Suara tuk ... tuk ... Dari sepatu high heel yang di kenakan Aina seperti irama dahsyat di telinga Hasan. Lelaki itu tercengang melihat bibir merah menyala yang begitu seksi, tubuh wanita itu, ya Tuhan ... Busana apa yang dikenakan? Membuat air liurnya menetes, Aina bahkan tidak memakai celana dalam dan bra di dalamnya."Happy birthday, Suamiku sayang ...," ujar gadis itu dengan suara berbisik."Ayo, tiup lilinnya!"Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, lelaki itu mengikuti kata-kata wanita itu dengan patuh. Musik di HP sudah Aina matikan, aroma handbody lation yang lembut tercium dari kulit gadis ini, Aina tidak memakai parfume, karena memang Hasan tidak menyukainya."Ini kadonya, Sayang ... Bukalah."Hasan segera duduk di tepi ranjang, diikuti oleh Aina. Lelaki itu membuka kotak yang diikat pita biru dengan rapi. Sebuah dompet dan ikat pinggang terlihat di dalamnya."Apakah Abang suka hadiahnya?""Hmmm, suka. Suka sekali."Hasan baru bisa bersuara sekarang, setelah beberapa saat tadi
Aina dan Hasan sampai di kedai bakso yang Aina dan teman-temannya kelola, Aina sendiri tidak menyangka jika halaman kedai ini cukup luas, bisa menjadi lahan parkir pelanggan, kira-kira lima sampai enam mobil bisa diparkirkan di sini, untuk motor justru bisa lebih banyak. Mobil Hasan yang sangat bagus itu, terparkir cantik di halaman kedai, membuat Ihsan, Kamal dan Anisa segera berdiri, penasaran dengan calon pelanggannya yang sedikit lebih berbeda. Padahal kedai dalam keadaan ramai, tetapi ketiga orang itu tanpa sadar, berdiri di pintu kedai menyambut pelanggan istimewa itu. Ketika Aina turun dari mobil itu, mereka cukup tercengang, terlebih seorang lelaki gagah dan tampan ikut juga turun dari mobil, lelaki itu memiliki aura yang membuat ketiganya merasa semakin kecil, aura kebangsawanan lelaki itu membuat mereka terpesona secara alami. "Hei, kok bengong! Itu banyak pelanggan kok gak dilayani!" tegur Aina membuat mereka tersadar. "Eh, Bos ...." "Hush! Jangan panggil Bos, itu ada
"Bukan karena itu, tetapi aku ingin membantu Anisa, Ihsan dan Kamal, agar mereka memiliki penghasilan untuk membiayai kuliahnya, mereka nyaris tidak kuliah karena tidak mampu membayar SPP, dengan usaha ini, aku berharap mereka bisa berdikari dan mandiri," ujar Aina panjang lebar."Jadi, dari mana kau mendapat modal semua ini?""Warung ini menyewa, aku memakai uang mahar darimu, Bang. Sebagian tabunganku sudah kupakai untuk modal usaha ini, sebagian sudah kupakai membayar uang kuliah," ujar Aina, kini berani menatap mata suaminya "Kau membayar kuliah pakai uang pribadimu? Kenapa tidak mengambil uang yang ada di ATM yang kukasih?""Waktu itu, Abang belum memberiku ATM."Ha? Jawaban Aina cukup mencengangkan bagi Hasan, apakah dia lalai memperhatikan kebutuhan istrinya? Bukankah dia sudah berjanji untuk membayar semua uang kuliahnya? Lelaki itu menghembuskan napasnya berat, dia merasa sangat bersalah pada istrinya ini."Lain kali, kalau ada kebutuhan apapun, ambil di ATM yang Abang kasih
Aina sampai kampus tinggal lima menit lagi masuk kelas, dia tidak sempat berpamitan lagi dengan suaminya langsung berlari menuju kelas. Mata kuliah pendidikan Pancasila yang diampuh oleh Bu Margaretha, memiliki disiplin lebih ketat dari dosen lain. Dosen paruh baya itu tidak segan-segan mengusir mahasiswanya yang terlambat.Untung saja Aina tepat waktu masuk kelas walaupun dengan ngos-ngosan. Setiap tugas dengan Bu Margaretha nilai Aina selalu A sempurna, karena setiap tugas yang diberikan harus tulis tangan dan harus dengan ejaan tata bahasa Indonesia yang benar, Aina sudah biasa melakukannya, apalagi dulu di Kuala Tungkal juga mendapat bimbingan kepenulisan dari pak Seno. Bu Margaretha selalu respek terhadapnya, di kelas nilainya selalu tertinggi, yang lain walau isi tugasnya bagus tetapi masih dijumpai tanda baca yang salah.Karena terburu-buru masuk, Aina tidak lagi memperhatikan situasi sekarang seperti apa, banyak tatapan mata teman-temannya menghujamnya dengan tajam dan penuh e
