Beranda / Romansa / Di Antara Dua Pilihan / Part 6 Mulai Dekat

Share

Part 6 Mulai Dekat

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-29 12:41:01

Hafsah berjongkok sambil memberikan sebatang cokelat pada bocah kecil yang menggemaskan di depannya. Sekilas dia memandang Marisa yang duduk tak jauh dari Aksara.

Marisa sendiri segera bangkit dari duduknya. "Maaf, Mas. Saya permisi dulu ya. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya pada mbaknya tadi."

Meski tak rela Marisa pergi secepat itu, tapi Aksara hanya bisa mengangguk dan memerhatikan Marisa yang tengah memakai helmnya.

"Mari, Mbak." Marisa mengangguk sopan pada Hafsah. Gadis berjilbab itu tersenyum sambil mengangguk juga. Marisa pergi mengendarai motor matic-nya.

Setelah memberikan cokelat, Hafsah kembali berdiri. Tersenyum sebentar pada Aksara kemudian masuk rumah lewat pintu samping. Dalam hati sempat bertanya-tanya tentang gadis cantik yang duduk bersama Aksara. Rasa nyeri sangat terasa di lubuk hati. Apakah dia kekasih pria yang dikagumi diam-diam? Namun akhirnya lega setelah mendengar dari Mbak Siti, bahwa gadis tadi hanya pengantar kue.

Sementara Aksara masih menemani Ubaidillah makan cokelat. Pandangannya bergantian antara sang keponakan dan jalan depan rumah, di mana Marisa pergi bersama motornya.

Dalam perjalanan pulang, Marisa baru ingat kalau belum tahu nama laki-laki tadi. Bodohnya kenapa tak bertanya? Dibalik kaca helm-nya gadis itu tersenyum. "Dia pria yang sangat menarik. Tapi apa gadis tadi kekasihnya? Sepertinya bukan. Laki-laki itu bersikap sangat biasa dengan kedatangannya." Marisa berspekulasi sendiri.

***LS***

Acara pengajian ibu-ibu muslimah di rumah Bu Arum berjalan lancar dan hampir semua anggota pengajian bisa hadir siang itu. Mahika sendiri tidak canggung berinteraksi dengan mereka. Tak peduli mereka berpikir apa tentang dirinya dan Johan. Yang penting tetap menjaga sikap dan bersilaturahmi dengan tetangga sang mertua.

"Mbak, kenal gadis yang nganterin kue tadi?" tanya Aksara pelan setelah duduk di karpet sebelah Mahika yang sedang memangku Ubaidillah.

Malam itu Mahika memang menginap di sana. Besok pagi-pagi baru pulang.

"Enggak, sih. Yang kenal itu si mbak yang jagain Ubed. Mereka tetanggaan. Dari dia Mbak bisa pesan kue ke ibunya gadis tadi. Kalau nggak salah gadis itu namanya Marisa."

Aksara mengangguk. "Ya, namanya Marisa."

"Kamu kenal dia?"

"Belum lama kenal."

"Kamu suka dia?" Selidik sang kakak ipar sambil tersenyum. Mahika sudah berpengalaman membaca bahasa tubuh orang yang tengah kasmaran. Apalagi terlihat sikap Aksara yang berbeda.

Aksara menatap kakaknya sejenak kemudian beralih ke layar televisi. "Dia punya pacar?"

"Mana Mbak tahu, Sa." Kemudian Mahika menoleh ke arah dapur. Wanita itu berteriak memanggil asisten rumah tangganya yang sedang membantu Mbak Siti membereskan dapur. Saat itu Bu Arum masih salat isya di kamarnya.

"Mbak, duduk sini. Adikku mau tahu tentang Marisa."

Aksara tidak membantah. Dia tetap tenang dan tidak merasa malu.

"O, Mbak Marisa. Dia tetangga saya, Mas. Ibunya yang melayani pesanan kue. Kalau Mbak Marisa sendiri kerja di sebuah perusahaan, tapi saya nggak tahu di perusahaan apa." Si mbak diam sejenak sebelum melanjutkan bicara. "Mbak Marisa ini seperti jadi tulang punggung keluarga sekarang karena bapaknya sudah meninggal dan ketiga adiknya masih butuh biaya. Ketiganya masih sekolah."

