Alex sudah mendatangi rumah sakit tempat dokter kandungan yang sebelumnya memeriksa perkembangan kehamilan istrinya. Ternyata dokter tersebut sudah resign dan di gantikan dengan dokter baru. Saat keluar dari ruangan dokter kandungan, tak sengaja Alex berpapasan dengan suster yang akan masuk. "Tunggu, Sus. Apa sebelumnya Suster yang menjadi suster pendamping dokter Gio? Saya mau sedikit bertanya," ucap Alex. ."Boleh, Pak. Mau tanya apa?" "Apa Suster tahu salah satu pasien yang bernama Laura. Dia itu istri saya, dan katanya dulu selama pemeriksaan selalu ke dokter Gio," kata Alex. 'Jadi ini suaminya Bu Laura. Sayang sekali tampan gini istrinya nakal,' batin suster itu. "Benar, Pak. Memangnya kenapa ya? Oh iya apa istri bapak sudah melahirkan?" "Sudah, Sus. Maka dari itu saya bingung. Istri saya itu harusnya hamil baru tujuh bulan, tapi kata dokter yang menanganinya bersalin usia kandungan istri saya memang sudah sembilan bulan," ujar Alex dengan sedikit bingung. "Maaf, Pak. Sa
Terlihat seorang gadis cantik yang hendak berangkat kerja. Renata Viantika yang biasa di panggil Rena, merupakan tulang punggung keluarganya. Ibunya sakit-sakitan sejak satu tahun yang lalu. Sedangkan ayahnya sudah meninggal dunia. Renata harus membantu membiayai sekolah kedua adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.Tak sengaja Renata melihat seseorang yang tergeletak di pinggir jalan. Ia menghentikan sepedanya lalu mendekati lelaki itu. Ternyata itu seorang lelaki paruh baya. Di wajahnya banyak luka lebam dan di perutnya masih ada pisau yang menancap."Astaghfirullah'aladzim. Pak, tolong bangun!" Renata menepuk pelan bahu lelaki itu. Namun, lelaki itu tak kunjung bangun.Renata mencoba mencari bantuan. Ia menghadang sebuah mobil yang kebetulan sedang melintas. Untung saja pengendara mobil itu menghentikan mobilnya. Seorang lelaki tampan membuka kaca mobilnya, menatap Renata dengan tajam."Ngapain kamu halangi jalan saya?" tanya lelaki itu dengan ketus."Maaf, Kak. Saya hany
Sejak kemarin Renata hanya berdiam diri di dalam kamar saja. Alex mengunci kamarnya sehingga dirinya tak bisa keluar. Entah apa lagi yang bisa Renata lakukan agar bisa pergi dari rumah itu. Renata mendengar pintu kamarnya terbuka. Ia berpura-pura tidur. Takutnya yang datang itu Alex dan meminta untuk di layani. Sejujurnya Renata tak mau melakukan zina seperti yang kemarin ia lakukan atas paksaan Alex. Benar saja, Renata mendengar suara Alex. Langkah kakinya semakin mendekat. Sebisa mungkin Renata terus memejamkan matanya agar Alex percaya bahwa ia sedang tidur. Kini Renata merasakan tangan Alex membelai wajahnya. Tubuhnya seketika menegang takut kejadian kemarin terulang lagi. ''Tuan .... '' Terdengar suara seseorang dari depan pintu. Alex menggeram kesal karena baru saja akan bersenang-senang tetapi ada yang mengganggu. Ia menoleh ke belakang melihat Bi Marni yang sedang berdiri di depan pintu yang kebetulan tak tertutup. Bi Marni menunduk takut melihat tatapan tak bersahabat yan
