Bentala Pradaya Byakta : Pertanyaan selanjutnya, apa kamu ada waktu malam ini?Bentala kebingungan. Setelah mempertemukan Tanaya, dan Edward hari ini, ia pergi ke kantor untuk mencicil pekerjaannya. Banyak sekali pekerjaan yang menyitanya hingga menjelang kampanye. Sungguh, ia berharap hari itu bisa bertemu dengan Rana sebelum kesibukan menerpanya tiada henti.Sudah sekitar tiga puluh menit dari kali terakhir Bentala mengetikkan pesan, tapi gadis itu sama sekali belum membacanya. Ia pun berinisiatif untuk mencari nomor telepon kafe langganannya di mesin pencarian. Tapi, bersamaan dengan hasil pencarian, pesan Rana pun masuk ke ponselnya.Rana Diatmika Husada : Untuk apa bertemu? Aku baru selesai syuting, Ben! Aku lelah. Tolong, biarkan aku istirahat.Bentala menghela napas. Matanya mencari jam di mana jarumnya menunjuk pada angka lima sore. Bentala menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa egois, dan mengganggu Rana.Tanpa konfirmasi pun, Bentala tahu Rana pasti memang sangat lelah. Jadi
"Kamu yakin? Kamu akan menerima apa pun pilihanku? Kalau aku tidak memberikan kesempatan untuk kita berdua, bagaimana? Apa kamu rela?"Bentala tak bisa langsung menjawab. Namun, pastinya ia tidak akan rela. Melepas Rana sama saja memberi angin besar pada pria lain untuk memiliki gadis itu. Mana mungkin Bentala sanggup membiarkan Rana bersama orang lain. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, Bentala telah berucap.Ia pun akhirnya memilih mengangguk. Bila memang ia tak diberi kesempatan, maka ia akan mencari cara lain untuk meluluhkan gadis itu. Bentala terlalu yakin kalau Rana juga memiliki perasaan padanya. Jadi, tak masalah kalau ia bilang melepas sekarang, tapi di hari selanjutnya Bentala bisa membuat alasan lain."Kamu tahu, dari matamu saja terlihat ada rencana lain yang sedang kamu atur," ejek Rana pada akhirnya. Ia mengeluarkan lima mie instan dari kantong belanjanya. Lalu menunjukkan dua rasa yang berbeda. "Mau yang mana? Udara di luar dingin sekali, akan sangat enak kalau makan mie
"Kamu yakin membiarkanku pulang?" Rana lagi, dan lagi memutar bola matanya saat mendengar gurauan Bentala. Ia mendorong pria itu menuju pintu, saat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Dua jam sudah mereka mengobrol tentang apa saja, padahal tadinya Rana hanya mengajak pria itu untuk makan mie instan. Sungguh, untuk pertama kalinya sejak bertemu kali dengan Bentala, mereka benar-benar bisa bercengkerama layaknya seorang teman. Rana melupakan status Bentala. Ia mendengarkan cerita Bentala, dan menyetujui semua pikirannya tentang sesuatu. Begitu pun dengan Rana, ia menceritakan hal-hal dibalik film yang tidak diketahui dari kacamata penonton. Mereka bertukar pikiran secara waras, melupakan segala aksi Bentala yang menginginkan pria itu menjadikan Rana kekasihnya. "Pulanglah, Ben." Rana meminta pria itu untuk pergi. "Kamu tahu kan, tiga puluh menit lagi kamu berasa di dalam, akan ada yang berubah dari obrolan kita tadi. Jadi, pulanglah! Aku belum bisa mengontrol tubuhku sendir
"Hai, kenapa lama sekali di toilet? Kamu baik-baik saja kan?"Ada yang tidak beres. Bentala tidak sabar saat Rana tak kunjung datang setelah lima belas menit pergi ke toilet. Ia menunggu di depan toilet yang paling dekat dari ruangan UGD. Bentala pun mengirimi Rana pesan, dan gadis itu keluar dari sana limat menit kemudian. Wajahnya tampak sembap, terlihat kalau gadis itu habis menangis."Ayo, kita pulang saja. Pakai kaca mata kamu, Rana. Sebelum orang lain sadar kalau yang pergi bersamaku adalah seorang aktris papan atas," perintah Bentala yang langsung dituruti oleh Rana. "Aku akan berjalan di belakangmu, ok?"Rana mengangguk. Gadis itu berjalan lebih cepat dari yang ia bisa. Bentala pun berjalan tak jauh dari gadis itu. Ia mengeluarkan ponselnya dan memencet nomor Iskandar. Ia menelepon pria itu, dan memberi tahu kalau dirinya, dan Rana akan pulang.Iskandar tak banyak bertanya. Ia tahu pasti terjadi sesuatu pada Rana. Jadi, ia biarkan Bentala menutup teleponnya."Ada apa sebenarny
