Sore telah tiba, dan Max serta Vivian membawa masing-masing dua kresek sisa jajanan. Sementara itu, Lin membawa belanjaan berat lainnya ke dalam rumah.Sophie, yang sedang menunggu di dalam rumah, langsung menyambut kedatangan mereka. Saat mendengar suara deru mobil dari luar, kedua bola matanya langsung menangkap sisa-sisa jajanan yang dibawa oleh Max dan Vivian. Dengan bangga, senyum lebar seketika terukir, menunjukkan betapa senangnya Sophie melihat kehadiran kedua putra-putrinya."Kalian cukup bersenang-senang rupanya," ucap Sophie sambil mengusap sebelah tangan Vivian.Wanita itu baru menyadari tindakan lain dari suaminya. Semua kejahilan itu adalah demi menciptakan sandiwara yang sempurna. "Bagaimana bunga lawangnya ada?" Lin langsung datang sambil membawa dua kantong kresek besar. Melihat itu Sophie langsung mengerti lalu memberikan perintah."Tolong simpan di dapur.""Baik Nyonya." Lin menunduk patuh.Bersamaan dengan itu, tangan Vivian digaet oleh Sophie."Ayo, kita memasak
Max menunjukan seringai lagi."Pasal satu ayat satu perjanjian kita, jangan lupakan itu," ucapnya dengan suara berat.Vivian mengingat jelas pasal pertama perjanjian mereka. 'Hubungan suami istri normal,' seperti itulah bunyi perjanjian tersebut."Jangan lupa, ini tentang kesepakatan kita," lanjut Max dengan pelan.Pria itu lalu menarik kedua tangan istrinya dengan paksa menuju sebuah tempat, persis terlihat seperti seorang penggembala yang membawa ternaknya.Tak memerlukan waktu lama, kedua insan telah duduk menghadap taman. Tak ada perbincangan apapun, hanya diam menatap lurus ke depan. Sementara itu kedua tangan Vivian masih belum dilepas, beberapa kali dia meminta tangannya untuk lepas, namun semua permintaan itu seakan menjadi angin lalu yang tak bisa di dengar."Lepaskan," titah Vivian, wajahnya menunjukkan rasa muak berlebihan.Max tak mendengar, matanya terus tertuju ke depan, seolah sibuk dengan isi pikirannya sendiri.Semakin Vivian memaksa untuk terlepas, genggaman Max tera
Cekitan pintu terdengar, malam telah datang sebagai alasan kedatangan Vivian di kamar bernuansa klasik tersebut. Jam dinding menunjukan pukul 09.00 waktu yang tepat untuk semua orang beristirahat.Saat mata Vivian menangkap sosok pria diranjang sana terlihat penampakan memanjakan mata. Setelan piama tidur yang membuka bagian depan dada bidang Max sontak membuat Vivian melempar pandangan. Begitu pula Max, manik biru bercahaya itu langsung tertuju pada sang istri di awang pintu. Wajahnya terlihat membalik ke arah lain seolah menghindari kontak mata seperti tadi.Loker ditarik, Max mengambil saputangan hijau yang masih dibungkus plastik, lalu dilempar dengan perhitungan tepat agar Vivian dapat meraih benda tersebut."Punyamu," ucap Max lalu mengambil majalah dan membacanya.Kini saputangan itu telah berada ditangan Vivian, sedikit senyuman ingin terukir namun sengaja ditahan. Dan ketika manik coklat melihat setiap sudut kamar, masalah lain muncul, Vivian tidak menemukan adanya sofa, ter
Tiba di restoran, Vivian duduk menghadap suaminya. Suasana tegang tercipta bahkan setelah pelayan menodongkan menu pada mereka."Pesan," titah Max.Dengan cepat Vivian mengambil buku menu, memilih acak apa saja yang tertera disana. Max tampak intens memerhatikan, sorot mata tajam membuat suasana terasa mencekam.Max melipat kedua tangan dengan kaki menyilang, memberikan aura dominan yang sangat kuat."Dimana cincinmu?" tanya Max. Sontak Vivian melihat jari manis yang ternyata tidak terpasang cincin disana.Mata Vivian berkeliaran seolah mengingat kembali dimana cincin tersebut disimpan. Ada dua kemungkinan besar, jika tidak tertinggal di kamar mandi mungkin di ruang kamar saat keberangkatan terburu-buru pagi tadi.Dia lihat salah satu jari suaminya. Cincin berwarna perak tersebut seakan sengaja ditampakkan agar Vivian dapat melihatnya. Bersamaan dengan itu Max membenarkan posisi sekaan siap untuk mengintrogasi."Kau tidak mematuhi perjanjiannya, padahal sudah ku peringatkan.""Dan eks
Sepanjang perjalanan, Vivian habiskan dengan tidur, sementara Sunny dan Lin berada di mobil lain, keputusan ini diambil untuk menghentikan sejenak sandiwara dihadapan pelayan pribadinya."Emm." Vivian mengerang sambil membenarkan posisi. Leher mulus bersih seketika terpampang jelas tanpa penghalang. Dress yang dikenakan telah membuat tulang bahu Vivian tampak jelas. Sambil mengendarai, Max sekilas memandangi pemandangan itu, bahu dan tubuh yang kecil sempat membuat Max menelan salivanya berkali-kali."..."...Setibanya di Vila, mereka langsung menunjukan sandiwara terbaik. Sunny dan Lin tampak memerhatikan dari kejauhan."Hari yang menyenangkan," ucap Vivian pada suaminya, berlaku manja."Tentu, berkatmu," jawab Max lembut, di bumbui senyum bahagia. Tanpa menghabiskan waktu, keduanya segera menuju kamar, bersembunyi sekaligus untuk membersihkan diri. Tiba di ruang kamar, saat pintu ditutup, Vivian langsung melepas kontak tubuh, saling menjauhkan diri satu sama lain. Wajah manis yan
Secepat kilat Max membawa Laura menuju ruang kerja, salah satu tempat paling aman dari segala pengawasan termasuk Sunny.Saat Max dan Lin pergi, senyum tipis menghiasi wajah Vivian. Dia memiliki kesempatan untuk menikmati pagi ini. Matahari belum mencapai puncaknya dan biasanya River masih ada di hutan sana. Dengan cepat, Vivian mengambil sapu tangan, buku dan buah-buahan, lalu bergerak menuju lokasi tujuan....Angin berembus dingin, musim tampaknya sedang berganti, angin akan terus terasa dingin hari demi hari, dan seperti biasa Vivian tidak memakai mantel, hanya cukup mengandalkan dress dengan lengan sesikut dan panjang mencapai betis.Tak... Tak...Bunyi langkah terdengar jelas menapaki dedaunan. Di tempat biasa, pria berseragam duduk terdiam sendirian sambil menikmati terpaan angin sejuk."River, kau sudah lama disini?" tanya Vivian lalu duduk tepat disampingnya.River menggerakkan bola matanya, dia tampak kecewa setelah tidak mendapati Vivian datang dua hari terakhir."Kukira ka
Di tempat lain Laura menghadap sang kekasih. Max menakutkan tangan dibawah dagu, menatap sang kekasih dengan pandangan fokus."Ada apa kamu kemari sampai tidak memberitahuku dulu?" tanya Max.Laura tampak khawatir jari jemarinya diremas dibalik meja "aku rindu," balasnya.Terlihat hembusan nafas berat keluar, Max memijat pelipis tak habis pikir dengan jawaban sang kekasih, terlebih dengan kondisi Vila yang selalu di awasi, sangat rawan jika Laura datang tanpa persiapan terlebih dahulu."Sekarang apa yang kamu inginkan?" tanya Max lembut. Laura mulai melihat sorot mata biru milik kekasihnya, sangat dalam seolah dapat tenggelam didalamnya."Sebentar lagi akhir tahun, kamu pernah berjanji padaku akan liburan bersama, aku ingin kita menghabiskan waktu bersama, ayo kita liburan," pinta Laura dengan wajah memelas."Akhir tahun ini jadwalku padat," jawab Max tanpa berfikir."Terus bisanya kapan?" Nada Laura meninggi, bola matanya seketika menunjukan kekhawatiran tak mendasar."Setelah projek
