Dua puluh menit sudah berlalu, wanita cantik milik Suku Arconix masih betah duduk di kursi kayu membaca buku. Tangannya tergerak menutup buku ketika ia mencium aroma sedap dari luar kamar.
“Ayah!” panggil Ankaa sambil melangkah keluar.
Barron menoleh, secangkir teh di kedua tangan ditaruhnya ke atas meja. Sakit yang menggerogoti pria itu tak menghentikan senyuman terbit di bibirnya ketika melihat sang gadis yang ia sayangi itu telah beranjak dewasa.
“Kemari, kemari! Duduk di sini," ajak Barron sembari menarik kursi kayu untuk Ankaa. Untuk malam ini pria tersebut akan melayani putrinya seperti saat dia belum bisa mengambil makan sendiri.
"Ayah mau apa?" Begitu pertanyaan yang keluar dari mulut Ankaa.
Ekspresi Barron tampak berubah serius. Tak ada lagi senyuman di wajahnya.
Sang putri kesayangan hanya melihat sorot mata sendu di hadapannya. Ia pun menjadi heran.
"Baiklah ... langsung saja. Aku mau kau menikah. Aku butuh penerus," ungkap Barron.
Ankaa tertawa pelan ketika mendengar perkataan ayahnya. Jemari lentik wanita itu tanpa sadar mengetuk-ngetuk permukaan meja. "Ayah, kita memang tidak pernah membicarakan hal ini lebih dalam. Tapi, aku sudah pernah bilang kalau aku tidak mau menikah."
Barron kembali menatap putrinya dengan lekat. "Nak, aku sadar dengan kondisiku sekarang. Aku tak akan selamanya menjadi kepala suku, aku butuh calon pemimpin," jelas pria paruh baya itu. Ya, Barron memang seorang kepala suku dan saat ini kondisi Kesehatannya cukup mengkhawatirkan. Itulah alasan mengapa ia ingin mempunyai penerus.
"Ada aku. Aku bisa—"
"Tidak!" Barron memotong kalimat Ankaa. "Ayah tak akan pernah mau kau naik menjadi kepala suku," tegasnya. Dalam pandangan Barron sebagai pria, menjadi kepala suku bukanlah hal yang mudah. Jabatan ini penuh tanggung jawab. Dia khawatir dengan kondisi Ankaa nantinya.
Mendengar hal tersebut Ankaa tampak kesal. "Aku bisa, Ayah. Kita tidak butuh orang lain, karena aku bisa menggantikanmu," desak wanita itu, "Aku belajar pagi, siang, malam untuk suku ini. Aku mau suku ini mendapat pemimpin yang baik," ucap Ankaa lagi, berusaha meyakinkan sang ayah.
"Maksudmu, saat ini aku tidak baik dalam memimpin, begitu?" tanya Barron bercanda.
Ankaa menghela napas panjang. "Bukan seperti itu juga," bantahnya, "aku hanya ingin mereka dapat balasan yang impas. Kita tidak bisa menolak fakta bahwa mereka juga ikut memajukan suku ini. Kalau tidak ada mereka semua, jadi apa kita," jelas Ankaa menggebu-gebu.
Dari kecil, Ankaa sudah diperlihatkan dengan kepemimpinan Barron dan ia sangat mengidolakan sang ayah. Sejak saat itu ia bertekad akan menjadi pemimpin yang lebih baik daripada ayahnya. Itulah kemauannya yang sampai saat ini ia perjuangkan.
"Tidak harus mengorbankanmu menjadi pemimpin, 'kan?" tanya Barron dengan perasaan khawatir.
"Percaya padaku, aku bisa dan pasti bisa. Mungkin ... akan lebih baik dari masa pimpinanmu," ucap Ankaa sembari tersenyum lebar.
Barron membalas senyuman sang putri. Namun, di dalam hatinya masih menolak keras Ankaa menjadi pemimpin kelak. Sang putri harus menikah dan dia harus membujuknya agar segera menikah. Kalau masih menolak, mau tidak mau akan ada sedikit paksaan.
Selesai makan Barron menuju ruang kamar tidurnya. Lampu sengaja dimatikan agar Ankaa mengira ia sudah tertidur. Pria tua itu menyalakan lampu meja, ia mengambil secarik kertas dari dalam laci. Barron mengambil pena dari tempat tinta, kemudian mulai menulis.