Aina akhirnya pulang, dia terpaksa tidak masuk perkuliahan hari ini karena peristiwa tak terduga tersebut, setelah sampai rumah, dia hanya terlentang di atas kasur. Sekujur tubuhnya terasa sakit, terutama kulit kepalanya, para gadis di kampusnya ternyata sangat barbar dan agresif.Aina segera menelpon suaminya, namun sampai dua kali panggilan HP-nya tidak aktif juga, gadis itu hanya menghembuskan napas berat, menatap langit-langit kamar yang terasa sunyi dan sepi. Kemarin ketika suaminya itu pulang, lelaki itu langsung memeluknya dan mengabarkan jika dia harus mendampingi pak gubernur menghadiri pekan budaya di kabupaten kerinci, mereka di sana selama dua hari, besok sore sudah kembali. Selama menikah dengan Hasan, baru nanti malam Aina tidur sendiri sampai pagi, biasanya Hasan akan pulang ke rumah walau malam telah larut. Pagi tadi rasanya berat dia melepas suaminya itu, dia bahkan memeluknya lama dan erat, tidak tahu jika hari ini dia mendapat kemalangan seperti ini.Tiba-tiba HP d
"Permisi, Pak?" "Oh, kau sudah datang?" ujar Steven. "Aina? Kau kuliah di sini?" Lelaki itu menatap Aina dengan mata berbinar, Aina juga cukup terkejut dengan tamu dosennya ini. "Elu kenal sama Aina, Bro?" tanya Steven sambil mengernyitkan dahi "Kenal," jawab lelaki itu sambil tersenyum penuh misteri. "Kenal di mana?" "Ada lah, siapa yang gak kenal sama gadis secantik ini." Perkataan dan senyuman lelaki itu terasa ambigu, Aina mengerakkan giginya sedikit kesal, lelaki ini ... Semakin disopanin semakin ngelunjak sepertinya. "Aina, mari ikut saya ke ruangan Bu Margaretha, kau sudah ditunggu di sana," ujar Steven mengabaikan ucapan temannya dan merasa ada masalah yang lebih urgent. Bu margaretha? Duh, gawat ... keluh Aina dalam hati. "Bro, aku ngurus mahasiswaku dulu, kau silahkan santai-santai dulu di sini," ujar Steven menatap lelaki itu. "Iya, silahkan. Aku juga ada beberapa email yang harus kucek dulu," ujar lelaki itu sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dan mem
"Aku disuruh menghadap Dekan.""Kenapa bisa sampai ke Dekan?" sela Sandi "Aku tidak tahu.""Ayo, kami temani ke sana," ujar Sandi Beberapa dari mereka mengikuti Aina ke ruang Dekan, walau mereka dihentikan di pintu masuk, hanya Aina yang diijinkan. Mereka tetap menunggu di depan ruangan Dekan.Aina sangat gugup menatap pria paruh baya yang sangat berwibawa di hadapannya, tengah duduk di kursi kebesarannya. Di meja terdapat papan nama yang sangat jelas, DR. Rahmat Hidayat, M.Si "Bagaimana kau menjelaskan foto-foto yang beredar ini?" ujar lelaki itu.Bahasa yang digunakan lelaki itu tidak formal, sehingga Aina merasa cukup dekat secara emosional dengan pria paruh baya ini, membuat Aina lebih rileks "Apakah ini beneran kamu?""Iya, tetapi tidak ada yang salah yang saya lakukan itu, yang salah adalah yang diam-diam memotretnya dan menyebarkan berita bohong," jawab Aina."Kenapa kau merasa tidak bersalah?""Karena saya melakukannya dengan pasangan halal saya, suami saya, Pak.""Eh?"L
"Aina? Mau pulang? Ayo bareng saya, Rian sedang mengambil mobil di parkiran." Aina tidak terkejut dengan kemunculan orang ini, lelaki itu berjalan dengan anggun, tangan kirinya memegang tas laptop, penampilannya yang rapi, kemeja abu-abu lengkap dengan dasi hitam dan celana dasar hitam, menandakan jika lelaki ini pekerja kantoran yang eklusif. Rambutnya yang disisir rapi dan diberi pomade, membuat kesan maskulin pada lelaki jangkung ini bertambah seksi. "Pak Agung? Terima kasih, Pak. Saya belum mau pulang, ada urusan sedikit yang akan saya selesaikan," ujar Aina dengan nada sopan. Lelaki itu tepat berdiri di hadapan Aina, tinggi badannya yang hampir mencapai 190 cm membuat Aina harus mendongakkan wajahnya untuk melihatnya, tubuhnya yang terlalu tinggi membuat tubuhnya yang sebenarnya atletis tampak lebih kurus, tidak seperti Hasan yang tinggi badannya 180 cm berat tubuhnya terlihat porposional, sehingga tonjolan tulang dan ototnya terlihat lebih seksi. "Aku mau minta tolong, ini l