"Cih, itu bukan sikap seorang laki-laki," ucap Dion begitu melihat wanita bertubuh pendek disakiti oleh satu laki-laki berbadan besar—Deren.
Ameer mengeluarkan uang koin dari kantong kain yang diikatkan di celananya. Ameer menyerahkan koin tersebut pada Dion—temannya.
Dion mengerutkan dahi. "Apa?" tanyanya.
"Belikan aku soda. Tapi dalam kemasan kaleng," pinta Ameer.
Dion mengantongi koin dan kembali bertanya. "Soda yang bagaimana? Ada banyak vari—"
"Apa saja, cepat!" potong Ameer.
Tidak lama kemudian Dion datang dengan dua kaleng soda. Dengan cepat tangan Ameer merebut satu kaleng soda, membukanya, lalu memaksa Dion menghabiskan soda tersebut.
"Cepat tendang ke arah pria itu," perintah si tampan berbisik.
Ameer melempar kaleng soda secara vertikal dan Dion menendangnya. Setelah melihat kaleng mengenai target dengan pelan Ameer mendorong punggung Dion.
"Hampiri sana, dia pasti ingin melihat pahlawannya," kata Ameer sedikit memuji. Tapi menurut Dion, kawannya tidak memuji.
Kemudian dia berjalan menjauhi jalan kecil tersebut sembari membawa kaleng soda yang masih belum terbuka. Walau pun bukan rasa soda kesukaannya, Ameer tetap meminumnya.
Langkah Ameer terhenti begitu teringat sesuatu. Lelaki muda itu balik badan dan berteriak, "Ingat, setelah itu langsung ke penginapan!"
Entah Dion dengar atau tidak, Ameer tidak peduli. Yang penting, ia sudah mengingatkan Dion. Di sisi lain, Dion mengusir Deren dan kawan-kawannya. Akibat kejadian tadi Ankaa menjaga jarak dari Dion yang jelas-jelas menyelamatkannya.
Kita tidak tahu isi pikiran manusia. Benar bukan?
Ankaa berjalan perlahan menuju jalan yang akan ditempuhnya. "Ekhem, aku harus segera pergi dan terima kasih telah membantuku," pamitnya langsung berlari pergi.
Dion tercengang. "Itu bukan reaksi yang kubayangkan!" kesalnya.
Dengan santai Ameer meneguk teh hangat yang disediakan oleh penginapan sembari menunggu kedatangan Dion. Ameer lumayan lama menunggu, sekitar satu jam yang lalu kalau tidak salah ingat.
"Pahlawan kita lama sekali sampainya," ejek si tampan pecinta pedang.
Dion memutar bola matanya, menghela napas sembari melepas sepatu. Terlalu malas menanggapi Ameer kali ini. Ameer tersenyum tidak jelas ke arah Dion. Tidak tahu saja perjalanan temannya ke penginapan tidak semulus bayangan Ameer.
Pemilik iris mata biru refleks membesarkan mata—bukan melotot tetapi lebih seperti orang yang kaget—lalu ia tertawa pelan. Dion berdecak, Ameer pasti menertawakan celananya yang sobek.
"Oh ... kau bertemu dengan siapa di jalan? Penggemar?" canda Ameer.
"Diamlah! Kalau bukan karenamu aku tidak akan salah jalan sampai bertemu orang gila, wanita yang tiba-tiba memarahiku tanpa alasan, dan gerombolan anjing peliharaan yang lepas. Ganas pula, kelaparan juga," sembur Dion.
Ameer tidak terlalu memedulikan perkataan Dion. Semenjak sampai di wilayah Timur, Ameer butuh hiburan dan Dion menjadi hiburannya hari ini.
"Wanita itu juga sama sekali tidak terpesona. Bahkan, kalau dilihat-lihat, sepertinya dia tidak butuh pahlawan siang bolong," tambah Dion.
Ameer menyeruput teh. "Ini pagi omong-omong."
Dion hampir melempar asbak ke arah Ameer. "Pantas saja kakak-kakaknya lebih memilih tinggal di wilayah lain," gumam Dion lalu pergi ke kamar mandi.
Mata indah Ameer menatap cairan teh. Tersenyum memikirkan sesuatu. "Aku adik kesayangan asal kau tahu."
