Daniel tidak menanggapi ajakan istrinya untuk mampir sejenak ke restorannya. Bahkan pria itu tidak mau turun saat Shela menemui sebentar Mike yang menunggu di depan sebuah rumah makan bersama seorang laki-laki. Taksi yang mereka tumpangi sampai juga di Bandara Ngurah Rai. Mencari tiket untuk penerbangan secepatnya ke Surabaya. Namun yang ada juga penerbangan untuk sore hari. Terpaksa mereka harus menunggu. Daniel yang biasanya masih mau menunjukkan raut wajah ramah meski kecewa dengan Shela, kini tampak benar-benar membeku dan dingin.Shela terus mengikuti langkah lebar sang suami hingga akhirnya duduk di boarding room. Mereka akan menunggu kurang lebih dua jam untuk penerbangan ke Juanda. Daniel menahan diri untuk tidak bicara apapun dengan istrinya. Daripada nanti tak bisa mengendalikan diri dan mengamuk di tempat umum. Di saku celananya ada satu benda yang ia temukan di laci meja hotel. Benda yang tentunya butuh penjelasan dari istrinya.Untuk mengisi waktu yang terasa sangat panj
Ini makan malam pertama Marisa bersama Bu Arum dan Ubed. Tadi waktu habis maghrib Aksara menjemput ke rumah, pria itu sekalian mengajak mamanya dan sang keponakan. Karena Sabtu besok Aksara ada pekerjaan, makanya mengajak Marisa keluar malam itu. Sementara Marisa sendiri besok pagi juga ada meeting untuk membahas dinner.Niat hati ingin menceritakan permasalahannya dengan Daniel, terpaksa harus ia tunda.Ketika tengah asyik makan sambil berbincang, Mahika menyusul. Wanita itu tersenyum dan menyalami mereka. "Maaf, Mbak telat. Tadi ada pekerjaan yang urgent," ujarnya sambil duduk."Nggak apa-apa. Kamu mau makan apa?" tanya Bu Arum pada sang menantu."Sebentar lagi saya pesan sendiri, Ma," jawab Mahika. Kemudian beralih memandang Marisa. "Sudah dapat cincinnya?""Sudah, Mbak," jawab gadis itu."Hari Selasa ini kalian jadi lamaran, 'kan?""Ya.""Kenapa nggak langsung nikahan saja. Habis lebaran baru resepsi. Bulan puasa tinggal dua Minggu lagi lho. Biar puasa tahun ini kamu nggak sendiri
Gadis yang duduk diapit oleh ibu dan adik pertamanya itu menunduk. Memperhatikan kuku tangannya yang dihias hena warna kecoklatan. Ulfa yang tadi memaksa memakainya.Tubuh Marisa terbalut kebaya modern warna putih dan jilbab warna senada. Ada tiara keperakan yang menjadi hiasannya. Wajahnya yang ayu dirias natural oleh salah seorang tetangganya.Di salah satu sisi ruangan. Terdapat backdrop dengan nuansa putih keemasan penuh hiasan bunga melati dan mawar. Wanginya terhidu di penciuman.Hari yang diimpikan setiap anak gadis kini menjadi kenyataan. Lelaki yang menikahinya ternyata seseorang yang belum lama ia kenal. Marisa teringat almarhum bapaknya. Ada pilu yang hinggap di sanubari. Di hari penuh kebahagiaan ini, laki-laki yang mengukir jiwa raganya sudah tidak ada di tengah-tengah mereka. Marisa menarik napas panjang untuk menetralisir perasaan.Di dalam rumah ada beberapa tetangga dan keluarga Marisa yang datang dari desa. Termasuk laki-laki sepuh dengan baju batik warna cokelat dan
Jam setengah satu siang, Ari datang mengendarai motor matic-nya. Suasana di rumah Marisa sudah sepi. Hanya kerabat yang masih tinggal karena para tetangga juga sudah pulang ke rumah masing-masing. Ari yang sudah terbiasa di rumah Marisa, langsung masuk saja setelah mengucap salam. Dia ke dapur dan langsung menyalami dan memeluk Bu Rahmi. "Alhamdulillah, kamu datang," kata ibunya Marisa. Bahagia melihat sahabat putrinya."Saya tadi memang izin setengah hari saja, Bu. Sebab orang-orang kantor tahunya Marisa hanya bertunangan. Oh ya, Marisa mana, Bu?" Gadis itu mengedarkan pandangan."Tunggu sebentar, masih ganti baju. Kamu sudah makan apa belum? Sini ibu ambilin!" Bu Rahmi menarik tangan Ari dan menunjukkan hidangan di atas meja besar di dapur. Tempat biasa untuk menata pesanan kue. "Kamu ambil sendiri mana yang kamu suka." Bu Rahmi mengulurkan piring pada Ari.Tak lama kemudian, Marisa keluar dari kamar. Ari berdiri kemudian memeluknya. "Selamat ya, kamu malah nikah duluan," ucap Ari
