Marisa memperkenalkan Hafsah pada ibunya. Gadis itu juga menyalami dua orang wanita setengah baya yang membantu Bu Rahmi pagi itu. Bu Rahmi menyambut ramah tamunya. Mereka berbincang tentang per-kue-an. Ternyata Hafsah ingin memesan beberapa puluh kotak kue untuk acara di sekolahnya nanti."Mau ada acara pertemuan wali murid, Bu. Jadi saya mau pesan kue. Acaranya masih minggu depan. Tapi kami mintanya di antar, karena nggak ada yang ngambil. Kira-kira bisa nggak?" tanya Hafsah dengan sopan."Bisa. Nanti kami antar," jawab Bu Rahmi yakin. Sebab beliau punya angkot langganan yang siap mengantarkan pesanan kapan saja.Marisa yang masih termangu akhirnya sadar kalau harus segera berangkat ke kantor. "Maaf, Mbak Hafsah. Saya berangkat kerja dulu ya. Maaf banget nggak bisa nemenin." Marisa tidak enak hati meninggalkan gadis itu. Tapi takut juga terlambat sampai di kantor."Ya, nggak apa-apa, Mbak. Tinggal saja," jawab Hafsah ramah."Hati-hati, Ris," pesan Bu Rahmi. Setelah punggung tanganny
Sementara Marisa terus makan sambil berpikir. Kelemahannya dengan perasaan tak enak hati bukan pilihan yang harus membuatnya mundur. Dia harus punya keberanian dan mampu berpikir, bahwa di tengah segala lilitan permasalahan, ia harus mengambil sikap dan terus maju. Berbicara masalah kebajikan, sering kali harus sejalan dengan adanya pengorbanan. "Ris, kalau kamu juga mencintainya. Perjuangkan. Zaman sekarang nggak perempuan nggak laki-laki sama saja. Jika ada pilihan, dia pasti akan memilih yang terbaik. Namun Mas Aksara telah memilihmu yang banyak kekurangan," kata Ari lagi."Apa mungkin karena dia kasihan padaku, Ar?""Kamu tahu, Ris. Apa kehebatan cinta yang dimulai dari rasa iba daripada perasaan yang diawali dengan nafsu?"Mereka saling pandang."Kalau nafsu telah berubah menjadi rasa bosan, cinta pun akan selesai. Tapi rasa iba bisa menimbulkan rasa cinta yang mendalam. Perlu kamu pahami, jika dia hanya iba. Nggak perlu dia ingin menikahimu. Cukup memberikan bantuan untukmu sep
Kedatangan Aksara dan Bu Arum sehabis Salat Isya disambut sukacita oleh Kyai Haji Abdul Qodir dan sang istri. Ibu dan anak dipersilakan duduk di sofa mewah ruang tamu. Bu Haji menyuruh salah seorang ART-nya untuk membuatkan minum."Kedatangan Bu Arum dan Aksara menjadi sebuah kejutan untuk kami malam ini," ucap Pak Kyai sambil terkekeh diakhir kalimatnya. Pria sepuh yang memakai baju koko warna putih itu berbinar bahagia. Meski kondisi kesehatannya menurun dalam sebulan ini, tapi beliau sangat antusias menyambut tamunya.Bu Haji juga sangat gembira. Padahal seminggu sekali wanita itu pasti bertemu dan berbincang-bincang dengan Bu Arum di majlis pengajian yang selalu diadakan bergiliran dari rumah ke rumah anggota majlis ta'lim. Juga sering bertemu di masjid kalau jamaah salat di sana. Tapi hanya saling sapa sekedarnya.Rumah mereka berada dalam satu jalan yang sama. Berjarak sekitar tujuh rumah saja."Maaf, Pak Kyai dan Bu Haji. Kami baru bisa bersilaturahmi," kata Bu Arum sambil ters
Sementara di sebuah kamar yang mewah, Hafsah menangis setelah mendengar pembicaraan orang tua dan tamunya. Sekarang sudah jelas. Marisa adalah gadis yang dikehendaki Aksara, bukan dirinya.Rasa hatinya patah berkeping-keping. Inilah akhir dari perasaan yang ia pendam sekian lama. Rupanya dia kalah oleh gadis sederhana.Suara ketukan di pintu kamar membuat Hafsah menoleh. Meraih tisu dan mengelap air matanya, lalu bangkit membuka pintu. Bu Haji masuk dan duduk di ranjang besar putrinya. "Aku sudah dengar semuanya, Um," ucap Hafsah lirih."Dia bukan jodohmu, Nduk." Bu Haji mengusap punggung Hafsah."Tapi aku juga nggak ingin menikah dengan laki-laki pilihan Mas Alim, Um. Kalau aku menikah dengannya, aku harus ikut tinggal di pesantren. Bagaimana dengan Umi dan Abah?"Bu Haji membiarkan Hafsah meletakkan kepala di pundaknya. Jujur saja, dia juga keberatan jika Hafsah dibawa suaminya. Di samping anak bungsu, Hafsah juga anak perempuan satu-satunya. Alim dan istrinya memang rumahnya deka
"Dia calon suami saya, Pak," jawab Marisa tanpa menoleh. Keduanya terus berjalan menuju pintu utama kantor. Meski terkejut, tapi Daniel tetap berjalan seperti biasanya. Dalam dada bagai tersulut api. Panas dan menyesakkan. Cintanya memang salah tempat. Hingga tak bisa lagi membedakan itu perasaan cinta yang sesungguhnya atau hanya sekedar obsesi semata. Sampai masuk lift, pria itu masih diam karena ada staf lain yang naik bersama."Kutunggu kamu di ruanganku," kata Daniel berjalan mendahului Marisa setelah keluar dari lift.Marisa memandangi si bos dengan setelan jas warna biru gelap itu melangkah cepat masuk ke ruang pribadinya. Sejenak Marisa diam di meja kerjanya. Kebat-kebit juga perasaannya. Kira-kira apa tanggapan lelaki itu nanti. Marah atau justru sadar bahwa merayu dirinya adalah sebuah kesalahan.Para staf berdatangan dan duduk di meja masing-masing. Tari yang lewat juga menyapanya sekilas. Kemudian Ari langsung menghampiri. "Hustt, pagi-pagi udah bengong," tegurnya.Belu
Di mana kehangatan yang dulu selalu Shela ciptakan? Sekarang seperti asap yang lenyap diembus angin. Daniel sudah mulai tawar. Bersama Shela seperti sedang meniduri boneka tak bernyawa. Namun sejauh ini dia tidak pernah mencari pelampiasan di luar. Bersenang-senang menuntaskan hasrat lalu pulang tanpa beban. Seperti yang dilakukan beberapa teman dan koleganya. Di tengah kesibukan, masih sempat mencari hiburan.Daniel masih waras dan bisa menahan diri. Tapi dia memang jujur, tergoda dengan Marisa. Tapi tidak pernah memaksa gadis itu. Padahal kesempatan itu selalu ada. Dia masih berusaha merayunya untuk menghalalkan gadis itu meski secara diam-diam. Daniel siap menjamin kehidupan keluarganya. Dia juga siap bertanggungjawab sepenuhnya. Bukan menjadikan Marisa hanya sebagai pelampiasan dikala dirinya tercampak kesepian.Yang membuatnya masih bisa menahan diri, karena dia ingat memiliki Chika dan Marcel. Terlebih Chika, tentu ia tidak ingin anak perempuannya kelak harus membayar perbuatan
Daniel tidak menanggapi ajakan istrinya untuk mampir sejenak ke restorannya. Bahkan pria itu tidak mau turun saat Shela menemui sebentar Mike yang menunggu di depan sebuah rumah makan bersama seorang laki-laki. Taksi yang mereka tumpangi sampai juga di Bandara Ngurah Rai. Mencari tiket untuk penerbangan secepatnya ke Surabaya. Namun yang ada juga penerbangan untuk sore hari. Terpaksa mereka harus menunggu. Daniel yang biasanya masih mau menunjukkan raut wajah ramah meski kecewa dengan Shela, kini tampak benar-benar membeku dan dingin.Shela terus mengikuti langkah lebar sang suami hingga akhirnya duduk di boarding room. Mereka akan menunggu kurang lebih dua jam untuk penerbangan ke Juanda. Daniel menahan diri untuk tidak bicara apapun dengan istrinya. Daripada nanti tak bisa mengendalikan diri dan mengamuk di tempat umum. Di saku celananya ada satu benda yang ia temukan di laci meja hotel. Benda yang tentunya butuh penjelasan dari istrinya.Untuk mengisi waktu yang terasa sangat panj
Ini makan malam pertama Marisa bersama Bu Arum dan Ubed. Tadi waktu habis maghrib Aksara menjemput ke rumah, pria itu sekalian mengajak mamanya dan sang keponakan. Karena Sabtu besok Aksara ada pekerjaan, makanya mengajak Marisa keluar malam itu. Sementara Marisa sendiri besok pagi juga ada meeting untuk membahas dinner.Niat hati ingin menceritakan permasalahannya dengan Daniel, terpaksa harus ia tunda.Ketika tengah asyik makan sambil berbincang, Mahika menyusul. Wanita itu tersenyum dan menyalami mereka. "Maaf, Mbak telat. Tadi ada pekerjaan yang urgent," ujarnya sambil duduk."Nggak apa-apa. Kamu mau makan apa?" tanya Bu Arum pada sang menantu."Sebentar lagi saya pesan sendiri, Ma," jawab Mahika. Kemudian beralih memandang Marisa. "Sudah dapat cincinnya?""Sudah, Mbak," jawab gadis itu."Hari Selasa ini kalian jadi lamaran, 'kan?""Ya.""Kenapa nggak langsung nikahan saja. Habis lebaran baru resepsi. Bulan puasa tinggal dua Minggu lagi lho. Biar puasa tahun ini kamu nggak sendiri
Sebagian perempuan pasti suka barang kemas seperti itu. Disamping bisa mempercantik diri dan melengkapi penampilan, perhiasan juga bisa menjadi barang investasi."Tadi niatnya aku yang mau bikin kejutan. Tapi justru Mas yang bikin aku kaget. Malah aku nggak nyiapin kado. Mas, mau kado apa?" tanya Marisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di leher sang suami."Sayang, kamu serius ingin mas memilih sendiri kadonya?"Marisa mengangguk yakin. Apa yang ditakutkan? Toh biasanya mereka akan merayakan hari spesial dengan cara menghabiskan sepanjang malam dalam kemesraan."Pilih saja. Mas, mau kado apa?" Marisa menatap lekat wajah suaminya."Anak," jawab Aksara singkat tapi serius."Apa?""Anak ketiga. Katanya Mas harus milih sendiri. Makanya Mas pilih anak."Senyum Marisa masih bertahan, ia ingin merayu sang suami agar mengganti permintaan. "Coba minta yang lain?""Nggak bisa, Sayang. Mas disuruh milih kan tadi, ya udah mas pilih anak. Tapi kamu nggak boleh curang, nanti diam-diam pakai
Marisa tersenyum ramah dan menyalami Mahika dan keluarganya yang menunggu di meja panjang. Tempat yang telah di booking tadi siang. Aksara juga melakukan hal yang sama. Membimbing kedua anaknya untuk salim pada mereka."Maaf, Mama nunggu lama, ya?" Marisa mencium kedua pipi mertuanya."Enggak. Kami juga baru saja sampai," jawab Bu Arum lirih.Beberapa pelayan restoran menyuguhkan minuman.Aksara dan Marisa duduk bersebelahan. Sedangkan anak-anak duduk bersama Ubed di sebelah Mahika. Si centil Keisya sangat dekat dengan budhenya.Mbak Siti, Mbak Dwi, dan pengasuh Ubed juga ikut duduk bergabung di sana. Bu Arum mengajarkan pada putra-putranya agar tidak membedakan mereka. Makanya mereka pada betah bekerja. Marisa heran karena Aksara diam, tidak juga bertanya sebenarnya mereka ada acara apa. Mungkin sang suami mikirnya hanya makan malam biasa. Tak apalah, bukankah sudah lumrah kalau suami jarang yang ingat dengan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Bahkan tanggal lahirnya pun terkadan
"Mbak, aku mau ngajak Mbak Mahika dan Mas Johan bikin surprise untuk anniversary pernikahan kami yang ketujuh."Mahika menatap lekat Marisa. "Hari ini anniversary pernikahan kalian?"Marisa mengangguk. "Sepertinya Mas Aksa lupa sama hari ini. Makanya aku ingin mengajak kalian bikin surprise. Tadi aku sudah telepon Kafe Harmoni untuk booking tempat. Kita dinner malam ini. Aku sudah telepon Mama sehabis makan siang tadi.""Oke, jam berapa nanti?" tanya Mahika."Jam tujuh sampai kafe. Nanti Mbak sama Mas Johan yang jemput mama, ya. Aku langsung ngajak Mas Aksa dan anak-anak ke kafe. Ajak sekalian papa dan mamanya Mbak Mahika."Kebetulan Pak Raul dan Bu Raul memang berada di rumah Mahika sudah dua hari ini. Setelah pensiun, Pak Raul memang lebih sering datang ke Surabaya. Sebab cucu-cucunya di Jombang sudah pada besar-besar semua. Sibuk sendiri dengan kuliahnya. Jadi hanya Ubed yang menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Terlebih jika anak-anak Aksara ada di sana juga.Mahika mengangguk.
Hafsah tersenyum dengan gaunnya yang menerawang. Hadiah dari Kholifah. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi. Memperhatikan penampilan barunya. Cantik juga dia memakai gaun kurang bahan itu."Pakailah nanti di malam pengantinmu. Membahagiakan suami pahalanya besar. Kamu pun tahu hal itu. Jadi nggak perlu Mbak perjelas," pesan Kholifah kemarin sore. Ketika baru tiba dari Jember dan menemuinya di kamar.Kholifah lah yang berhasil membuka minda Hafsah. Memarahi juga menasehati. Kholifah berceramah panjang lebar, banyak pandangan, hadist nabi yang di sampaikan dengan segala pemahaman. Baru dengan sepupunya itu hati Hafsah terbuka.Sedangkan dengan Latifa, sepupunya yang paling dekat di Surabaya, juga teman-temannya, justru malah sering mengompori untuk membenci Marisa. Mendukungnya merebut Aksara dari istrinya. Namun tidak dengan Kholifah yang sangat menentang keras dan menyebutnya perempuan tidak punya harga diri. Terkadang di tampar berkali-kali baru membuat seseorang sadar dengan
Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam
Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,
Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja
"Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks
Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan