"Kamu mau nggak jadi istri keduaku?" Dengan santainya laki-laki berkemeja biru itu bicara pada gadis di hadapannya.
Marisa terhenyak, tapi tetap berusaha untuk bersikap tenang."Kamu akan hidup enak kalau mau jadi perempuan rahasiaku. Kebutuhan kamu akan terpenuhi. Kamu bisa traveling sesukamu dan beli apapun yang kamu mau."Gadis bermata bening itu tak peduli. Ia terus memastikan si bos tidak salah membubuhkan tanda tangan. Mana peduli dia dengan tawaran b0mbastis itu. "Dasar bos sinting. Apa kamu pikir aku perempuan murahan," gerutu Marisa dalam hati."Kamu dengar kan aku ngomong apa?" Si bos tak terima karena tidak ditanggapi oleh salah seorang stafnya. Entah sudah berapa kali merayu, tapi Marisa tak pernah menanggapi. Harga dirinya sebagai lelaki kaya yang disegani karena seorang anak pemilik perusahaan mulai tercabik"Marisa." Pria itu menatap tajam gadis di depannya."Ya, Pak Daniel."Mereka bersitatap sejenak. Marisa tidak pernah gentar berhadapan dengan laki-laki yang entah sudah berapa kali menawarkan hal paling konyol di dunia ini bagi Marisa. Penawaran yang tidak pernah membuatnya goyah sedikit pun."Kamu nggak suka uang?""Suka. Saya kerja mati-matian juga karena uang. Saat ini yang paling saya cari adalah uang, Pak.""Jika kamu menerima tawaranku. Nggak perlu lagi kamu kerja mati-matian. Pagi di kantor, malamnya bantuin bikin kue ibumu. Denganku kamu bisa hidup enak. Bahkan ibumu tak perlu lagi bikin kue lagi. Akan kutanggung semuanya."Marisa tersenyum samar meski bulu kuduknya merinding. Bosnya itu sungguh gila. "Maaf, tanda tangannya sudah selesai apa belum, Pak?""Kamu jawab dulu tawaranku."Marisa bangkit berdiri. Tetap bersikap sopan lantas pamitan. "Maaf, saya keluar dulu. Nanti saya ke sini lagi untuk mengambil berkas."Tidak peduli tatap kemarahan pria berjas rapi itu, Marisa segera keluar ruangan. Dia tidak ingin membeku atau parahnya tergoda oleh penawaran bos tampan tapi punya niatan konyol itu. Apalagi sekarang Marisa memang sedang butuh banyak uang.Baru juga duduk beberapa menit, rekan-rekan yang duduk di ruangan itu pada berdiri karena sudah waktunya jam makan siang. Salah seorang rekan dekatnya menghampiri. "Yuk, kita makan dulu."Marisa berdiri dan beriringan keluar dengan Ari menuju kantin. "Gajian kita udah masuk hari ini. Kamu jadi belanja, nggak?""Jadi. Aku mau nyari kado juga untuk Dimas.""Kamu serius mau datang ke pernikahannya." Ari menoleh pada sahabatnya. Marisa mengangguk."Kamu sanggup?""Kenapa enggak?" Marisa tersenyum getir. Dia dan Dimas pernah menjalin hubungan selama empat tahun. Sejak sama-sama masih kuliah. Namun baru dua bulan ini hubungan mereka kandas karena Marisa belum siap jika harus menikah sekarang. Adik-adiknya masih butuh banyak biaya. Bagaimana nasib mereka kalau Marisa menikah? Ibunya tak akan sanggup membiayai sendiri sekolah ketiga adiknya.Dimas akhirnya dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Orang kaya pasti telah memiliki pilihan sendiri. Tentu dengan gadis yang selevel dengan mereka. Bukan seperti Marisa. Sejak awal hubungan mereka memang tidak direstui. Ketidaksiapan Marisa dimanfaatkan oleh orang tua Dimas untuk segera menikahkan pemuda itu.Seperti biasa setelah mengambil makanan, Marisa dan Ari memilih tempat duduk paling pinggir dekat jendela. Siang itu matahari bersinar garang membakar bumi Surabaya. Puncak musim kemarau menyebabkan gerah melanda.Tiba-tiba ponsel Marisa berdering saat tengah asyik mengisi perut."Siapa?" tanya Ari saat melihat Marisa bengong menatap