Pagi itu di kantor, semua perhatian tertuju pada Marisa karena perubahan penampilannya. Ada yang memuji tapi ada juga yang mencibir. Biasa dua sisi respon yang bertolak belakang selalu ada dalam menanggapi suatu peristiwa dan perubahan.Namun Marisa santai. Ia ingat kata-kata suaminya di mobil tadi. Setiap perubahan pasti akan ada komentar negatif dan positifnya. "Jangan dengarkan komentar negatif. Senyumi saja. Itu nggak akan lama dan mereka akan diam dengan sendirinya." Satu hal yang menguntungkan bagi Marisa, karena mereka sibuk dengan perubahan cara berpakaiannya. Membuat mereka tidak memperhatikan dua cincin emas yang melingkar di jari wanita itu. Terlebih cincin polos yang jadi simbol sebuah ikatan."Risa, kamu cantik kalau pakai jilbab. Mbak doakan kamu senantiasa istiqomah," puji Tari menghampiri Marisa."Aamiin.""Gimana acara lamarannya? Lancar 'kan?""Iya, Alhamdulillah lancar, Mbak. Aku tadi bawain kue buat Mbak Tari dan teman-teman. Nanti kita makan sama-sama waktu istir
"Kamu mandi dulu, ya. Setelah itu kita Salat Maghrib. Nanti Mas bantuin nyusun pakaianmu di lemari," kata Aksara sambil melepaskan jam tangannya.Marisa mengangguk. Dia mengambil handuk dan baju gantinya di koper. Melepaskan jilbab dan langsung masuk kamar mandi. Membersihkan diri dengan cepat, karena Aksara juga harus lekas mandi untuk mengejar waktu Salat Maghrib.Keduanya salat berjamaah untuk pertama kalinya. Setelah mencium tangan sang suami, Aksara menarik pelan lengan Marisa supaya bisa memeluknya. Marisa gemetar. Inilah kali pertama seorang laki-laki menyentuhnya. Sekian lama pacaran dengan Dimas, Marisa selalu menjaga batasan. Ketika Aksara mencium bibirnya, Marisa sudah merasakan panas dingin karena desiran yang menjalar di seluruh aliran darahnya. "Mama sudah menunggu kita, Mas," kata Marisa.Aksara melepaskan pelukannya. Marisa mengemas sajadah, sarung, dan mukena.Di ruang makan, Bu Arum sedang menuangkan teh ke gelas. "Ayo, kita makan dulu."Marisa mengambilkan piring
Hafsah termangu, berusaha menghalau sesak di dada ketika sepagi itu melihat Marisa yang sedang membuka pintu pagar. Memang abahnya cerita kalau Aksara telah menikahi siri Marisa. Mungkin setelah itu Aksa memboyong sang istri ke rumah orang tuanya. Bermakna dia dan Marisa menjadi tetangga sekarang.Wanita itu juga telah berhijab. Apa Aksara yang membuatnya berubah?"Ada apa melamun sepagi ini, Bu Hafsah?" tegur rekan saat Hafsah termenung di ruang guru. Wanita dengan seragam sama itu duduk di samping Hafsah."Dia sudah memboyong gadis itu ke rumahnya, Bu?" jawab Hafsah pelan.Sang rekan mengernyitkan dahi sejenak, lantas paham maksud Hafsah. "Jangan terlalu dipikirkan. Masih banyak yang mengantri untuk melamar, Bu Hafsah."Hafsah tersenyum getir. Memang mudah kalau hanya sekedar bicara, tapi tidak bagi yang menanggung bebannya. Tidak ada yang memahami bagaimana perasaannya sekarang. Hafsah kemudian segera berdiri karena mesti masuk kelas.***LS***Daniel kaget melihat penampilan Marisa
"Berarti sukses dong MP-nya?"Marisa hanya tersenyum. Tentu urusan ranjang tidak perlu dibahas dengan sahabatnya. Secara otodidak mereka pasti bisa melaluinya sendiri. Itu kodrat dan naluri alamiah milik insan dewasa.Ari juga tidak perlu diberitahu, kalau dirinya belum sempat memakai kado dari sahabatnya itu. "Jadi sekarang kamu akan tetanggaan dengan gadis yang hendak dijodohkan dengan suamimu?" tanya Ari mengalihkan topik percakapan. "Ya. Rumahnya dengan rumah Mas Aksa hanya berjarak tujuh rumah kalau nggak salah. Deket kok." Marisa juga menceritakan tentang pertemuan tak sengaja dengan Hafsah tadi pagi. "Mungkin dia pangling karena aku memakai jilbab sekarang.""Positif thinking saja, Ris. Kamu harus tahan mental juga. Karena kalian tetanggaan."Marisa mengangguk pelan. Mungkin setelah ini antara dirinya dan Hafsah akan sering bertemu saat salat tarawih di masjid. Pertemuan tadi pagi belum seberapa. Dia juga baru semalam saja tinggal bersama mertuanya. Belum juga bertemu denga
Sebagian perempuan pasti suka barang kemas seperti itu. Disamping bisa mempercantik diri dan melengkapi penampilan, perhiasan juga bisa menjadi barang investasi."Tadi niatnya aku yang mau bikin kejutan. Tapi justru Mas yang bikin aku kaget. Malah aku nggak nyiapin kado. Mas, mau kado apa?" tanya Marisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di leher sang suami."Sayang, kamu serius ingin mas memilih sendiri kadonya?"Marisa mengangguk yakin. Apa yang ditakutkan? Toh biasanya mereka akan merayakan hari spesial dengan cara menghabiskan sepanjang malam dalam kemesraan."Pilih saja. Mas, mau kado apa?" Marisa menatap lekat wajah suaminya."Anak," jawab Aksara singkat tapi serius."Apa?""Anak ketiga. Katanya Mas harus milih sendiri. Makanya Mas pilih anak."Senyum Marisa masih bertahan, ia ingin merayu sang suami agar mengganti permintaan. "Coba minta yang lain?""Nggak bisa, Sayang. Mas disuruh milih kan tadi, ya udah mas pilih anak. Tapi kamu nggak boleh curang, nanti diam-diam pakai
Marisa tersenyum ramah dan menyalami Mahika dan keluarganya yang menunggu di meja panjang. Tempat yang telah di booking tadi siang. Aksara juga melakukan hal yang sama. Membimbing kedua anaknya untuk salim pada mereka."Maaf, Mama nunggu lama, ya?" Marisa mencium kedua pipi mertuanya."Enggak. Kami juga baru saja sampai," jawab Bu Arum lirih.Beberapa pelayan restoran menyuguhkan minuman.Aksara dan Marisa duduk bersebelahan. Sedangkan anak-anak duduk bersama Ubed di sebelah Mahika. Si centil Keisya sangat dekat dengan budhenya.Mbak Siti, Mbak Dwi, dan pengasuh Ubed juga ikut duduk bergabung di sana. Bu Arum mengajarkan pada putra-putranya agar tidak membedakan mereka. Makanya mereka pada betah bekerja. Marisa heran karena Aksara diam, tidak juga bertanya sebenarnya mereka ada acara apa. Mungkin sang suami mikirnya hanya makan malam biasa. Tak apalah, bukankah sudah lumrah kalau suami jarang yang ingat dengan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Bahkan tanggal lahirnya pun terkadan
"Mbak, aku mau ngajak Mbak Mahika dan Mas Johan bikin surprise untuk anniversary pernikahan kami yang ketujuh."Mahika menatap lekat Marisa. "Hari ini anniversary pernikahan kalian?"Marisa mengangguk. "Sepertinya Mas Aksa lupa sama hari ini. Makanya aku ingin mengajak kalian bikin surprise. Tadi aku sudah telepon Kafe Harmoni untuk booking tempat. Kita dinner malam ini. Aku sudah telepon Mama sehabis makan siang tadi.""Oke, jam berapa nanti?" tanya Mahika."Jam tujuh sampai kafe. Nanti Mbak sama Mas Johan yang jemput mama, ya. Aku langsung ngajak Mas Aksa dan anak-anak ke kafe. Ajak sekalian papa dan mamanya Mbak Mahika."Kebetulan Pak Raul dan Bu Raul memang berada di rumah Mahika sudah dua hari ini. Setelah pensiun, Pak Raul memang lebih sering datang ke Surabaya. Sebab cucu-cucunya di Jombang sudah pada besar-besar semua. Sibuk sendiri dengan kuliahnya. Jadi hanya Ubed yang menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Terlebih jika anak-anak Aksara ada di sana juga.Mahika mengangguk.
Hafsah tersenyum dengan gaunnya yang menerawang. Hadiah dari Kholifah. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi. Memperhatikan penampilan barunya. Cantik juga dia memakai gaun kurang bahan itu."Pakailah nanti di malam pengantinmu. Membahagiakan suami pahalanya besar. Kamu pun tahu hal itu. Jadi nggak perlu Mbak perjelas," pesan Kholifah kemarin sore. Ketika baru tiba dari Jember dan menemuinya di kamar.Kholifah lah yang berhasil membuka minda Hafsah. Memarahi juga menasehati. Kholifah berceramah panjang lebar, banyak pandangan, hadist nabi yang di sampaikan dengan segala pemahaman. Baru dengan sepupunya itu hati Hafsah terbuka.Sedangkan dengan Latifa, sepupunya yang paling dekat di Surabaya, juga teman-temannya, justru malah sering mengompori untuk membenci Marisa. Mendukungnya merebut Aksara dari istrinya. Namun tidak dengan Kholifah yang sangat menentang keras dan menyebutnya perempuan tidak punya harga diri. Terkadang di tampar berkali-kali baru membuat seseorang sadar dengan
Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam
Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,
Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja
"Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks
Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan