Petir dan guntur tidak sengaja membangunkan si tampan pecinta pedang. Tidak disangka badai berlangsung dari sore sampai malam. Angin kencang masuk melalui jendela, mengibarkan piyama Ameer. Dia berdecak pelan kemudian bangkit untuk menutup jendela. "Hah, aku sedikit terkejut, terbiasa melihat badai salju di Utara," ucap Ameer pelan. Wilayah Utara dikatakan tanah putih karena sebagian besar tertutupi salju—wilayah yang tidak ditinggali warga, hutan, dan sebagainya. Namun, pusat pemerintahan yang juga tempat tinggal Ameer tidak tertutupi salju dan salju akan turun kalau sudah waktunya. Ameer mengulum bibir ketika Barron dan Ankaa terlintas dalam pikirannya. "Perlukah aku mengecek keadaan mereka?" Tubuh Ameer menggigil. Kemudian ia tergerak mengambil mantel dan payung. Hatinya menyuruh ia pergi dan Ameer menurut. Pintu dikunci tanpa memikirkan bagaimana Dion akan keluar besok. "Aku ingin mengeluh karena badai ini, tetapi ini masih mendingan daripada badai salju," gerutunya. Jarak p
"Iya, malam itu aku khawatir. Lebih tepatnya khawatir dengan ayahnya. Jadi, aku pergi ke rumah kepala desa dan membantu Ankaa merawat Tuan Barron yang saat itu demam," jawab Ameer membalas pertanyaan Dion. "Hei, kau tidak tahu betapa paniknya aku saat itu. Pintu terkunci dan kau tidak ada," murka Dion. Sambil tersenyum Ameer memijat bahu Dion. "Maklumi saja, ya? Sekarang ayo kita bergerak sebelum ayahku menghukum kita." Dion dan Ameer memakai mantel polos penyamaran mereka. Ameer dan Dion menginjak tanah Barat tidak serta merta menjenguk Barron dan bertemu Ankaa. Ada yang harus ditemui oleh Luis akan tetapi karena suatu hal Luis harus mengirim Ameer dan Dion menemui seseorang itu. Di dunia ini tidak ada yang seratus persen sempurna. Begitu juga dengan wilayah Barat sendiri yang dijuluki surga dunia. Tanah yang Ameer pijaki sekarang sangat berbeda dengan tanah yang kemarin ia pijak. "Ameer, kita tidak menginjak wilayah lain 'kan?" tan
Selesai membicarakan urusan, Tumus berencana membawa Ameer dan Dion ke kedai makanan yang menurutnya hidangan di sana sangat lezat. Akan tetapi, kehadiran manusia asing mengusik pikiran dan matanya.. "Hei! Beraninya masuk rumah orang sembarangan!" tegur Tumus. Tangannya sudah membawa kemoceng penuh debu akan dilayangkan pada pemuda di samping Dion. "Izar?" panggil Ameer, kebingungan kenapa ada Izar di rumah Tumus. Tumus tersentak, keringat bercucuran mengetahui ia hampir memukul teman Ameer. Tangannya bergetar dan menjatuhkan menjatuhkan kemoceng. "Tuan ... tuan mengenalnya, ya? Maaf, saya tidak tahu," sesal Tumus. Ameer berjalan melewati Tumus menghadap Izar yang memelototinya. Dion hampir menarik kerah baju Izar karena bersikap tidak sopan kepada Ameer kalau tidak ditahan oleh si pencinta pedang itu sendiri. "Kenapa kau bisa sampai di sini?" tanya Ameer galak. Izar menukikkan alis, jarinya menu
Kerumunan orang dari rumah kayu mulai keluar dengan senjata berbahaya di tangan mereka. Siap menyerang.Dion yang sudah mengerti langsung melukai kerumunan orang tersebut sebelum bisa menyentuh Ameer.Dion menyayat leher orang dengan cekatan. "Manusia tak berakal!"Dion berteriak, "Bisa-bisanya memanfaatkan orang!" Pedang ia hunuskan ke perut lawan sampai menembus punggung."Demi kesenangan kalian!" lanjutnya sembari loncat menuju target kemudian menyayat dadanya.Wanita baya hanya terkekeh di hadapan Ameer. Padahal, lehernya sudah terluka karena ujung pedang Ameer menusuk kulitnya."Anak muda, tidak apa-apa, serang saja aku," ujarnya kepada Ameer.Ameer menangkap lirikan mata wanita baya. Ia menoleh ke belakang dan menemukan Ankaa berusaha membela diri dari laki-laki sekutu wanita baya. Juga Tumus, Tumus masih terjebak dengan pria besar berotot. Ameer ingin sekali menyalahkan tubuh Tumus yang kurus.
Dua puluh menit sudah berlalu, wanita cantik milik Suku Arconix masih betah duduk di kursi kayu membaca buku. Tangannya tergerak menutup buku ketika ia mencium aroma sedap dari luar kamar.“Ayah!” panggil Ankaa sambil melangkah keluar.Barron menoleh, secangkir teh di kedua tangan ditaruhnya ke atas meja. Sakit yang menggerogoti pria itu tak menghentikan senyuman terbit di bibirnya ketika melihat sang gadis yang ia sayangi itu telah beranjak dewasa.“Kemari, kemari! Duduk di sini," ajak Barron sembari menarik kursi kayu untuk Ankaa. Untuk malam ini pria tersebut akan melayani putrinya seperti saat dia belum bisa mengambil makan sendiri."Ayah mau apa?" Begitu pertanyaan yang keluar dari mulut Ankaa.Ekspresi Barron tampak berubah serius. Tak ada lagi senyuman di wajahnya.Sang putri kesayangan hanya melihat sorot mata sendu di hadapannya. Ia pun menjadi heran."Baiklah ... langsung saja. Aku mau kau menikah. Aku butuh penerus," ungkap Barron.Ankaa tertawa pelan ketika mendengar perka
Pistol yang tadi dilapnya kembali diletakkan pada tempat semula. "Ankaa?" tanya seorang berjenis kelamin lelaki. "Nada bicaramu seperti baru mendengar namanya," balas Luis, ayahnya. Mata Luis menatap asap cerutu yang mengepul. Ah... cerutu dari Timur memang yang terbaik. Lelaki muda itu menggeleng. "Tidak, aku pernah mendengar namanya. Dia wanita dari wilayah Barat." "Hm, kau benar. Bagaimana menurutmu?" tanya Luis. Putranya duduk di seberang meja. Tak masalah menghirup asap cerutu yang berbahaya untuk paru-paru itu. "Siapa?" balasnya bertanya. "Tentu saja Ankaa, Ameer. Siapa lagi yang kita bahas selain Ankaa," jawab pria paruh baya itu dengan nada sedikit kesal. "Dia wanita, mungkin sama dengan ... wanita lain? Aku belum pernah melihatnya secara langsung kenapa ayah bertanya?" keluh Ameer. Rambut hitam dengan sedikit helai rambut putih di bagian samping membuatnya mudah dikenali dan sudah menjadi ciri khas dia sejak lahir. Luis menatap putranya dengan malas. "Dia tidak bisa k
Tiga hari yang lalu surat sudah dikirim oleh Barron melalui Kapten Apolo—kapten kapal terbang—kepercayaan yang akan terbang menuju wilayah Utara mengirim komoditas dari wilayah Barat. Selama tiga hari juga Ankaa bersikap agak cuek pada Barron. Hal itu bermula sehari sebelum surat dikirim pada saat kepulangan Barron.**"Surat itu aku percayakan padamu. Tolong pastikan suratnya sampai di tangan Kepala Suku Centaur," perintah Barron kepada Kapten Apolo.Tidak lama kemudian keduanya dikejutkan dengan suara pintu terbuka. Tampak raut wajah Ankaa terkejut melihat Kapten Apolo di depan rumah bersama Barron. Wanita pencinta buku itu mengambil langkah menghampiri keduanya."Kapten, maafkan aku. Tapi ada yang harus aku bicarakan dengan ayah," ujar Ankaa pelan dan gugup."Ya, silakan saja, Ankaa. Tuan, saya balik dulu. Selamat pagi," pamit Kapten Apolo.Ankaa menarik pelan tangan Barron untuk masuk ke rumah. Setelah itu, ia mengunci pintu
"Cih, itu bukan sikap seorang laki-laki," ucap Dion begitu melihat wanita bertubuh pendek disakiti oleh satu laki-laki berbadan besar—Deren. Ameer mengeluarkan uang koin dari kantong kain yang diikatkan di celananya. Ameer menyerahkan koin tersebut pada Dion—temannya. Dion mengerutkan dahi. "Apa?" tanyanya. "Belikan aku soda. Tapi dalam kemasan kaleng," pinta Ameer. Dion mengantongi koin dan kembali bertanya. "Soda yang bagaimana? Ada banyak vari—" "Apa saja, cepat!" potong Ameer. Tidak lama kemudian Dion datang dengan dua kaleng soda. Dengan cepat tangan Ameer merebut satu kaleng soda, membukanya, lalu memaksa Dion menghabiskan soda tersebut. "Cepat tendang ke arah pria itu," perintah si tampan berbisik. Ameer melempar kaleng soda secara vertikal dan Dion menendangnya. Setelah melihat kaleng mengenai target dengan pelan Ameer mendorong punggung Dion. "Hampiri sana, dia pasti ingin melihat pahlawannya," kata Ameer sedikit memuji. Tapi menurut Dion, kawannya tidak memuji. Kem