Home / Romansa / Destiny's Dance / 2. Pemilik Iris Biru

Share

2. Pemilik Iris Biru

Pistol yang tadi dilapnya kembali diletakkan pada tempat semula. "Ankaa?" tanya seorang berjenis kelamin lelaki. 

"Nada bicaramu seperti baru mendengar namanya," balas Luis, ayahnya. Mata Luis menatap asap cerutu yang mengepul. Ah... cerutu dari Timur memang yang terbaik. 

Lelaki muda itu menggeleng. "Tidak, aku pernah mendengar namanya. Dia wanita dari wilayah Barat." 

"Hm, kau benar. Bagaimana menurutmu?" tanya Luis. 

Putranya duduk di seberang meja. Tak masalah menghirup asap cerutu yang berbahaya untuk paru-paru itu. "Siapa?" balasnya bertanya. 

"Tentu saja Ankaa, Ameer. Siapa lagi yang kita bahas selain Ankaa," jawab pria paruh baya itu dengan nada sedikit kesal. 

"Dia wanita, mungkin sama dengan ... wanita lain? Aku belum pernah melihatnya secara langsung kenapa ayah bertanya?" keluh Ameer. 

Rambut hitam dengan sedikit helai rambut putih di bagian samping membuatnya mudah dikenali dan sudah menjadi ciri khas dia sejak lahir. 

Luis menatap putranya dengan malas. "Dia tidak bisa kita samakan dengan wanita lain. Ankaa anak tunggal Barron dan mereka menguasa wilayah Barat." 

Suku Arconix yang mendiami wilayah Barat dikatakan suku yang beruntung. Dibandingkan dengan wilayah lain, wilayah Barat memiliki banyak sumber daya alam. Itu yang membuat mereka unggul selama ini. 

"Kau tahu, mungkin kalau Ankaa melihatmu dia akan lebih tertarik dengan tulisan daripada perawakanmu," beber Luis mengetahui informasi bahwa Ankaa suka membaca buku. 

Luis menghisap cerutu sambil menyeringai kemudian menghembuskannya. "Ameer... Ameer... di saat semua wanita memujamu, dia buang muka. Di saat semua wanita membicarakanmu, dia membicarakan isi buku." 

Ameer menyandarkan punggungnya. "Ayolah, Ayah. Tidak ada wanita yang seperti itu," protes Ameer. 

"Ankaa buktinya," balas Luis. 

"Kenapa ayah bertanya pasal Ankaa?" tanya Ameer penuh curiga. 

Luis berdecak. "Kau ini. Aku tanya sekarang, berapa umurmu?" 

"Aku tidak tahu, tidak menghitung. Seharusnya ayah tahu," jawab Ameer. 

Luis menghembuskan asap cerutu. "Dua puluh dua, kau ini bagaimana. Umur segitu ayah sudah menikahi ibumu." 

Ameer mengangguk sekali. "Lalu? Jangan bilang ayah menyuruhku menikah!" tuduh Ameer. Alisnya menukik menatap Luis. 

"Harus menikah, aku sudah lelah melihat tingkah lakumu. Heran, kenapa bisa istriku tahan dengan anak bungsunya ini," gumam Luis sembari menggeleng-gelengkan kepala. 

Ameer berpikir keras, sesekali kepalanya akan menengadah dan mulutnya menghembuskan napas. 

"Ayah, calonku saja aku tidak tahu malah sudah menyuruh menikah," gerutu Ameer.

Luis menumpu dagu dengan telapak tangan. "Tadi kita bahas siapa, Ameer? Ankaa. Tidakkah kau menangkap pesan tersembunyi ayah wahai anakku?" 

Ameer mengambil gelas berisi anggur yang terletak di meja dekat Luis. Ameer meneguknya dan berkata, "Ayah, kau tahu ibu tidak menyukai pernikahan terpaksa seperti ini, aku pun tidak," ungkap Ameer tenang.

"Aku belum pernah bertemu Ankaa dan Ankaa belum pernah bertemu denganku. Tidak ada perasaan di antara kami dan tiba-tiba ayah menyuruhku menikahinya. Aku tidak menyukai itu," tambahnya. 

"Begitukah? Baiklah kalau begitu," kata Luis. Ia bangkit dari kursi, berjalan ke arah Ameer, menepuk bahu tegapnya kemudian berjalan keluar ruang kerja. 

"Hah ... ayah ini ... malam-malam malah bikin pusing," desah Ameer sembari memijat pelipisnya. Ameer cukup lama berdiam di ruang kerja, dia memikirkan percakapan tadi. 

"Memang menyenangkan punya istri? Aku lihat kedua kakakku bukan seperti diri mereka lagi setelah menikah," kata Ameer pada dirinya sendiri. 

Sejujurnya, ia juga bosan sendirian di rumah lebar ini. Tidak punya teman dua kakaknya memilih tinggal jauh dari rumah setelah menikah. 

Mau lihat sesuatu yang baru, katanya. 

Ameer mengerang, kepala ia jatuhkan ke meja dengan pipi sebagai tumpuan. Iris mata berwarna biru miliknya menangkap amplop dengan surat terbuka di atas tumpukan buku. Ameer tertarik untuk mengambil karena Luis jarang mendapat surat. 

"Ameer!" panggil seseorang dari luar. 

Tangan Ameer terhenti di udara, kepalanya terangkat menoleh ke arah pintu. "Iya, Bu!" sahutnya 

Ameer segera bangkit dan keluar dari ruang kerja menghampiri ibunya, Teresa. Teresa menggandeng tangan Ameer. "Ibu tidak pernah mengajarkanmu untuk mabuk-mabukan. Siapa yang mengajarimu begitu?" geram Teresa. 

Ameer mengerutkan dahi. "Ibu, siapa juga yang mau mabuk. Ameer?" 

"Iya, ayahmu bilang begitu. Kata ayahmu, 'Ameer tidak mau tidur katanya tunggu sampai mabuk' benar begitu, Nak?" tanya Teresa lagi dengan jari ancang-ancang akan mencubit lengan Ameer jika anak itu mengiyakan. 

"Tidak ada, Bu. Ayah bohong, ibu mau saja dibohongi," sangkal Ameer. Raut wajah Teresa masih terkesan tidak percaya dengan apa yang Ameer katakan. 

"Aku tidak mabuk, hanya minum sedikit wine milik ayah," ungkap Ameer. Teresa melepas gandengannya ketika mereka sampai di depan kamar Ameer kemudian ia menyuruh Ameer tidur. 

"Besok kakak-kakakmu sampai di sini. Sambut mereka dengan baik," perintah Teresa. 

Ameer mengangguk. "Dimengerti." 

"Oh iya, ayahmu bilang kalian membahas Ankaa," kata Teresa tiba-tiba. 

Ameer mengangguk, "Kami membahas dia sedikit." 

Teresa tersenyum. Ia menyuruh Ameer masuk dan menutup pintu. 

'Sudah lama sekali aku tidak mendengar namamu, Ankaa,' ucap Teresa di dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status