**
Ankaa berlari ke kapal yang akan lepas jangkar. Sering kali ia tersandung karena tidak lihat jalan. Sebelumnya, Ankaa sudah mendatangi rumah Gite—temannya. Namun, rumah Gite sudah gelap dan terkunci. Dengan segera Ankaa berlari menuju dermaga. Dalam hati mengomeli kejadian di jalan tadi.
"Ankaa!" panggil seseorang.
Si empu menoleh dan menemukan kapten kapal yang tidak lain merupakan ayah dari Gite, Kapten Guo. Ankaa balas menyapanya dan menanyakan keberadaan Gite.
"Itu sebabnya aku memanggilmu. Gite sudah ada di dalam kapal dan aku menyuruhnya melakukan beberapa hal. Jadi, Gite menyuruhku menunggumu," jelas Kapten Guo.
Ankaa meletakkan tangan di depan—posisi sopan—dan berkata, "Maaf aku telat. Tidak ada maksud untuk melakukan itu. Saya hanya ingin mengembalikan ini," ia menyerahkan buku, "buku milik Gite yang saya pinjam."
"Baiklah, Ankaa. Aku sudah harus pergi. Sampai jumpa dua tahun lagi," pamit Kapten Guo mengangkat topinya tanda perpisahan dengan terhormat.
Ankaa balas membungkukkan badan lima belas derajat. Ia berdiri diam di dermaga sampai kapal Kapten Guo melayar. Ya, Kapten Guo termasuk kapten kapal laut yang sudah senior.
Tanpa sadar Ankaa mengusap pergelangan tangan. Saat lengan panjang itu dibuka, ia melihat pergelangan tangannya merah. Mungkin karena cengkraman laki-laki tadi. Pikir Ankaa.
Di tengah jalan Ankaa melihat ada orang yang keliling berdagang makanan tradisional suku Arconix. Ia membeli beberapa untuk Barron sebab makanan ini mulai jarang ditemukan.
"Saya dengar makanan ini susah dibuat. Sedikit terkejut melihat gadis sepertimu menjualnya," ucap Ankaa tiba-tiba.
Pedagang terkekeh. "Benar, memang susah dibuat. Aku mempelajari ini bertahun-tahun," balasnya.
Ankaa menerima bungkusan makanan. "Di mana kau mempelajarinya?" tanyanya penasaran.
Pedagang tersenyum lebar. "Aku diajari langsung oleh nenek, nenek diajari oleh ibunya, ibunya nenek diajari oleh neneknya, dan—"
"Oke, cukup, cukup. Aku harus pulang," potong Ankaa sebelum dia melanjutkan lagi.
"Selamat tinggal!" pamitnya.
Semilir angin berhembus menyapa pusat dagang tempat putri Kepala Suku Arconix berdiri. Ankaa menatap punggung gadis itu dan tersenyum tipis.
"Gadis yang lucu," gumamnya.
Tanpa sadar ada seseorang yang mendekati Ankaa dengan wajah panik. Tangannya menarik lengan atas Ankaa agar dia berhadapan dengan si penarik. Itu juga membuat Ankaa sadar dari lamunan—ia bahkan tidak sadar ternyata sedang melamun.
"Ankaa! Kepala suku tidak sadarkan diri!"
Bagaimana perasaanmu saat melihat orang yang selalu memberimu perlindungan, kehangatan, dan kasih sayang terbujur tak berdaya di ranjang dan dikelilingi oleh orang-orang?Jangan tanyakan pada Ankaa. Tidak akan pernah menerima jawaban karena perasaan tersebut tidak bisa diungkapkan. Ankaa mengusap dan memijat lengan Barron. Raut wajahnya sendu, tak ada sinar. Hanya tersisa awan mendung."Silakan, kepala suku ada di dalam," ucap salah satu bawahan Barron.Ucapan lirih itu masih bisa didengar Ankaa. Namun, wanita itu tidak terlalu memedulikannya. Kalau sudah seperti ini, fokusnya hanya pada Barron. Semua keinginan dan ambisi Ankaa musnah seketika mendengar Barron tak sadarkan diri.Rambut panjang sedada terurai begitu saja menampakkan gelombangnya yang indah di bagian bawah rambut. Akibat Ankaa yang selalu menguncirnya karena ia lebih suka menguncirnya. Namun, kali ini dibiarkan rambutnya terurai.Dari sudut mata, Ankaa bisa melihat buah tangan yang dibawa oleh tamu ditaruh di ranjang Ba
Dion membelalak mendengar panggilan tuan untuk Ameer. Bagi mereka, orang-orang Utara, panggilan tuan hanya untuk orang-orang yang sudah berumur. Seperti Barron dan Luis, dipanggil dengan tuan.Dion membekap mulutnya agar tidak keceplosan tertawa. "Dia memanggilmu tuan. Hmphhfftt.""Hish, diamlah," desis Ameer."Dion," panggil Ameer."Ya?" sahut Dion.Dion langsung terdiam, pasang badan. "Iya, kau masih sangat muda. Bugar, sehat, tam—tidak jadi," pujinya.Sejak kecil, Dion akan menjadi komplotan Ameer dalam beraksi. Ia juga hapal kebiasaan Ameer ketika dia melancarkan kejahilan. Saat Ameer berhasil menjahili orang, dia akan tersenyum lebar seperti anak kecil pertama kali bermain hujan.Seperti sekarang. Membuat Dion tidak berekspresi. "Sebenarnya, aku tadi mau bertanya apakah kau bersedia membantuku. Namun, sepertinya tidak usah, kau sudah menjawabnya,"Melampiaskan kekesalannya, Dion bangkit, berjalan ke arah Ameer dan mendorongnya dengan kuat membuat Ameer berdiri."Pergilah, temui t
Petir dan guntur tidak sengaja membangunkan si tampan pecinta pedang. Tidak disangka badai berlangsung dari sore sampai malam. Angin kencang masuk melalui jendela, mengibarkan piyama Ameer. Dia berdecak pelan kemudian bangkit untuk menutup jendela. "Hah, aku sedikit terkejut, terbiasa melihat badai salju di Utara," ucap Ameer pelan. Wilayah Utara dikatakan tanah putih karena sebagian besar tertutupi salju—wilayah yang tidak ditinggali warga, hutan, dan sebagainya. Namun, pusat pemerintahan yang juga tempat tinggal Ameer tidak tertutupi salju dan salju akan turun kalau sudah waktunya. Ameer mengulum bibir ketika Barron dan Ankaa terlintas dalam pikirannya. "Perlukah aku mengecek keadaan mereka?" Tubuh Ameer menggigil. Kemudian ia tergerak mengambil mantel dan payung. Hatinya menyuruh ia pergi dan Ameer menurut. Pintu dikunci tanpa memikirkan bagaimana Dion akan keluar besok. "Aku ingin mengeluh karena badai ini, tetapi ini masih mendingan daripada badai salju," gerutunya. Jarak p
"Iya, malam itu aku khawatir. Lebih tepatnya khawatir dengan ayahnya. Jadi, aku pergi ke rumah kepala desa dan membantu Ankaa merawat Tuan Barron yang saat itu demam," jawab Ameer membalas pertanyaan Dion. "Hei, kau tidak tahu betapa paniknya aku saat itu. Pintu terkunci dan kau tidak ada," murka Dion. Sambil tersenyum Ameer memijat bahu Dion. "Maklumi saja, ya? Sekarang ayo kita bergerak sebelum ayahku menghukum kita." Dion dan Ameer memakai mantel polos penyamaran mereka. Ameer dan Dion menginjak tanah Barat tidak serta merta menjenguk Barron dan bertemu Ankaa. Ada yang harus ditemui oleh Luis akan tetapi karena suatu hal Luis harus mengirim Ameer dan Dion menemui seseorang itu. Di dunia ini tidak ada yang seratus persen sempurna. Begitu juga dengan wilayah Barat sendiri yang dijuluki surga dunia. Tanah yang Ameer pijaki sekarang sangat berbeda dengan tanah yang kemarin ia pijak. "Ameer, kita tidak menginjak wilayah lain 'kan?" tan
Selesai membicarakan urusan, Tumus berencana membawa Ameer dan Dion ke kedai makanan yang menurutnya hidangan di sana sangat lezat. Akan tetapi, kehadiran manusia asing mengusik pikiran dan matanya.. "Hei! Beraninya masuk rumah orang sembarangan!" tegur Tumus. Tangannya sudah membawa kemoceng penuh debu akan dilayangkan pada pemuda di samping Dion. "Izar?" panggil Ameer, kebingungan kenapa ada Izar di rumah Tumus. Tumus tersentak, keringat bercucuran mengetahui ia hampir memukul teman Ameer. Tangannya bergetar dan menjatuhkan menjatuhkan kemoceng. "Tuan ... tuan mengenalnya, ya? Maaf, saya tidak tahu," sesal Tumus. Ameer berjalan melewati Tumus menghadap Izar yang memelototinya. Dion hampir menarik kerah baju Izar karena bersikap tidak sopan kepada Ameer kalau tidak ditahan oleh si pencinta pedang itu sendiri. "Kenapa kau bisa sampai di sini?" tanya Ameer galak. Izar menukikkan alis, jarinya menu
Kerumunan orang dari rumah kayu mulai keluar dengan senjata berbahaya di tangan mereka. Siap menyerang.Dion yang sudah mengerti langsung melukai kerumunan orang tersebut sebelum bisa menyentuh Ameer.Dion menyayat leher orang dengan cekatan. "Manusia tak berakal!"Dion berteriak, "Bisa-bisanya memanfaatkan orang!" Pedang ia hunuskan ke perut lawan sampai menembus punggung."Demi kesenangan kalian!" lanjutnya sembari loncat menuju target kemudian menyayat dadanya.Wanita baya hanya terkekeh di hadapan Ameer. Padahal, lehernya sudah terluka karena ujung pedang Ameer menusuk kulitnya."Anak muda, tidak apa-apa, serang saja aku," ujarnya kepada Ameer.Ameer menangkap lirikan mata wanita baya. Ia menoleh ke belakang dan menemukan Ankaa berusaha membela diri dari laki-laki sekutu wanita baya. Juga Tumus, Tumus masih terjebak dengan pria besar berotot. Ameer ingin sekali menyalahkan tubuh Tumus yang kurus.
Dua puluh menit sudah berlalu, wanita cantik milik Suku Arconix masih betah duduk di kursi kayu membaca buku. Tangannya tergerak menutup buku ketika ia mencium aroma sedap dari luar kamar.“Ayah!” panggil Ankaa sambil melangkah keluar.Barron menoleh, secangkir teh di kedua tangan ditaruhnya ke atas meja. Sakit yang menggerogoti pria itu tak menghentikan senyuman terbit di bibirnya ketika melihat sang gadis yang ia sayangi itu telah beranjak dewasa.“Kemari, kemari! Duduk di sini," ajak Barron sembari menarik kursi kayu untuk Ankaa. Untuk malam ini pria tersebut akan melayani putrinya seperti saat dia belum bisa mengambil makan sendiri."Ayah mau apa?" Begitu pertanyaan yang keluar dari mulut Ankaa.Ekspresi Barron tampak berubah serius. Tak ada lagi senyuman di wajahnya.Sang putri kesayangan hanya melihat sorot mata sendu di hadapannya. Ia pun menjadi heran."Baiklah ... langsung saja. Aku mau kau menikah. Aku butuh penerus," ungkap Barron.Ankaa tertawa pelan ketika mendengar perka
Pistol yang tadi dilapnya kembali diletakkan pada tempat semula. "Ankaa?" tanya seorang berjenis kelamin lelaki. "Nada bicaramu seperti baru mendengar namanya," balas Luis, ayahnya. Mata Luis menatap asap cerutu yang mengepul. Ah... cerutu dari Timur memang yang terbaik. Lelaki muda itu menggeleng. "Tidak, aku pernah mendengar namanya. Dia wanita dari wilayah Barat." "Hm, kau benar. Bagaimana menurutmu?" tanya Luis. Putranya duduk di seberang meja. Tak masalah menghirup asap cerutu yang berbahaya untuk paru-paru itu. "Siapa?" balasnya bertanya. "Tentu saja Ankaa, Ameer. Siapa lagi yang kita bahas selain Ankaa," jawab pria paruh baya itu dengan nada sedikit kesal. "Dia wanita, mungkin sama dengan ... wanita lain? Aku belum pernah melihatnya secara langsung kenapa ayah bertanya?" keluh Ameer. Rambut hitam dengan sedikit helai rambut putih di bagian samping membuatnya mudah dikenali dan sudah menjadi ciri khas dia sejak lahir. Luis menatap putranya dengan malas. "Dia tidak bisa k