Aina akhirnya pulang, dia terpaksa tidak masuk perkuliahan hari ini karena peristiwa tak terduga tersebut, setelah sampai rumah, dia hanya terlentang di atas kasur. Sekujur tubuhnya terasa sakit, terutama kulit kepalanya, para gadis di kampusnya ternyata sangat barbar dan agresif.Aina segera menelpon suaminya, namun sampai dua kali panggilan HP-nya tidak aktif juga, gadis itu hanya menghembuskan napas berat, menatap langit-langit kamar yang terasa sunyi dan sepi. Kemarin ketika suaminya itu pulang, lelaki itu langsung memeluknya dan mengabarkan jika dia harus mendampingi pak gubernur menghadiri pekan budaya di kabupaten kerinci, mereka di sana selama dua hari, besok sore sudah kembali. Selama menikah dengan Hasan, baru nanti malam Aina tidur sendiri sampai pagi, biasanya Hasan akan pulang ke rumah walau malam telah larut. Pagi tadi rasanya berat dia melepas suaminya itu, dia bahkan memeluknya lama dan erat, tidak tahu jika hari ini dia mendapat kemalangan seperti ini.Tiba-tiba HP d
"Permisi, Pak?" "Oh, kau sudah datang?" ujar Steven. "Aina? Kau kuliah di sini?" Lelaki itu menatap Aina dengan mata berbinar, Aina juga cukup terkejut dengan tamu dosennya ini. "Elu kenal sama Aina, Bro?" tanya Steven sambil mengernyitkan dahi "Kenal," jawab lelaki itu sambil tersenyum penuh misteri. "Kenal di mana?" "Ada lah, siapa yang gak kenal sama gadis secantik ini." Perkataan dan senyuman lelaki itu terasa ambigu, Aina mengerakkan giginya sedikit kesal, lelaki ini ... Semakin disopanin semakin ngelunjak sepertinya. "Aina, mari ikut saya ke ruangan Bu Margaretha, kau sudah ditunggu di sana," ujar Steven mengabaikan ucapan temannya dan merasa ada masalah yang lebih urgent. Bu margaretha? Duh, gawat ... keluh Aina dalam hati. "Bro, aku ngurus mahasiswaku dulu, kau silahkan santai-santai dulu di sini," ujar Steven menatap lelaki itu. "Iya, silahkan. Aku juga ada beberapa email yang harus kucek dulu," ujar lelaki itu sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dan mem
"Aku disuruh menghadap Dekan.""Kenapa bisa sampai ke Dekan?" sela Sandi "Aku tidak tahu.""Ayo, kami temani ke sana," ujar Sandi Beberapa dari mereka mengikuti Aina ke ruang Dekan, walau mereka dihentikan di pintu masuk, hanya Aina yang diijinkan. Mereka tetap menunggu di depan ruangan Dekan.Aina sangat gugup menatap pria paruh baya yang sangat berwibawa di hadapannya, tengah duduk di kursi kebesarannya. Di meja terdapat papan nama yang sangat jelas, DR. Rahmat Hidayat, M.Si "Bagaimana kau menjelaskan foto-foto yang beredar ini?" ujar lelaki itu.Bahasa yang digunakan lelaki itu tidak formal, sehingga Aina merasa cukup dekat secara emosional dengan pria paruh baya ini, membuat Aina lebih rileks "Apakah ini beneran kamu?""Iya, tetapi tidak ada yang salah yang saya lakukan itu, yang salah adalah yang diam-diam memotretnya dan menyebarkan berita bohong," jawab Aina."Kenapa kau merasa tidak bersalah?""Karena saya melakukannya dengan pasangan halal saya, suami saya, Pak.""Eh?"L
"Aina? Mau pulang? Ayo bareng saya, Rian sedang mengambil mobil di parkiran." Aina tidak terkejut dengan kemunculan orang ini, lelaki itu berjalan dengan anggun, tangan kirinya memegang tas laptop, penampilannya yang rapi, kemeja abu-abu lengkap dengan dasi hitam dan celana dasar hitam, menandakan jika lelaki ini pekerja kantoran yang eklusif. Rambutnya yang disisir rapi dan diberi pomade, membuat kesan maskulin pada lelaki jangkung ini bertambah seksi. "Pak Agung? Terima kasih, Pak. Saya belum mau pulang, ada urusan sedikit yang akan saya selesaikan," ujar Aina dengan nada sopan. Lelaki itu tepat berdiri di hadapan Aina, tinggi badannya yang hampir mencapai 190 cm membuat Aina harus mendongakkan wajahnya untuk melihatnya, tubuhnya yang terlalu tinggi membuat tubuhnya yang sebenarnya atletis tampak lebih kurus, tidak seperti Hasan yang tinggi badannya 180 cm berat tubuhnya terlihat porposional, sehingga tonjolan tulang dan ototnya terlihat lebih seksi. "Aku mau minta tolong, ini l