ponselnya."Pak Daniel.""Nggak kamu angkat?"Marisa berdecak lirih. Untuk apa si bosnya itu menelepon di jam istirahat begini. Kalau tidak diangkat takut juga pria arogan itu bakalan murka. Kalau sampai dipecat, di mana lagi ia akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar."Halo, ya, Pak," jawab Marisa sopan."Ke ruangan saya sebentar. Banyak yang harus kamu benahi tentang laporan tadi.""Iya, Pak. Nanti setelah istirahat saya langsung ke ruangan Pak Daniel.""Ke sini sekarang!" perintah laki-laki itu kemudian menutup panggilannya. Membuat Marisa berdecak jengkel. Tadi ditunggu tak segera di cek. Malah merayu yang bukan-bukan. Giliran dia istirahat dan makan, disuruh ke ke ruangannya segera."Ar, aku dipanggil Pak Daniel. Aku tinggal dulu ya!" Marisa berdiri sambil mengelap mulutnya menggunakan tisu."Loh, nasimu nggak kamu habisin dulu?""Enggak. Dia menyuruhku ke sana sekarang."Tergesa Marisa kembali ke kantor lewat pintu samping. Sebab bangunan kantin terpisah di sebelah kiri kantor utama."Masuk!" Suara Daniel terdengar setelah Marisa belum selesai mengetuk pintu.Perlahan di dorongnya pintu yang ada papan namanya. Daniel Dirgantara, S.E., M.M.Pria itu menyodorkan berkas ke hadapan Marisa yang baru saja duduk. "Kamu cek lagi. Saya ingin sekarang juga selesai."Marisa memandang sekilas bos killer di depannya. Jengkelnya sudah sampai ke ubun-ubun. Rasanya ingin menangis. Hatinya saat itu sedang kacau karena sang mantan akan menikah, urusan kebutuhan rumah dan adik-adiknya, perutnya juga masih lapar, sekarang malah ditambah dengan pekerjaan yang sebenarnya bisa ditunda sampai jam istirahat selesai.Perusahaan itu punya aturan. Dan semua orang yang terlibat di dalamnya harus mentaati, termasuk bos. Tapi kenapa pria di depannya ini seenaknya sendiri.Setelah beberapa saat meneliti, Marisa menemukan kesalahan penulisan desimal dalam laporannya. Seharusnya dia menulis angka 10.000.000, tapi ditulisnya 1.000.000."Sudah kamu temukan?""Sudah, Pak!""Kamu tahu, kesalahan itu membuat laporan tidak akurat dan accountable. Kamu teliti lagi dan benahi semuanya. Di sini!""Di sini, Pak?" tanya Marisa bingung."Ya, di sini!"Marisa tak punya pilihan selain mengikuti perintah si bos. Segera ditelitinya kembali laporan yang ia buat.Risih juga bekerja sambil diperhatikan oleh Daniel. Mau cepat menyelesaikan tapi waktu terasa lambat bergerak. Keterlaluan sekali pria yang satu itu. Marisa menggerutu dalam hati.Suara ketukan di pintu ruangan sedikit melegakan hatinya. Siapa tahu sekretarisnya memberitahu bahwa Daniel harus meeting atau ada tamu.Daniel menyuruh orang itu masuk. Ternyata office boy yang membawa dua kotak nasi di dalam tas kresek warna biru."Taruh atas meja," perintah Daniel sambil menunjuk meja di samping meja kerjanya. Setelah menaruh kotak, pemuda itu pergi."Kita makan dulu!"Marisa memandang kaget pada si bos yang bangkit dari duduknya dan melangkah menuju sofa. Apa dia harus menuruti ajakan Daniel? Bagaimana kalau ada staf lain yang melihat? Parahnya lagi jika istri pria itu datang dengan tiba-tiba. Terlalu lama di dalam ruangan si bos saja sudah membuatnya ketar-ketir tentang pandangan karyawan lain terhadapnya. Apalagi jika dia kepergok makan bersama."Marisa, makan dulu!" Daniel kembali mengajaknya saat melihat Marisa terdiam."Maaf, Pak. Saya tadi sudah makan," tolaknya kemudian kembali sibuk dengan pekerjaan. Meski sebenarnya masih merasakan lapar karena hanya makan beberapa suap saja.Namun bukan Daniel kalau terima saat di bantah. Pria itu berdiri mendekati Marisa. Membuat gadis itu gemetaran. "Makan dulu. Kalau kamu pingsan di sini, orang lain akan beranggapan aku ngapa-ngapain kamu." Satu kotak nasi di letakkan di meja depan Marisa.Gadis itu berdiri. "Maaf, saya akan makan di luar saja, Pak." Tanpa menunggu jawaban Daniel, Marisa melangkah pergi sambil membawa kotak nasi. Sungguh dia tidak ingin menambah beban hidupnya dengan gunjingan rekan kerja atau bahkan berurusan dengan istri cantik bosnya.