Beranda / Romansa / Destiny's Dance / 3. Jalan Pintas

Share

3. Jalan Pintas

Tiga hari yang lalu surat sudah dikirim oleh Barron melalui Kapten Apolo—kapten kapal terbang—kepercayaan yang akan terbang menuju wilayah Utara mengirim komoditas dari wilayah Barat. Selama tiga hari juga Ankaa bersikap agak cuek pada Barron. Hal itu bermula sehari sebelum surat dikirim pada saat kepulangan Barron.

**

"Surat itu aku percayakan padamu. Tolong pastikan suratnya sampai di tangan Kepala Suku Centaur," perintah Barron kepada Kapten Apolo.

Tidak lama kemudian keduanya dikejutkan dengan suara pintu terbuka. Tampak raut wajah Ankaa terkejut melihat Kapten Apolo di depan rumah bersama Barron. Wanita pencinta buku itu mengambil langkah menghampiri keduanya.

"Kapten, maafkan aku. Tapi ada yang harus aku bicarakan dengan ayah," ujar Ankaa pelan dan gugup.

"Ya, silakan saja, Ankaa. Tuan, saya balik dulu. Selamat pagi," pamit Kapten Apolo.

Ankaa menarik pelan tangan Barron untuk masuk ke rumah. Setelah itu, ia mengunci pintu setelah memastikan tidak ada orang yang mendekati rumah kepala suku. Ankaa juga menutup tirai jendela depan. Barron keheranan melihat tingkah putrinya kemudian ia tidak terlalu memedulikan.

Saat Barron di kamar ia membeku seketika melihat tidak ada surat di atas meja. "Ankaa!" panggilnya.

"Ayah tidak perlu bertanya karena aku ingin menanyakan apa maksud dari surat yang ayah tulis," cecar putrinya langsung begitu menginjak lantai kamar Barron.

Dengan tenang Barron membalas, "Di dalam surat itu aku menulisnya dengan rinci. Kau sudah membukanya, ‘kan? Jadi, tidak perlu aku jelaskan lagi."

Ankaa rasa ia tidak pernah sekesal ini sebelumnya dengan siapa pun, apalagi dengan Barron. Ankaa melangkah ke depan Barron, menghalangi Barron melakukan aktivitas.

"Saat makan malam kita sudah membicarakannya. Ayah kasih tahu aku apa yang kurang pada diriku sampai ayah masih tetap melakukan tindakan ini?" desaknya.

Barron menghela napas. "Ankaa, tugas menjadi pemimpin tidak semudah yang kau bayangkan. Tidak sebahagia itu menjadi pemimpin, apalagi yang kau pimpin satu wilayah besar. Aku sebagai pria yang memimpin selama ini saja masih tidak mampu membahagiakan mereka. Lalu tiba-tiba muncul kepala suku wanita? Masih muda pula," jelas Barron.

Mungkin maksud Barron tidak menyakiti hati putrinya. Namun, Ankaa sakit hati dengan perkataan Barron seakan-akan merendahkan wanita. Seakan-akan wanita tidak punya kuasa dan hanya pria yang bisa melakukan sesuatu dengan benar.

"Ayah, berapa wanita yang sudah ayah lihat sampai-sampai menilai putrimu sendiri tidak bisa diberi kepercayaan? Perkataan ayah secara tidak langsung sudah merendahkanku," ucap Ankaa lirih.

"Ayah membuatku mengatakan kalimat yang tidak kusuka. Aku tidak suka disamakan dengan wanita lain!" bentak Ankaa lalu pergi ke kamar meninggalkan Barron yang masih memproses kejadian barusan.

Barron menepuk dahinya. "Sshh, aku salah bicara," desisnya.

**

Barron menyeruput kopi panasnya di pagi hari. Matanya terpejam menikmati rasa kopi tersebut. Barron memperhatikan putrinya yang tampak terburu-buru mengambil buku di meja ruang tamu.

"Ada sesuatu yang darurat?" tanya Barron.

Ankaa menggeleng. "Temanku pergi hari ini dan aku terlambat ngembalikan barangnya. Aku pergi dulu," pamitnya.

"Maaf, Ankaa. Tapi aku harus melakukan ini, semandiri apapun dirimu kau harus tetap butuh pendamping," gumam Barron.

Ankaa berlari di tengah keramaian. Mengambil jalan pintas agar ia cepat sampai. Sayangnya, hari ini bukan waktu yang pas untuk mengambil rute tersebut. Lihat saja kumpulan anak nakal di sana. Jalan kecil dan sepi, hanya terdengar tawa mereka saja.

Ankaa tidak terlalu peduli karena yang ada dalam pikirannya hanya jangan sampai terlambat, temannya balik dua tahun lagi. Ia tidak memikirkan akan ada yang berani cegat dirinya karena status yang dia pegang.

"Permisi, saya mau lewat," kata Ankaa masih berusaha sopan tetapi terselip nada kesal.

"Kau, Ankaa. Wanita yang suka sekali belajar, pernah dengar 'di dunia ini tidak ada yang gratis'?" tanya salah satu dari keempat orang.

Ankaa mendesis, orang-orang ini terlalu membuang waktunya. Juga, dia tidak pernah melihat wajah-wajah dari mereka semua.

"Kalian ini siapa? Bertahun-tahun saya melewati jalan ini tidak pernah ada kalian. Orang baru, ya? Atau kalian menyusup di kapal-kapal untuk kemari?" tanya Ankaa penuh kecurigaan.

Dua pasang kaki terhenti di depan jalan, memperhatikan satu wanita berhadapan dengan empat laki-laki berbadan besar. Salah satu dari mereka membelalak dan satunya lagi menyipit.

"Woah, wanita itu berani sekali. Kalau aku sudah pasti memilih kabur," ucap dia yang membelalak.

"Jujur saja, wajah-wajah kalian ini asing di sini. Sekedar informasi, wilayahku tak jarang dikunjungi pemuda-pemuda seperti kalian ini. Jawab, kalian dari wilayah Selatan, Timur, atau Utara?" tuntut Ankaa sembari berkacak pinggang.

Ankaa sudah lelah dengan orang-orang yang berani mengusik ketenangan rakyatnya. Tak jarang ja mendengar beberapa laporan dari rakyat tentang orang-orang nakal ini yang menganggu mereka. Ia harus bicara dengan Barron untuk memperketat pengawasan dan pemeriksaan kapal-kapal yang masuk ke wilayahnya.

"Heh, wanita ini! Tidak pernah mendengar nama Deren apa bagaimana?" geram pemuda di hadapan Ankaa.

"Tidak, dan tidak ada gunanya mengenalmu," balas Ankaa cuek.

Melihat ada celah Ankaa segera melangkah. Namun, tangannya dicengkram kuat oleh Deren. Ia cepat melepas cengkraman tersebut. Terlalu jijik disentuh olehnya.

Deren kesal, tangan putri kepala suku kembali dicengkeram dan kali ini lebih kuat. "Wanita tidak tahu adab! Di mana sikapmu kepada laki-laki, huh?!" bentak Deren.

Kaleng soda dari arah belakang Ankaa terbang dan mendarat tepat mengenai daerah mata dan pangkal hidung. Rasa sakit membuat Deren refleks melepas cengkraman untuk memegang daerah yang sakit.

"Hoho ... Deren ternyata," ucap laki-laki lain alias pelaku yang menendang kaleng soda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status