Agung menatap gadis itu dari spion tengah, matanya menatap dengan mata berbinar dan penuh dengan misteri, sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman yang dia sendiri yang tahu apa maknanya."Aina, ini ... Aku membelikanmu laptop model terbaru," ujar Agung sambil memberikan kotak kardus itu pada Aina."Apa ini, Pak? Maaf saya tidak bisa menerimanya, saya sudah memiliki laptop."Aina terkejut dengan benda yang kini ada di tangannya, secara spontan dia mengembalikan benda itu kepada Agung, tetapi lelaki itu tidak mau menerimanya."Kalau kau tidak suka berikan saja pada orang lain, atau kau buang juga tidak apa-apa, pantang bagiku menerima barang yang sudah kuberikan pada orang lain."Aina bingung dengan perkataan lelaki itu, buang? Melihat benda yang begitu mahal ditangannya apakah dia tega membuangnya? Ah,ya sudah ... Teman-temannya di warung Bakso bisa memakainya."Kita ke mana menjemput temanmu?" tanya lelaki itu."Di dekat masjid sana ada lorong, masuk sedikit ada warung bakso berh
Hari menunjukkan pukul sembilan malam ketika Steven masuk ke dalam sebuah kamar, di atas pembaringan seorang gadis tengah terlelap dengan berbalut selimut putih. Sudah lebih sembilan jam gadis itu hanya tertidur, apa yang sudah dilakukan temannya terhadap gadis di ini? Sehingga dia tidak sadar selama itu? Steven dengan hati-hati duduk di tepi ranjang, ditatapnya wajah gadis rupawan itu yang terlihat tenang, wajahnya yang putih mulus tampak bercahaya di lampu kamar yang temaram, alisnya yang tebal, panjang dan melengkung seperti dipahat sempurna menghiasi wajahnya. Sejak pandangan pertama sudah membuat Steven sayang terhadapnya, entah kenapa rasa sayang itu bertambah terus seiring waktu, kasih sayang yang tulus, yang belum pernah dia rasakan terhadap gadis manapun, kasih sayang yang tidak membuat dirinya serta Merta ingin melepaskan hasrat kelelakiannya. Lelaki tiga puluh tahun itu mengulurkan tangan membelai lembut wajah halus itu, entah apa yang akan terjadi pada gadis ini jika
"Saya tidak tahu, Bos. Ketika saya sampai lokasi, Bos sudah tidak ada. Saya menelpon Bos, rupanya bos berada di rumah sakit," jawab Rian. "Sialan! Ada yang berani mengerjaiku, cari tahu pengendara motor ninja. Dia yang sudah memukul kepalaku, dia juga pasti yang sudah menabur paku untuk membuat ban mobilku bocor." "Apa Bos tahu berapa plat nomornya?" "Mana saya sempat lihat-lihat plat nomornya?" "Kalau gitu susah lah, Bos. Di sini ada berapa banyak yang punya motor ninja." "Aku kau niat mau cari ya bisa saja." "Lagi pula kejadiannya di luar kota, Bos. Mana ada cctivi di jalan tengah semak belukar seperti itu," ujar Rian dengan menghembuskan napas lelah. "Bos tidak lihat wajah orang itu?" "Wajahnya tertutup helm, bagaimana aku bisa lihat?" Nada bicara Agung mulai meninggi. Pintu tiba-tiba terbuka, seorang wanita cantik dengan rok selutut, kemeja wanita yang ketat dan rambut panjang yang Cepol melangkah ke arah mereka. "Kenapa bisa kecelakaan, Mas?" tanya wanita itu dengan cem
Melanie memasang wajah datar, dia tidak lagi menanggapi perkataan lelaki ini, dia melangkah dengan acuh tak acuh melewatinya. Namun, lelaki itu tidak akan pernah melepasnya, dengan gerakan cepat, dia meraih tangan gadis itu dan menariknya keluar. Dia membawa gadis itu ke baseman parkiran mobil, suasana yang telah malam, membuat suasana di perkiran juga sepi.Melanie meronta, sekuat tenaga dia ingin melepaskan pegangan tangan lelaki itu, namun dia mana bisa menandingi tenaga lelaki itu."Stev, lepaskan! Tidak usah kau ganggu aku lagi!" pekik gadis itu.Lelaki itu segera menghempaskan tubuh gadis itu di mobilnya, dan mematikan alarm-nya. Dia mengungkung tubuh gadis itu, sehingga tidak bisa melarikan diri."Aku sudah lama mencarimu, bagaimana aku bisa melepaskanmu? Aku rindu saat-saat kita bersama di Aussie dulu."Tanpa aba-aba, lelaki itu meraup wajah gadis itu dan melumat bibirnya dengan rakus, tanpa memberi celah pada gadis itu untuk menghindarinya. Melanie yang sudah lama tidak disen