"Umurnya berapa dia, Mbak?" Mahika yang bertanya.

"Seumuran adik bungsu saya. Dua puluh enam. Mereka dulu teman sekolah. Tapi adik saya sudah nikah dan punya anak."

"Marisa punya pacar, Mbak?"

Si mbak menggeleng. "Saya nggak tahu, Mas. Yang saya tahu pacarnya akan nikah nggak lama lagi. Nikah dengan gadis lain pilihan orang tua cowok itu."

Mendengar keterangan dari si mbak, perasaan Aksara jauh masuk ke dalam. Rasa tertarik, simpatik, dan kagum berkumpul jadi satu. Marisa terlihat memang sangat berbeda di matanya.

Setelah Mbak pergi, Mahika memandang sang adik ipar. "Gimana? Kamu suka dia?" Tanpa tedeng aling-aling, Mahika langsung to the point bertanya pada Aksara. Wanita itu bisa melihat ada kobaran cinta di mata adik iparnya. Kobar yang telah lama padam. Selama mereka kembali berhubungan baik, Mahika baru kali ini merasakan kalau Aksara sedang kembali jatuh cinta.

Tanpa berpikir lama, pria itu langsung mengangguk pasti. Cerita tentang Marisa tidak menghalanginya untuk mendekati gadis itu.

"Bagaimana dengan Hafsah? Mama sudah berencana untuk melamarnya untukmu."

"Kami belum ada pembicaraan serius mengenai rencana perjodohan itu. Aku juga merasa nggak sepadan dengan keluarga mereka, meski mereka telah memberikan kesempatan. Nanti aku akan bicara sama mama. Hafsah jauh diatasku, Mbak. Aku merasa nggak pantas saja. Sebagai pemimpin rumah tangga, aku merasa rendah jika dia terlalu sempurna."

Mahika mengangguk-angguk. Dia paham maksud adik iparnya.

"Tapi kamu sudah mendengar tentang Marisa yang memiliki banyak beban, kan? Dia punya tanggungjawab terhadap keluarganya. Dia yang paling sulung dan menjadi tumpuan ibunya saat ini."

"Aku paham," jawab Aksara cepat. Selama ini dia banyak berkecimpung di yayasan. Uangnya sudah berapa saja yang ia gunakan untuk keperluan anak-anak di sana. Jadi permasalahan Marisa tidak mengagetkannya. Ia percaya rezeki sudah diatur oleh Allah. Selagi mau berusaha, jalan keluar pasti ada.

Setelah banyak hal ia alami dan terjadi dalam keluarganya. Aksara bisa mengambil inti pehamaan dari apapun yang telah berlaku dan sedang dihadapi.

"Bicarakan dengan mama secara baik-baik, Sa. Mbak yakin, apa yang kamu putuskan tentu telah kamu pertimbangkan."

"Oke."

Sekarang butuh mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan sang mama. Memilih kata-kata yang tidak menyakiti tentunya. Semoga mamanya mengerti dan tidak kecewa.

***LS***

Di kamarnya Marisa berbaring sambil menatap tembok depannya. Hingga jam sebelas malam dia belum bisa terlelap. Sosok Aksara memenuhi ruang hatinya.

"Hati, tolonglah jangan jatuh cinta pada seorang yang mungkin tidak bisa aku miliki lagi. Tolonglah, aku masih ingin sendiri. Aku tak ingin kembali patah hati," batin Marisa sambil tangannya meremas dada.

Pikiran Marisa bergolak. Antara Aksara yang menarik baginya dan Daniel yang bersikap konyol padanya.

Tidak munafik dia butuh uang. Namun Marisa bisa berpikir jernih. Diberi uang tentu minta imbalannya. Dia makin merinding saat membayangkan imbalan apa yang harus diberikan. Bukan hanya sekedar menerima ajakannya untuk berkencan, tapi lebih dari itu. Tidak. Demi uang ia tidak akan menghalalkan banyak cara. Dia tidak ingin kehilangan kehormatan yang ia jaga selama ini.

"Mbak," panggil Ulfa lirih.

"Mbak Risa, sudah tidur?" tanya sang adik.

"Belum. Ada apa?" Marisa membalikkan badan. Kedua kakak beradik itu sekarang sama-sama terlentang menatap langit-langit kamar.

"Gimana kalau aku berhenti kuliah saja."

Marisa kaget kemudian menoleh pada Ulfa. "Kenapa?"

"Aku kasihan sama, Mbak Risa, sama ibu. Biarlah aku berhenti kuliah dan bekerja. Jadi buruh pabrik juga nggak apa-apa, supaya bisa bantu nyekolahin Ziyan dan Najwa. Aku nggak bisa lagi ngandelin beasiswa karena tahun depan mungkin aku nggak dapat lagi. Nilaiku menurun akhir-akhir ini. Aku nggak bisa konsentrasi belajar dengan situasi seperti ini."

Hening.

"Jangan berhenti, Ul. Mbak berharap setelah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekedar buruh pabrik, kamu bisa bantuin membiayai sekolah dua adik kita," ucap Marisa setelah beberapa saat diam.

"Tapi masih lama, Mbak. Aku baru masuk semester empat."

"Sudahlah kamu bertahan saja dulu. Kamu juga sambil kerja. Gajimu bisa untuk transportasi dan membeli buku." Marisa tidak sampai hati membiarkan adiknya berhenti kuliah. Sebab Ulfa pun juga bekerja dan jualan online. Kalau di rumah juga membantu ibu. Dia bukan pemalas dan rela mengorbankan masa-masa remajanya untuk membantu di rumah. Masih mendingan Marisa. Sesekali bisa nonton bersama Ari.

Ulfa akhirnya mengangguk pelan. Meski sebenarnya dia dihadapkan pada dua pilihan. Rasanya sangat berat jika drop out. Tapi di sisi lain dia iba pada kakak dan ibunya. Karena beban itu, sang kakak harus merelakan kekasihnya menikah dengan gadis lain.

"Tidurlah, besok pagi kita bantuin ibu goreng pastel."

"Ya, Mbak."

***LS***

Marisa gelisah di mejanya. Hari ini Mbak Tari sudah masuk kerja. Jadi semua tanggung jawab sudah diambil alih olehnya. Marisa tidak punya kesempatan untuk bicara dengan si bos. Bagaimana bisa bicara dengan Daniel untuk mengembalikan uangnya. Mencari tahu rekening pria itu hanya akan menimbulkan permasalahan.

Yang pasti staff payroll tahu rekening bosnya. Dia yang memegang semua rekening para karyawan. Tentu salah satu rekening milik Daniel pihak staff payroll pasti tahu.

Marisa benar-benar tidak tenang. Walaupun saat lewat di depan mejanya tadi pria itu tidak menoleh sama sekali. Sok tak peduli. Justru malah membuat gadis itu kelimpungan.

[Kenapa kamu gelisah?] Sebuah pesan masuk dari Daniel. Pesan sok tahu tentang apa yang dirasakan Marisa.

Dengan cepat Marisa mengetik balasan. [Maaf, saya mau mengembalikan uang, Pak Daniel. Saya tidak bisa menerima uang pemberian, Bapak.]

[Kenapa?]

[Karena saya tidak bisa menerimanya. Uang itu bukan hak saya.]

[Kamu takut saya meminta imbalan? Kamu takut saya menuntut sesuatu darimu?]

[Maaf, Pak. Saya ingin mengembalikan uang itu. Kirimkan nomer rekening milik Pak Daniel. Saya akan transfer balik uangnya.]

Satu menit, dua menit, hingga hampir lima menit ia menunggu tapi tidak ada balasan dari bosnya. Padahal Daniel masih dalam keadaan online. Marisa gelisah sambil mengetik di keyboard komputer dan memperhatikan layar bening di depannya. Pekerjaannya butuh konsentrasi dan harus dikerjakan dengan cepat. Namun permasalahan dengan Daniel mengganggu pikirannya.

Tidak lama kemudian Daniel lewat depan meja kerjanya sambil mengancingkan jas hitam yang dipakai. Tak sedikit pun pria itu menatap ke arahnya. Marisa makin gusar.

"Sssttt, bagaimana?" tanya Ari lirih sambil melonggok dari batas sekat meja kerjanya. Setelah memastikan si bos masuk ke dalam lift.

Marisa menggeleng sambil menunjukkan chat-nya dengan Daniel. Ari membaca sejenak kemudian mengembalikan ponsel temannya.