"Aku butuh bantuanmu, teman," gumam Barron sambil menorehkan pena.
Hampir sama dengan Barron, Ankaa juga masih terjaga. Pikiran wanita itu berkelana. Bagaimana caranya meyakinkan Barron agar dia setuju mengangkat dirinya sebagai pemimpin selanjutnya.
"Menurutmu bagaimana?" tanya Ankaa kepada kucing yang hinggap di jendela beberapa saat ketika ia membuka jendela. Namun, si kucing hanya mengeong menjawab pertanyaan itu.
Ankaa lalu tersenyum. "Aku percaya takdir. Dan takdirku ialah meneruskan kepemimpinan ayah."
Saat kucing tersebut lompat keluar, Ankaa segera menutup jendela. Segera ia memadamkan lampu, naik ke atas ranjang dan tidur. Besok adalah hari yang sibuk untuknya.
**
"Nak, aku pergi ke rumah teman sebentar," pamit Barron begitu ia keluar kamar.
Ankaa yang sedang membuka tirai jendela agar cahaya matahari masuk pun langsung menghampiri sang ayah. "Teman? Aku baru tahu ayah memiliki teman?" ungkapnya heran.
Barron menjentikkan jarinya ke dahi sang putri pelan, kemudian pergi tanpa membalas kalimat Ankaa.
"Oh iya, amplopnya di atas lemari ayah. Seperti biasa," ucapnya sebelum melangkah keluar pintu.
"Ayah, aku juga nanti akan keluar!" seru Ankaa dari dalam rumah.
"Aku akan kembali secepatnya!" sahut Barron.
Ankaa mengembuskan napas dan melemaskan bahu. Kemudian setelah memastikan semua tirai terbuka, ia mengambil sapu dan kemoceng. Disebabkan rumahnya lebar dan banyak ruang juga hanya ada dirinya sendiri yang bersih-bersih, alhasil perlu memakan waktu yang cukup lama.
Ketika wanita itu tengah membereskan rumah, tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Astaga! Aku terlambat!" Anka berteriak panik. Ia lantas meninggalkan alat bersih-bersih di sudut ruangan bersama dengan kotoran dari ruangan yang sempat disapunya begitu saja.
Wanita tersebut bergerak dengan cepat ke belakang rumah untuk membersihkan diri. Untuk hari ini biarkanlah ia jorok karena mandi tidak menggunakan sabun. Ankaa berganti baju dengan terburu-buru, kemudian ia melangkah cepat ke kamar sang ayah untuk mengambil amplop.
Wanita itu menarik sebuah kursi ke depan lemari, kemudian menaikinya. Tangannya terulur ke atas hendak menggapai sebuah kotak keranjang berisi banyak amplop yang akan dibagikan untuk anak-anak panti asuhan. Setelah berhasil menurunkan kotak keranjang, Ankaa segera mengembalikan kursi ke tempat semula. Namun, pergerakannya terhenti saat melihat sesuatu di atas meja tulis ayahnya.
Kedua alis indah sang wanita bertaut kencang. Matanya tertuju lekat ke arah sehelai amplop yang tergeletak di sana. "Amplop apa lagi itu?"
