Sorot mata kosong kerap terlihat. Tubuhnya bersandar pada tembok, sangat putus asa seperti tak memiliki harapan untuk hidup. "Max jangan begini lagi, tolong demi mama, mama tak bisa hidup jika kau pergi juga." Seolah tak bisa mendengar, Max memejamkan mata. Waktu terasa lama sekali, telinganya tak ingin mendengar apapun, hanya ingin menghilang dan menghilang begitulah pikirnya. Justin yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung terkejut. Rasanya seperti mendengar kabar kematian River dahulu, seketika membuat ujung kaki sampai ujung kepala dibuat lemas karenanya. "Jangan sampai, dia ikut pergi juga." Justin segera memanggil beberapa pelayan, dan begitu mereka datang "Bersihkan seluruh benda tajam dikamar ini termasuk benda yang mudah pecah, jangan ada yang tersisa!" Justin langsung pergi menuju ruang tamu, dia merebahkan diri sambil berusaha mengangkat ponsel yang terus menerus mengeluarkan nada pesan. "Haa... Dasar anj***," pekik Justin saat beratus pesan muncul setelah mereba
"Tolong ceraikan aku!" pinta Vivian. "Bercerai? Hahaha...kau milikku sayang," balasan yang terdengar renyah tersebut terlontar dari bibir Maximilian Windsor, seorang aktor sekaligus suami di depannya. Max menatap bola mata coklat yang selalu terlihat membara. Sementara Vivian beberapa kali menelan Saliva, kesal karena tubuhnya terus dihimpit disudut yang sempit. "Sudah kukatakan lepaskan aku! Tidakkah kau sadar sikap obsesimu itu hampir membunuhku!" "Membunuh? Kau tidak boleh terbunuh, permainannya akan jadi membosankan tanpamu." Vivian benar-benar emosi, pikirannya berkali-kali menyuruhnya untuk memberi tamparan pada suaminya. Disamping itu jari-jemari Max perlahan meraba ujung kening Vivian, sembari menggerakkan ibu jari dengan pandangan yang saling terkunci. "Dengarkan aku baik-baik, malam ini dan seterusnya, kau akan terus bersamaku. Jika kau mencoba kabur, tunggu saja hadiah apa yang akan ku berikan padamu." Deg Mendengar ancaman itu, dada Vivian terasa di dobrak. Pikir
Keesokan hari, di sebuah hotel ternama, Max terbangun akibat cahaya yang memancar dari celah tirai jendela kamar.Tring!!!Dering ponsel tiba-tiba berbunyi. Max meraba-raba meja untuk meraih ponsel dengan segera. "Halo," ucap Max dengan suara serak, bahkan matanya masih tertutup tak mau terbuka."Papa tunggu di kafe Dellie jam 8, tak ada alasan untuk kau telat," ucap dari seberang sana. Max langsung menutup panggilan tersebut, tak ada yang penting dari perintah pria tua itu. Dia menjatuhkan kepalanya lagi, melanjutkan kembali tidur paginya dengan tenang. Ting... Sebuah bunyi pesan tiba-tiba muncul. Seperti biasa mungkin Laura telah mengirimi foto cantik kepadanya, lantas Max mengambil ponsel lagi untuk membuka pesan tersebut. Matanya memicing, namun saat dilihat tak ada satupun pesan yang dapat diterima dari sang kekasih. Berlainan dengan sang ayah, puluhan pesan berjejer di layar ponsel. Dengan asal Max menggulir pesan tersebut sampai tiba matanya menangkap satu pesan yang berha
Keesokan hari, dikediaman Windsor ...Brak! Sebuah kendi berhasil dilempar dengan sempurna hingga pecahannya berserakan di mana-mana."Pa, bisakah Papa diam saja, jangan urusi kehidupanku!" bentak Max. Nafasnya terengah-engah dengan emosi yang tertahan. Luka akibat pecahan kaca di tangannya bahkan masih meneteskan darah kental, menggenang di lantai.Jun hanya duduk sembari menyaksikan amukan sang anak. "Kehidupanmu? Kau tahu, nama Windsor hampir ternodai karena siapa?" Jun mulai berdiri, mendekati sang putra dengan langkah pasti."Tck, itu karena Papa yang selalu mencampuri urusanku!" Max tak kalah mengeraskan suaranya."Kau pikir Papa begini karena apa? Kau pasti lebih tahu tentang bagaimana keluarga Laura. Seperti ini kah caramu menjatuhkan nama Windsor!" Bola mata yang tampak membara tak lepas tertuju pada Jun, seiring langkah demi langkah yang semakin dekat dengan sang anak.Tak... Tak...Langkah tenang terhenti tepat didepan Max. Kedua tangan Jun dilipat di depan dada sambil m