"Mbak Tari tadi membookingkan tiket pesawat untuk Pak Daniel. Katanya beliau akan ke Balikpapan selama dua mingguan." Ari bicara sangat lirih.

"Oh ya?"

Ari mengangguk, kemudian kembali duduk. Bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu dengan sahabatnya. Takut di dengar oleh rekan sebelahnya.

Sambil bekerja, Marisa memperhatikan ponselnya. Tak ada pesan lagi dari Daniel. Dia sendiri tidak berani mengirimkan pesan lebih dulu, takut berada di situasi yang tidak tepat.

Jika mengembalikan secara tunai juga kesulitan kapan akan memberikan uang sebanyak itu. Marisa dilema. Namun dia punya waktu dua minggu ini untuk mencari solusi.

***LS***

Matahari sore nyaris tenggelam di langit barat. Lampu-lampu kota juga telah menyala. Marisa masih duduk di halte untuk menunggu angkutan umum. Dari sekian angkot yang berhenti, tidak ada yang menuju ke rumahnya.

Mungkin Ari yang pulang dengan motornya telah sampai di rumah. Alamat mereka memang berlawanan arah, makanya tidak bisa saling berboncengan.

Marisa mengambil ponsel untuk menghubungi ojek online. Duduk menunggu di sana hanya membuang waktunya saja.

Belum sempat ia mengirimkan pesan lewat aplikasi, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Marisa berdecak lirih. Kenapa mobil itu harus parkir tepat di depannya yang menghalangi pandangannya pada angkot yang lewat.

Kaca pintu mobil di turunkan. Sosok laki-laki tampak melongok dari dalam. "Marisa, mari kuantarkan pulang," teriaknya.

Marisa kaget melihat Aksara yang telah tersenyum padanya. Hatinya mendadak lega sekaligus bahagia. Namun masih sungkan jika harus menerima tawaran pria yang baru ia kenal. "Makasih, Mas. Saya ngrepotin nanti. Biar saya naik angkot saja," tolaknya.

Aksara turun dari mobilnya dan menghampiri Marisa. "Nggak apa-apa. Aku juga mau ke rumah kamu. Mau pesan kue untuk acara anak-anak di yayasan minggu depan."

Gadis itu seketika berbinar. Orderan adalah rezeki yang tidak boleh ditolak. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Marisa menerima tumpangan dari Aksara dan dia memilih duduk di bangku tengah daripada duduk di samping pria itu.

Sebentar saja mereka bisa berbincang dengan akrab. Marisa gadis yang sangat ramah dan menyenangkan. Nalurinya mengatakan, Aksara bukan seperti pria yang memanfaatkan keadaan. Dia sopan dan tidak banyak bicara.

Mobil berhenti di ujung gang. Keduanya turun dan berjalan kaki hingga ke rumah. Bu Rahmi kaget saat putri sulungnya pulang bersama seorang laki-laki.

Aksara dengan sopan memperkenalkan diri. Marisa juga memberitahu kalau pria ini adik dari wanita yang tempo hari memesan kue yang di antarnya Minggu pagi.

"Kamu buatin minum dulu, Ris," suruh Bu Rahmi pada Marisa. Beliau sendiri pamit pada Aksara karena hendak menunaikan salat Maghrib.

Gadis itu segera melangkah ke dapur. Rumahnya sepi karena Ziyan dan Najwa biasanya masih ada di mushola setelah mengaji hingga selesai salat Maghrib. Sedangkan Ulfa baru pulang dari kerja part time-nya nanti jam setengah delapan.

Di ruang tamu, Aksara memperhatikan rumah yang jauh lebih kecil dari rumahnya. Tapi sangat bersih dan rapi. Di depan rumah ada pohon mangga yang rindang. Juga ada tanaman obat dan bunga. Membuat rumah sederhana itu tampak sejuk dan teduh.

Bermula dari pertemuan sore itu, hubungan mereka menjadi lebih akrab. Seminggu setelahnya Aksara sering mengirimkan pesan pada Marisa untuk bertanya kabar. Mereka juga sharing tentang beberapa hal. Perbedaan usia delapan tahun membuat Marisa menemukan sosok yang mengayomi.

***LS***

Pagi itu Marisa telah bersiap di kamarnya dengan dandanan yang berbeda. Hari Minggu ini adalah hari pernikahannya Dimas. Meski bilang tidak apa-apa, nyatanya dadanya bergejolak hebat. Rasa sakit dan sedihnya kembali terasa.

"Nggak usah pergi deh, kalau Mbak Risa nggak sanggup," kata Ulfa khawatir saat melihat sang kakak diam di depan cermin.

"Mbak tetap akan pergi, Ul. Tadi sudah janjian sama Ari."

"Mbak Risa, naik apa? Masa mau naik angkot dandan cakep begini?"

"Naik taksi saja nanti."

"Kenapa nggak minta tolong di anterin sama calon pacar Mbak itu?" goda Ulfa sambil tersenyum pada kakaknya.

"Siapa?"

"Mas Aksara."

"Dia bukan pacar Mbak."

"Iya, tadi kubilang kan calon pacar."

"Bisa aja kamu," jawab Marisa kemudian disambut tawa oleh adiknya.

"Mbak, ponselmu bunyi itu!" tunjuk Ulfa pada benda pipih yang berpendar di atas meja.

* * *

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
ciiia.. diem diem Marissa n Aksara saling suka hanya belum mengakuinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 7 Salah Sangka

    "Mbak Risa, Mas Aksara yang nelepon." Ulfa yang tidak sabar meraih ponsel milik kakaknya dan mengulurkan pada Marisa. "Angkat gih, Mbak bisa minta tolong nganterin daripada naik taksi."Nganterin? Marisa sungkan sebenarnya. "Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Aku sedang ada di jalan ini. Mau nggak kuajak ke Surabaya Great Expo?""Maaf, hari ini aku mau kondangan ke mantanku, Mas.""Oh ya? Di mana?""Di hotel Mataram.""Kamu sudah berangkat?""Belum. Ini baru mau pesan taksi.""Nggak usah pesan taksi. Aku bisa mengantarmu. Sebentar lagi aku udah nyampe rumahmu.""Apa aku nggak ngrepotin? Mas Aksara kan mau pergi ke expo?""Kita bisa pergi sepulangnya kamu dari kondangan. Tunggu saja di rumah, tak lama lagi aku sampai.""Oh, iya," jawab Marisa kemudian meletakkan ponselnya karena tanpa salam Aksara telah memutuskan panggilan."Gimana?" tanya Ulfa."Sebenarnya dia mau ngajak aku ke expo. Tapi aku bilang mau kondangan. Dia mau nganterin."Ulfa langsung berbinar bahagia. Gadis itu

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-29
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 8 Pesan tak Terjawab 1

    Meski terkejut, Marisa berusaha tetap tenang mengendalikan perasaan. Kemudian Mbak Siti masuk ke dalam. Sosok gadis bernama Hafsah menjelma dalam benaknya. Dari pakaian yang dikenakannya, sudah bisa ditebak dia perempuan seperti apa. Cantik, terpelajar, dan salehah tentunya.Marisa memainkan jemarinya. Bertaut satu sama lain, menunjukkan keresahannya. Dia tidak boleh kecewa, bukankah antara dirinya dan Aksara tidak memiliki hubungan apa-apa. Ditariknya napas dalam-dalam. "Sudah lama datang?" Pertanyaan seorang wanita yang memakai jilbab lebar itu mengejutkan Marisa. Bu Arum muncul dari pintu yang menghubungkan dengan ruang dalam. Wanita itu tersenyum ramah dan menyambut uluran tangan Marisa yang kemudian mencium punggung tangannya."Saya belum lama sampai, Bu," jawab Marisa sopan. Lantas kembali duduk setelah Bu Arum juga duduk. Dia merasa canggung saat mamanya Aksara memperhatikannya."Maaf, nunggu lama ya. Aku salat zhuhur tadi." Aksara muncul dan meminta maaf."Ya, nggak apa-apa,

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-29
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 9 Pesan tak Terjawab 2

    Apa Aksara ini seperti Daniel si bosnya? Udah punya pasangan masih juga butuh gebetan lain. Tapi kenapa harus Marisa lagi. Apa tampangnya ini seperti wanita penggoda, gampangan, dan murahan? Perasaan Marisa teriris pedih."Besok aku jemput kamu pulang kantor. Kamu pulang jam empat, kan?" Aksara membuka suara setelah beberapa saat saling diam. "Nggak usah, Mas. Nanti ngrepotin aja. Tempat kerja Mas kan di Gresik.""Nggak apa-apa. Tapi ya memang kamu harus nunggu sampai aku tiba di kantormu."Marisa menggeleng. "Nggak usah, makasih." Tidak perlu bertanya soal tunangan, lebih baik dirinya yang tahu diri dan membatasi interaksi dengan Aksara. Jika ditanya belum tentu mengaku, parahnya lagi dikira nanti dirinya yang ke GR-an dengan pertemanan mereka. Karena pernah lelah dan terluka membuat Marisa harus menjaga diri.Mobil berhenti di depan gang rumah Marisa. Jarak rumah mereka sebenarnya tidak jauh, hanya saja mesti jalan memutar, mengikuti rambu-rambu jalan. Ketika mobil hendak berbelok

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-29
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 10 Kamu 1

    Marisa kaget saat melihat pria tegap berdiri menunggunya. Hendak berbalik juga tidak mungkin, karena hanya jalan depan sana yang dilalui angkutan umum dan melewati tempat kerjanya. Gadis itu melangkah dengan pelan, sedangkan Aksara berdiri menunggunya dengan kedua tangan masuk dalam saku celana.Makin dekat dada Marisa kian berdebar-debar. Kenapa Aksara mencarinya? Apa dia seperti Daniel yang nekat walaupun sudah punya pasangan?Senyum Aksara makin manis, saat gadis itu kian mendekat. Marisa meredam debaran dalam dada dan membalas senyum Aksara. "Mas Aksara, kok ada di sini?" tegur Marisa."Aku ingin bertemu kamu. Katanya aku nggak boleh datang ke rumah. Ayo, kuantar ke kantor sebelum banyak orang melihat kita." Aksara membuka pintu mobil untuk Marisa.Tak ada pilihan lain selain mengikuti ajakan Asara. Daripada nanti tetangga gangnya keburu melihat."Kamu sudah sarapan?" tanya Aksara pada Marisa yang masih diam."Sudah.""Sebenarnya aku mau ngajakin kamu sarapan.""Enggak usah, Mas.

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-29
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 11 Kamu 2

    Mereka kembali saling pandang dan Marisa yang lebih dulu mengalihkan perhatian. Memang Daniel tidak minta imbalan secara langsung, tapi sebenarnya dia dirayu secara halus. Jika telah banyak yang ia terima, maka dengan sukarela Marisa akan takluk padanya.Hening memanjang. Daniel sengaja diam dan membiarkan Marisa kebingungan dan serba salah. Setelah melihat jam dinding, gadis itu mengambil ponselnya. "Saya permisi dulu, Pak," pamit Marisa. Dirinya harus keluar sebelum staf lainnya masuk ruangan.Daniel tidak menjawab, tapi membiarkan Marisa keluar tanpa membawa oleh-oleh yang diberikannya. Bukan Daniel kalau menyerah. Terlebih terhadap gadis jual mahal seperti Marisa. Dia makin tertantang untuk menaklukkannya.Meski suhu ruangan lumayan dingin, tapi Marisa berpeluh. Apalagi saat keluar ruangan bos, beberapa staf yang sudah berada di meja kerja masing-masing menatapnya dengan heran. "Pak Daniel, sudah pulang?" tanya Ari lirih seperti biasanya.Marisa mengangguk."Urusanmu tentang ua

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-29
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 12 Aksara 1

    Untuk beberapa saat Marisa diam tercekat sambil memandang laki-laki yang duduk tepat di depannya. Tak percaya dengan jawaban Aksara."Jangan bercanda, Mas.""Loh, siapa yang bercanda? Aku ngomong serius."Keduanya saling pandang dan Marisa yang mengalihkan perhatian terlebih dahulu. Mungkin wajahnya sekarang sudah semerah tomat. Atau bisa jadi malah terlihat pucat. Bibirnya terkunci tidak tahu mau ngomong apa. "Nanti kuantarkan kamu sampai di rumah. Aku akan bilang pada ibumu, bahwa aku ingin menjadikanmu istriku."Belum reda rasa kagetnya. Marisa kian membeku dengan ucapan Aksara baru saja. Bahkan jemarinya terasa dingin dan matanya mulai berkabut. Dalam dada bagai ribuan genderang berbunyi bertalu-talu. Riuh dengan berbagai rasa. Bahagia, takjub, dan tidak percaya.Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Kemudian memberanikan diri menatap mata Aksara. "Mas, tahu siapa saya 'kan? Keluarga saya, tanggungjawab saya.""Ya, aku tahu. Aku juga bukan orang kaya, Risa. Tapi dengan gajiku, kur

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-30
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 13 Aksara 2

    "Tehnya, Mas!" ucap Marisa lantas duduk di samping sang ibu.Sebenarnya ini bukan kali pertama Aksara datang ke rumah Marisa. Dulu sudah pernah dua kali sebelum gadis itu melarangnya karena takut menjadi pergunjingan tetangga."Silakan diminum, Nak Aksa. Maaf ya, nanti jangan lama-lama. Bukan maksud ibu mengusir, tapi kami hanya menjaga agar tidak ada pandangan negatif dari tetangga," kata Bu Rahmi dengan nada hati-hati. Aksara datang dengan sopan, walaupun Bu Rahmi jauh lebih tua tapi harus tetap mengimbanginya dengan sopan. "Ya, Bu. Saya paham." Aksara meraih gagang gelas dan menghabiskan setengah isinya. Meski perutnya sudah kenyang."Ibu, jangan cemas. Saya nggak ada niatan mempermainkan Marisa. Tadi saya sudah bicara, kalau hendak melamarnya." Kata-kata yang cukup lancar dan jelas itu membuat Bu Rahmi kaget. Marisa juga terdiam. Tak menyangka kalau Aksara akan bicara dengan ibunya malam itu juga. Bu Rahmi memandangi Marisa yang duduk di sebelahnya. Kemudian kembali beralih meman

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-30
  • Di Antara Dua Pilihan    Part 14 Main Perasaan 1

    Marisa memperkenalkan Hafsah pada ibunya. Gadis itu juga menyalami dua orang wanita setengah baya yang membantu Bu Rahmi pagi itu. Bu Rahmi menyambut ramah tamunya. Mereka berbincang tentang per-kue-an. Ternyata Hafsah ingin memesan beberapa puluh kotak kue untuk acara di sekolahnya nanti."Mau ada acara pertemuan wali murid, Bu. Jadi saya mau pesan kue. Acaranya masih minggu depan. Tapi kami mintanya di antar, karena nggak ada yang ngambil. Kira-kira bisa nggak?" tanya Hafsah dengan sopan."Bisa. Nanti kami antar," jawab Bu Rahmi yakin. Sebab beliau punya angkot langganan yang siap mengantarkan pesanan kapan saja.Marisa yang masih termangu akhirnya sadar kalau harus segera berangkat ke kantor. "Maaf, Mbak Hafsah. Saya berangkat kerja dulu ya. Maaf banget nggak bisa nemenin." Marisa tidak enak hati meninggalkan gadis itu. Tapi takut juga terlambat sampai di kantor."Ya, nggak apa-apa, Mbak. Tinggal saja," jawab Hafsah ramah."Hati-hati, Ris," pesan Bu Rahmi. Setelah punggung tanganny

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-31

Bab terbaru

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 157 Anniversary 2

    Sebagian perempuan pasti suka barang kemas seperti itu. Disamping bisa mempercantik diri dan melengkapi penampilan, perhiasan juga bisa menjadi barang investasi."Tadi niatnya aku yang mau bikin kejutan. Tapi justru Mas yang bikin aku kaget. Malah aku nggak nyiapin kado. Mas, mau kado apa?" tanya Marisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di leher sang suami."Sayang, kamu serius ingin mas memilih sendiri kadonya?"Marisa mengangguk yakin. Apa yang ditakutkan? Toh biasanya mereka akan merayakan hari spesial dengan cara menghabiskan sepanjang malam dalam kemesraan."Pilih saja. Mas, mau kado apa?" Marisa menatap lekat wajah suaminya."Anak," jawab Aksara singkat tapi serius."Apa?""Anak ketiga. Katanya Mas harus milih sendiri. Makanya Mas pilih anak."Senyum Marisa masih bertahan, ia ingin merayu sang suami agar mengganti permintaan. "Coba minta yang lain?""Nggak bisa, Sayang. Mas disuruh milih kan tadi, ya udah mas pilih anak. Tapi kamu nggak boleh curang, nanti diam-diam pakai

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 156 Anniversary 1

    Marisa tersenyum ramah dan menyalami Mahika dan keluarganya yang menunggu di meja panjang. Tempat yang telah di booking tadi siang. Aksara juga melakukan hal yang sama. Membimbing kedua anaknya untuk salim pada mereka."Maaf, Mama nunggu lama, ya?" Marisa mencium kedua pipi mertuanya."Enggak. Kami juga baru saja sampai," jawab Bu Arum lirih.Beberapa pelayan restoran menyuguhkan minuman.Aksara dan Marisa duduk bersebelahan. Sedangkan anak-anak duduk bersama Ubed di sebelah Mahika. Si centil Keisya sangat dekat dengan budhenya.Mbak Siti, Mbak Dwi, dan pengasuh Ubed juga ikut duduk bergabung di sana. Bu Arum mengajarkan pada putra-putranya agar tidak membedakan mereka. Makanya mereka pada betah bekerja. Marisa heran karena Aksara diam, tidak juga bertanya sebenarnya mereka ada acara apa. Mungkin sang suami mikirnya hanya makan malam biasa. Tak apalah, bukankah sudah lumrah kalau suami jarang yang ingat dengan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Bahkan tanggal lahirnya pun terkadan

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 155 Masa Depan 2

    "Mbak, aku mau ngajak Mbak Mahika dan Mas Johan bikin surprise untuk anniversary pernikahan kami yang ketujuh."Mahika menatap lekat Marisa. "Hari ini anniversary pernikahan kalian?"Marisa mengangguk. "Sepertinya Mas Aksa lupa sama hari ini. Makanya aku ingin mengajak kalian bikin surprise. Tadi aku sudah telepon Kafe Harmoni untuk booking tempat. Kita dinner malam ini. Aku sudah telepon Mama sehabis makan siang tadi.""Oke, jam berapa nanti?" tanya Mahika."Jam tujuh sampai kafe. Nanti Mbak sama Mas Johan yang jemput mama, ya. Aku langsung ngajak Mas Aksa dan anak-anak ke kafe. Ajak sekalian papa dan mamanya Mbak Mahika."Kebetulan Pak Raul dan Bu Raul memang berada di rumah Mahika sudah dua hari ini. Setelah pensiun, Pak Raul memang lebih sering datang ke Surabaya. Sebab cucu-cucunya di Jombang sudah pada besar-besar semua. Sibuk sendiri dengan kuliahnya. Jadi hanya Ubed yang menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Terlebih jika anak-anak Aksara ada di sana juga.Mahika mengangguk.

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 154 Masa Depan 1

    Hafsah tersenyum dengan gaunnya yang menerawang. Hadiah dari Kholifah. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi. Memperhatikan penampilan barunya. Cantik juga dia memakai gaun kurang bahan itu."Pakailah nanti di malam pengantinmu. Membahagiakan suami pahalanya besar. Kamu pun tahu hal itu. Jadi nggak perlu Mbak perjelas," pesan Kholifah kemarin sore. Ketika baru tiba dari Jember dan menemuinya di kamar.Kholifah lah yang berhasil membuka minda Hafsah. Memarahi juga menasehati. Kholifah berceramah panjang lebar, banyak pandangan, hadist nabi yang di sampaikan dengan segala pemahaman. Baru dengan sepupunya itu hati Hafsah terbuka.Sedangkan dengan Latifa, sepupunya yang paling dekat di Surabaya, juga teman-temannya, justru malah sering mengompori untuk membenci Marisa. Mendukungnya merebut Aksara dari istrinya. Namun tidak dengan Kholifah yang sangat menentang keras dan menyebutnya perempuan tidak punya harga diri. Terkadang di tampar berkali-kali baru membuat seseorang sadar dengan

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 153 Merajut Asa 2

    Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 152 Merajut Asa 1

    Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 151 Undangan 2

    Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 150 Undangan 1

    "Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 149 Kabar Gembira 2

    Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status