Renata menatap punggung Bi Marni yang semakin menjauh dari pandangan matanya. Bergegas ia memasuki kamar pembantu yang ada di hadapannya. Kamar yang sempit tetapi cukup nyaman.
"Tak apa aku tidur disini. Semoga saja Tuan Alex tak lagi menyiksaku karena sekarang sudah pisah kamar, " pikirnya.Renata menata pakaian miliknya ke dalam lemari kecil yang ada di kamar itu. Kemudian membaringkan tubuhnya sejenak untuk beristirahat. Ia pun tertidur karena rasa kantuknya tak bisa ditahan lagi.Tok tok tokGedoran pintu Yang cukup keras mengusik ketenangan Renata yang sedang tidur. Ia mengerjapkan matanya, bergegas turun dari atas ranjang. Mendekati pintu kamar lalu membukanya. Terlihat sorot mata tajam dari seseorang Yang kini berdiri di depan pintu."Tuan Alex, kenapa mengetuk pintu begitu keras?" Tanya Renata."Siapa Yang menyuruhmu untuk bersantai di dalam kamar? Cepat kerjakan pekerjaan rumah!" pinta Alex."Saya bukan pembantu, Tuan. Biar bagaimana pun saya istri Tuan." Entah keberanian dari mana Renata berani menentang perkataan Alex.Alex yang geram langsung menarik kasar rambut panjang Renata."Kamu pikir kamu Nyonya di rumah ini?" Sambil mendorong tubuh mungil itu hingga terjatuh ke lantai."Aww .... "pekik Renata karena merasakan sakit."Maaf, Tuan. Baiklah, saya akan langsung bersiap."Renata beranjak dari duduknya lalu pergi untuk mengerjakan pekerjaan rumah.Alex tersenyum penuh kemenangan sambil menatap kepergian Renata. Rasa benci dalam hatinya begitu besar. Hanya dengan menyiksa itu mampu membuatnya puas.'Coba lihat saja wanita rendahan, sampai kapan kamu bertahan di rumah ini dengan penuh penyiksaan, 'batin Alex sambil tersenyum menyeringai.Beberapa kali Renata mengusap keningnya Yang berkeringat. Menyapu halaman Yang seluas lapangan sungguh melelahkan. Tak ada satupun orang Yang bisa ia minta pertolongan. Semua pelayan di rumah itu sudah diberi peringatan oleh Alex agar tak ada satupun Yang boleh membantu Renata."Permisi, Non. Ini Bibi bawakan minuman dingin untuk Non Rena." Bi Marni menyodorkan aqua kepada Renata."Terima kasih, Bi. Kebetulan aku sedang kehausan."Renata mengambil botol aqua itu lalu segera membukanya. Saat hendak minum, tiba-tiba ada Yang mengambil dsn melempar botol aqua itu ke sembarang arah sehingga semua airnya tumpah."Siapa Yang menyuruh kamu minum?" Alex menatap Renata tajam, lalu tatapannya beralih ke Bi Marni Yang sedang menunduk. "Jangan mentang mentang Bibi itu senior di rumah ini jadi seenaknya memberi dia minum. Awas saja kalau sekali lagi ketahuan membantunya, Bibi akan saya usir dari rumah ini.""Baik, Tuan. Maafkan atas kesalahan saya, " ucap Bi Marni yang masih tetap menunduk.Keduanya bernapas lega saat melihat Alex yang sudah pergi. Bi Marni bergegas pergi meninggalkan Renata Yang masih setia di tempatnya. Sedangkan Renata kembali menyelesaikan pekerjaannya, sambil menahan rasa dahaga.............Alex dan Laura sudah resmi menikah. Walaupun hanya akad saja, tetapi itu tidak masalah bagi ke duanya. Laura menghargai keputusan Alex yang belum mau menggelar resepsi pernikahan. Tentu alasannya karena kematian ayahnya yang baru genap 40 hari.Alex sudah memberikan peringatan kepada semua pelayan di rumah itu untuk tutup mulut, tidak memberitahukan status Renata kepada Laura. Ia juga meminta agar semua pelayan memperlalukan Renata layaknya pelayan seperti mereka. Tidak boleh ada yang memanggil Renata dengan sebutan Nona.Terdengar derap langkah kaki yang mulai mendekat. Pasangan yang sedang berbahagia, memperlihatkan kemesraan mereka. Siapa lagi kalau bukan Alex dan Laura."Pelayan," teriak Alex dengan nada suara yang meninggi."Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" Dua orang pelayan mendekati mereka."Kumpulkan semua pelayan disini!" pinta Alex."Baik," jawab ke duanya lalu bergegas pergi memanggil yang lain.Kini mereka sudah kembali bersama pelayan lain. Salah satunya adalah Renata yang juga berpakaian pelayan seperti mereka. Semuanya menunduk menunggu Alex berbicara."Mungkin kalian sudah tahu wanita yang berdiri di samping saya ini. Dia Laura dan sekarang sudah sah menjadi istri saya. Mulai sekarang kalian harus menghormatinya. Sudah itu saja, kami permisi ke kamar." Alex bergegas pergi dengan menggandeng satu tangan Laura."Baik, Tuan," jawab mereka serempak.Renata memperhatikan Alex yang memeluk pinggang Laura. Mereka berdua terlihat mesra. Tidak seperti saat Alex memperlakukannya."Neng, ayo kita kembali ke belakang!" Bi Marni menepuk pelan bahu Renata."Iya, Bi." Renata mengikuti Bi Marni yang sudah melangkah duluan.Renata mendekati Bi Marni yang sedang mecatat sesuatu di kertas putih." Bi, sedang ngapain?""Bibi sedang mencatat semua kebutuhan dapur yang kosong," jawabnya."Apa Bibi mau belanja?" tanya Renata."Benar, Neng. Apa Neng Renata mau ikut?""Saya mau ikut, Bi. Bosan berada di dalam rumah terus." Renata terlihat senang karena dia bisa ikut pergi keluar."Ya sudah, cepat bersiap! Kita akan pergi sekarang," ucap Bi Marni.......Renata dan Bi Marni sudah selesai berbelanja. Mereka menunggu angkot di pinggir jalan. Kebetulan sopir yang tadi mengantar sedang berada di bengkel, karena mobilnya mogok.Tak sengaja Renata melihat dua anak yang sedang mengamen. Walaupun jaraknya jauh, tetapi dia tahu jelas siapa mereka yang tak lain adalah kedua adiknya. Renata berpamitan kepada Bi Marni, berniat ingin pergi sebentar. Niatnya ingin menghampiri adiknya di seberang jalan sana."Nadia, Rasya, kenapa kalian ada disini?" Renata menatap prihatin pakaian adiknya yang terlihat copang-camping."Kak Rena, kenapa kakak tidak pernah pulang? Apa kakak sudah tidak sayang lagi sama kita?" tanya Nadia dengan kedua matanya yang kini mulai berkaca-kaca."Bukan begitu, kakak di tahan oleh seseorang agar tidak pergi. Tetapi kakak sudah bilang kok kepada orang itu agar mencukupi semua kebutuhan kalian selama kakak tidak tinggal bersama kalian," jelas Renata."Kak, selama ini kami bertahan hidup dengan cara mengamen. Tidak ada yang memberikan bantuan kepada kami. Bahkan sudah tiga hari ini kami tidak masuk sekolah karena tidak mampu membayar uang SPP yang sudah menunggak," ucap Rasya.Renata menutup mulutnya dengan satu tangannya. Tak percaya jika kedua adiknya harus hidup menyedihkan seperti itu. Ternyata apa yang Alex katakan semuanya adalah kebohongan. Alex sama sekali tidak menepati janjinya untuk memenuhi kebutuhan hidup ibu dan adik-adiknya. Jujur Renata tak terima di permainkan seperti ini."Kakak .... " ucap Renata terhenti karena Bi Marni berbicara kepadanya."Neng Rena, ayo sini! Angkotnya sudah terlihat tuh," teriak Bi Marni dari seberang sana."Bibi duluan saja, saya masih ingin mengobrol dengan adik saya," ucap Renata.Bi Marni menurut, lalu menyetop angkot yang lewat. Sedangkan Renata mengajak kedua adiknya mengobrol di taman terdekat. Masih ada banyak hal yang ingin ia tanya dari adiknya."Kak, ayo kita pulang! Setiap hari mamah menanyakan kakak." Nadia memegang satu tangan Renata mencoba menahannya agar tak lagi pergi."Iya, Nad. Kakak akan pulang kok bersama kalian." Renata memeluk mereka berdua.Mereka bertiga melangkah pergi dengan bergandengan tangan. Nadia