"Lo sama Indira lagi berantem, Na? Kok, lo enggak jenguk Indira sih? Hari ini Indira pulang lho, Na? Kenapa sih sebenarnya kalian? Gue tinggal kerja aja, kok kalian berdua jadi begini sih, hubungannya?" Cerocosan Camilla hanya ditanggapi dengan keterdiaman oleh Rana. Hingga tiga hari setelahnya, Rana memang tak menggubris Indira. Ia juga tidak tahu bagaimana keadaan gadis itu. Ia pura-pura tidak peduli. Hatinya masih terasa sesak membayangkan bagaimana sahabatnya bisa berhubungan dengan ayahnya. Camilla juga bingung saat tak menemukan Rana di rumah sakit. Bahkan saat tiga hari berlalu, Rana juga tak kunjung datang, Camilla benar-benar bingung. Indira juga tak banyak membantu. Gadis itu lebih banyak diam, dan Camilla tak mau mengganggunya ketika tahu alasan Indira dirawat akibat keguguran. "Na, lo masih di sana, kan?" tanya Camilla di ujung telepon. "Rana, jawab gue dong!" "Gue enggak bisa jenguk Indira, Mil." Rana menjawab pertanyaan Camilla. "Kebetulan kerjaan gue lagi banyak bang
"Terima kasih ya, Rana. Karena kamu enggak membalas chat-ku, jadi aku enggak chat lagi. Aku takut mengganggumu dengan chat-ku. Jadi, saat aku melihat kamu, dan manajermu memasuki resto untuk dinner, aku senang sekali. Aku benar-benar ingin berbicara denganmu, Rana."Hanya senyuman yang mampir di wajah Rana. Ia tak tahu harus menimpali Tanaya dengan cara yang bagaimana. Saat melihat Tanaya sudah berdiri di dekatnya, Rana langsung menyambutnya dengan formal. Tanaya lalu meminta waktunya untuk mengobrol, dan dengan santai Latisha pun langsung memperbolehkan Rana menerima permintaan perempuan itu.Mereka pun pindah ke meja Tanaya yang telah kosong. Hanya tersisa beberapa piring, dan cangkir yang sedang dirapikan oleh pelayan. Saat semuanya beres, mereka duduk di sana. Tanaya bahkan memesankan mereka kopi."Kamu seharusnya tidak perlu repot-repot, Tanaya. Maaf, karena aku tidak membalas pesanmu. Bukannya aku tidak ingin, tapi aku lupa. Beberapa hari ini ada hal berat yang harus aku lewati.
"Hai, bagaimana hasil pertemuan kalian dengan Rana? Dia percaya pada kalian, kan? Tolong, dia bicara apa sama kalian? Aku benar-benar excited pas kalian bilang baru saja berbicara sama Rana." Tak ada yang menjawab Bentala dengan wajah sumringah. Baik Tanaya, dan juga Edward sama-sama menggeleng. Membuat Bentala seketika pasrah. Pria itu sayangnya sudah berjanji, apa pun yang Rana putuskan, akan ia terima dengan lapang dada. Tanaya, dan juga Edward sama sekali tak berharap memberi kabar buruk pada Bentala. Namun bagaimana lagi, kenyataannya memang seperti itu. Tak ada yang benar-benar bagus dari jawaban Rana, atau pun reaksinya. "Dia terlihat sangat bingung, Ben. Wajar bila dia berlaku seperti itu. Dulu pun, saya juga berlaku hal yang sama ke kalian. Dia hanya butuh waktu. Biarkan Rana sendirian sampai dia benar-benar tahu harus bersikap bagaimana. Dia mungkin sedang mencerna segalanya kini. Kita enggak perlu mengganggunya." Tanaya mengangguk, ia setuju dengan Edward. "Hal terbaik d
"Ben, draft final apartemennya Tanaya udah selesai. Dia sudah gue kirimin lewat email, dan bilang juga ok. Tinggal minta persetujuan lo nih, bagaimana? Gue enggak bisa ke kantor lo. Gue lagi nungguin Indira. Dia lagi enggak bisa banget ditinggal sendirian. Lo bisa kan, ke sini?"Suara Iskandar di telepon terasa sekali menunjukkan sebuah permohonan. Meskipun ada rasa malas di dada, tapi mau tidak mau Bentala pun mengiyakan permintaan Iskandar. Selama ini teman dekatnya itu tak pernah meminta. Iskandar selalu memiliki segalanya, dan justru yang paling gampang mengabulkan keinginan banyak orang, termasuk dirinya.Kini pria itu meminta, bagaimana mungkin Bentala tak memberi. Sekadar menjenguk Indira adalah perkara mudah baginya. Hal yang sulit adalah membayangkan rasa sakit yang Rana terima kemarin saat tahu kalau ayahnya ada main dengan sahabatnya. Mengingat tangis Rana, membuat Bentala enggan untuk bertemu tatap, atau mengasihani Indira."Bagaimana? Oke, enggak?" tanya Iskandar saat Ben