PAGI HARI...
Suara merdu kicau burung menyapa dari balik jendela. Bersamaan dengan itu, seorang wanita cantik baru terbangun dari tidurnya dengan tangan yang masih menggantung, disertai rasa sakit dan pegal di sekujur tubuh."Akh..." rintih Vivian. Wanita itu melihat pergelangan tangannya yang masih menggantung sambil berusaha melepas ikatan kain itu secara perlahan.Cklek...Seorang pria keluar dari kamar mandi dengan dibalut sehelai kain handuk yang melingkar di pinggangnya. Sambil mengeringkan rambut dengan acak, tiba-tiba pandangan pria itu langsung tertuju pada wanita yang masih menggantung di sudut ruangan, terlihat sedang berusaha dengan tubuh lemas dan kelelahan.Melihat pemandangan itu, tiba-tiba sudut bibir Max terangkat, melihat istrinya menderita, membuatnya puas dan bangga."Pfftt...dia berusaha?" batin Max ingin tertawa.Dengan langkah panjang, Max mengambil pengering rambut tanpa menghiraukan Vivian sedikit pun, membiarkan tubuh wanita yang lemah itu berusaha sekuat tenaga. Di sisi lain, rasa perih semakin terasa, pegal di sekujur tubuh juga menjadi kendala besar bagi Vivian untuk terlepas secepatnya."Tolong...lepaslah...lepas..." harap Vivian sembari memutar pergelangan tangan. Namun naasnya sekuat apa pun berusaha, ikatan kain itu tak bisa longgar sedikit pun, bahkan membuat pergelangan Vivian semakin terasa perih.Di sisi lain, seakan tak mempedulikan, Max diam-diam tengah memperhatikan gerak-gerik istrinya. Usaha melarikan diri yang Vivian lakukan membuat Max terbahak-bahak dalam hati."Haha...menyenangkan juga."Setelah mengenakan celana yang hanya mencapai lutut, dengan asal Max mengambil sebuah kaos di lemari dan langsung mengenakannya dengan cepat.Max bergegas keluar, meninggalkan Vivian yang seakan tak terlihat oleh matanya. Wanita yang hampir kehabisan energi itu melihat Max melangkahkan kaki. Ketika Max menutup pintu, tanpa sengaja tatapan mereka bersatu, dan dengan kejamnya pria itu menampakkan senyuman tipis dan samar-samar terlihat gerakan bibir tanpa suara seolah mengatakan "nikmatilah."Bak!Pintu tertutup meninggalkan Vivian sendiri. Namun hal itu bukanlah sepenuhnya pertanda buruk, Vivian semakin memiliki banyak waktu untuk melarikan diri. Hanya saja energi yang dia miliki sudah terkuras habis.Demi bisa kabur, wanita itu berusaha berpikir untuk lepas secepatnya, menarik kain yang mengikat tangannya sekuat-kuatnya, mengerahkan segala energi yang masih tersisa.Bak!Dengan tarikan yang sangat kuat, Vivian berhasil menarik kain yang mengikat lengannya."Ugh...aku harus cepat pergi dari sini."Rasa pegal sedikit terobati dengan posisinya yang sudah tidak menggantung lagi. Sebelum Max kembali, Vivian bergegas secepat mungkin mengambil alat yang mampu melepas ikatan yang melilit kuat di pergelangan tangannya."Pisau, aku harus menemukannya."Untung saja dia masih mengingat di mana letak benda tajam yang Max simpan kemarin malam. Dengan cepat Vivian mengambil sebuah benda tajam di dalam laci tepat di samping ranjang tempat Max menenangkan diri.Pisau ditemukan. Tanpa berlama-lama dia meletakan pisau di antara kedua kakinya, menyayat kain di pergelangan tangannya sambil sesekali melihat keadaan memastikan ke tidak hadiran pria iblis di sekelilingnya.Srekk...Alhasil setelah kuat berusaha, Vivian dapat melepas ikatan itu. Dengan ketakutan dan trauma yang begitu dalam, Vivian dengan cepat membuka jendela hingga terasa tamparan angin di sekujur tubuhnya. Tanpa pikir panjang wanita itu menarik tirai, kemudian mengikatnya menjadi sebuah tali yang dapat mencapai tanah."Cepatlah, aku harus cepat."Rasa ketakutan masih mengelilinginya, secepat mungkin Vivian melancarkan aksi, mengikat tali pada celah jendela dan mulai melarikan diri.Sedikit demi sedikit, wanita itu menggenggam ikatan kain yang telah dia buat, hingga pada akhirnya dia berhasil turun dengan selamat. Namun ketika dia melihat ujung tali untuk terakhir kali, tiba-tiba sebuah senyuman dari atas jendela mengarah kepadanya."Run..."Deg!Secepat mungkin Vivian berlari. Detak jantung yang berpacu semakin cepat telah membutakan akal pikiran. Entah ke mana arah yang dia tuju, pikirannya sudah tak bisa berfungsi lagi, menjauh sejauh mungkin adalah