Share

Part 2 Dilema

last update Last Updated: 2023-03-27 10:11:24

"Aksara, Hafsah itu gadis yang baik, Nak. Kita juga sudah kenal baik dengan keluarganya." Bu Arum masih mencoba meluluhkan hati putranya saat mereka tengah makan malam berdua.

"Karena terlalu baik itulah makanya nggak cocok sama aku, Ma. Kasihan dia."

Bu Arum menarik napas dalam-dalam. Entah sudah berapa kali dia membujuk Aksara, tapi pria muda itu tetap pada pendiriannya. Terus sampai kapan siap untuk menikah. Usianya sudah menginjak angka tiga puluh empat tahun. Pekerjaan juga mapan.

Apa kurangnya Hafsah di mata Aksara. Gadis berhijab dan rajin ibadah itu juga cantik dan sopan. Ketika pria lain berlomba untuk mendapatkannya, Aksara justru mundur meski jelas sudah mendapatkan restu. Apa yang ditakutkan Aksara? Masalah finansial dia sudah mapan. Soal ibadah, bukankah mereka bisa belajar bersama-sama. Usia Hafsah sudah cukup matang, dua puluh delapan tahun. Hanya saja dia gadis yang jarang keluar rumah, kecuali mengajar di Madrasah Tsanawiyah dan mengajar mengaji anak-anak tiap sore di TPQ.

"Mama jadi sungkan sama Bu Abdul, Sa. Mereka juga sangat berjasa pada kita." Ucapan Bu Arum membuat Aksara kehilangan selera makan. Nasi yang telah dikunyah, serasa tersekat di tenggorokan. "Mereka orang-orang baik."

Aksara diam sampai habis makanan di piringnya. Tak dipungkiri kalau keluarga Kyai Haji Abdul Qodir memang sangat berjasa pada keluarganya. Terlebih saat sang kakak terjerat kasus hukum. Teman baik papanya itu yang memberikan support disaat satu per satu tetangga, sahabat, bahkan kerabat menjauh.

Namun kenapa harus dia yang dipilih. Kenapa tidak menjodohkan Hafsah dengan sesama guru, penghapal Al Qur'an, anak pondokan, anak kyai yang sudah jelas ilmu agamanya. Kenapa harus dirinya yang salat pun terkadang hampir telat.

"Pikirankanlah, Nak. Apa yang kamu cari dan kamu tunggu. Hafsah gadis yang sempurna," ucap sang mama sebelum Aksara masuk ke dalam kamarnya.

Bertahan sendirian sekian lama bukan karena Aksara mencari yang sempurna. Kalau kesempurnaan yang ditunggu, maka sampai dia menutup mata pun tidak akan pernah menemukannya. Sebab pada dasarnya, pernikahan adalah menyatunya dia jiwa untuk saling menyempurnakan kekurangan dan kelebihan pasangan.

Setelah patah hati demikian dalam, Aksara hanya fokus pada keluarganya, pada kasus sang kakak, dan mendedikasikan diri pada pekerjaan. Terlebih sekarang dia menjabat sebagai site engineering. Waktunya banyak tersita di lapangan untuk mengatur tim yang bekerja. Kalau ada waktu disempatkan nongkrong minum kopi bersama rekan-rekannya atau mengajak Ubaidillah, sang keponakan jalan-jalan di mall. Minum es krim berdua dan membeli mainan. Terkadang juga mengurusi yayasan yang dikelola bersama beberapa temannya.

***LS***

Marisa meletakkan barang belanjaannya di meja dapur. Ulfa, adiknya yang pertama membantunya membongkar barang-barang dari kantung plastik dan menyimpannya di tempat biasa.

"Ibu mana?" tanya Marisa.

"Nganterin bolu ke rumahnya Bu Tirta, Mbak. Najwa yang bantuin," jawab Ulfa sambil memindahkan buah-buahan ke dalam kulkas. Najwa adik bungsu Marisa yang baru berumur sepuluh tahun.

"Budhe Lasmi jadi pulang hari ini?"

"Besok, Mbak. Tadi masih bantuin ibu nyiapin pesanan. Sekarang budhe ada di kamar, salat isya," jawab Ulfa tentang budhenya yang sambang ke rumah mereka sudah tiga hari ini.