***LS***Tepat jam empat sore Marisa keluar kantor bersama Ari. Mereka naik angkot dan berhenti di depan sebuah mall. Namun bukannya menyeberang untuk ke pusat perbelanjaan itu, tapi mereka masuk pasar atom. Pasar legendaris di Surabaya. Tempat dengan ciri khas tawar menawarnya antara penjual dan pembeli. Penjual memberi harga setinggi-tingginya sesuai dengan jenis barang, si pembeli akan menawar serendah-rendahnya yang terkadang membuat penjual geleng-geleng kepala. Sebab ditawar jauh dari harga pokok.Namun tidak dengan Marisa, dia akan tetap sepakat jika dirasanya pantas untuk benda yang dipilih. Pedagang itu juga mencari rezeki dari keuntungan barang dagangannya."Habis ini aku ajak kamu makan pizza di ITC," kata Ari sambil menunggu Marisa memilih buah jeruk. Mereka telah selesai belanja. Terakhir membeli buah untuk isi kulkas."Nggak usah. Kita makan mie ayam di luar saja.""Tenang, bulan ini aku nggak banyak kebutuhan. Makanya aku bisa nraktir kamu makan pizza. Sekali-kali nggak apa-apa. Ayolah, aku juga pengen makan pizza. Kamu juga mau nyari kado, kan?" bujuk Ari.Marisa akhirnya mengangguk.Setelah membayar buah, mereka keluar pasar, menyeberang menuju mall. Biasanya mereka ke ITC hanya untuk jalan-jalan dan cuci mata. Kalau belanja mereka akan pergi ke pasar, untuk menyesuaikan isi kantong. Di pasar juga lengkap dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Mulai dari bahan makanan, makanan jadi, pakaian, emas, mainan anak-anak, aksesoris, hingga institusi perbankan.Ketika tengah asyik berjalan hendak menuju lift, Marisa dikejutkan oleh anak kecil yang menabraknya. Bocah laki-laki itu terjatuh tapi tidak menangis.Marisa meletakkan barang bawaannya ke lantai, kemudian membimbing bocah laki-laki itu berdiri. "Maaf ya, tante nggak sengaja," ucap Marisa sambil tersenyum pada bocah tampan di hadapannya."Ubed," panggil lelaki yang menghampirinya."Maaf, Pak. Saya nggak sengaja menabrak putra bapak." Marisa merasa tak enak hati dengan laki-laki bertopi yang menghampiri."Nggak apa-apa," jawab pria itu sambil tersenyum. Kemudian menggendong bocah yang dipanggilnya Ubed tadi. Setelah itu melangkah pergi.Ari membantu Marisa membawakan barang belanjaannya. Lantas menaiki eskalator untuk menuju ke arah foodcourt di lantai atas. Ari memesan makanan sedangkan Marisa mencari tempat duduk."Ngapain kamu tadi lama banget di ruangan Pak Daniel?""Ngerjain laporanku yang salah. Dia minta aku mbenahi berkas di ruangannya.""Kamu dirayu lagi?""Hu um, dasar bos sinting. Dipikirnya aku perempuan gampangan." Marisa kesal ingat kejadian tadi siang. Bukan kali itu saja dia dirayu. Bahkan sudah beberapa kali. Lelaki yang bertampang dingin dan selalu menjaga pandangan dari perempuan di luar sana, nyatanya memberikan penawaran yang mengejutkan bagi Marisa."Pak Daniel sepertinya emang jatuh cinta sama kamu. Lihat saja, dia nggak pernah genit dengan siapapun. Partner bisnisnya cantik-cantik lho, tapi dia cool saja. Tapi denganmu dia jatuh cinta.""Hush, jangan ngomong gitu lagi. Pak Daniel sudah beristri. Kurang apa coba istrinya. Cantik, semampai, kaya pula. Dia hanya mau cari kesenangan di luar, bukan karena jatuh cinta," bantah Marisa. "Tapi dia salah orang jika aku ingin dijadikan sasarannya."Ari tertawa melihat tampang kesal sahabatnya. Jika bukan Marisa, pasti perempuan itu sudah jatuh dalam pelukan si bos. Daniel tidak hanya kaya, tapi tampangnya luar biasa.