Pistol yang tadi dilapnya kembali diletakkan pada tempat semula. "Ankaa?" tanya seorang berjenis kelamin lelaki. "Nada bicaramu seperti baru mendengar namanya," balas Luis, ayahnya. Mata Luis menatap asap cerutu yang mengepul. Ah... cerutu dari Timur memang yang terbaik. Lelaki muda itu menggeleng. "Tidak, aku pernah mendengar namanya. Dia wanita dari wilayah Barat." "Hm, kau benar. Bagaimana menurutmu?" tanya Luis. Putranya duduk di seberang meja. Tak masalah menghirup asap cerutu yang berbahaya untuk paru-paru itu. "Siapa?" balasnya bertanya. "Tentu saja Ankaa, Ameer. Siapa lagi yang kita bahas selain Ankaa," jawab pria paruh baya itu dengan nada sedikit kesal. "Dia wanita, mungkin sama dengan ... wanita lain? Aku belum pernah melihatnya secara langsung kenapa ayah bertanya?" keluh Ameer. Rambut hitam dengan sedikit helai rambut putih di bagian samping membuatnya mudah dikenali dan sudah menjadi ciri khas dia sejak lahir. Luis menatap putranya dengan malas. "Dia tidak bisa k
Tiga hari yang lalu surat sudah dikirim oleh Barron melalui Kapten Apolo—kapten kapal terbang—kepercayaan yang akan terbang menuju wilayah Utara mengirim komoditas dari wilayah Barat. Selama tiga hari juga Ankaa bersikap agak cuek pada Barron. Hal itu bermula sehari sebelum surat dikirim pada saat kepulangan Barron.**"Surat itu aku percayakan padamu. Tolong pastikan suratnya sampai di tangan Kepala Suku Centaur," perintah Barron kepada Kapten Apolo.Tidak lama kemudian keduanya dikejutkan dengan suara pintu terbuka. Tampak raut wajah Ankaa terkejut melihat Kapten Apolo di depan rumah bersama Barron. Wanita pencinta buku itu mengambil langkah menghampiri keduanya."Kapten, maafkan aku. Tapi ada yang harus aku bicarakan dengan ayah," ujar Ankaa pelan dan gugup."Ya, silakan saja, Ankaa. Tuan, saya balik dulu. Selamat pagi," pamit Kapten Apolo.Ankaa menarik pelan tangan Barron untuk masuk ke rumah. Setelah itu, ia mengunci pintu
"Cih, itu bukan sikap seorang laki-laki," ucap Dion begitu melihat wanita bertubuh pendek disakiti oleh satu laki-laki berbadan besar—Deren. Ameer mengeluarkan uang koin dari kantong kain yang diikatkan di celananya. Ameer menyerahkan koin tersebut pada Dion—temannya. Dion mengerutkan dahi. "Apa?" tanyanya. "Belikan aku soda. Tapi dalam kemasan kaleng," pinta Ameer. Dion mengantongi koin dan kembali bertanya. "Soda yang bagaimana? Ada banyak vari—" "Apa saja, cepat!" potong Ameer. Tidak lama kemudian Dion datang dengan dua kaleng soda. Dengan cepat tangan Ameer merebut satu kaleng soda, membukanya, lalu memaksa Dion menghabiskan soda tersebut. "Cepat tendang ke arah pria itu," perintah si tampan berbisik. Ameer melempar kaleng soda secara vertikal dan Dion menendangnya. Setelah melihat kaleng mengenai target dengan pelan Ameer mendorong punggung Dion. "Hampiri sana, dia pasti ingin melihat pahlawannya," kata Ameer sedikit memuji. Tapi menurut Dion, kawannya tidak memuji. Kem
Bagaimana perasaanmu saat melihat orang yang selalu memberimu perlindungan, kehangatan, dan kasih sayang terbujur tak berdaya di ranjang dan dikelilingi oleh orang-orang?Jangan tanyakan pada Ankaa. Tidak akan pernah menerima jawaban karena perasaan tersebut tidak bisa diungkapkan. Ankaa mengusap dan memijat lengan Barron. Raut wajahnya sendu, tak ada sinar. Hanya tersisa awan mendung."Silakan, kepala suku ada di dalam," ucap salah satu bawahan Barron.Ucapan lirih itu masih bisa didengar Ankaa. Namun, wanita itu tidak terlalu memedulikannya. Kalau sudah seperti ini, fokusnya hanya pada Barron. Semua keinginan dan ambisi Ankaa musnah seketika mendengar Barron tak sadarkan diri.Rambut panjang sedada terurai begitu saja menampakkan gelombangnya yang indah di bagian bawah rambut. Akibat Ankaa yang selalu menguncirnya karena ia lebih suka menguncirnya. Namun, kali ini dibiarkan rambutnya terurai.Dari sudut mata, Ankaa bisa melihat buah tangan yang dibawa oleh tamu ditaruh di ranjang Ba