Pagi menjemput, setelah kepergian sang suami, Vivian menghabiskan waktu di ruang keluarga bersama sebuah TV. Setelah meminta izin kepada Lin dan Moa, Vivian mengambil remote lalu duduk untuk menghabiskan waktu. Larangan River untuk pergi kehutan membuatnya habis dilanda bosan. Maka dari itu sebagai pengalihan TV lah yang akan menemani hari-harinya sekarang."Sudah lama aku tidak menonton TV."Saat tombol merah ditekan, muncullah tayangan berita. Sambil menyantap potongan buah, Vivian lihat tulisan di paling bawah 'kolaborasi tersukses sepanjang masa' tertulis seperti itu."Selamat datang kembali di acara kita! Kita semua tahu bahwa kolaborasi terbaik tahun ini datang dari dunia kuliner, dan saya yakin kalian semua sudah mendengar tentang produk yang sedang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini yaitu Riramu! Ya, Riramu, bumbu siap saji yang cocok sekali untuk anak-anak kos, kini berkolaborasi dengan produk tak kalah juaranya, Si Instan, yang merupakan produk sayuran kering dengan khas
Sorot mata kosong kerap terlihat. Tubuhnya bersandar pada tembok, sangat putus asa seperti tak memiliki harapan untuk hidup. "Max jangan begini lagi, tolong demi mama, mama tak bisa hidup jika kau pergi juga." Seolah tak bisa mendengar, Max memejamkan mata. Waktu terasa lama sekali, telinganya tak ingin mendengar apapun, hanya ingin menghilang dan menghilang begitulah pikirnya. Justin yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung terkejut. Rasanya seperti mendengar kabar kematian River dahulu, seketika membuat ujung kaki sampai ujung kepala dibuat lemas karenanya. "Jangan sampai, dia ikut pergi juga." Justin segera memanggil beberapa pelayan, dan begitu mereka datang "Bersihkan seluruh benda tajam dikamar ini termasuk benda yang mudah pecah, jangan ada yang tersisa!" Justin langsung pergi menuju ruang tamu, dia merebahkan diri sambil berusaha mengangkat ponsel yang terus menerus mengeluarkan nada pesan. "Haa... Dasar anj***," pekik Justin saat beratus pesan muncul setelah mereba
Dua hari telah berlalu sejak kepergian sang istri. Sejak itu pula Max tidak pernah menunjukan diri, dia tetap berada di ruang kamar sembari menanti kedatangan Vivian setiap hari. Dalam sunyi, Max memandang foto satu-satunya bersama sang istri. Senyum cantik yang terukir indah itu dia elus dengan lembut. "An... Apakah kau marah? Aku menunggumu sejak kemarin, apakah kau tidak ingin menemui ku lagi?" "Siapa yang perlu ku bunuh agar kau kembali, siapa yang harus ku marahi agar kau senang, tolong beritahu aku agar aku bisa melakukannya untukmu." Dengan pandangan kosong Max tersenyum gila, dan disaat itu tiba-tiba... Cklek... Seorang pria datang dengan nampan berisi makanan. "Max, makanlah kau belum makan apapun sejak kemarin." Justin menyimpan nampan diatas meja sementara Max tak bergerak seolah tak merasakan kehadiran siapapun. Justin melihat setiap sudut kamar yang dipenuhi pecahan kaca dan benda hias lainnya. Padahal baru saja kemarin para pelayan membersihkan kekacauan yang dibu
Dibelahan tempat lain, semua prajurit telah berbaris rapi. Tegap sempurna mendengarkan komando dengan seksama. "Tim satu, persiapkan dari arah Utara. Tim dua awasi dari selatan, dan yang lainnya dengarkan perintah dari komandan mengerti!" "Siap mengerti!" Serentak seluruh prajurit berhamburan, memposisikan diri sesuai arahan. River yang berada di Tim satu segera mengikuti komandan menuju tempat persembunyian di bagian utara. Arah utara merupakan tempat diduganya penyelundupan dan sindikat obat-obatan terlarang berkumpul, maka dari itu jumlah prajurit dikerahkan dalam jumlah banyak dengan para prajurit terpilih saja yang di utus. Begitu sampai, River dan tim satu memposisikan diri. Rencana yang telah dibuat sematang mungkin dijalankan dengan hati-hati. Target mendekat, senapan diangkat dengan pandangan fokus memantau target. "Sekarang!" DOR! DOR! DOR! Penyerangan dilakukan serentak pada beberapa target. Secepat mungkin setelah itu muncul kawan lainnya menyerang dengan membab
Mata berkaca-kaca terlihat tertuju pada wanita di sisinya.“Max,” panggil Vivian.Kata tersebut sangat jernih terdengar hingga rasa haru langsung menembus kalbu hanya dari lantunan suara lembut tersebut. Tangan nan lemah sang istri Max pegang erat, sementara kedua malaikat kecilnya tersimpan di dada sang ibu.Disaat itu anggota keluarga diperbolehkan masuk. Senyum lemah terukir indah dengan susah payah, setelah perjuangan menyelamatkan dua buah hati, dan di saat itu pula sebagaimana rencananya, tugas wanita cantik itu telah selesai. Perlahan Vivian menoleh memberikan seucap kata untuk pria di sampingnya.“Tolong jaga anak kita ya,” ucapnya dengan susah payah dan dibalas dengan genggaman erat penuh keyakinan.“Pasti, aku akan selalu menjaganya.” Haru tak bisa Max bendung lagi, tangis bayi telah meluluhkan hati Max yang teramat keras.Dengan pelan dia mengelus kepala anak-anaknya yang masih merah dan belum bisa membuka mata. Kelahiran mereka benar-benar memberikan kabar bahagia, semua o
Sudah genap sembilan bulan dua bayi kembar dikandungnya. Vivian terbaring di ranjang, tubuhnya tertutup selimut, matanya menutup untuk sejenak mengistirahatkan diri.Disamping itu, Max menyiapkan koper dan segala keperluan persalinan bersama Sophie dan Evelyn."Selesai," ucap Sophie sembari menepuk-nepuk tangannya selesai berkemas."Sekarang kita berangkat," lanjut Sophie.Saat Max melihat istrinya tertidur dengan tenang, dia langsung berkata. "Mama boleh pergi dulu membawa barang-barang, aku akan pergi bersama istriku nanti."Sekilas Evelyn dan Sophie melihat Vivian di ranjang sana."Ah baiklah, kami pergi dulu kalau begitu, hati-hati saat pergi nanti ya." Pelayan yang telah sedia didepan pintu untuk membawa barang-barang langsung bergegas menjalankan tugas.Disamping itu Evelyn tak melepas pandangan dari putrinya."Max bagaimana kalau Mama ikut dengan kalian saja nanti?" tawar Evelyn tak tega membiarkan Vivian bersama suaminya berdua.Begitu tawaran itu terdengar, suara dari ranjang
Usai menghadiri acara penghargaan, Justin menepuk pundak Max berkali-kali setelah Max meraih tropi sebagai most attention received actors of the year pada tahun ini. "Sudah kuduga kau pasti akan mendapatkannya," ucap Justin bangga. "Malam ini sutradara Wang mengajakmu untuk merayakan kemenangan ini, kau akan akan hadir kan?" Justin bertanya sambil terus melangkah menuju parkiran. Piala dengan ukiran bintang cemerlang itu Max tatap sejenak. "Max, kau akan datang kan?" tanya Justin lagi saat Max tak memberi balasan. "Tidak, aku akan pulang saja." Max segera membuka pintu, namun sebelum benar-benar masuk Justin terdengar menyela. "Max, tapi sutradara memintaku..." "Tolong wakilkan aku." Setelah mengucap kalimat terakhir Max mengambil alih kunci mobil dan segera tancap gas meninggalkan Justin sendiri ditempat. "Hah..." Justin mematung ditempat. ... Sunyi menyertai pagi, dengan perut yang semakin membesar Vivian pandang foto satu-satunya bersama kedua keluarga dengan pihak suami.
Tak...tak... Suara langkah kaki begitu jelas memecah hening. Begitu terlihat tas yang tak asing lagi tergeletak di dekat pohon. Dengan cepat pria itu meraih benda tersebut lalu melihat isi di dalamnya. Ketika lembaran kertas terlihat, tangannya yang besar langsung membuka isi kertas tersebut. Pelan namun pasti rangkaian kata berhasil dibaca. Kalimat indah yang disajikan dengan begitu rapi telah berhasil membuatnya menarik nafas sangat dalam. "Haa...pada akhirnya apa yang ku khawatirkan selama ini ternyata tetap terjadi." ... Sementara itu, di Vila Max sedang duduk di sofa ruang tamu, saat Vivian dan Moa memasuki ruangan, terlihat wanita cantik itu menutupi wajah dengan rambutnya menyembunyikan mata sembab akibat menangis sepanjang tadi. "Kemarilah," pinta Max agar duduk di dekatnya. Vivian lalu duduk dan otomatis Moa undur diri setelah melihat tatapan Max yang dingin padanya. "Besok adalah hari pemeriksaan terakhir kandunganmu, sepertinya aku tidak akan bisa mengantarmu, ada
Di klinik kandungan, Vivian dibaringkan untuk melakukan USG melihat jenis kelamin buah hati mereka. "Selamat sepertinya anda berdua dikaruniai buah hati kembar," ucap dokter Oliv terlihat senang. Max fokus melihat gambar dalam layar, terlihat dua bayi tengah meringkuk disana. "Bagaimana dengan jenis kelaminnya?" tanya Max penasaran. "Sebentar, saya akan lihat." Dokter segera memerhatikan lagi. "Sepertinya anak anda laki-laki dan perempuan, anda bisa melihat di gambar ini." Dokter menunjuk letak gambar kelamin bayi. Max menarik nafas pelan. Tak bisa di tutupi hadirnya dua buah hati telah membuatnya teramat senang. "Kedua bayinya sehat kan?" tanya Max lagi. "Alhamdulillah dari hasil USG tak ada kecacatan sedikitpun." Max lalu melirik istrinya, bibirnya seakan ingin mengucapkan kalimat sakral yang mungkin akan mengubah kehidupan mereka, namun sayangnya ego yang besar telah meredam keinginan tersebut jauh dalam dalam, hingga Max hanya bisa memegang tangan Vivian erat-erat, tanp
Tanpa terasa langit telah berubah warna, Vivian telah kembali menuju Vila. Langkah lemah menapak menyingkap rerumputan taman yang panjang, dan begitu pandangannya terangkat, disana sosok Max telah berdiri, dia lihat mata biru itu tengah memperhatikan dengan pandangan tak senang. "Kau darimana saja?" Vivian membalas dengan senyuman yang sangat indah, angin yang sengaja bertiup juga semakin mempercantik wajahnya. "Aku melepasnya, seperti keinginanmu aku telah memutuskannya," jawab Vivian dengan mata berkaca-kaca, menahan tangis yang terus bergejolak di dada. Vivian menurunkan pandangan. "Akan tetapi dia belum sepenuhnya melepas ku, jadi tolong biarkan aku membujuknya agar dia tidak menganggu ku lagi." Max tak bisa menjawab, melihat mata coklat bersinar hanya bisa membuatnya diam. "Jika kau memberiku izin, akan ku pastikan sebelum anak ini lahir aku akan meninggalkan dia sepenuhnya, bagaimana bisakah kau mewujudkan permintaanku?" "Baiklah, namun aku akan mengantarmu saat menemui