PAGI HARI...Suara merdu kicau burung menyapa dari balik jendela. Bersamaan dengan itu, seorang wanita cantik baru terbangun dari tidurnya dengan tangan yang masih menggantung, disertai rasa sakit dan pegal di sekujur tubuh."Akh..." rintih Vivian. Wanita itu melihat pergelangan tangannya yang masih menggantung sambil berusaha melepas ikatan kain itu secara perlahan.Cklek...Seorang pria keluar dari kamar mandi dengan dibalut sehelai kain handuk yang melingkar di pinggangnya. Sambil mengeringkan rambut dengan acak, tiba-tiba pandangan pria itu langsung tertuju pada wanita yang masih menggantung di sudut ruangan, terlihat sedang berusaha dengan tubuh lemas dan kelelahan.Melihat pemandangan itu, tiba-tiba sudut bibir Max terangkat, melihat istrinya menderita, membuatnya puas dan bangga."Pfftt...dia berusaha?" batin Max ingin tertawa.Dengan langkah panjang, Max mengambil pengering rambut tanpa menghiraukan Vivian sedikit pun, membiarkan tubuh wanita yang lemah itu berusaha sekuat ten
Pagi hari...Kicau burung pipit terlantun indah dalam dinginnya suasana pagi. Tirai putih berkibar membangunkan seorang wanita yang terbaring lemah di atas ranjang."An! An!"Perlahan Vivian membuka mata, ketika matanya memicing, terlihat samar beberapa wajah yang tengah mengerumuninya. Dengan pelan dia menarik badan lalu membenarkan posisinya."Akh..." rintih Vivian merasakan denyutan di kepala."Tidurlah, jangan bergerak, nanti kamu pusing lagi,...haish...kamu ini bagaimana di hari pertama sudah sakit begini," ucap Evelyn sambil memberikan perhatian.Vivian menyandarkan kepala sambil memejamkan mata untuk beberapa detik.Bagai pelangi yang datang setelah badai, Vivian menghembuskan nafas lega setelah melihat sang ibunda yang tengah mengkhawatirkan dirinya. Entah ke mana hilangnya rasa takut yang kian menghantui setiap kali melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu, sekarang tak ada yang perlu Vivian takuti lagi, semua penderitaan ini sudah selesai sampai di sini.Air mata Viv
Vivian termenung sembari memainkan ibu jari, dia benar-benar yakin apa yang dirasakan kemarin adalah nyata, bukan sekedar mimpi bahkan ilusi, semuanya nyata dengan rasa yang begitu jelas.Vivian menatap pergelangan tangan yang tiba-tiba terlihat baik-baik saja, masih belum percaya dengan semua yang dia lihat saat ini."Rasa sakitnya bahkan masih terasa," batin Vivian sembari menatap pergelangan tangan.Tanpa terasa berjam-jam berlalu, namun kesimpulan yang mesti Vivian dapatkan masih belum dia temukan.Cklek...Wanita itu menoleh menatap seseorang di awang pintu, tengah melangkah menghampirinya. "Vivian Mama pulang dulu ya, cepat sembuh ya sayang, Mama akan merindukanmu," ucap Evelyn sembari memberi kecupan di kening sebagai tanda perpisahan.Setelah memberi hujan kecupan, Evelyn membenarkan tasnya sembari berbalik meninggalkan Vivian sendiri duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong."Mama..." Mendengar satu kata itu Evelyn menoleh melihat putri tercintanya terdiam dengan tetesan
Vivian terbelalak mendengar ucapan suaminya. Seketika wanita itu merangkak mundur, berusaha menjauhkan diri dengan degup dada yang berpacu semakin cepat.Bagaimana pun dia harus menemukan celah untuk pergi. Dia coba menoleh kanan kiri berharap ada sedikit ruang untuk bisa keluar, namun naas pria itu sudah menunjukkan seringai di wajahnya, senyum smirk has yang terukir, benar-benar mengingatkannya pada kejadian kelam beberapa hari lalu."Bodoh!" pekik Vivian dalam hati.Set!Max menarik lengan Vivian dengan kasar, menyeret wanita itu menuju toilet.Bugh!Vivian terbanting membentur dinding."Akh!" Senyum puas terukir kembali di wajah Max. Tanpa ragu Max menekan shower hingga semburan air mengucur deras tepat di pucuk kepala istrinya. Tubuh Vivian kini terasa sakit lagi. Perih dia rasakan di pergelangan tangan dan sedikit demi sedikit, luka itu mulai terlihat lagi. Memar ungu terlihat mengerikan menggenang di kedua pergelangan tangan."Ini..." gumam Vivian.Apa yang wanita itu lihat d