Beberapa minggu kemudian.
Renata merasa mudah lelah dari biasanya. Saat bekerja pun sedikit tak bertenaga. Tetapi ia tetap memaksakan diri untuk melaksanakan pekerjaan. Biar bagaimana pun hidupnya tergantung dengan gaji bulanan yang ia dapat setiap bulannya. Walaupun sudah tak memiliki keluarga, setidaknya Renata berniat menabung untuk masa depan.Bi Marni menghampiri Renata yang sedang duduk di lantai. Terlihat sekali jika Renata sedang kelelahan. Bagaimana tidak, menyapu halaman sendirian tanpa ada yang membantu tentu itu tugas yang sulit.“Neng Rena istirahat saja ya, biar Mang Udin yang lanjutkan menyapu halaman. Lagian sebenarnya ini tuh tugas Mang Udin sebagai tukang kebun,” ucap Bi Marni yang merasa tak tega melihat Renata.“Tidak usah, Bi. Saya bisa sendiri kok. Lagian kalau nanti ketahuan Tuan Leon, saya bakal kena marah,” tolaknya.“Tidak akan kena marah, lagian Tuan Leon dan Non Laura sedang keluar,” ucap Bi Marni.“Syukurlah kalau mereka nggak di rumah, jadi saya dudukan seperti ini nggak ada yang menegur,” ujar Renata.“Iya, Neng. Kalau gitu Bibi panggil Mang Ujang dulu ya.” Bi Marni berlalu pergi untuk memanggil Mang Ujang. Sudah sepantasnya Mang Ujang yang melakukan pekerjaan itu.Bi Marni menyuruh Renata untuk istirahat saja. Apalagi melihat wajahnya sangat pucat. Renata menurut dengan Bi Marni. Baru juga akan melangkah masuk kamar, tiba-tiba Renata merasakan pusing sehingga hampir saja terjatuh. Untung saja tangannya berpegangan pada pintu.“Ada apa dengan tubuhku ini? Kenapa sekarang aku merasa lemah sekali? Ini bukan seperti diriku yang biasanya,” gumam Renata lalu memasuki kamarnya.Rena merebahkan diri di kasur berukuran kecil itu. Ia ingin beristirahat sejenak sampai rasa lelahnya berkurang. Tak lama ia pun tertidur dengan pulas.Tiga puluh menit kemudian Renata terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia merasa lapar. Renata mengelus perut ratanya yang sedang keroncongan. Renata beranjak dari atas kasur, lalu ia pergi ke dapur untuk mencari apa pun yang bisa ia makan.“Bi, lagi masak apa nih?” tanya Renata sambil melangkah mendekati Bi Marni yang sedang berkutat di dapur.“Masak makan malam, Non. Tapi baru satu menu yang bibi masak,” jawabnya tanpa mengalihkan arah pandangnya.“Bi, Rena boleh minta makan nggak? Rena tahu ini belum waktunya makan malam. Tapi Renata kelaparan,” pintanya dengan sedikit memohon.“Aduh kasihan sekali Neng Rena. Kalau gitu Neng Rena duduk saja, biar Bibi siapin dulu.”Renata menurut, lagian rasanya ia sudah tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Jujur ia tak pernah selemah ini. Baru kali ini ia merasakannya.Renata makan begitu lahap. Bi Marni yang melihatnya pun ikut senang. Seolah seperti tak makan berhari-hari.“Yang banyak makannya, Neng. Mumpung Tuan nggak ada di rumah,” ujar Bi Marni sambil memperhatikannya.“Baik, Bi,” ucapnya sambil tersenyum.......Pagi ini Renata mual-mual. Entah sudah beberapa hari ini ia merasakannya. Ia berpikir mungkin saja masuk angin karena kecapean. Jika saja tak harus bekerja, mungkin ia bisa istirahat. Namun, ia tak berani izin karena Alex pasti akan menghukumnya.Bi Marni menghampiri Renata yang baru keluar dari toilet. “Neng Rena tidak apa-apa? Wajahnya pucat sekali loh. Kalau sakit biar istirahat saja, nanti Bibi yang minta izin ke Tuan.”“Tidak perlu, Bi. Aku mau kerja saja. Paling ini cuma masuk angin, nanti minum obat juga pasti sembuh,” ucapnya.“Baiklah, kalau gitu biar Bibi belikan obar ya,” tawarnya.