dan Rasya sama sekali tak ingin melepaskan genggaman tangan kakaknya. Sejenak Renata melupakan perjanjian yang sudah ia buat dengan Alex. Yang terpenting untuk saat ini fokus ke keluarganya.Dengan berjalan kaki, kini mereka sampai juga di rumah gubuk yang sudah terlihat reot. Baru juga akan melangkah masuk, di kejutkan dengan genting yang tiba-tiba jatuh dari atas. Untung saja genting itu tidak mengenai kepala mereka."Astaghfirullah'aladzim. Hampir saja kita tertimpa genting." Renata mengusap dadanya karena terkejut."Rumah kita memang sudah tua, Kak. Apalagi akhir-akhir ini suka bocor jika hujan deras," ucap Nadia sambil menghela napasnya.Renata menahan tangis, rasanya sakit sekali mendengar semua yang di katakan oleh adiknya. Hidupnya begitu sengsara setelah kepergiannya. Apalagi rumahnya yang sudah tak layak di tempati.'Apa aku disini saja bersama ibu dan adik-adikku? Tapi jika Tuan Alex tiba-tiba datang dan memakasaku untuk kembali, apa yang harus aku lakukan?' Renata bergelut dengan pikirannya.........Renata sedang makan bersama ibu dan adiknya. Sungguh ini suasana yang ia rindukan selama ini. Sudah berdosa Renata membiarkan ibu dan adiknya terlantar seperti ini. Ia hanya berharap semoga saja Alex tak mencari keberadaan dirinya sehingga ia bisa terus bersama keluarganya."Nak, mamah senang akhirnya kamu bisa berkumpul lagi bersama kami. Selama ini kamu pergi kemana?" tanya Bu Desi."Rena tersesat, Mah. Tapi sekarang Rena senang karena sudah kembali berkumpul bersama kalian," ucap Renata berbohong. Semua itu ia lakukan agar ibunya tak khawatir, karena bisa mempengaruhi kondisi kesehatannya yang sedang tak baik.Keduanya saling berpelukan menyalurkan rasa rindu seorang ibu dan anak. Namun, mereka melepaskan pelukannya saat mendengar ketukan pintu dari luar. Renata beranjak dari duduknya lalu pergi melihat siapa yang datang.Renata menatap dua lelaki berbadan besar yang berdiri di depan pintu. "Kalian siapa ya? Mau cari siapa datang ke rumah saya?""Kami mencarimu, bos kami sudah menunggumu di kediamannya," ucap salah satu dari mereka."Siapa bos kalian?" tanya Renata memastikan."Alex Bimantara adalah bos kami," jawabnya.Mendengar nama Alex membuat Renata terkejut seketika. Entah dari mana Alex bisa tahu keberadaannya. Selama ini ia tak pernah sekali pun memberitahukan alamat rumahnya."Sebaiknya Nona ikut dengan kami. Jangan sampai Bos Alex marah." Lelaki berbadan besar itu sama-sama memegang tangan Renata dan hendak menarik paksa pergi dari sana.Dengan langkah tertatih, Bu Dewi menghampiri mereka yang sudah lancang menyeret anaknya. Di dampingi dengan kedua adik Renata di sampingnya. Ibu mana yang tak akan marah jika melihat anaknya hendak di bawa oleh orang asing."Siapa kalian? Kenapa membawa anak saya?" Bu Dewi menatap mereka tajam."Kami hanya menjalankan perintah dari Bos Alex. Nona Renata harus ikut dengan kami," ucap salah satu dari lelaki berbadan besar itu.Bu Dewi mencoba menghalangi kedua lelaki itu. Menarik tangan Renata agar terlepas. Tetapi usahanya sia-sia, karena tenaga Bu Dewi memang sudah tak kuat. Tubuhnya begitu lemah tak bertenaga. Bu Dewi terjatuh ke lantai dan itu membuat Renata murka."Jangan sakiti ibu saya! Sekali lagi kalian mencoba menyakitinya, saya tidak akan tinggal diam." Renata menatap keduanya dengan tatapan tajam."Jika tidak ingin kami menyakiti ibunya, maka ikutlah dengan kami," pintanya.Renata melepas kasar tangannya yang masih di pegang oleh mereka. Lalu membantu ibunya kembali berdiri. Rasanya berat sekali jika harus kembali pergi meninggalkan ibu dan