***LS***Jam delapan malam seorang laki-laki turun dari mobilnya yang sudah masuk garasi. Dia masuk rumah lewat pintu samping. "Assalamu'alaikum," ucapnya."Wa'alaikumsalam," jawab seorang wanita tua yang duduk di ruang keluarga. "Loh, mana Ubed?" Wanita bernama Bu Arum itu mencari cucunya."Sudah ku antar pulang, Ma. Besok pagi-pagi aku harus berangkat ke Jember. Nggak sempat kalau harus nganterin dia pulang.""Ya sudah. Tapi mamanya sudah pulang dari kantor, kan?"Pria bernama Aksara itu mengangguk. Jika ada waktu luang, dia memang akan menyempatkan mengajak sang keponakan jalan-jalan. Pergi ke playground, makan, atau hanya sekedar membeli mainan."Aksa, tadi Bu Abdul ketemu mama di pengajian. Dia bicara tentang niatnya yang hendak jodohin kamu dengan Hafsah. Kira-kira kamu gimana?" Bu Arum bicara sangat hati-hati pada putranya.Hafsah ini putri bungsu Kyai Haji Abdul Qodir. Orang yang sangat berjasa saat keluarganya mendapat musibah besar tujuh tahun yang lalu."Jangan, Ma. Hafsah tuh sangat baik. Nggak cocok sama aku. Nanti aku nggak bisa bahagiain dia.""Tapi, Sa ....""Jangan, Ma," tolak Aksara lantas berdiri dan masuk ke kamarnya.Bu Arum diam menatap putranya yang masuk kamar. Padahal beliau sangat berharap kalau Aksara mau menerima rencana perjodohan itu. Hafsah sendiri telah setuju karena sudah lama menyukai Aksara.*****"Aksara, Hafsah itu gadis yang baik, Nak. Kita juga sudah kenal baik dengan keluarganya." Bu Arum masih mencoba meluluhkan hati putranya saat mereka tengah makan malam berdua."Karena terlalu baik itulah makanya nggak cocok sama aku, Ma. Kasihan dia."Bu Arum menarik napas dalam-dalam. Entah sudah berapa kali dia membujuk Aksara, tapi pria muda itu tetap pada pendiriannya. Terus sampai kapan siap untuk menikah. Usianya sudah menginjak angka tiga puluh empat tahun. Pekerjaan juga mapan.Apa kurangnya Hafsah di mata Aksara. Gadis berhijab dan rajin ibadah itu juga cantik dan sopan. Ketika pria lain berlomba untuk mendapatkannya, Aksara justru mundur meski jelas sudah mendapatkan restu. Apa yang ditakutkan Aksara? Masalah finansial dia sudah mapan. Soal ibadah, bukankah mereka bisa belajar bersama-sama. Usia Hafsah sudah cukup matang, dua puluh delapan tahun. Hanya saja dia gadis yang jarang keluar rumah, kecuali mengajar di Madrasah Tsanawiyah dan mengajar mengaji anak-anak tiap sore di
Marisa tercekat. Tubuhnya seolah terpaku di tempat dengan jantung yang berdetak kencang. Nekat benar si bos ini."Maaf, Pak. Sa-saya ... saya nggak bisa," jawab gadis itu terbata. Kemudian dengan langkah cepat meninggalkan ruangan sambil membawa berkas laporan di tangan.Sampai di mejanya pun tubuh Marisa masih gemetar. Daniel mulai melangkah lebih berani lagi. Sekarang mengajaknya nonton, besok entah apalagi. Saat ini dia bisa menolak, tidak tahu kemudian hari nanti. Namun apapun yang terjadi, dia tidak akan meladeni pria beristri itu."Sssttt, ngapain kamu? Kaya lihat hantu saja," tegur Ari yang nongol di sampingnya. Marisa menoleh sebentar pada rekannya, kemudian mulai membuka laporan yang harus dibenahi. Jika tidak segera dikerjakan, dia pula yang akan dikerjai oleh bosnya."Ada yang salah lagi?" tanya Ari masih penasaran dengan sikap Marisa."Nanti saja aku cerita," jawab gadis itu tanpa menoleh. Ari kembali duduk daripada mengundang perhatian staf yang lain.Sementara di dalam r