“Em nggak usah, Bi. Biar saya saja yang beli ke apotek depan. Kebetulan saya juga ingin beli bubur ayam.”“Baiklah, Neng Rena pergi sekarang saja mumpung Tuan masih belum keluar kamar.”“Iya, Bi.” Renata berpamitan kepada Bi Marni lalu ia bergegas pergi.Di sebuah kamar, tepatnya kamar Alex dan Laura, kedua insan itu masih terjaga dalam tidurnya. Tubuh polos keduanya tertutup oleh selimut. Semalam mereka melakukan pertempuran panas sampai tak ingat waktu.Laura merasa geli karena tiba-tiba merasakan gigitan di bahunya. “Sayang, kamu sudah bangun?”“Sudah, ayo kita mulai lagi pertempuran kita.” Leon mengarahkan Laura untuk turun dari atas kasur. Lalu ia membuka pintu menuju balkon. Mereka kembali melakukannya disana.Renata yang sedang berjalan keluar, tak sengaja mendengar desahan yang menggema. Ia menoleh ke atas, melihat suaminya sedang bercinta dengan Laura. Tiba-tiba dadanya sesak, biar bagaimana pun tak ada seorang istri yang rela berbagi suami.TesAir matanya menetes begitu saja. Renata tak sanggup lagi menahannya. Entah kenapa ia mendadak cengeng.Raut wajah Renata yang tadinya murung kini kembali berbinar setelah ia melihat penjual bubur ayam.“Pak, saya pesan buburnya satu,” ucap Renata lalu duduk di kursi yang kosong.“Siap, Neng,” jawab tukang bubur yang masih fokus melayani pembeli lain.Setelah selesai menikmati semangkuk bubur ayam, kini Renata bergegas pergi ke apotek yang tak jauh dari sana. Hanya berjalan kaki beberapa menit saja ia sampai di apotek. Ia mengantre, menunggu pembeli lain yang sedang dilayani.“Mau beli apa, Nona?”“Em saya mau beli obat. Belakangan ini saya mual-mual, kepala saya pusing, dan badan saya mudah lelah.” Renata menyebutkan apa yang ia rasakan belakangan ini.“Maaf, Nona. Itu seperti tanda-tanda orang hamil. Lebih baik Nona coba pakai test pack saja. Untuk obat saya tidak berani memberikannya, karena ada beberapa obat yang tidak boleh di konsumsi oleh ibu hamil. Lebih baik Nona langsung memeriksakannya ke dokter saja,” ujarnya.“Baiklah, kalau begitu saya beli test pack nya dua,” ucap Renata.Setelah membayar Renata langsung saja pulang. Pikirannya termenung banyak sekali yang di pikirkan. Terutama jika memang ia hamil, ia takut Leon tak mau menerimanya. Apalagi pernikahannya hanya pernikahan siri, tentunya tak bisa memberikan status yang jelas untuk anaknya. Dan Laura, ia takut jika nanti Laura murka saat tahu kehamilannya dan pernikahannya dengan Leon yang sengaja di sembunyikan.Renata memasuki rumah lewat pintu belakang. Ia langsung menuju ke kamar mandi untuk menggunakan test pack itu. Ia sekaligus mencoba kedua test pack yang ia beli tadi. Akhirnya kini hasilnya telah terlihat. Ada dua garis disana. Renata begitu senang karena ada kehidupan lain di perutnya.“Terima kasih telah hadir di hidup mamah, Nak,” ucapnya sambil mengusap perutnya yang masih datar.Renata keluar dari kamar mandi dengan perasaan bahagia. Ia menyimpan test pack itu di kamarnya, tentunya di tempat yang aman. Dengan semangat ia keluar kamar berniat memulai pekerjaan. Renata tak sengaja melihat Alex yang sedang duduk di ruang keluarga. Ia menatap ke segala arah, tak melihat keberadaan Laura. Mungkin ini waktu terbaik yang bisa ia gunakan untuk mengatakan yang sejujurnya kepada Alex.Kini jarak Renata sudah sangat dekat dengan Alex. Namun, Renata menghentikan langkahnya saat mendengar Alex sedang menelepon seseorang sambil mengatakan tentang resepsi pernikahannya bersama Laura. Renata mundur beberapa langkah dari sana, mengurungkan niatnya untuk berbicara.