adiknya. Tetapi itu satu-satunya cara agar Alex tak semakin murka."Mamah, Nadia, Rasya, maafkan Rena ya. Sepertinya Rena harus ikut bersama mereka. Kalian tenang saja, Tuan Alex itu baik kok. Buktinya Rena juga tinggal di rumahnya dan bekerja sebagai pembantu. Tuan Alex tidak melepas Rena karena terikat kontrak. Jika melanggar maka Rena harus membayar denda yang sangat besar." Renata mengambil beberapa lembar uang ratus ribuan dari tas lalu memberikannya kepada ibunya. "Ini ada sedikit uang dari Rena. Mamah tenang saja, nanti Rena akan mengirim uang setiap bulannya untuk kalian."Berat bagi Bu Dewi untuk melepas anaknya. Namun, Bu Dewi tak mau jika anaknya terjerat masalah lebih besar jika tidak pergi. Mereka berempat saling berpelukan. Renata juga sudah meyakinkan keluarganya jika dia akan baik-baik saja.Renata menemui Alex setelah melihat orang suruhan yang tadi membawanya kini sudah pergi. Tatapan mata tajamnya tak teralihkan dari Alex. Jujur Renata begitu kecewa karena Alex tidak menepati janjinya."Tuan Alex, kenapa Tuan tega membohongiku?" tanya Renata dengan sedikit emosi.''Apa maksudmu?'' tanya Alex yang tak mengerti.''Katanya Tuan Alex akan membiayai semua kebutuhan ibu dan adik-adikku. Tetapi nyatanya mereka terlantar, bahkan adik-adikku harus ngamen agar bisa bertahan hidup. Kenapa Tuan Alex jahat sekali?'' Renata tak bisa membendung lagi air matanya yang menetes begitu saja.Alex tertawa senang melihat Renata yang menangis seperti itu. Derita yang Renata alami saat ini belum apa-apa di bandingkan dirinya yang harus kehilangan ayahnya. Melihat Renata menderita tentu akan membuat Alex semakin puas.''Ini baru permulaan Rena. Penderitaanmu belum berakhir. Aku pastikan kamu akan menangis saat melihat keluargamu mati kelaparan,'' ucap Alex sambil memperlihatkan seringai jaha
Sudah tujuh hari ini Renata tinggal di rumah Bu Sukma sekaligus ikut tahlilan mendoakan ibu dan kedua adiknya. Alex pun membiarkan Renata tanpa mengusiknya karena masih berduka. Hari ini Renata memutuskan untuk kembali ke rumah Alex. Biar bagaimana pun ia masih terikat kontrak. "Bu, Rena pamit pulang dulu ya." Renata menjabat tangan Bu Sukma lalu mereka berpelukan. "Hati-hati, Nak. Jangan lupa sering berkunjung," ucapnya sambil mengusap pelan punggung Renata. Renata pergi dengan menaiki ojek. Beruntung jalanan tak macet sehingga ia bisa sampai lebih cepat. Tak lama ojek yang ia naiki sampai di depan gerbang kediaman Alex. Renata menghirup napasnya dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Jika saja tak terikat kontrak, Renata malas kembali ke rumah itu. "Tahu pulang juga kamu," sindir Alex yang kini sedang duduk di ruang keluarga. Renata tak menanggapi perkataan Alex. Ia berlalu begitu saja karena masih merasa kecewa dengannya. Alex yang melihat sikap berani Renata, tentu amarahnya me
Beberapa minggu kemudian. Renata merasa mudah lelah dari biasanya. Saat bekerja pun sedikit tak bertenaga. Tetapi ia tetap memaksakan diri untuk melaksanakan pekerjaan. Biar bagaimana pun hidupnya tergantung dengan gaji bulanan yang ia dapat setiap bulannya. Walaupun sudah tak memiliki keluarga, setidaknya Renata berniat menabung untuk masa depan. Bi Marni menghampiri Renata yang sedang duduk di lantai. Terlihat sekali jika Renata sedang kelelahan. Bagaimana tidak, menyapu halaman sendirian tanpa ada yang membantu tentu itu tugas yang sulit. “Neng Rena istirahat saja ya, biar Mang Udin yang lanjutkan menyapu halaman. Lagian sebenarnya ini tuh tugas Mang Udin sebagai tukang kebun,” ucap Bi Marni yang merasa tak tega melihat Renata. “Tidak usah, Bi. Saya bisa sendiri kok. Lagian kalau nanti ketahuan Tuan Leon, saya bakal kena marah,” tolaknya. “Tidak akan kena marah, lagian Tuan Leon dan Non Laura sedang keluar,” ucap Bi Marni. “Syukurlah kalau mereka nggak di rumah, jadi saya dud