Renata menatap punggung Bi Marni yang semakin menjauh dari pandangan matanya. Bergegas ia memasuki kamar pembantu yang ada di hadapannya. Kamar yang sempit tetapi cukup nyaman. "Tak apa aku tidur disini. Semoga saja Tuan Alex tak lagi menyiksaku karena sekarang sudah pisah kamar, " pikirnya. Renata menata pakaian miliknya ke dalam lemari kecil yang ada di kamar itu. Kemudian membaringkan tubuhnya sejenak untuk beristirahat. Ia pun tertidur karena rasa kantuknya tak bisa ditahan lagi. Tok tok tok Gedoran pintu Yang cukup keras mengusik ketenangan Renata yang sedang tidur. Ia mengerjapkan matanya, bergegas turun dari atas ranjang. Mendekati pintu kamar lalu membukanya. Terlihat sorot mata tajam dari seseorang Yang kini berdiri di depan pintu. "Tuan Alex, kenapa mengetuk pintu begitu keras?" Tanya Renata. "Siapa Yang menyuruhmu untuk bersantai di dalam kamar? Cepat kerjakan pekerjaan rumah!" pinta Alex. "Saya bukan pembantu, Tuan. Biar bagaimana pun saya istri Tuan." Entah ke
Renata menemui Alex setelah melihat orang suruhan yang tadi membawanya kini sudah pergi. Tatapan mata tajamnya tak teralihkan dari Alex. Jujur Renata begitu kecewa karena Alex tidak menepati janjinya."Tuan Alex, kenapa Tuan tega membohongiku?" tanya Renata dengan sedikit emosi.''Apa maksudmu?'' tanya Alex yang tak mengerti.''Katanya Tuan Alex akan membiayai semua kebutuhan ibu dan adik-adikku. Tetapi nyatanya mereka terlantar, bahkan adik-adikku harus ngamen agar bisa bertahan hidup. Kenapa Tuan Alex jahat sekali?'' Renata tak bisa membendung lagi air matanya yang menetes begitu saja.Alex tertawa senang melihat Renata yang menangis seperti itu. Derita yang Renata alami saat ini belum apa-apa di bandingkan dirinya yang harus kehilangan ayahnya. Melihat Renata menderita tentu akan membuat Alex semakin puas.''Ini baru permulaan Rena. Penderitaanmu belum berakhir. Aku pastikan kamu akan menangis saat melihat keluargamu mati kelaparan,'' ucap Alex sambil memperlihatkan seringai jaha
Sudah tujuh hari ini Renata tinggal di rumah Bu Sukma sekaligus ikut tahlilan mendoakan ibu dan kedua adiknya. Alex pun membiarkan Renata tanpa mengusiknya karena masih berduka. Hari ini Renata memutuskan untuk kembali ke rumah Alex. Biar bagaimana pun ia masih terikat kontrak. "Bu, Rena pamit pulang dulu ya." Renata menjabat tangan Bu Sukma lalu mereka berpelukan. "Hati-hati, Nak. Jangan lupa sering berkunjung," ucapnya sambil mengusap pelan punggung Renata. Renata pergi dengan menaiki ojek. Beruntung jalanan tak macet sehingga ia bisa sampai lebih cepat. Tak lama ojek yang ia naiki sampai di depan gerbang kediaman Alex. Renata menghirup napasnya dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Jika saja tak terikat kontrak, Renata malas kembali ke rumah itu. "Tahu pulang juga kamu," sindir Alex yang kini sedang duduk di ruang keluarga. Renata tak menanggapi perkataan Alex. Ia berlalu begitu saja karena masih merasa kecewa dengannya. Alex yang melihat sikap berani Renata, tentu amarahnya me
Beberapa minggu kemudian. Renata merasa mudah lelah dari biasanya. Saat bekerja pun sedikit tak bertenaga. Tetapi ia tetap memaksakan diri untuk melaksanakan pekerjaan. Biar bagaimana pun hidupnya tergantung dengan gaji bulanan yang ia dapat setiap bulannya. Walaupun sudah tak memiliki keluarga, setidaknya Renata berniat menabung untuk masa depan. Bi Marni menghampiri Renata yang sedang duduk di lantai. Terlihat sekali jika Renata sedang kelelahan. Bagaimana tidak, menyapu halaman sendirian tanpa ada yang membantu tentu itu tugas yang sulit. “Neng Rena istirahat saja ya, biar Mang Udin yang lanjutkan menyapu halaman. Lagian sebenarnya ini tuh tugas Mang Udin sebagai tukang kebun,” ucap Bi Marni yang merasa tak tega melihat Renata. “Tidak usah, Bi. Saya bisa sendiri kok. Lagian kalau nanti ketahuan Tuan Leon, saya bakal kena marah,” tolaknya. “Tidak akan kena marah, lagian Tuan Leon dan Non Laura sedang keluar,” ucap Bi Marni. “Syukurlah kalau mereka nggak di rumah, jadi saya dud