‘Mana mungkin aku mengatakan hal ini disaat Mas Alex akan mengadakan resepsi. Jika semua orang mengetahui Laura sebagai istri Alex satu-satunya, lalu bagaimana dengan diriku? Mungkin selamanya aku hanya istri di balik layar,’ batin Renata sedih.Renata memandangi selembar kertas hasil pemeriksaannya di rumah sakit, beserta hasil USG di tangan satunya. Sungguh ia sudah tak sabar menunggu kelahiran buah hatinya. Seandainya suatu saat Alex menceraikannya, setidaknya ia masih memiliki seseorang yang paling berharga dalam hidupnya yaitu anak. Tring Notifikasi di ponselnya mengalihkah perhatiannya. Itu salah satu notifikasi pemberitahuan dari aplikasi miliknya jika saja ada berita terbaru. Renata mengambil ponselnya lalu melihat berita terbaru hari ini. Sebuah senyum keterpaksaan terlihat jelas di sudut bibirnya, saat melihat berita terhangat tentang pebisnis terkenal yang sedang mengadakan resepsi pernikahan mewah. Siapa lagi kalau bukan Alex Bimantara yang merupakan suaminya. Sebagai seorang pebisnis terkenal tentu pernikahan Alex dan Laura di sorot media. Tanpa semua orang ketahui bahwa di rumahnya ada seorang wanita yang juga istri Alex. Renata mencoba abai dengan semua pemberitaan itu. Semakin dia memikirkan tentu akan sema
Setelah dua hari tidak bertemu Renata, hari ini Kenan kembali berkunjung ke rumah Alex untuk menemuinya. Rindu yang ia rasakan begitu besar. Apalagi kalau malam tak bisa tidur karena terus memikirkannya. Kenan mengakui jika dirinya mencintai Renata, tanpa memandang statusnya yang hanya serang pembantu. Alex yang sedang berdiri di balkon kamarnya, melihat sebuah mobil yang menurutnya tak asing berhenti di halaman rumah. Ia melihat Kenan keluar dari mobil, tetapi ia tak berniat sama sekali untuk menyambut kedatangan sepupunya itu. Lima belas menit sudah setelah Kenan datang ke rumahnya, tetapi tidak ada pelayan yang memanggilnya untuk menemui Kenan. Alex memutuskan keluar dari kamarnya. Pandangannya menelisik mencari keberadaan Kenan, tetapi ia sama sekali tak melihatnya. ''Kemana dia,'' gumam Alex, lalu ia memanggil BI Ijah yang kebetulan sedang menyapu di ruang depan. ''Bi, apa Bibi melihat kenan?'' ''Tadi saya melihat Tuan Kenan pergi ke halaman belakang menghampiri Neng Renata y
Renata merasakan badannya sangat lemas. Namun, ia masih saja mengerjakan pekerjaannya. Tiba-tiba ia merasa kepalanya berputar dan pandangannya menjadi gelap. Renata pingsan dan hendak terjatuh ke lantai. Untung saja ada Kenan yang baru datang. Ia memegangi Renata sehingga tak terjatuh ke lantai. "Rena, kenapa kamu bisa pingsan begini?" Kenan terlihat khawatir. Kenan memanggil Bi Marni dan izin akan membawa Renata ke rumah sakit. Ia takut terjadi sesuatu dengan pujaan hatinya. Untuk urusan Alex biar ia pikirkan belakangan. Kenan mengendari mobilnya dengan perasaan tak tenang. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat Renata yang ia baringkan disana. Untung saja jalanan tidak macet jadi ia bisa sampai ke rumah sakit dengan cepat. Kenan membopong Renata sambil berteriak memanggil dokter. Terlihat seorang perawat mengjampirinya sambil mendorong brankar pasien. Renata di tidurkan disana dan langsung dibawa ke ruang pemeriksaan. Kenan terlihat sangat cemas. Sejak tadi ia mondar-mandir