Renata memandangi selembar kertas hasil pemeriksaannya di rumah sakit, beserta hasil USG di tangan satunya. Sungguh ia sudah tak sabar menunggu kelahiran buah hatinya. Seandainya suatu saat Alex menceraikannya, setidaknya ia masih memiliki seseorang yang paling berharga dalam hidupnya yaitu anak. Tring Notifikasi di ponselnya mengalihkah perhatiannya. Itu salah satu notifikasi pemberitahuan dari aplikasi miliknya jika saja ada berita terbaru. Renata mengambil ponselnya lalu melihat berita terbaru hari ini. Sebuah senyum keterpaksaan terlihat jelas di sudut bibirnya, saat melihat berita terhangat tentang pebisnis terkenal yang sedang mengadakan resepsi pernikahan mewah. Siapa lagi kalau bukan Alex Bimantara yang merupakan suaminya. Sebagai seorang pebisnis terkenal tentu pernikahan Alex dan Laura di sorot media. Tanpa semua orang ketahui bahwa di rumahnya ada seorang wanita yang juga istri Alex. Renata mencoba abai dengan semua pemberitaan itu. Semakin dia memikirkan tentu akan sema
Setelah dua hari tidak bertemu Renata, hari ini Kenan kembali berkunjung ke rumah Alex untuk menemuinya. Rindu yang ia rasakan begitu besar. Apalagi kalau malam tak bisa tidur karena terus memikirkannya. Kenan mengakui jika dirinya mencintai Renata, tanpa memandang statusnya yang hanya serang pembantu. Alex yang sedang berdiri di balkon kamarnya, melihat sebuah mobil yang menurutnya tak asing berhenti di halaman rumah. Ia melihat Kenan keluar dari mobil, tetapi ia tak berniat sama sekali untuk menyambut kedatangan sepupunya itu. Lima belas menit sudah setelah Kenan datang ke rumahnya, tetapi tidak ada pelayan yang memanggilnya untuk menemui Kenan. Alex memutuskan keluar dari kamarnya. Pandangannya menelisik mencari keberadaan Kenan, tetapi ia sama sekali tak melihatnya. ''Kemana dia,'' gumam Alex, lalu ia memanggil BI Ijah yang kebetulan sedang menyapu di ruang depan. ''Bi, apa Bibi melihat kenan?'' ''Tadi saya melihat Tuan Kenan pergi ke halaman belakang menghampiri Neng Renata y
Renata merasakan badannya sangat lemas. Namun, ia masih saja mengerjakan pekerjaannya. Tiba-tiba ia merasa kepalanya berputar dan pandangannya menjadi gelap. Renata pingsan dan hendak terjatuh ke lantai. Untung saja ada Kenan yang baru datang. Ia memegangi Renata sehingga tak terjatuh ke lantai. "Rena, kenapa kamu bisa pingsan begini?" Kenan terlihat khawatir. Kenan memanggil Bi Marni dan izin akan membawa Renata ke rumah sakit. Ia takut terjadi sesuatu dengan pujaan hatinya. Untuk urusan Alex biar ia pikirkan belakangan. Kenan mengendari mobilnya dengan perasaan tak tenang. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat Renata yang ia baringkan disana. Untung saja jalanan tidak macet jadi ia bisa sampai ke rumah sakit dengan cepat. Kenan membopong Renata sambil berteriak memanggil dokter. Terlihat seorang perawat mengjampirinya sambil mendorong brankar pasien. Renata di tidurkan disana dan langsung dibawa ke ruang pemeriksaan. Kenan terlihat sangat cemas. Sejak tadi ia mondar-mandir
Laura yang baru pulang, terkejut melihat ruang keluarga begitu berantakan. Apalagi saat melihat suaminya sedang duduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dengan berjalan legak-legok Laura mendekati suaminya. "Mas, apa yang terjadi? Kenapa berantakan sekali?" tanya Laura kesal. "Hanya sedikit emosi. Kamu sudah pulang, sayang? Katanya nggak akan pulang secepat ini?" Leon mengalihkan pembicaraannya. "Iya, Mas. Aku mau kasih surprise buat Mas Alex. Ini aku belikan jam tangan keluaran terbaru loh." Lalu Laura memberikan paper bag berukuran kecil kepada suaminya. "Terima kasih, sayang. Sebagai gantinya, bagaimana jika aku memberikan pelayanan untukmu." Alex mengedipkan sebelah matanya. Laura tahu arah pembicaraan suaminya. Namun, ia sedang tak ingin bercinta. Apalagi badannya begitu lelah. "Maaf, Mas. Tapi aku sedang datang bulan," ucapnya berbohong. "Loh kok datang bulan lagi sih, sayang?" Alex sedikit heran. "Iya, Mas. Mungkin karena banyak pikiran jadi datang bulanny
Renata merasa lebih tenang setelah tinggal di apartemen Kenan. Sore ini ia berniat memasak untuk Kenan, karena Kenan sempat berkata akan mengunjunginya. Renata yang baru keluar dari kamar, sama-samar mendengar suara seseorang yang sedang berteleponan. 📞’’Iya, Bi. Pasti aku akan menjaga Renata dengan baik karena aku mencintainya. Bibi tenang saja, aku akan memenuhi semua kebutuhannya,’’ ucap Kenan yang sedang berteleponan dengan Bi Marni. Renata merasa tak enak kepada Kenan. Jika Kenan menolongnya karena rasa cinta kepadanya, lalu bagaimana jika ia tak membalas perasaan itu? Akankah Kenan tetap menolongnya? Renata tahu, seseorang pasti akan menyerah jika perasaannya tak kunjung terbalas. Renata semakin tak enak kepada Kenan, apalagi ia yang memang tak mencintainya. ‘Apa sebaiknya aku pergi saja dari sini. Aku tak mau merepotkan Tuan Kenan. Apalagi aku tak bisa membalas cintanya. Aku tak pantas bersanding dengannya,’ batin Renata. Renata melanjutkan langkahnya menuju ke dapur. Ia m
Alex sudah mendatangi rumah sakit tempat dokter kandungan yang sebelumnya memeriksa perkembangan kehamilan istrinya. Ternyata dokter tersebut sudah resign dan di gantikan dengan dokter baru. Saat keluar dari ruangan dokter kandungan, tak sengaja Alex berpapasan dengan suster yang akan masuk. "Tunggu, Sus. Apa sebelumnya Suster yang menjadi suster pendamping dokter Gio? Saya mau sedikit bertanya," ucap Alex. ."Boleh, Pak. Mau tanya apa?" "Apa Suster tahu salah satu pasien yang bernama Laura. Dia itu istri saya, dan katanya dulu selama pemeriksaan selalu ke dokter Gio," kata Alex. 'Jadi ini suaminya Bu Laura. Sayang sekali tampan gini istrinya nakal,' batin suster itu. "Benar, Pak. Memangnya kenapa ya? Oh iya apa istri bapak sudah melahirkan?" "Sudah, Sus. Maka dari itu saya bingung. Istri saya itu harusnya hamil baru tujuh bulan, tapi kata dokter yang menanganinya bersalin usia kandungan istri saya memang sudah sembilan bulan," ujar Alex dengan sedikit bingung. "Maaf, Pak. Sa
Alex yang hendak pulang, langsung berputar arah menuju ke rumah sakit setelah mendapat telepon dari Bi Marni. Sesampainya di rumah sakit ia bertanya kepada satpam letak ruang persalinan. Dengan perasaan khawatir Alex pergi menuju ke ruang persalinan. Ia sungguh khawatir mendengar istrinya akan melahirkan di usia kandungannya yang masih tujuh bulan.''Bi, bagaimana keadaan istri saya?'' Alex mendekati BI Marni yang sedang duduk di depan ruang persalinan.''Ibu Laura baru akan melahirkan, Tuan,'' ucap Bi Marni.''Saya sebagai suaminya harusnya mendampinginya, Bi,'' ucap Alex lalu ia mendekati pintu ruangan itu. Baru juga ia akan membuka pintu, ia mendengar tangisan bayi.''Sepertinya anak Tuan sudah lahir,'' ucap Bi Marni.Alex berucap syukur atas kelahiran anaknya. Namun, ia sedikit kecewa karena anaknya lahir tanpa di temani olehnya. Pasalnya setiap ibu melahirkan pasti ditemani oleh suaminya. Bahkan ada yang anaknya tidak keluar juga jika belum ada ayahnya di samping ibunya.Tak lama