"Aksara." Aksara menyebutkan namanya saat bersalaman dengan Daniel di sebuah ruangan ukuran empat kali tiga meter yang di fungsikan sebagai kantor di yayasan."Anda, pengurus juga di sini?" tanya Daniel setelah mereka duduk. Agus datang membawakan tiga botol minuman dingin."Saya hanya membantu Mas Agus mengelola tempat ini, mencarikan donatur dan mengurus sesuatu yang saya mampu. Untuk kepengurusan mutlak ada di tangan teman saya, Pak Daniel." Aksara menjelaskan. Agus yang baru duduk itu menatap teman dekatnya. Laki-laki pendiam dengan jiwa kepedulian yang tinggi. Aksara terlalu merendah. Padahal dia punya andil besar untuk mengurusi dan mencarikan donatur tetap yayasan.Daniel mengangguk-angguk sambil memperhatikan keluar dari jendela kaca. Tadi waktu ia baru masuk, tampak ada bangunan yang terbengkalai di samping sebelah kiri. Di pojok ruangan ada kardus-kardus berisi sumbangan buku bacaan yang belum sempat dibuka, karena tempat untuk menyimpan benda itu masih belum selesai di ban
Sambil sesekali menatap ke arah Marisa, Aksara meladeni perkataan Ubed yang tengah makan puding. Tadi dia sudah menyuapi bocah kecil itu makan bakso. Sabtu ini dia lembur setengah hari dan langsung menjemput sang keponakan ke rumahnya. Sebab tadi malam Mahika menelepon, karena Ubaidillah minta diajak ke kid zone. Diajak sang ibu sendiri tidak mau dan memilih Aksara yang menemani.Aksara sudah terbiasa mengajak keponakannya sendirian untuk jalan-jalan atau membeli mainan. Dia tidak kaku meski belum pernah memiliki anak sendiri. Sebisa mungkin Aksara akan menjadi sosok yang membuat Ubaidillah tidak kehilangan figur ayah. Semoga tak lama lagi kakaknya akan terbebas dari penjara. Marisa yang menoleh bersitatap dengan Ubed yang memandang ke arahnya. Marisa tersenyum, ingat kalau dia bocah yang menabraknya beberapa hari yang lalu. "Ar, itu anak kecil yang menabrakku waktu di ITC, kan?"Ari menoleh, turut memperhatikan. "Iya. Ih, ganteng bingit. Tapi mana mamanya, waktu kita jumpa kemarin
Hafsah berjongkok sambil memberikan sebatang cokelat pada bocah kecil yang menggemaskan di depannya. Sekilas dia memandang Marisa yang duduk tak jauh dari Aksara.Marisa sendiri segera bangkit dari duduknya. "Maaf, Mas. Saya permisi dulu ya. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya pada mbaknya tadi."Meski tak rela Marisa pergi secepat itu, tapi Aksara hanya bisa mengangguk dan memerhatikan Marisa yang tengah memakai helmnya."Mari, Mbak." Marisa mengangguk sopan pada Hafsah. Gadis berjilbab itu tersenyum sambil mengangguk juga. Marisa pergi mengendarai motor matic-nya.Setelah memberikan cokelat, Hafsah kembali berdiri. Tersenyum sebentar pada Aksara kemudian masuk rumah lewat pintu samping. Dalam hati sempat bertanya-tanya tentang gadis cantik yang duduk bersama Aksara. Rasa nyeri sangat terasa di lubuk hati. Apakah dia kekasih pria yang dikagumi diam-diam? Namun akhirnya lega setelah mendengar dari Mbak Siti, bahwa gadis tadi hanya pengantar kue.Sementara Aksara masih menemani U
"Mbak Risa, Mas Aksara yang nelepon." Ulfa yang tidak sabar meraih ponsel milik kakaknya dan mengulurkan pada Marisa. "Angkat gih, Mbak bisa minta tolong nganterin daripada naik taksi."Nganterin? Marisa sungkan sebenarnya. "Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Aku sedang ada di jalan ini. Mau nggak kuajak ke Surabaya Great Expo?""Maaf, hari ini aku mau kondangan ke mantanku, Mas.""Oh ya? Di mana?""Di hotel Mataram.""Kamu sudah berangkat?""Belum. Ini baru mau pesan taksi.""Nggak usah pesan taksi. Aku bisa mengantarmu. Sebentar lagi aku udah nyampe rumahmu.""Apa aku nggak ngrepotin? Mas Aksara kan mau pergi ke expo?""Kita bisa pergi sepulangnya kamu dari kondangan. Tunggu saja di rumah, tak lama lagi aku sampai.""Oh, iya," jawab Marisa kemudian meletakkan ponselnya karena tanpa salam Aksara telah memutuskan panggilan."Gimana?" tanya Ulfa."Sebenarnya dia mau ngajak aku ke expo. Tapi aku bilang mau kondangan. Dia mau nganterin."Ulfa langsung berbinar bahagia. Gadis itu
Meski terkejut, Marisa berusaha tetap tenang mengendalikan perasaan. Kemudian Mbak Siti masuk ke dalam. Sosok gadis bernama Hafsah menjelma dalam benaknya. Dari pakaian yang dikenakannya, sudah bisa ditebak dia perempuan seperti apa. Cantik, terpelajar, dan salehah tentunya.Marisa memainkan jemarinya. Bertaut satu sama lain, menunjukkan keresahannya. Dia tidak boleh kecewa, bukankah antara dirinya dan Aksara tidak memiliki hubungan apa-apa. Ditariknya napas dalam-dalam. "Sudah lama datang?" Pertanyaan seorang wanita yang memakai jilbab lebar itu mengejutkan Marisa. Bu Arum muncul dari pintu yang menghubungkan dengan ruang dalam. Wanita itu tersenyum ramah dan menyambut uluran tangan Marisa yang kemudian mencium punggung tangannya."Saya belum lama sampai, Bu," jawab Marisa sopan. Lantas kembali duduk setelah Bu Arum juga duduk. Dia merasa canggung saat mamanya Aksara memperhatikannya."Maaf, nunggu lama ya. Aku salat zhuhur tadi." Aksara muncul dan meminta maaf."Ya, nggak apa-apa,
Apa Aksara ini seperti Daniel si bosnya? Udah punya pasangan masih juga butuh gebetan lain. Tapi kenapa harus Marisa lagi. Apa tampangnya ini seperti wanita penggoda, gampangan, dan murahan? Perasaan Marisa teriris pedih."Besok aku jemput kamu pulang kantor. Kamu pulang jam empat, kan?" Aksara membuka suara setelah beberapa saat saling diam. "Nggak usah, Mas. Nanti ngrepotin aja. Tempat kerja Mas kan di Gresik.""Nggak apa-apa. Tapi ya memang kamu harus nunggu sampai aku tiba di kantormu."Marisa menggeleng. "Nggak usah, makasih." Tidak perlu bertanya soal tunangan, lebih baik dirinya yang tahu diri dan membatasi interaksi dengan Aksara. Jika ditanya belum tentu mengaku, parahnya lagi dikira nanti dirinya yang ke GR-an dengan pertemanan mereka. Karena pernah lelah dan terluka membuat Marisa harus menjaga diri.Mobil berhenti di depan gang rumah Marisa. Jarak rumah mereka sebenarnya tidak jauh, hanya saja mesti jalan memutar, mengikuti rambu-rambu jalan. Ketika mobil hendak berbelok
Sebagian perempuan pasti suka barang kemas seperti itu. Disamping bisa mempercantik diri dan melengkapi penampilan, perhiasan juga bisa menjadi barang investasi."Tadi niatnya aku yang mau bikin kejutan. Tapi justru Mas yang bikin aku kaget. Malah aku nggak nyiapin kado. Mas, mau kado apa?" tanya Marisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di leher sang suami."Sayang, kamu serius ingin mas memilih sendiri kadonya?"Marisa mengangguk yakin. Apa yang ditakutkan? Toh biasanya mereka akan merayakan hari spesial dengan cara menghabiskan sepanjang malam dalam kemesraan."Pilih saja. Mas, mau kado apa?" Marisa menatap lekat wajah suaminya."Anak," jawab Aksara singkat tapi serius."Apa?""Anak ketiga. Katanya Mas harus milih sendiri. Makanya Mas pilih anak."Senyum Marisa masih bertahan, ia ingin merayu sang suami agar mengganti permintaan. "Coba minta yang lain?""Nggak bisa, Sayang. Mas disuruh milih kan tadi, ya udah mas pilih anak. Tapi kamu nggak boleh curang, nanti diam-diam pakai
Marisa tersenyum ramah dan menyalami Mahika dan keluarganya yang menunggu di meja panjang. Tempat yang telah di booking tadi siang. Aksara juga melakukan hal yang sama. Membimbing kedua anaknya untuk salim pada mereka."Maaf, Mama nunggu lama, ya?" Marisa mencium kedua pipi mertuanya."Enggak. Kami juga baru saja sampai," jawab Bu Arum lirih.Beberapa pelayan restoran menyuguhkan minuman.Aksara dan Marisa duduk bersebelahan. Sedangkan anak-anak duduk bersama Ubed di sebelah Mahika. Si centil Keisya sangat dekat dengan budhenya.Mbak Siti, Mbak Dwi, dan pengasuh Ubed juga ikut duduk bergabung di sana. Bu Arum mengajarkan pada putra-putranya agar tidak membedakan mereka. Makanya mereka pada betah bekerja. Marisa heran karena Aksara diam, tidak juga bertanya sebenarnya mereka ada acara apa. Mungkin sang suami mikirnya hanya makan malam biasa. Tak apalah, bukankah sudah lumrah kalau suami jarang yang ingat dengan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Bahkan tanggal lahirnya pun terkadan
"Mbak, aku mau ngajak Mbak Mahika dan Mas Johan bikin surprise untuk anniversary pernikahan kami yang ketujuh."Mahika menatap lekat Marisa. "Hari ini anniversary pernikahan kalian?"Marisa mengangguk. "Sepertinya Mas Aksa lupa sama hari ini. Makanya aku ingin mengajak kalian bikin surprise. Tadi aku sudah telepon Kafe Harmoni untuk booking tempat. Kita dinner malam ini. Aku sudah telepon Mama sehabis makan siang tadi.""Oke, jam berapa nanti?" tanya Mahika."Jam tujuh sampai kafe. Nanti Mbak sama Mas Johan yang jemput mama, ya. Aku langsung ngajak Mas Aksa dan anak-anak ke kafe. Ajak sekalian papa dan mamanya Mbak Mahika."Kebetulan Pak Raul dan Bu Raul memang berada di rumah Mahika sudah dua hari ini. Setelah pensiun, Pak Raul memang lebih sering datang ke Surabaya. Sebab cucu-cucunya di Jombang sudah pada besar-besar semua. Sibuk sendiri dengan kuliahnya. Jadi hanya Ubed yang menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Terlebih jika anak-anak Aksara ada di sana juga.Mahika mengangguk.
Hafsah tersenyum dengan gaunnya yang menerawang. Hadiah dari Kholifah. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi. Memperhatikan penampilan barunya. Cantik juga dia memakai gaun kurang bahan itu."Pakailah nanti di malam pengantinmu. Membahagiakan suami pahalanya besar. Kamu pun tahu hal itu. Jadi nggak perlu Mbak perjelas," pesan Kholifah kemarin sore. Ketika baru tiba dari Jember dan menemuinya di kamar.Kholifah lah yang berhasil membuka minda Hafsah. Memarahi juga menasehati. Kholifah berceramah panjang lebar, banyak pandangan, hadist nabi yang di sampaikan dengan segala pemahaman. Baru dengan sepupunya itu hati Hafsah terbuka.Sedangkan dengan Latifa, sepupunya yang paling dekat di Surabaya, juga teman-temannya, justru malah sering mengompori untuk membenci Marisa. Mendukungnya merebut Aksara dari istrinya. Namun tidak dengan Kholifah yang sangat menentang keras dan menyebutnya perempuan tidak punya harga diri. Terkadang di tampar berkali-kali baru membuat seseorang sadar dengan
Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam
Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,
Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja
"Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks
Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan