Bagaimana perasaanmu saat melihat orang yang selalu memberimu perlindungan, kehangatan, dan kasih sayang terbujur tak berdaya di ranjang dan dikelilingi oleh orang-orang?
Jangan tanyakan pada Ankaa. Tidak akan pernah menerima jawaban karena perasaan tersebut tidak bisa diungkapkan. Ankaa mengusap dan memijat lengan Barron. Raut wajahnya sendu, tak ada sinar. Hanya tersisa awan mendung.
"Silakan, kepala suku ada di dalam," ucap salah satu bawahan Barron.
Ucapan lirih itu masih bisa didengar Ankaa. Namun, wanita itu tidak terlalu memedulikannya. Kalau sudah seperti ini, fokusnya hanya pada Barron. Semua keinginan dan ambisi Ankaa musnah seketika mendengar Barron tak sadarkan diri.
Rambut panjang sedada terurai begitu saja menampakkan gelombangnya yang indah di bagian bawah rambut. Akibat Ankaa yang selalu menguncirnya karena ia lebih suka menguncirnya. Namun, kali ini dibiarkan rambutnya terurai.
Dari sudut mata, Ankaa bisa melihat buah tangan yang dibawa oleh tamu ditaruh di ranjang Barron.
Badan Ankaa condong ke wajah Barron. "Ayah mau apa?" tanyanya pelan.
Barron hanya mengisyaratkan dengan kibasan tangan dan Ankaa tahu Barron menyuruhnya keluar. Ankaa sama sekali tidak melirik tamu yang datang ketika keluar.
"Ameer," panggil Barron.
Ameer segera berlutut dan menyahut panggilan Barron dengan deheman. Deren juga ikut berlutut begitu celananya ditarik Ameer.
"Bagaimana kabar Luis?" tanya Barron dengan suara serak.
Ameer mengangguk. "Ayah baik dan jadi khawatiran mengetahui temannya sakit setelah membaca surat," jawab Ameer.
Barron menatap lelaki lain di samping Ameer. "Aku baru lihat temanmu," ucapnya.
"Halo! Saya teman kecilnya Ameer saat dia bosan bermain dengan kedua kakaknya!" timpal Dion dengan nada riang.
Dion bermaksud menceriakan Barron, menaikkan suasana hati Barron, menghibur Barron. Tetapi ia lupa temannya adalah Ameer. Alhasil Dion menerima sikutan dari Ameer.
"Maafkan temanku. Dia memang tidak tahu kondisi," desis Ameer di kalimat terakhir sembari menyipitkan mata menatap Dion.
Barron bangkit, mengubah posisi menjadi duduk menyandar pada kepala ranjang dibantu Ameer.
"Dia anakku," celetuk Barron.
Ameer mengangguk, paham akan kemana arah pembicaraan ini. Oleh karena itu, ia meminta Dion keluar sebentar dan menaruh buah tangan di dapur.
"Kau, wanita yang dicegat Deren, si penjahat amatir dari Utara," tunjuk Dion ke Ankaa yang duduk di ruang tamu.
Kemudian Dion tertawa, teringat Deren dan komplotannya. Mereka memang penjahat paling amatir yang pernah Dion jumpai.
Dion menyodorkan buah tangan. "Untukmu, tadi mau aku taruh di dapur seperti yang diminta Ameer. Tapi, melihatmu sendu aku jadi ingin memberikannya."
Dion yang menyadari lawan bicaranya melamun langsung menepuk pundaknya. Ankaa terkejut dan refleks menoleh ke Dion. Ia terdiam sejenak, seperti pernah melihat wajah lelaki asing di depannya.
Ankaa menggaruk kening dan mencoba mengingat. "Oh! Ya, kau yang mengusir anak-anak nakal itu."
"Tentu saja. Nah, untukmu, mungkin bisa membuatmu terlihat lebih oke," ujar Dion memberikan ikat rambut.
Ankaa berdiri dan menerimanya. "Ya, terima kasih."
Tiba-tiba lelaki lain keluar dari kamar Barron "Dion, ayo balik," ajaknya.
Dion berdecak, "Sebentar, Ameer. Aku baru saja punya teman lintas wilayah."
'Teman?' tanya Ankaa dalam hati.
"Sejak kap—" Dion membekap mulut Ankaa dengan kuat ditambah telapak tangannya besar dan menggencet hidung wanita malang tersebut.
"Aku balik dulu, ya, Lilsta. Kapan-kapan kita berkeliling. Sampai jumpa!" pamit Dion dan segera menarik Ameer.
Ankaa dan Ameer sempat melakukan kontak mata dan langsung diputus oleh Ankaa. Si cantik mengambil buah tangan di meja, membawanya ke dapur untuk dihidangkan ke Barron.
Tidak lama dia mendengus mengingat panggilan Dion tadi. "Lilsta dia bilang? Enak saja mengganti nama orang sembarangan," gerutu Ankaa.
"Tapi," ia menjeda kalimat untuk mengingat percakapan Barron dengan laki-laki yang keluar dari kamar Barron.
Ankaa mendengarnya, pura-pura melamun agar bisa mendengar percakapan itu adalah triknya.
Ia menggeram. "Bagaimana bisa kau mau membicarakan permintaan ayah!" Melampiaskan kemarahan dengan meremas roti yang akan ia hidangkan.
Ankaa meringis. "Itu permintaan yang tidak masuk akal bagi aku yang tidak mengenalmu dan kau yang tidak mengenalku. Masa depan kita akan hancur kau sadar tidak sih!" gumamnya kesal.
Ankaa memukul meja pelan, sangat pelan. Melakukan breath-in dan breath-out sebelum masuk ke kamar Barron. Sekaligus, ia tidak mau kemarahan menguasai pikiran.
"Ayah, aku bawa makanan."
**
Keduanya duduk di sofa berlainan.
"Apa kita di sini hanya untuk membicarakan tentang rencana pernikahanmu?" tanya Dion.
"Bisa dibilang begitu," jawab Ameer, "Berusaha menjalin hubungan baik dengan putrinya juga termasuk dalam daftar misiku," lanjutnya.
Dion nampak berpikir. "Aku rasa putrinya tidak seburuk itu. Kau lihat 'kan tadi? Aku mengobrol dengannya," ujarnya.
Ameer tidak menanggapi. Dion tidak tahu menahu tentang masalah ini secara detail. Dia hanya tahu Ameer akan menikah, calon mempelai wanita tinggal di wilayah Barat berstatus anak kepala suku, dan sang putri keberatan dengan semua ini. Makanya mereka kemari, untuk berbicara dan berhubungan baik dengan putri Kepala Suku Arconix.
"Kau sudah mengambil keputusan?" tanya Dion.
Ameer mengangguk dan menjawab, "Sudah."
Saat Dion ingin mengajukan pertanyaan lagi Ameer menghentikannya. Seakan-akan sudah tahu apa yang akan ditanyakan Dion, Ameer mengatakan hal yang menjawab pertanyaan kawannya.
"Sudah kupikirkan matang-matang, tenang saja," tuturnya.
Ameer mengambil pedang yang bersandar pada meja. Ia menariknya sampai mengeluarkan suara criing. Sudut bibir si iris biru tertarik ke atas—padahal hanya melihat betapa mengkilap pedangnya tapi serasa ada yang menggelitik perut.
Ameer berucap dengan tenang, "Aku bilang, aku akan menikahi putrinya dalam waktu secepat mungkin.”
Dion memegang kepalanya lalu meremas rambutnya. "Ameer gila!"
Mendengar itu Ameer memasukkan pedang dengan kasar ke dalam sarung. Pedang ia angkat menunjuk Dion.
"Kau akan selalu membantuku," perintah Ameer.
Dion menurunkan pedang yang hampir menyentuh jakunnya. "Ceh, kawan, tidak bisa begitu. Siapa yang setuju? Siapa yang mengiyakan? Tidak ada," protes Dion.
Tidak lama kemudian pintu diketuk. "Permisi, putri Tuan Barron ingin bertemu dengan Tuan Ameer," ujar orang dari luar pintu.
Dion membelalak mendengar panggilan tuan untuk Ameer. Bagi mereka, orang-orang Utara, panggilan tuan hanya untuk orang-orang yang sudah berumur. Seperti Barron dan Luis, dipanggil dengan tuan.Dion membekap mulutnya agar tidak keceplosan tertawa. "Dia memanggilmu tuan. Hmphhfftt.""Hish, diamlah," desis Ameer."Dion," panggil Ameer."Ya?" sahut Dion.Dion langsung terdiam, pasang badan. "Iya, kau masih sangat muda. Bugar, sehat, tam—tidak jadi," pujinya.Sejak kecil, Dion akan menjadi komplotan Ameer dalam beraksi. Ia juga hapal kebiasaan Ameer ketika dia melancarkan kejahilan. Saat Ameer berhasil menjahili orang, dia akan tersenyum lebar seperti anak kecil pertama kali bermain hujan.Seperti sekarang. Membuat Dion tidak berekspresi. "Sebenarnya, aku tadi mau bertanya apakah kau bersedia membantuku. Namun, sepertinya tidak usah, kau sudah menjawabnya,"Melampiaskan kekesalannya, Dion bangkit, berjalan ke arah Ameer dan mendorongnya dengan kuat membuat Ameer berdiri."Pergilah, temui t
Petir dan guntur tidak sengaja membangunkan si tampan pecinta pedang. Tidak disangka badai berlangsung dari sore sampai malam. Angin kencang masuk melalui jendela, mengibarkan piyama Ameer. Dia berdecak pelan kemudian bangkit untuk menutup jendela. "Hah, aku sedikit terkejut, terbiasa melihat badai salju di Utara," ucap Ameer pelan. Wilayah Utara dikatakan tanah putih karena sebagian besar tertutupi salju—wilayah yang tidak ditinggali warga, hutan, dan sebagainya. Namun, pusat pemerintahan yang juga tempat tinggal Ameer tidak tertutupi salju dan salju akan turun kalau sudah waktunya. Ameer mengulum bibir ketika Barron dan Ankaa terlintas dalam pikirannya. "Perlukah aku mengecek keadaan mereka?" Tubuh Ameer menggigil. Kemudian ia tergerak mengambil mantel dan payung. Hatinya menyuruh ia pergi dan Ameer menurut. Pintu dikunci tanpa memikirkan bagaimana Dion akan keluar besok. "Aku ingin mengeluh karena badai ini, tetapi ini masih mendingan daripada badai salju," gerutunya. Jarak p
"Iya, malam itu aku khawatir. Lebih tepatnya khawatir dengan ayahnya. Jadi, aku pergi ke rumah kepala desa dan membantu Ankaa merawat Tuan Barron yang saat itu demam," jawab Ameer membalas pertanyaan Dion. "Hei, kau tidak tahu betapa paniknya aku saat itu. Pintu terkunci dan kau tidak ada," murka Dion. Sambil tersenyum Ameer memijat bahu Dion. "Maklumi saja, ya? Sekarang ayo kita bergerak sebelum ayahku menghukum kita." Dion dan Ameer memakai mantel polos penyamaran mereka. Ameer dan Dion menginjak tanah Barat tidak serta merta menjenguk Barron dan bertemu Ankaa. Ada yang harus ditemui oleh Luis akan tetapi karena suatu hal Luis harus mengirim Ameer dan Dion menemui seseorang itu. Di dunia ini tidak ada yang seratus persen sempurna. Begitu juga dengan wilayah Barat sendiri yang dijuluki surga dunia. Tanah yang Ameer pijaki sekarang sangat berbeda dengan tanah yang kemarin ia pijak. "Ameer, kita tidak menginjak wilayah lain 'kan?" tan
Selesai membicarakan urusan, Tumus berencana membawa Ameer dan Dion ke kedai makanan yang menurutnya hidangan di sana sangat lezat. Akan tetapi, kehadiran manusia asing mengusik pikiran dan matanya.. "Hei! Beraninya masuk rumah orang sembarangan!" tegur Tumus. Tangannya sudah membawa kemoceng penuh debu akan dilayangkan pada pemuda di samping Dion. "Izar?" panggil Ameer, kebingungan kenapa ada Izar di rumah Tumus. Tumus tersentak, keringat bercucuran mengetahui ia hampir memukul teman Ameer. Tangannya bergetar dan menjatuhkan menjatuhkan kemoceng. "Tuan ... tuan mengenalnya, ya? Maaf, saya tidak tahu," sesal Tumus. Ameer berjalan melewati Tumus menghadap Izar yang memelototinya. Dion hampir menarik kerah baju Izar karena bersikap tidak sopan kepada Ameer kalau tidak ditahan oleh si pencinta pedang itu sendiri. "Kenapa kau bisa sampai di sini?" tanya Ameer galak. Izar menukikkan alis, jarinya menu
Kerumunan orang dari rumah kayu mulai keluar dengan senjata berbahaya di tangan mereka. Siap menyerang.Dion yang sudah mengerti langsung melukai kerumunan orang tersebut sebelum bisa menyentuh Ameer.Dion menyayat leher orang dengan cekatan. "Manusia tak berakal!"Dion berteriak, "Bisa-bisanya memanfaatkan orang!" Pedang ia hunuskan ke perut lawan sampai menembus punggung."Demi kesenangan kalian!" lanjutnya sembari loncat menuju target kemudian menyayat dadanya.Wanita baya hanya terkekeh di hadapan Ameer. Padahal, lehernya sudah terluka karena ujung pedang Ameer menusuk kulitnya."Anak muda, tidak apa-apa, serang saja aku," ujarnya kepada Ameer.Ameer menangkap lirikan mata wanita baya. Ia menoleh ke belakang dan menemukan Ankaa berusaha membela diri dari laki-laki sekutu wanita baya. Juga Tumus, Tumus masih terjebak dengan pria besar berotot. Ameer ingin sekali menyalahkan tubuh Tumus yang kurus.
Dua puluh menit sudah berlalu, wanita cantik milik Suku Arconix masih betah duduk di kursi kayu membaca buku. Tangannya tergerak menutup buku ketika ia mencium aroma sedap dari luar kamar.“Ayah!” panggil Ankaa sambil melangkah keluar.Barron menoleh, secangkir teh di kedua tangan ditaruhnya ke atas meja. Sakit yang menggerogoti pria itu tak menghentikan senyuman terbit di bibirnya ketika melihat sang gadis yang ia sayangi itu telah beranjak dewasa.“Kemari, kemari! Duduk di sini," ajak Barron sembari menarik kursi kayu untuk Ankaa. Untuk malam ini pria tersebut akan melayani putrinya seperti saat dia belum bisa mengambil makan sendiri."Ayah mau apa?" Begitu pertanyaan yang keluar dari mulut Ankaa.Ekspresi Barron tampak berubah serius. Tak ada lagi senyuman di wajahnya.Sang putri kesayangan hanya melihat sorot mata sendu di hadapannya. Ia pun menjadi heran."Baiklah ... langsung saja. Aku mau kau menikah. Aku butuh penerus," ungkap Barron.Ankaa tertawa pelan ketika mendengar perka
Pistol yang tadi dilapnya kembali diletakkan pada tempat semula. "Ankaa?" tanya seorang berjenis kelamin lelaki. "Nada bicaramu seperti baru mendengar namanya," balas Luis, ayahnya. Mata Luis menatap asap cerutu yang mengepul. Ah... cerutu dari Timur memang yang terbaik. Lelaki muda itu menggeleng. "Tidak, aku pernah mendengar namanya. Dia wanita dari wilayah Barat." "Hm, kau benar. Bagaimana menurutmu?" tanya Luis. Putranya duduk di seberang meja. Tak masalah menghirup asap cerutu yang berbahaya untuk paru-paru itu. "Siapa?" balasnya bertanya. "Tentu saja Ankaa, Ameer. Siapa lagi yang kita bahas selain Ankaa," jawab pria paruh baya itu dengan nada sedikit kesal. "Dia wanita, mungkin sama dengan ... wanita lain? Aku belum pernah melihatnya secara langsung kenapa ayah bertanya?" keluh Ameer. Rambut hitam dengan sedikit helai rambut putih di bagian samping membuatnya mudah dikenali dan sudah menjadi ciri khas dia sejak lahir. Luis menatap putranya dengan malas. "Dia tidak bisa k
Tiga hari yang lalu surat sudah dikirim oleh Barron melalui Kapten Apolo—kapten kapal terbang—kepercayaan yang akan terbang menuju wilayah Utara mengirim komoditas dari wilayah Barat. Selama tiga hari juga Ankaa bersikap agak cuek pada Barron. Hal itu bermula sehari sebelum surat dikirim pada saat kepulangan Barron.**"Surat itu aku percayakan padamu. Tolong pastikan suratnya sampai di tangan Kepala Suku Centaur," perintah Barron kepada Kapten Apolo.Tidak lama kemudian keduanya dikejutkan dengan suara pintu terbuka. Tampak raut wajah Ankaa terkejut melihat Kapten Apolo di depan rumah bersama Barron. Wanita pencinta buku itu mengambil langkah menghampiri keduanya."Kapten, maafkan aku. Tapi ada yang harus aku bicarakan dengan ayah," ujar Ankaa pelan dan gugup."Ya, silakan saja, Ankaa. Tuan, saya balik dulu. Selamat pagi," pamit Kapten Apolo.Ankaa menarik pelan tangan Barron untuk masuk ke rumah. Setelah itu, ia mengunci pintu