"Ya sudah, aku mau mandi dulu." Marisa beranjak ke arah kamarnya untuk mengambil baju ganti.

"Mbak Risa, sudah makan?" tanya Ulfa setengah berteriak. Dijawab Marisa dengan mengacungkan jempolnya.

Rumah itu hanya terdiri dari tiga kamar yang sempit. Satu kamar untuk ibunya dan si bungsu Najwa. Satu kamar untuk Marisa dan Ulfa, satu kamar lagi untuk Ziyan. Satu-satunya anak lelaki di rumah itu. Ziyan umur enam belas tahun dan duduk di bangku SMA.

Kalau Ziyan memilih tidur di sofa atau di musholla. Kamarnya akan di tempati oleh Ulfa.

"Kok kamu malem banget pulangnya, Nduk?" tanya Budhe Lasmi pada Marisa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya menyatu dengan dapur.

"Iya, Budhe. Tadi sekalian mampir belanja." Marisa duduk di depan wanita sepuh itu. Di kursi meja makan.

Budhe Lasmi menatap lekat sang keponakan. "Usiamu sudah dua puluh enam, Ris. Sudah waktunya kamu memikirkan hidupmu sendiri. Pikirkanlah pernikahanmu."

Marisa tersenyum samar. Kalau boleh jujur, dia pun punya keinginan untuk segera menikah seperti teman-teman lainnya. Bahkan si tembem Ari juga akan menikah tak lama lagi. Dia yang gendut saja akan bersuami, sedangkan dirinya yang cantik dan langsing entah kapan akan menikah. Kekasih pun sekarang juga tidak punya.

"Nantilah, Budhe. Kalau aku menikah sekarang bagaimana adik-adik. Setidaknya biar Ulfa bekerja dulu. Supaya ada yang bantu ibu membiayai Ziyan dan Najwa."

Wanita itu terharu menatap sang keponakan. Semenjak bapaknya meninggal tiga tahun yang lalu, Marisa yang ganti memikul tanggung jawab pada keluarganya. Membiayai sekolah adik-adiknya juga untuk membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hasil dari menerima pesanan kue tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokok mereka. Bayar listrik, iuran warga, biaya kuliah Ulfa, dan uang SPP Ziyan. Kalau Najwa tidak membayar SPP karena masih SD dan sekolah di negeri. Sesekali adiknya itu mendapatkan santunan anak yatim. Bisa membantu untuk membeli perlengkapan sekolah. Pengeluaran yang tak terduga kalau ada kondangan. Hidup bermasyarakat, hal demikian harus tetap diperhatikan. Berapapun sumbangan yang sanggup diberikan oleh orang kecil seperti mereka.

"Tapi kalau nunggu Ulfa selesai kuliah, umurmu dah berapa?"

"Nggak apa-apa, Budhe," jawab Marisa sambil menatap permukaan meja. Bahkan kalau dia tidak menikah demi keluarga, Marisa rela. Sudah sepasrah itu pemikirannya. Apalagi setelah patah hati karena putus dari Dimas. Laki-laki mana yang mau menikahinya sekaligus menerima seluruh keluarganya. Terlebih mau mengerti bahwa Marisa masih harus membantu adik-adiknya.

Dia gadis yang sangat cantik. Banyak yang mendekati, tapi hanya mau Marisa saja. Laki-laki kaya juga menginginkan perempuan yang sejajar dengan mereka. Bukan si miskin seperti Marisa. Kalau pun ada, pasti pria iseng seperti Daniel yang ingin menjadikannya perempuan simpanan.

"Sebenarnya budhe sudah bicara sama ibumu tadi siang. Budhe menyarankan sebaiknya kalian pindah ke desa saja. Tapi ibumu bilang bisa apa di sana karena sudah terbiasa mencari rezeki di kota. Kalau di desa memang kebanyakan kerja di sawah dan kebun," kata Budhe Lasmi setelah beberapa saat terdiam.

"Ibu nggak bisa kerja berat, Budhe. Setelah melahirkan Najwa, ibu sering mengalami turun peranakan kalau kecapekan."

"Iya, serba salah, Ris."

"Nggak apa-apa. Kami bisa bertahan kok di sini. Lagian sejak kecil aku sudah terbiasa di sini. Ulfa juga bisa kerja part time sepulang kuliah. Lumayan bisa untuk uang saku dan fotocopy tugas kuliahnya."

Budhe Lasmi mengangguk dengan netra berkaca-kaca. Seandainya saja ia bisa membantu. Tentu akan meringankan beban keluarga adiknya. Tapi ia sendiri hanya bergantung pada anak-anaknya juga. Sebab hasil panen pun tidak menentu.

"Bagaimana kabarnya Dimas?" tanya wanita itu pada sosok pemuda yang menjadi kekasih Marisa.

"Dia akan menikah bulan depan, Budhe," jawab Marisa sambil menceritakan sekilas tentang hubungannya dengan Dimas yang kandas.

"Jadi kalian putus?"

Marisa mengangguk. Kemudian hening. Seandainya dia bersedia menikah sekarang, pasti dia yang akan menjadi mempelai perempuannya. Walaupun orang tua Dimas kelihatan tidak suka, tapi tidak pernah menentang hubungan mereka. Mimpi Marisa hancur di hari mereka sepakat untuk mengakhiri hubungan.

"Yo wis, yang sabar yo, Nduk. Budhe doain semoga kelak kamu mendapatkan jodoh laki-laki yang bisa membahagiakanmu."

"Aamiin. Makasih, Budhe," jawab Marisa sambil memandang wanita yang wajahnya bak pinang dibelah dua dengan sang ibu.

***LS***

Semenjak Ulfa kuliah, Marisa berangkat ke kantor selalu naik angkot. Kalau terpaksa karena waktunya mepet, baru naik taksi online yang ongkosnya tentu lebih mahal dari kendaraan umum. Motornya dipakai sang adik untuk kuliah. Sedangkan motor butut peninggalan bapaknya, dipakai ibu untuk belanja, mengantarkan adik-adiknya ke sekolah, dan mengantarkan pesanan. Ingin beli cash jelas tidak mungkin, sedangkan dengan cara mengangsur saja mesti mikir-mikir dulu.

Pagi itu di dalam angkot, Marisa merenung menatap jalanan yang selalu bising dengan deru kendaraan yang macet. Namun dari banyaknya pemandangan di luar sana, ia masih bersyukur. Sesusah apapun mereka, adik-adiknya tidak pernah turun ke jalan untuk mengamen dan meninggalkan sekolah. Ternyata masih ada kehidupan di bawah keluarganya. Ibunya selalu bilang, "Jangan lihat atas. Lihatlah ke bawah. Masih banyak yang hidup lebih susah dari kita, Ris. Kita masih beruntung memiliki rumah meski sederhana."

Marisa tidak menyadari, tepat di sebelahnya ada yang sedang memperhatikan dari balik kaca mobilnya. Seorang pria dengan tampang di atas rata-rata. Namun hanya memperhatikan dan tidak berniat membuka kaca.

Tergesa Marisa melangkah menuju kantor setelah turun dari kendaraan umum. Tinggal beberapa menit saja ia harus sampai. Kemacetan tadi membuatnya nyaris terlambat.

Sesampainya di meja kerjanya, gadis itu membenahi pita yang menjadi hiasan blouse-nya. Kemudian merapikan rambutnya dengan sisir kecil yang selalu tersimpan di dalam tas.

Buru-buru dimasukkan sisir warna pink itu ke dalam tas, saat di depannya berdiri tegak pria gagah dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. "Ke ruanganku sebentar. Laporanmu kemarin masih ada yang salah," ucap Daniel datar, kemudian berlalu pergi ke ruangannya sendiri.

Marisa berdiri kemudian saling pandang dengan Ari di sebelahnya. Meja mereka hanya tersekat papan setinggi dada orang dewasa.

Gadis itu menuju ke ruangan si bos. Perasaan kemarin sudah dibenahinya dengan sempurna. Lalu bagian mana lagi yang salah? Apa itu hanya akal-akalan bosnya saja?

"Kenapa Mbak Tari nggak segera masuk kerja? Sakit apa sih dia?" tanya Marisa dalam hati. Sekretaris bosnya itu memang sudah dua hari ini tidak masuk karena sakit. Kalau ada wanita itu, Marisa hanya akan berurusan dengannya saja. Baru perempuan dengan dua anak itu yang akan berhubungan langsung dengan Daniel.

Berkas diletakkan Daniel tepat di depan Marisa. "Kamu cek lagi. Kamu tahu apa akhibatnya kalau salah dalam membuat laporan keuangan?" tanya pria itu dengan sorot mata tajam.

"Itu akan mempengaruhi terhadap perhitungan pajak, denda yang mesti dibayar, dan proses audit dalam perusahaan nanti," lanjut Daniel.

"Iya, Pak. Saya ngerti," jawab Marisa sambil memperhatikan berkas di depannya. Entah mana yang salah, entah apa yang dipikirkan hingga membuat dirinya melakukan kesalahan. Padahal biasanya juga aman-aman saja walaupun di kepalanya banyak beban.

"Saya akan mengecek dan membenahi segera, Pak." Marisa bangkit sambil membawa laporannya.

"Tunggu," cegah Daniel sambil menegakkan duduknya. Kemudian mengeluarkan dua buah tiket dari saku celananya dan menaruhnya di atas meja. "Saya tunggu kamu di Cineplex jam tujuh malam."

*****

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Siti Untari
cewek harus keukeh
goodnovel comment avatar
Diajheng Widia
makin gencaaar daNiell mendekati marissa
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
serba salah kalo jadi Aksara. nolak sungkan gk nolak hatinya gk mantep sama Hafsah.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 3 Gadis Pemberani

    Marisa tercekat. Tubuhnya seolah terpaku di tempat dengan jantung yang berdetak kencang. Nekat benar si bos ini."Maaf, Pak. Sa-saya ... saya nggak bisa," jawab gadis itu terbata. Kemudian dengan langkah cepat meninggalkan ruangan sambil membawa berkas laporan di tangan.Sampai di mejanya pun tubuh Marisa masih gemetar. Daniel mulai melangkah lebih berani lagi. Sekarang mengajaknya nonton, besok entah apalagi. Saat ini dia bisa menolak, tidak tahu kemudian hari nanti. Namun apapun yang terjadi, dia tidak akan meladeni pria beristri itu."Sssttt, ngapain kamu? Kaya lihat hantu saja," tegur Ari yang nongol di sampingnya. Marisa menoleh sebentar pada rekannya, kemudian mulai membuka laporan yang harus dibenahi. Jika tidak segera dikerjakan, dia pula yang akan dikerjai oleh bosnya."Ada yang salah lagi?" tanya Ari masih penasaran dengan sikap Marisa."Nanti saja aku cerita," jawab gadis itu tanpa menoleh. Ari kembali duduk daripada mengundang perhatian staf yang lain.Sementara di dalam r

    Last Updated : 2023-03-27
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 4 Pertemuan

    "Aksara." Aksara menyebutkan namanya saat bersalaman dengan Daniel di sebuah ruangan ukuran empat kali tiga meter yang di fungsikan sebagai kantor di yayasan."Anda, pengurus juga di sini?" tanya Daniel setelah mereka duduk. Agus datang membawakan tiga botol minuman dingin."Saya hanya membantu Mas Agus mengelola tempat ini, mencarikan donatur dan mengurus sesuatu yang saya mampu. Untuk kepengurusan mutlak ada di tangan teman saya, Pak Daniel." Aksara menjelaskan. Agus yang baru duduk itu menatap teman dekatnya. Laki-laki pendiam dengan jiwa kepedulian yang tinggi. Aksara terlalu merendah. Padahal dia punya andil besar untuk mengurusi dan mencarikan donatur tetap yayasan.Daniel mengangguk-angguk sambil memperhatikan keluar dari jendela kaca. Tadi waktu ia baru masuk, tampak ada bangunan yang terbengkalai di samping sebelah kiri. Di pojok ruangan ada kardus-kardus berisi sumbangan buku bacaan yang belum sempat dibuka, karena tempat untuk menyimpan benda itu masih belum selesai di ban

    Last Updated : 2023-03-29
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 5 Marisa