Tak terasa tinggal menghitung hari lagi Renata lahiran. Ia sudah tidak sabar menantikan hari itu. Hari dimana ia bertemu dengan anaknya yang amat ia cintai sejak dari dalam kandungan. Renata sedang duduk sendirian di depan rumah Emak Suci. Sesekali ia mengusap perut buncitnya yang tiba-tiba terasa sakit. Entah apa yang salah, padahal ia sama sekali tak salah makan. ''Kenapa dengan perutku? Kenapa sakit sekali?'' keluh Renata. ''Rena, kamu kenapa, Nak?'' tanya Emak Susi yang kebetulan baru pulang mengantarkan pesanan ke rumah tetangga. ''Perutku sakit sekali, Mak. Padahal Rena nggak makan sesuatu yang aneh,'' ucapnya sambil sedikit merintih. ''Mungkin kamu akan melahirkan, Nak.'' ''Tapi menurut bidan aku lahiran masih beberapa hari lagi, Mak,'' ucapnya. ''Bidan kan hanya manusia, prediksinya itu belum tentu benar. Lebih baik sekarang kita ke klinik saja. Kamu tunggu sebentar ya, Emak mau minta pertolongan tetangga untuk mengantarkan kita.'' Lalu Emak Susi pergi ke rumah tetangga
Alex memperlakukan Laura dengan penuh cinta. Apalagi mengingat ada calon anaknya. Ia sungguh bahagia. Bahkan ia sampai melupakan kepergian Renata. Berbeda dengan Laura yang sama sekali tak bahagia. Bahkan ia harus mencancel beberapa job untuk beberapa bulan ke depan. Sang manager pun dibuat marah karena Laura yang tiba-tiba vakum disaat namanya naik daun. Tetapi mau bagaimana lagi, setiap hari Laura selalu merasa mual dan mudah lelah. Jadi tak mungkin ia tetap bekerja. Prang Laura melempar vas bunga yang ada di kamarnya. Ia memukul-mukul perutnya yang masih rata. Aksi Laura terlihat oleh Alex yang kebetulan berdiri di depan pintu. "Apa yang kamu lakukan Laura? Bukankah kamu sudah depakat untuk menerima anak itu? Kenapa kamu malah menyakitinya?" Alex terlihat marah. "Gara-gara anak ini karierku hancur. Aku memang ingin memiliki anak tetapi tidak harus sekarang, Mas," keluh Laura. "Mungkin ini memang sudah takdirnya. Lagian bukankah kamu memakai KB? Jadi, kalau kecolongan ya nggak
Selama tinggal di desa, Renata membantu Emak Susi berjualan dan ia mendapatkan upah uang 30 ribu rupih perharinya. Bagi orang desa, pendapatan segitu juga sudah lumayan. Tak pernah sedikitpun Renata mengeluh. Ia malah senang berada di lingkungan orang-orang baru yang menurutnya sangat baik. Mereka semua tahu jika saat ini Renata hamil, tetapi ia berpisah dengan suaminya. "Ternyata sangat melelahkan." Renata mengusap peluh yang menetes di keningnya. "Neng Rena, terima kasih ya sudah bantu emak berjualan. Kalau nggak ada Neng Rena biasanya emak kewalahan," ucap Emak Susi sambil mendudukkan diri di sebelah Renata. "Sama-sama, Bu. Rena senang kok kerja sama ibu," ucap Renata. "Mulai sekarang kamu panggil Emak saja ya jangan panggil ibu. Anggap saja Emak ini sebagai orangtua kamu sendiri." "Terima kasih Emak. Rena beruntung bisa bertemu sama Emak." Renata spontan memeluk Emak Susi. "Sama-sama, Neng. Kita itu memang harus saling membantu sesama. Emak senang Neng Rena bisa tinggal disin
