah terlihat orang yang akan dijemputnya, lelaki paruh baya dengan rambut putih tetapi masih terlihat gagah, wajahnya yang terlihat jelas seperti warga asing membuat penampilan lelaki itu lebih menonjol dari kerumunan orang di bandara tersebut. Lelaki tua itu berjalan dengan santai, tangan kanannya menarik sebuah koper dan tangan kirinya menenteng tas kerja. Hasan segera melangkahkan kakinya menuju lelaki itu, namun langkah Hasan tercekat tatkala melihat seorang perempuan muda berjalan bersisian dengan lelaki tua itu. Rasa canggung menggelayut di hatinya, feeling istrinya sungguh paten, dia bisa menduga jika gadis ini ikut bersama kakeknya ke sini. Entah apa tanggapan istrinya jika tahu gadis itu juga ikut ke sini? Hasan menggelengkan kepala, dia bertekad tidak
Dave tanpa banyak bicara menggandeng tangan cucunya yang tengah patah hati, dia juga tidak menduga jika Hasan sudah menikah, makanya dia hanya bisa membesarkan hati cucu perempuan satu-satunya ini."Sudah, Sayang ... Jangan sedih. Yang menikah masih bisa bercerai, apa perlu kita cabut investasi kita dan mengancam Hasan untuk menikahimu?" ujarnya ketika Hasan tengah memarkirkan kendaraanya "Grandpa, jangan seperti itu, itu tidak profesional banget. Aku ingin lihat seperti apa istri Hasan itu? Apakah lebih baik dari aku? Jika dia jauh dibawah levelku, aku akan dengan senang hati menyingkirkannya dari hidup lelaki itu, akan kubuat mereka pisah dengan sendirinya.""Good, semangat seperti itu baru cucu Dave Harrison, come on ... Sekarang jangan sedih lagi."****"Sepertinya aku sangat lelah, kalian saja yang makan di sini ya? Aku akan memesan layanan kamar saja," kata Dave setelah mereka duduk di meja restauran."Grandpa, sebentar lagi pesenan kita datang," keluh Laura."Tolong kalau pese
Sejak bertemu Melanie di rumah sakit, Steven langsung menyelidiki keberadaan gadis itu. Pertemuannya dengan Melanie terjadi di negeri kangguru, saat itu Melani mengambil spesialis jantung dan Steven melanjutkan program PhD-nya. Tidak ada yang istimewa ketika awal pertemuan mereka, Steven yang menyewa flat sendiri terlihat seperti mahasiswa kebanyakan, menghemat uang. Steven bukannya tidak memiliki uang cukup, rumah peninggalan kakeknya begitu megah bisa saja dia tinggali, namun dia merasa anak yang tersisih, sehingga rumah itu hanya ditinggali oleh Laura keponakannya.Dave anak tunggal, setelah dia lulus kuliah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, perusahaan orang tuanya dibidang meubel dan furniture dia jual karena dia merasa tidak mampu mengelolanya, dia lulusan sarjana ekonomi jurusan bisnis jasa keuangan, hasil penjualan perusahaan orang tuanya, uangnya dia gunakan bisnis di bidang yang dikuasainya, jasa keuangan. Akhirnya dia bisa mewujudkan mimpinya berpetualang ke ne
"Aku ke toilet dulu ya? Jangan ke mana-mana, aku hanya sebentar." Melanie mengarahkan jari telunjuknya pada Hasan, dia kuatir lelaki itu akan kabur tatkala dia ke belakang sebentar. Steven segera bergerak mengikuti Melanie, lelaki itu tidak yakin jika gadis itu hanya akan pergi ke toilet, dia memiliki feeling jika gadis itu tengah merencanakan sesuatu. Melanie berjalan ke belakang restoran, tetapi dia tidak menuju ke toilet, dia segera menuju kichen tempat restoran memasak dan menyiapkan menu pesanan pengunjung, gadis itu berjingkat dan menoleh ke sana ke mari mencurigakan, Steven segera mengintip dari sela-sela pembatas dapur. "Mas, apa mas yang menyiapkan pesanan saya?" tanya Melanie dengan suara pelan nyaris berbisik. "Pesanan yang mana, Mbak?" "Ini, jus buah naga bukan? Saya memesan jus buah naga, kopi sama jeruk." "Oh iya, mbak. Ini jus buah naganya sedang saya buat." ujar pria yang memakai seragam hotel itu. Pria itu tengah memotong-motong daging buah naga yang berwarna