    Sambil sesekali menatap ke arah Marisa, Aksara meladeni perkataan Ubed yang tengah makan puding. Tadi dia sudah menyuapi bocah kecil itu makan bakso. Sabtu ini dia lembur setengah hari dan langsung menjemput sang keponakan ke rumahnya. Sebab tadi malam Mahika menelepon, karena Ubaidillah minta diajak ke kid zone. Diajak sang ibu sendiri tidak mau dan memilih Aksara yang menemani.Aksara sudah terbiasa mengajak keponakannya sendirian untuk jalan-jalan atau membeli mainan. Dia tidak kaku meski belum pernah memiliki anak sendiri. Sebisa mungkin Aksara akan menjadi sosok yang membuat Ubaidillah tidak kehilangan figur ayah. Semoga tak lama lagi kakaknya akan terbebas dari penjara. Marisa yang menoleh bersitatap dengan Ubed yang memandang ke arahnya. Marisa tersenyum, ingat kalau dia bocah yang menabraknya beberapa hari yang lalu. "Ar, itu anak kecil yang menabrakku waktu di ITC, kan?"Ari menoleh, turut memperhatikan. "Iya. Ih, ganteng bingit. Tapi mana mamanya, waktu kita jumpa kemarin

    Last Updated : 2023-03-29
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 6 Mulai Dekat

    Hafsah berjongkok sambil memberikan sebatang cokelat pada bocah kecil yang menggemaskan di depannya. Sekilas dia memandang Marisa yang duduk tak jauh dari Aksara.Marisa sendiri segera bangkit dari duduknya. "Maaf, Mas. Saya permisi dulu ya. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya pada mbaknya tadi."Meski tak rela Marisa pergi secepat itu, tapi Aksara hanya bisa mengangguk dan memerhatikan Marisa yang tengah memakai helmnya."Mari, Mbak." Marisa mengangguk sopan pada Hafsah. Gadis berjilbab itu tersenyum sambil mengangguk juga. Marisa pergi mengendarai motor matic-nya.Setelah memberikan cokelat, Hafsah kembali berdiri. Tersenyum sebentar pada Aksara kemudian masuk rumah lewat pintu samping. Dalam hati sempat bertanya-tanya tentang gadis cantik yang duduk bersama Aksara. Rasa nyeri sangat terasa di lubuk hati. Apakah dia kekasih pria yang dikagumi diam-diam? Namun akhirnya lega setelah mendengar dari Mbak Siti, bahwa gadis tadi hanya pengantar kue.Sementara Aksara masih menemani U

    Last Updated : 2023-03-29
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 7 Salah Sangka

    "Mbak Risa, Mas Aksara yang nelepon." Ulfa yang tidak sabar meraih ponsel milik kakaknya dan mengulurkan pada Marisa. "Angkat gih, Mbak bisa minta tolong nganterin daripada naik taksi."Nganterin? Marisa sungkan sebenarnya. "Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Aku sedang ada di jalan ini. Mau nggak kuajak ke Surabaya Great Expo?""Maaf, hari ini aku mau kondangan ke mantanku, Mas.""Oh ya? Di mana?""Di hotel Mataram.""Kamu sudah berangkat?""Belum. Ini baru mau pesan taksi.""Nggak usah pesan taksi. Aku bisa mengantarmu. Sebentar lagi aku udah nyampe rumahmu.""Apa aku nggak ngrepotin? Mas Aksara kan mau pergi ke expo?""Kita bisa pergi sepulangnya kamu dari kondangan. Tunggu saja di rumah, tak lama lagi aku sampai.""Oh, iya," jawab Marisa kemudian meletakkan ponselnya karena tanpa salam Aksara telah memutuskan panggilan."Gimana?" tanya Ulfa."Sebenarnya dia mau ngajak aku ke expo. Tapi aku bilang mau kondangan. Dia mau nganterin."Ulfa langsung berbinar bahagia. Gadis itu

    Last Updated : 2023-03-29
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 8 Pesan tak Terjawab 1

    Meski terkejut, Marisa berusaha tetap tenang mengendalikan perasaan. Kemudian Mbak Siti masuk ke dalam. Sosok gadis bernama Hafsah menjelma dalam benaknya. Dari pakaian yang dikenakannya, sudah bisa ditebak dia perempuan seperti apa. Cantik, terpelajar, dan salehah tentunya.Marisa memainkan jemarinya. Bertaut satu sama lain, menunjukkan keresahannya. Dia tidak boleh kecewa, bukankah antara dirinya dan Aksara tidak memiliki hubungan apa-apa. Ditariknya napas dalam-dalam. "Sudah lama datang?" Pertanyaan seorang wanita yang memakai jilbab lebar itu mengejutkan Marisa. Bu Arum muncul dari pintu yang menghubungkan dengan ruang dalam. Wanita itu tersenyum ramah dan menyambut uluran tangan Marisa yang kemudian mencium punggung tangannya."Saya belum lama sampai, Bu," jawab Marisa sopan. Lantas kembali duduk setelah Bu Arum juga duduk. Dia merasa canggung saat mamanya Aksara memperhatikannya."Maaf, nunggu lama ya. Aku salat zhuhur tadi." Aksara muncul dan meminta maaf."Ya, nggak apa-apa,

    Last Updated : 2023-03-29
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 9 Pesan tak Terjawab 2

    Apa Aksara ini seperti Daniel si bosnya? Udah punya pasangan masih juga butuh gebetan lain. Tapi kenapa harus Marisa lagi. Apa tampangnya ini seperti wanita penggoda, gampangan, dan murahan? Perasaan Marisa teriris pedih."Besok aku jemput kamu pulang kantor. Kamu pulang jam empat, kan?" Aksara membuka suara setelah beberapa saat saling diam. "Nggak usah, Mas. Nanti ngrepotin aja. Tempat kerja Mas kan di Gresik.""Nggak apa-apa. Tapi ya memang kamu harus nunggu sampai aku tiba di kantormu."Marisa menggeleng. "Nggak usah, makasih." Tidak perlu bertanya soal tunangan, lebih baik dirinya yang tahu diri dan membatasi interaksi dengan Aksara. Jika ditanya belum tentu mengaku, parahnya lagi dikira nanti dirinya yang ke GR-an dengan pertemanan mereka. Karena pernah lelah dan terluka membuat Marisa harus menjaga diri.Mobil berhenti di depan gang rumah Marisa. Jarak rumah mereka sebenarnya tidak jauh, hanya saja mesti jalan memutar, mengikuti rambu-rambu jalan. Ketika mobil hendak berbelok

    Last Updated : 2023-03-29
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 10 Kamu 1

    Marisa kaget saat melihat pria tegap berdiri menunggunya. Hendak berbalik juga tidak mungkin, karena hanya jalan depan sana yang dilalui angkutan umum dan melewati tempat kerjanya. Gadis itu melangkah dengan pelan, sedangkan Aksara berdiri menunggunya dengan kedua tangan masuk dalam saku celana.Makin dekat dada Marisa kian berdebar-debar. Kenapa Aksara mencarinya? Apa dia seperti Daniel yang nekat walaupun sudah punya pasangan?Senyum Aksara makin manis, saat gadis itu kian mendekat. Marisa meredam debaran dalam dada dan membalas senyum Aksara. "Mas Aksara, kok ada di sini?" tegur Marisa."Aku ingin bertemu kamu. Katanya aku nggak boleh datang ke rumah. Ayo, kuantar ke kantor sebelum banyak orang melihat kita." Aksara membuka pintu mobil untuk Marisa.Tak ada pilihan lain selain mengikuti ajakan Asara. Daripada nanti tetangga gangnya keburu melihat."Kamu sudah sarapan?" tanya Aksara pada Marisa yang masih diam."Sudah.""Sebenarnya aku mau ngajakin kamu sarapan.""Enggak usah, Mas.

    Last Updated : 2023-03-29

Latest chapter

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 157 Anniversary 2

    Sebagian perempuan pasti suka barang kemas seperti itu. Disamping bisa mempercantik diri dan melengkapi penampilan, perhiasan juga bisa menjadi barang investasi."Tadi niatnya aku yang mau bikin kejutan. Tapi justru Mas yang bikin aku kaget. Malah aku nggak nyiapin kado. Mas, mau kado apa?" tanya Marisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di leher sang suami."Sayang, kamu serius ingin mas memilih sendiri kadonya?"Marisa mengangguk yakin. Apa yang ditakutkan? Toh biasanya mereka akan merayakan hari spesial dengan cara menghabiskan sepanjang malam dalam kemesraan."Pilih saja. Mas, mau kado apa?" Marisa menatap lekat wajah suaminya."Anak," jawab Aksara singkat tapi serius."Apa?""Anak ketiga. Katanya Mas harus milih sendiri. Makanya Mas pilih anak."Senyum Marisa masih bertahan, ia ingin merayu sang suami agar mengganti permintaan. "Coba minta yang lain?""Nggak bisa, Sayang. Mas disuruh milih kan tadi, ya udah mas pilih anak. Tapi kamu nggak boleh curang, nanti diam-diam pakai