Dion membelalak mendengar panggilan tuan untuk Ameer. Bagi mereka, orang-orang Utara, panggilan tuan hanya untuk orang-orang yang sudah berumur. Seperti Barron dan Luis, dipanggil dengan tuan.Dion membekap mulutnya agar tidak keceplosan tertawa. "Dia memanggilmu tuan. Hmphhfftt.""Hish, diamlah," desis Ameer."Dion," panggil Ameer."Ya?" sahut Dion.Dion langsung terdiam, pasang badan. "Iya, kau masih sangat muda. Bugar, sehat, tam—tidak jadi," pujinya.Sejak kecil, Dion akan menjadi komplotan Ameer dalam beraksi. Ia juga hapal kebiasaan Ameer ketika dia melancarkan kejahilan. Saat Ameer berhasil menjahili orang, dia akan tersenyum lebar seperti anak kecil pertama kali bermain hujan.Seperti sekarang. Membuat Dion tidak berekspresi. "Sebenarnya, aku tadi mau bertanya apakah kau bersedia membantuku. Namun, sepertinya tidak usah, kau sudah menjawabnya,"Melampiaskan kekesalannya, Dion bangkit, berjalan ke arah Ameer dan mendorongnya dengan kuat membuat Ameer berdiri."Pergilah, temui t
Petir dan guntur tidak sengaja membangunkan si tampan pecinta pedang. Tidak disangka badai berlangsung dari sore sampai malam. Angin kencang masuk melalui jendela, mengibarkan piyama Ameer. Dia berdecak pelan kemudian bangkit untuk menutup jendela. "Hah, aku sedikit terkejut, terbiasa melihat badai salju di Utara," ucap Ameer pelan. Wilayah Utara dikatakan tanah putih karena sebagian besar tertutupi salju—wilayah yang tidak ditinggali warga, hutan, dan sebagainya. Namun, pusat pemerintahan yang juga tempat tinggal Ameer tidak tertutupi salju dan salju akan turun kalau sudah waktunya. Ameer mengulum bibir ketika Barron dan Ankaa terlintas dalam pikirannya. "Perlukah aku mengecek keadaan mereka?" Tubuh Ameer menggigil. Kemudian ia tergerak mengambil mantel dan payung. Hatinya menyuruh ia pergi dan Ameer menurut. Pintu dikunci tanpa memikirkan bagaimana Dion akan keluar besok. "Aku ingin mengeluh karena badai ini, tetapi ini masih mendingan daripada badai salju," gerutunya. Jarak p
"Iya, malam itu aku khawatir. Lebih tepatnya khawatir dengan ayahnya. Jadi, aku pergi ke rumah kepala desa dan membantu Ankaa merawat Tuan Barron yang saat itu demam," jawab Ameer membalas pertanyaan Dion. "Hei, kau tidak tahu betapa paniknya aku saat itu. Pintu terkunci dan kau tidak ada," murka Dion. Sambil tersenyum Ameer memijat bahu Dion. "Maklumi saja, ya? Sekarang ayo kita bergerak sebelum ayahku menghukum kita." Dion dan Ameer memakai mantel polos penyamaran mereka. Ameer dan Dion menginjak tanah Barat tidak serta merta menjenguk Barron dan bertemu Ankaa. Ada yang harus ditemui oleh Luis akan tetapi karena suatu hal Luis harus mengirim Ameer dan Dion menemui seseorang itu. Di dunia ini tidak ada yang seratus persen sempurna. Begitu juga dengan wilayah Barat sendiri yang dijuluki surga dunia. Tanah yang Ameer pijaki sekarang sangat berbeda dengan tanah yang kemarin ia pijak. "Ameer, kita tidak menginjak wilayah lain 'kan?" tan
Selesai membicarakan urusan, Tumus berencana membawa Ameer dan Dion ke kedai makanan yang menurutnya hidangan di sana sangat lezat. Akan tetapi, kehadiran manusia asing mengusik pikiran dan matanya.. "Hei! Beraninya masuk rumah orang sembarangan!" tegur Tumus. Tangannya sudah membawa kemoceng penuh debu akan dilayangkan pada pemuda di samping Dion. "Izar?" panggil Ameer, kebingungan kenapa ada Izar di rumah Tumus. Tumus tersentak, keringat bercucuran mengetahui ia hampir memukul teman Ameer. Tangannya bergetar dan menjatuhkan menjatuhkan kemoceng. "Tuan ... tuan mengenalnya, ya? Maaf, saya tidak tahu," sesal Tumus. Ameer berjalan melewati Tumus menghadap Izar yang memelototinya. Dion hampir menarik kerah baju Izar karena bersikap tidak sopan kepada Ameer kalau tidak ditahan oleh si pencinta pedang itu sendiri. "Kenapa kau bisa sampai di sini?" tanya Ameer galak. Izar menukikkan alis, jarinya menu