Renata merasa lebih tenang setelah tinggal di apartemen Kenan. Sore ini ia berniat memasak untuk Kenan, karena Kenan sempat berkata akan mengunjunginya. Renata yang baru keluar dari kamar, sama-samar mendengar suara seseorang yang sedang berteleponan. 📞’’Iya, Bi. Pasti aku akan menjaga Renata dengan baik karena aku mencintainya. Bibi tenang saja, aku akan memenuhi semua kebutuhannya,’’ ucap Kenan yang sedang berteleponan dengan Bi Marni. Renata merasa tak enak kepada Kenan. Jika Kenan menolongnya karena rasa cinta kepadanya, lalu bagaimana jika ia tak membalas perasaan itu? Akankah Kenan tetap menolongnya? Renata tahu, seseorang pasti akan menyerah jika perasaannya tak kunjung terbalas. Renata semakin tak enak kepada Kenan, apalagi ia yang memang tak mencintainya. ‘Apa sebaiknya aku pergi saja dari sini. Aku tak mau merepotkan Tuan Kenan. Apalagi aku tak bisa membalas cintanya. Aku tak pantas bersanding dengannya,’ batin Renata. Renata melanjutkan langkahnya menuju ke dapur. Ia m
Laura yang baru pulang, terkejut melihat ruang keluarga begitu berantakan. Apalagi saat melihat suaminya sedang duduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dengan berjalan legak-legok Laura mendekati suaminya. "Mas, apa yang terjadi? Kenapa berantakan sekali?" tanya Laura kesal. "Hanya sedikit emosi. Kamu sudah pulang, sayang? Katanya nggak akan pulang secepat ini?" Leon mengalihkan pembicaraannya. "Iya, Mas. Aku mau kasih surprise buat Mas Alex. Ini aku belikan jam tangan keluaran terbaru loh." Lalu Laura memberikan paper bag berukuran kecil kepada suaminya. "Terima kasih, sayang. Sebagai gantinya, bagaimana jika aku memberikan pelayanan untukmu." Alex mengedipkan sebelah matanya. Laura tahu arah pembicaraan suaminya. Namun, ia sedang tak ingin bercinta. Apalagi badannya begitu lelah. "Maaf, Mas. Tapi aku sedang datang bulan," ucapnya berbohong. "Loh kok datang bulan lagi sih, sayang?" Alex sedikit heran. "Iya, Mas. Mungkin karena banyak pikiran jadi datang bulanny
Renata merasakan badannya sangat lemas. Namun, ia masih saja mengerjakan pekerjaannya. Tiba-tiba ia merasa kepalanya berputar dan pandangannya menjadi gelap. Renata pingsan dan hendak terjatuh ke lantai. Untung saja ada Kenan yang baru datang. Ia memegangi Renata sehingga tak terjatuh ke lantai. "Rena, kenapa kamu bisa pingsan begini?" Kenan terlihat khawatir. Kenan memanggil Bi Marni dan izin akan membawa Renata ke rumah sakit. Ia takut terjadi sesuatu dengan pujaan hatinya. Untuk urusan Alex biar ia pikirkan belakangan. Kenan mengendari mobilnya dengan perasaan tak tenang. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat Renata yang ia baringkan disana. Untung saja jalanan tidak macet jadi ia bisa sampai ke rumah sakit dengan cepat. Kenan membopong Renata sambil berteriak memanggil dokter. Terlihat seorang perawat mengjampirinya sambil mendorong brankar pasien. Renata di tidurkan disana dan langsung dibawa ke ruang pemeriksaan. Kenan terlihat sangat cemas. Sejak tadi ia mondar-mandir
Setelah dua hari tidak bertemu Renata, hari ini Kenan kembali berkunjung ke rumah Alex untuk menemuinya. Rindu yang ia rasakan begitu besar. Apalagi kalau malam tak bisa tidur karena terus memikirkannya. Kenan mengakui jika dirinya mencintai Renata, tanpa memandang statusnya yang hanya serang pembantu. Alex yang sedang berdiri di balkon kamarnya, melihat sebuah mobil yang menurutnya tak asing berhenti di halaman rumah. Ia melihat Kenan keluar dari mobil, tetapi ia tak berniat sama sekali untuk menyambut kedatangan sepupunya itu. Lima belas menit sudah setelah Kenan datang ke rumahnya, tetapi tidak ada pelayan yang memanggilnya untuk menemui Kenan. Alex memutuskan keluar dari kamarnya. Pandangannya menelisik mencari keberadaan Kenan, tetapi ia sama sekali tak melihatnya. ''Kemana dia,'' gumam Alex, lalu ia memanggil BI Ijah yang kebetulan sedang menyapu di ruang depan. ''Bi, apa Bibi melihat kenan?'' ''Tadi saya melihat Tuan Kenan pergi ke halaman belakang menghampiri Neng Renata y