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 156 Anniversary 1

    Marisa tersenyum ramah dan menyalami Mahika dan keluarganya yang menunggu di meja panjang. Tempat yang telah di booking tadi siang. Aksara juga melakukan hal yang sama. Membimbing kedua anaknya untuk salim pada mereka."Maaf, Mama nunggu lama, ya?" Marisa mencium kedua pipi mertuanya."Enggak. Kami juga baru saja sampai," jawab Bu Arum lirih.Beberapa pelayan restoran menyuguhkan minuman.Aksara dan Marisa duduk bersebelahan. Sedangkan anak-anak duduk bersama Ubed di sebelah Mahika. Si centil Keisya sangat dekat dengan budhenya.Mbak Siti, Mbak Dwi, dan pengasuh Ubed juga ikut duduk bergabung di sana. Bu Arum mengajarkan pada putra-putranya agar tidak membedakan mereka. Makanya mereka pada betah bekerja. Marisa heran karena Aksara diam, tidak juga bertanya sebenarnya mereka ada acara apa. Mungkin sang suami mikirnya hanya makan malam biasa. Tak apalah, bukankah sudah lumrah kalau suami jarang yang ingat dengan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Bahkan tanggal lahirnya pun terkadan

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 155 Masa Depan 2

    "Mbak, aku mau ngajak Mbak Mahika dan Mas Johan bikin surprise untuk anniversary pernikahan kami yang ketujuh."Mahika menatap lekat Marisa. "Hari ini anniversary pernikahan kalian?"Marisa mengangguk. "Sepertinya Mas Aksa lupa sama hari ini. Makanya aku ingin mengajak kalian bikin surprise. Tadi aku sudah telepon Kafe Harmoni untuk booking tempat. Kita dinner malam ini. Aku sudah telepon Mama sehabis makan siang tadi.""Oke, jam berapa nanti?" tanya Mahika."Jam tujuh sampai kafe. Nanti Mbak sama Mas Johan yang jemput mama, ya. Aku langsung ngajak Mas Aksa dan anak-anak ke kafe. Ajak sekalian papa dan mamanya Mbak Mahika."Kebetulan Pak Raul dan Bu Raul memang berada di rumah Mahika sudah dua hari ini. Setelah pensiun, Pak Raul memang lebih sering datang ke Surabaya. Sebab cucu-cucunya di Jombang sudah pada besar-besar semua. Sibuk sendiri dengan kuliahnya. Jadi hanya Ubed yang menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Terlebih jika anak-anak Aksara ada di sana juga.Mahika mengangguk.

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 154 Masa Depan 1

    Hafsah tersenyum dengan gaunnya yang menerawang. Hadiah dari Kholifah. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi. Memperhatikan penampilan barunya. Cantik juga dia memakai gaun kurang bahan itu."Pakailah nanti di malam pengantinmu. Membahagiakan suami pahalanya besar. Kamu pun tahu hal itu. Jadi nggak perlu Mbak perjelas," pesan Kholifah kemarin sore. Ketika baru tiba dari Jember dan menemuinya di kamar.Kholifah lah yang berhasil membuka minda Hafsah. Memarahi juga menasehati. Kholifah berceramah panjang lebar, banyak pandangan, hadist nabi yang di sampaikan dengan segala pemahaman. Baru dengan sepupunya itu hati Hafsah terbuka.Sedangkan dengan Latifa, sepupunya yang paling dekat di Surabaya, juga teman-temannya, justru malah sering mengompori untuk membenci Marisa. Mendukungnya merebut Aksara dari istrinya. Namun tidak dengan Kholifah yang sangat menentang keras dan menyebutnya perempuan tidak punya harga diri. Terkadang di tampar berkali-kali baru membuat seseorang sadar dengan

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 153 Merajut Asa 2

    Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 152 Merajut Asa 1

    Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 151 Undangan 2

    Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 150 Undangan 1

    "Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 149 Kabar Gembira 2

    Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan

DMCA.com Protection Status