Laura yang baru pulang, terkejut melihat ruang keluarga begitu berantakan. Apalagi saat melihat suaminya sedang duduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dengan berjalan legak-legok Laura mendekati suaminya. "Mas, apa yang terjadi? Kenapa berantakan sekali?" tanya Laura kesal. "Hanya sedikit emosi. Kamu sudah pulang, sayang? Katanya nggak akan pulang secepat ini?" Leon mengalihkan pembicaraannya. "Iya, Mas. Aku mau kasih surprise buat Mas Alex. Ini aku belikan jam tangan keluaran terbaru loh." Lalu Laura memberikan paper bag berukuran kecil kepada suaminya. "Terima kasih, sayang. Sebagai gantinya, bagaimana jika aku memberikan pelayanan untukmu." Alex mengedipkan sebelah matanya. Laura tahu arah pembicaraan suaminya. Namun, ia sedang tak ingin bercinta. Apalagi badannya begitu lelah. "Maaf, Mas. Tapi aku sedang datang bulan," ucapnya berbohong. "Loh kok datang bulan lagi sih, sayang?" Alex sedikit heran. "Iya, Mas. Mungkin karena banyak pikiran jadi datang bulanny
Renata merasa lebih tenang setelah tinggal di apartemen Kenan. Sore ini ia berniat memasak untuk Kenan, karena Kenan sempat berkata akan mengunjunginya. Renata yang baru keluar dari kamar, sama-samar mendengar suara seseorang yang sedang berteleponan. 📞’’Iya, Bi. Pasti aku akan menjaga Renata dengan baik karena aku mencintainya. Bibi tenang saja, aku akan memenuhi semua kebutuhannya,’’ ucap Kenan yang sedang berteleponan dengan Bi Marni. Renata merasa tak enak kepada Kenan. Jika Kenan menolongnya karena rasa cinta kepadanya, lalu bagaimana jika ia tak membalas perasaan itu? Akankah Kenan tetap menolongnya? Renata tahu, seseorang pasti akan menyerah jika perasaannya tak kunjung terbalas. Renata semakin tak enak kepada Kenan, apalagi ia yang memang tak mencintainya. ‘Apa sebaiknya aku pergi saja dari sini. Aku tak mau merepotkan Tuan Kenan. Apalagi aku tak bisa membalas cintanya. Aku tak pantas bersanding dengannya,’ batin Renata. Renata melanjutkan langkahnya menuju ke dapur. Ia m
Selama tinggal di desa, Renata membantu Emak Susi berjualan dan ia mendapatkan upah uang 30 ribu rupih perharinya. Bagi orang desa, pendapatan segitu juga sudah lumayan. Tak pernah sedikitpun Renata mengeluh. Ia malah senang berada di lingkungan orang-orang baru yang menurutnya sangat baik. Mereka semua tahu jika saat ini Renata hamil, tetapi ia berpisah dengan suaminya. "Ternyata sangat melelahkan." Renata mengusap peluh yang menetes di keningnya. "Neng Rena, terima kasih ya sudah bantu emak berjualan. Kalau nggak ada Neng Rena biasanya emak kewalahan," ucap Emak Susi sambil mendudukkan diri di sebelah Renata. "Sama-sama, Bu. Rena senang kok kerja sama ibu," ucap Renata. "Mulai sekarang kamu panggil Emak saja ya jangan panggil ibu. Anggap saja Emak ini sebagai orangtua kamu sendiri." "Terima kasih Emak. Rena beruntung bisa bertemu sama Emak." Renata spontan memeluk Emak Susi. "Sama-sama, Neng. Kita itu memang harus saling membantu sesama. Emak senang Neng Rena bisa tinggal disin
Alex memperlakukan Laura dengan penuh cinta. Apalagi mengingat ada calon anaknya. Ia sungguh bahagia. Bahkan ia sampai melupakan kepergian Renata. Berbeda dengan Laura yang sama sekali tak bahagia. Bahkan ia harus mencancel beberapa job untuk beberapa bulan ke depan. Sang manager pun dibuat marah karena Laura yang tiba-tiba vakum disaat namanya naik daun. Tetapi mau bagaimana lagi, setiap hari Laura selalu merasa mual dan mudah lelah. Jadi tak mungkin ia tetap bekerja. Prang Laura melempar vas bunga yang ada di kamarnya. Ia memukul-mukul perutnya yang masih rata. Aksi Laura terlihat oleh Alex yang kebetulan berdiri di depan pintu. "Apa yang kamu lakukan Laura? Bukankah kamu sudah depakat untuk menerima anak itu? Kenapa kamu malah menyakitinya?" Alex terlihat marah. "Gara-gara anak ini karierku hancur. Aku memang ingin memiliki anak tetapi tidak harus sekarang, Mas," keluh Laura. "Mungkin ini memang sudah takdirnya. Lagian bukankah kamu memakai KB? Jadi, kalau kecolongan ya nggak