Renata memandangi selembar kertas hasil pemeriksaannya di rumah sakit, beserta hasil USG di tangan satunya. Sungguh ia sudah tak sabar menunggu kelahiran buah hatinya. Seandainya suatu saat Alex menceraikannya, setidaknya ia masih memiliki seseorang yang paling berharga dalam hidupnya yaitu anak. Tring Notifikasi di ponselnya mengalihkah perhatiannya. Itu salah satu notifikasi pemberitahuan dari aplikasi miliknya jika saja ada berita terbaru. Renata mengambil ponselnya lalu melihat berita terbaru hari ini. Sebuah senyum keterpaksaan terlihat jelas di sudut bibirnya, saat melihat berita terhangat tentang pebisnis terkenal yang sedang mengadakan resepsi pernikahan mewah. Siapa lagi kalau bukan Alex Bimantara yang merupakan suaminya. Sebagai seorang pebisnis terkenal tentu pernikahan Alex dan Laura di sorot media. Tanpa semua orang ketahui bahwa di rumahnya ada seorang wanita yang juga istri Alex. Renata mencoba abai dengan semua pemberitaan itu. Semakin dia memikirkan tentu akan sema
Alex sudah mendatangi rumah sakit tempat dokter kandungan yang sebelumnya memeriksa perkembangan kehamilan istrinya. Ternyata dokter tersebut sudah resign dan di gantikan dengan dokter baru. Saat keluar dari ruangan dokter kandungan, tak sengaja Alex berpapasan dengan suster yang akan masuk. "Tunggu, Sus. Apa sebelumnya Suster yang menjadi suster pendamping dokter Gio? Saya mau sedikit bertanya," ucap Alex. ."Boleh, Pak. Mau tanya apa?" "Apa Suster tahu salah satu pasien yang bernama Laura. Dia itu istri saya, dan katanya dulu selama pemeriksaan selalu ke dokter Gio," kata Alex. 'Jadi ini suaminya Bu Laura. Sayang sekali tampan gini istrinya nakal,' batin suster itu. "Benar, Pak. Memangnya kenapa ya? Oh iya apa istri bapak sudah melahirkan?" "Sudah, Sus. Maka dari itu saya bingung. Istri saya itu harusnya hamil baru tujuh bulan, tapi kata dokter yang menanganinya bersalin usia kandungan istri saya memang sudah sembilan bulan," ujar Alex dengan sedikit bingung. "Maaf, Pak. Sa
Alex yang hendak pulang, langsung berputar arah menuju ke rumah sakit setelah mendapat telepon dari Bi Marni. Sesampainya di rumah sakit ia bertanya kepada satpam letak ruang persalinan. Dengan perasaan khawatir Alex pergi menuju ke ruang persalinan. Ia sungguh khawatir mendengar istrinya akan melahirkan di usia kandungannya yang masih tujuh bulan.''Bi, bagaimana keadaan istri saya?'' Alex mendekati BI Marni yang sedang duduk di depan ruang persalinan.''Ibu Laura baru akan melahirkan, Tuan,'' ucap Bi Marni.''Saya sebagai suaminya harusnya mendampinginya, Bi,'' ucap Alex lalu ia mendekati pintu ruangan itu. Baru juga ia akan membuka pintu, ia mendengar tangisan bayi.''Sepertinya anak Tuan sudah lahir,'' ucap Bi Marni.Alex berucap syukur atas kelahiran anaknya. Namun, ia sedikit kecewa karena anaknya lahir tanpa di temani olehnya. Pasalnya setiap ibu melahirkan pasti ditemani oleh suaminya. Bahkan ada yang anaknya tidak keluar juga jika belum ada ayahnya di samping ibunya.Tak lama
Tak terasa tinggal menghitung hari lagi Renata lahiran. Ia sudah tidak sabar menantikan hari itu. Hari dimana ia bertemu dengan anaknya yang amat ia cintai sejak dari dalam kandungan. Renata sedang duduk sendirian di depan rumah Emak Suci. Sesekali ia mengusap perut buncitnya yang tiba-tiba terasa sakit. Entah apa yang salah, padahal ia sama sekali tak salah makan. ''Kenapa dengan perutku? Kenapa sakit sekali?'' keluh Renata. ''Rena, kamu kenapa, Nak?'' tanya Emak Susi yang kebetulan baru pulang mengantarkan pesanan ke rumah tetangga. ''Perutku sakit sekali, Mak. Padahal Rena nggak makan sesuatu yang aneh,'' ucapnya sambil sedikit merintih. ''Mungkin kamu akan melahirkan, Nak.'' ''Tapi menurut bidan aku lahiran masih beberapa hari lagi, Mak,'' ucapnya. ''Bidan kan hanya manusia, prediksinya itu belum tentu benar. Lebih baik sekarang kita ke klinik saja. Kamu tunggu sebentar ya, Emak mau minta pertolongan tetangga untuk mengantarkan kita.'' Lalu Emak Susi pergi ke rumah tetangga
Alex memperlakukan Laura dengan penuh cinta. Apalagi mengingat ada calon anaknya. Ia sungguh bahagia. Bahkan ia sampai melupakan kepergian Renata. Berbeda dengan Laura yang sama sekali tak bahagia. Bahkan ia harus mencancel beberapa job untuk beberapa bulan ke depan. Sang manager pun dibuat marah karena Laura yang tiba-tiba vakum disaat namanya naik daun. Tetapi mau bagaimana lagi, setiap hari Laura selalu merasa mual dan mudah lelah. Jadi tak mungkin ia tetap bekerja. Prang Laura melempar vas bunga yang ada di kamarnya. Ia memukul-mukul perutnya yang masih rata. Aksi Laura terlihat oleh Alex yang kebetulan berdiri di depan pintu. "Apa yang kamu lakukan Laura? Bukankah kamu sudah depakat untuk menerima anak itu? Kenapa kamu malah menyakitinya?" Alex terlihat marah. "Gara-gara anak ini karierku hancur. Aku memang ingin memiliki anak tetapi tidak harus sekarang, Mas," keluh Laura. "Mungkin ini memang sudah takdirnya. Lagian bukankah kamu memakai KB? Jadi, kalau kecolongan ya nggak
Selama tinggal di desa, Renata membantu Emak Susi berjualan dan ia mendapatkan upah uang 30 ribu rupih perharinya. Bagi orang desa, pendapatan segitu juga sudah lumayan. Tak pernah sedikitpun Renata mengeluh. Ia malah senang berada di lingkungan orang-orang baru yang menurutnya sangat baik. Mereka semua tahu jika saat ini Renata hamil, tetapi ia berpisah dengan suaminya. "Ternyata sangat melelahkan." Renata mengusap peluh yang menetes di keningnya. "Neng Rena, terima kasih ya sudah bantu emak berjualan. Kalau nggak ada Neng Rena biasanya emak kewalahan," ucap Emak Susi sambil mendudukkan diri di sebelah Renata. "Sama-sama, Bu. Rena senang kok kerja sama ibu," ucap Renata. "Mulai sekarang kamu panggil Emak saja ya jangan panggil ibu. Anggap saja Emak ini sebagai orangtua kamu sendiri." "Terima kasih Emak. Rena beruntung bisa bertemu sama Emak." Renata spontan memeluk Emak Susi. "Sama-sama, Neng. Kita itu memang harus saling membantu sesama. Emak senang Neng Rena bisa tinggal disin
Renata merasa lebih tenang setelah tinggal di apartemen Kenan. Sore ini ia berniat memasak untuk Kenan, karena Kenan sempat berkata akan mengunjunginya. Renata yang baru keluar dari kamar, sama-samar mendengar suara seseorang yang sedang berteleponan. 📞’’Iya, Bi. Pasti aku akan menjaga Renata dengan baik karena aku mencintainya. Bibi tenang saja, aku akan memenuhi semua kebutuhannya,’’ ucap Kenan yang sedang berteleponan dengan Bi Marni. Renata merasa tak enak kepada Kenan. Jika Kenan menolongnya karena rasa cinta kepadanya, lalu bagaimana jika ia tak membalas perasaan itu? Akankah Kenan tetap menolongnya? Renata tahu, seseorang pasti akan menyerah jika perasaannya tak kunjung terbalas. Renata semakin tak enak kepada Kenan, apalagi ia yang memang tak mencintainya. ‘Apa sebaiknya aku pergi saja dari sini. Aku tak mau merepotkan Tuan Kenan. Apalagi aku tak bisa membalas cintanya. Aku tak pantas bersanding dengannya,’ batin Renata. Renata melanjutkan langkahnya menuju ke dapur. Ia m
Laura yang baru pulang, terkejut melihat ruang keluarga begitu berantakan. Apalagi saat melihat suaminya sedang duduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dengan berjalan legak-legok Laura mendekati suaminya. "Mas, apa yang terjadi? Kenapa berantakan sekali?" tanya Laura kesal. "Hanya sedikit emosi. Kamu sudah pulang, sayang? Katanya nggak akan pulang secepat ini?" Leon mengalihkan pembicaraannya. "Iya, Mas. Aku mau kasih surprise buat Mas Alex. Ini aku belikan jam tangan keluaran terbaru loh." Lalu Laura memberikan paper bag berukuran kecil kepada suaminya. "Terima kasih, sayang. Sebagai gantinya, bagaimana jika aku memberikan pelayanan untukmu." Alex mengedipkan sebelah matanya. Laura tahu arah pembicaraan suaminya. Namun, ia sedang tak ingin bercinta. Apalagi badannya begitu lelah. "Maaf, Mas. Tapi aku sedang datang bulan," ucapnya berbohong. "Loh kok datang bulan lagi sih, sayang?" Alex sedikit heran. "Iya, Mas. Mungkin karena banyak pikiran jadi datang bulanny
Renata merasakan badannya sangat lemas. Namun, ia masih saja mengerjakan pekerjaannya. Tiba-tiba ia merasa kepalanya berputar dan pandangannya menjadi gelap. Renata pingsan dan hendak terjatuh ke lantai. Untung saja ada Kenan yang baru datang. Ia memegangi Renata sehingga tak terjatuh ke lantai. "Rena, kenapa kamu bisa pingsan begini?" Kenan terlihat khawatir. Kenan memanggil Bi Marni dan izin akan membawa Renata ke rumah sakit. Ia takut terjadi sesuatu dengan pujaan hatinya. Untuk urusan Alex biar ia pikirkan belakangan. Kenan mengendari mobilnya dengan perasaan tak tenang. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat Renata yang ia baringkan disana. Untung saja jalanan tidak macet jadi ia bisa sampai ke rumah sakit dengan cepat. Kenan membopong Renata sambil berteriak memanggil dokter. Terlihat seorang perawat mengjampirinya sambil mendorong brankar pasien. Renata di tidurkan disana dan langsung dibawa ke ruang pemeriksaan. Kenan terlihat sangat cemas. Sejak tadi ia mondar-mandir
Setelah dua hari tidak bertemu Renata, hari ini Kenan kembali berkunjung ke rumah Alex untuk menemuinya. Rindu yang ia rasakan begitu besar. Apalagi kalau malam tak bisa tidur karena terus memikirkannya. Kenan mengakui jika dirinya mencintai Renata, tanpa memandang statusnya yang hanya serang pembantu. Alex yang sedang berdiri di balkon kamarnya, melihat sebuah mobil yang menurutnya tak asing berhenti di halaman rumah. Ia melihat Kenan keluar dari mobil, tetapi ia tak berniat sama sekali untuk menyambut kedatangan sepupunya itu. Lima belas menit sudah setelah Kenan datang ke rumahnya, tetapi tidak ada pelayan yang memanggilnya untuk menemui Kenan. Alex memutuskan keluar dari kamarnya. Pandangannya menelisik mencari keberadaan Kenan, tetapi ia sama sekali tak melihatnya. ''Kemana dia,'' gumam Alex, lalu ia memanggil BI Ijah yang kebetulan sedang menyapu di ruang depan. ''Bi, apa Bibi melihat kenan?'' ''Tadi saya melihat Tuan Kenan pergi ke halaman belakang menghampiri Neng Renata y