Tak terasa tinggal menghitung hari lagi Renata lahiran. Ia sudah tidak sabar menantikan hari itu. Hari dimana ia bertemu dengan anaknya yang amat ia cintai sejak dari dalam kandungan. Renata sedang duduk sendirian di depan rumah Emak Suci. Sesekali ia mengusap perut buncitnya yang tiba-tiba terasa sakit. Entah apa yang salah, padahal ia sama sekali tak salah makan. ''Kenapa dengan perutku? Kenapa sakit sekali?'' keluh Renata. ''Rena, kamu kenapa, Nak?'' tanya Emak Susi yang kebetulan baru pulang mengantarkan pesanan ke rumah tetangga. ''Perutku sakit sekali, Mak. Padahal Rena nggak makan sesuatu yang aneh,'' ucapnya sambil sedikit merintih. ''Mungkin kamu akan melahirkan, Nak.'' ''Tapi menurut bidan aku lahiran masih beberapa hari lagi, Mak,'' ucapnya. ''Bidan kan hanya manusia, prediksinya itu belum tentu benar. Lebih baik sekarang kita ke klinik saja. Kamu tunggu sebentar ya, Emak mau minta pertolongan tetangga untuk mengantarkan kita.'' Lalu Emak Susi pergi ke rumah tetangga
Alex sudah mendatangi rumah sakit tempat dokter kandungan yang sebelumnya memeriksa perkembangan kehamilan istrinya. Ternyata dokter tersebut sudah resign dan di gantikan dengan dokter baru. Saat keluar dari ruangan dokter kandungan, tak sengaja Alex berpapasan dengan suster yang akan masuk. "Tunggu, Sus. Apa sebelumnya Suster yang menjadi suster pendamping dokter Gio? Saya mau sedikit bertanya," ucap Alex. ."Boleh, Pak. Mau tanya apa?" "Apa Suster tahu salah satu pasien yang bernama Laura. Dia itu istri saya, dan katanya dulu selama pemeriksaan selalu ke dokter Gio," kata Alex. 'Jadi ini suaminya Bu Laura. Sayang sekali tampan gini istrinya nakal,' batin suster itu. "Benar, Pak. Memangnya kenapa ya? Oh iya apa istri bapak sudah melahirkan?" "Sudah, Sus. Maka dari itu saya bingung. Istri saya itu harusnya hamil baru tujuh bulan, tapi kata dokter yang menanganinya bersalin usia kandungan istri saya memang sudah sembilan bulan," ujar Alex dengan sedikit bingung. "Maaf, Pak. Sa
Alex yang hendak pulang, langsung berputar arah menuju ke rumah sakit setelah mendapat telepon dari Bi Marni. Sesampainya di rumah sakit ia bertanya kepada satpam letak ruang persalinan. Dengan perasaan khawatir Alex pergi menuju ke ruang persalinan. Ia sungguh khawatir mendengar istrinya akan melahirkan di usia kandungannya yang masih tujuh bulan.''Bi, bagaimana keadaan istri saya?'' Alex mendekati BI Marni yang sedang duduk di depan ruang persalinan.''Ibu Laura baru akan melahirkan, Tuan,'' ucap Bi Marni.''Saya sebagai suaminya harusnya mendampinginya, Bi,'' ucap Alex lalu ia mendekati pintu ruangan itu. Baru juga ia akan membuka pintu, ia mendengar tangisan bayi.''Sepertinya anak Tuan sudah lahir,'' ucap Bi Marni.Alex berucap syukur atas kelahiran anaknya. Namun, ia sedikit kecewa karena anaknya lahir tanpa di temani olehnya. Pasalnya setiap ibu melahirkan pasti ditemani oleh suaminya. Bahkan ada yang anaknya tidak keluar juga jika belum ada ayahnya di samping ibunya.Tak lama
Tak terasa tinggal menghitung hari lagi Renata lahiran. Ia sudah tidak sabar menantikan hari itu. Hari dimana ia bertemu dengan anaknya yang amat ia cintai sejak dari dalam kandungan. Renata sedang duduk sendirian di depan rumah Emak Suci. Sesekali ia mengusap perut buncitnya yang tiba-tiba terasa sakit. Entah apa yang salah, padahal ia sama sekali tak salah makan. ''Kenapa dengan perutku? Kenapa sakit sekali?'' keluh Renata. ''Rena, kamu kenapa, Nak?'' tanya Emak Susi yang kebetulan baru pulang mengantarkan pesanan ke rumah tetangga. ''Perutku sakit sekali, Mak. Padahal Rena nggak makan sesuatu yang aneh,'' ucapnya sambil sedikit merintih. ''Mungkin kamu akan melahirkan, Nak.'' ''Tapi menurut bidan aku lahiran masih beberapa hari lagi, Mak,'' ucapnya. ''Bidan kan hanya manusia, prediksinya itu belum tentu benar. Lebih baik sekarang kita ke klinik saja. Kamu tunggu sebentar ya, Emak mau minta pertolongan tetangga untuk mengantarkan kita.'' Lalu Emak Susi pergi ke rumah tetangga
Alex memperlakukan Laura dengan penuh cinta. Apalagi mengingat ada calon anaknya. Ia sungguh bahagia. Bahkan ia sampai melupakan kepergian Renata. Berbeda dengan Laura yang sama sekali tak bahagia. Bahkan ia harus mencancel beberapa job untuk beberapa bulan ke depan. Sang manager pun dibuat marah karena Laura yang tiba-tiba vakum disaat namanya naik daun. Tetapi mau bagaimana lagi, setiap hari Laura selalu merasa mual dan mudah lelah. Jadi tak mungkin ia tetap bekerja. Prang Laura melempar vas bunga yang ada di kamarnya. Ia memukul-mukul perutnya yang masih rata. Aksi Laura terlihat oleh Alex yang kebetulan berdiri di depan pintu. "Apa yang kamu lakukan Laura? Bukankah kamu sudah depakat untuk menerima anak itu? Kenapa kamu malah menyakitinya?" Alex terlihat marah. "Gara-gara anak ini karierku hancur. Aku memang ingin memiliki anak tetapi tidak harus sekarang, Mas," keluh Laura. "Mungkin ini memang sudah takdirnya. Lagian bukankah kamu memakai KB? Jadi, kalau kecolongan ya nggak
Selama tinggal di desa, Renata membantu Emak Susi berjualan dan ia mendapatkan upah uang 30 ribu rupih perharinya. Bagi orang desa, pendapatan segitu juga sudah lumayan. Tak pernah sedikitpun Renata mengeluh. Ia malah senang berada di lingkungan orang-orang baru yang menurutnya sangat baik. Mereka semua tahu jika saat ini Renata hamil, tetapi ia berpisah dengan suaminya. "Ternyata sangat melelahkan." Renata mengusap peluh yang menetes di keningnya. "Neng Rena, terima kasih ya sudah bantu emak berjualan. Kalau nggak ada Neng Rena biasanya emak kewalahan," ucap Emak Susi sambil mendudukkan diri di sebelah Renata. "Sama-sama, Bu. Rena senang kok kerja sama ibu," ucap Renata. "Mulai sekarang kamu panggil Emak saja ya jangan panggil ibu. Anggap saja Emak ini sebagai orangtua kamu sendiri." "Terima kasih Emak. Rena beruntung bisa bertemu sama Emak." Renata spontan memeluk Emak Susi. "Sama-sama, Neng. Kita itu memang harus saling membantu sesama. Emak senang Neng Rena bisa tinggal disin
Renata merasa lebih tenang setelah tinggal di apartemen Kenan. Sore ini ia berniat memasak untuk Kenan, karena Kenan sempat berkata akan mengunjunginya. Renata yang baru keluar dari kamar, sama-samar mendengar suara seseorang yang sedang berteleponan. 📞’’Iya, Bi. Pasti aku akan menjaga Renata dengan baik karena aku mencintainya. Bibi tenang saja, aku akan memenuhi semua kebutuhannya,’’ ucap Kenan yang sedang berteleponan dengan Bi Marni. Renata merasa tak enak kepada Kenan. Jika Kenan menolongnya karena rasa cinta kepadanya, lalu bagaimana jika ia tak membalas perasaan itu? Akankah Kenan tetap menolongnya? Renata tahu, seseorang pasti akan menyerah jika perasaannya tak kunjung terbalas. Renata semakin tak enak kepada Kenan, apalagi ia yang memang tak mencintainya. ‘Apa sebaiknya aku pergi saja dari sini. Aku tak mau merepotkan Tuan Kenan. Apalagi aku tak bisa membalas cintanya. Aku tak pantas bersanding dengannya,’ batin Renata. Renata melanjutkan langkahnya menuju ke dapur. Ia m
Laura yang baru pulang, terkejut melihat ruang keluarga begitu berantakan. Apalagi saat melihat suaminya sedang duduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dengan berjalan legak-legok Laura mendekati suaminya. "Mas, apa yang terjadi? Kenapa berantakan sekali?" tanya Laura kesal. "Hanya sedikit emosi. Kamu sudah pulang, sayang? Katanya nggak akan pulang secepat ini?" Leon mengalihkan pembicaraannya. "Iya, Mas. Aku mau kasih surprise buat Mas Alex. Ini aku belikan jam tangan keluaran terbaru loh." Lalu Laura memberikan paper bag berukuran kecil kepada suaminya. "Terima kasih, sayang. Sebagai gantinya, bagaimana jika aku memberikan pelayanan untukmu." Alex mengedipkan sebelah matanya. Laura tahu arah pembicaraan suaminya. Namun, ia sedang tak ingin bercinta. Apalagi badannya begitu lelah. "Maaf, Mas. Tapi aku sedang datang bulan," ucapnya berbohong. "Loh kok datang bulan lagi sih, sayang?" Alex sedikit heran. "Iya, Mas. Mungkin karena banyak pikiran jadi datang bulanny
Renata merasakan badannya sangat lemas. Namun, ia masih saja mengerjakan pekerjaannya. Tiba-tiba ia merasa kepalanya berputar dan pandangannya menjadi gelap. Renata pingsan dan hendak terjatuh ke lantai. Untung saja ada Kenan yang baru datang. Ia memegangi Renata sehingga tak terjatuh ke lantai. "Rena, kenapa kamu bisa pingsan begini?" Kenan terlihat khawatir. Kenan memanggil Bi Marni dan izin akan membawa Renata ke rumah sakit. Ia takut terjadi sesuatu dengan pujaan hatinya. Untuk urusan Alex biar ia pikirkan belakangan. Kenan mengendari mobilnya dengan perasaan tak tenang. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat Renata yang ia baringkan disana. Untung saja jalanan tidak macet jadi ia bisa sampai ke rumah sakit dengan cepat. Kenan membopong Renata sambil berteriak memanggil dokter. Terlihat seorang perawat mengjampirinya sambil mendorong brankar pasien. Renata di tidurkan disana dan langsung dibawa ke ruang pemeriksaan. Kenan terlihat sangat cemas. Sejak tadi ia mondar-mandir
Setelah dua hari tidak bertemu Renata, hari ini Kenan kembali berkunjung ke rumah Alex untuk menemuinya. Rindu yang ia rasakan begitu besar. Apalagi kalau malam tak bisa tidur karena terus memikirkannya. Kenan mengakui jika dirinya mencintai Renata, tanpa memandang statusnya yang hanya serang pembantu. Alex yang sedang berdiri di balkon kamarnya, melihat sebuah mobil yang menurutnya tak asing berhenti di halaman rumah. Ia melihat Kenan keluar dari mobil, tetapi ia tak berniat sama sekali untuk menyambut kedatangan sepupunya itu. Lima belas menit sudah setelah Kenan datang ke rumahnya, tetapi tidak ada pelayan yang memanggilnya untuk menemui Kenan. Alex memutuskan keluar dari kamarnya. Pandangannya menelisik mencari keberadaan Kenan, tetapi ia sama sekali tak melihatnya. ''Kemana dia,'' gumam Alex, lalu ia memanggil BI Ijah yang kebetulan sedang menyapu di ruang depan. ''Bi, apa Bibi melihat kenan?'' ''Tadi saya melihat Tuan Kenan pergi ke halaman belakang menghampiri Neng Renata y