tujuan utama mengatasi ketakutan ini."Hosh...hosh..." Vivian mengendalikan nafas sejenak. Dia terhenti di sebuah tempat yang entah di mana berada. Bola matanya menelaah ke berbagai arah yang dikelilingi pepohonan besar dan semak-semak belukar, sangat sepi dan sunyi.Sejenak Vivian menenangkan diri dan mulai melangkah dengan pelan."Aku harus kemana lagi..."Srek...Tiba-tiba saja, suara aneh datang dari semak-semak, sontak saja Vivian menoleh. Dalam kondisi lemas, dia merasakan ketegangan kembali. Dia berlari sekencang mungkin untuk menghindar, berharap di seberang sana ada sebuah pemukiman yang mampu menyelamatkannya dari penyiksaan.Sementara itu di balik semak-semak, seorang berseragam duduk mengintai dengan senjata pada salah satu tangannya."Wanita yang cantik."....Hari semakin gelap, kaki kecilnya sudah tidak mampu melangkah lagi, suara nyaring perut juga terus berbunyi, membuat Vivian memutuskan untuk berdiam diri sementara."Akh...lapar." Perut yang tak mendapat asupan sedikit pun menimbulkan nyeri amat luar biasa. Vivian meremas perut hingga terlihat kerutan kening serta tetesan keringat di wajahnya.Setelah berpikir kembali, bersama Max ataupun tidak, penderitaannya tetaplah sama. Di hutan belantara tanpa tujuan, Vivian menyadari dan menyesal akan keputusan serentak tadi.Tiba-tiba dalam bayangan samar bermunculan sosok ayah dan ibunda yang tengah menanti dirinya, lambaian tangan serta senyum kebahagiaan keluarga yang dia rindukan seketika muncul, membuat ukiran senyum manis di wajah wanita yang tengah bersandar di balik pohon besar. Hingga tak terasa rasa lelah ini sedikit demi sedikit berkurang, hingga malam tiba, wanita itu hanyut terpejam dalam balutan sunyi nya angin malam.Tak... Tak...Perlahan suara langkah kaki terdengar mendekat, menghampiri wanita yang tengah tertidur kelelahan. Kedua tangan kekar itu disimpan dalam saku, lalu berjongkok untuk melihat wajah Vivian dari jarak yang dekat."Rupanya kau disini... Istriku."Pagi hari...Kicau burung pipit terlantun indah dalam dinginnya suasana pagi. Tirai putih berkibar membangunkan seorang wanita yang terbaring lemah di atas ranjang."An! An!"Perlahan Vivian membuka mata, ketika matanya memicing, terlihat samar beberapa wajah yang tengah mengerumuninya. Dengan pelan dia menarik badan lalu membenarkan posisinya."Akh..." rintih Vivian merasakan denyutan di kepala."Tidurlah, jangan bergerak, nanti kamu pusing lagi,...haish...kamu ini bagaimana di hari pertama sudah sakit begini," ucap Evelyn sambil memberikan perhatian.Vivian menyandarkan kepala sambil memejamkan mata untuk beberapa detik.Bagai pelangi yang datang setelah badai, Vivian menghembuskan nafas lega setelah melihat sang ibunda yang tengah mengkhawatirkan dirinya. Entah ke mana hilangnya rasa takut yang kian menghantui setiap kali melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu, sekarang tak ada yang perlu Vivian takuti lagi, semua penderitaan ini sudah selesai sampai di sini.Air mata Viv
Vivian termenung sembari memainkan ibu jari, dia benar-benar yakin apa yang dirasakan kemarin adalah nyata, bukan sekedar mimpi bahkan ilusi, semuanya nyata dengan rasa yang begitu jelas.Vivian menatap pergelangan tangan yang tiba-tiba terlihat baik-baik saja, masih belum percaya dengan semua yang dia lihat saat ini."Rasa sakitnya bahkan masih terasa," batin Vivian sembari menatap pergelangan tangan.Tanpa terasa berjam-jam berlalu, namun kesimpulan yang mesti Vivian dapatkan masih belum dia temukan.Cklek...Wanita itu menoleh menatap seseorang di awang pintu, tengah melangkah menghampirinya. "Vivian Mama pulang dulu ya, cepat sembuh ya sayang, Mama akan merindukanmu," ucap Evelyn sembari memberi kecupan di kening sebagai tanda perpisahan.Setelah memberi hujan kecupan, Evelyn membenarkan tasnya sembari berbalik meninggalkan Vivian sendiri duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong."Mama..." Mendengar satu kata itu Evelyn menoleh melihat putri tercintanya terdiam dengan tetesan
Vivian terbelalak mendengar ucapan suaminya. Seketika wanita itu merangkak mundur, berusaha menjauhkan diri dengan degup dada yang berpacu semakin cepat.Bagaimana pun dia harus menemukan celah untuk pergi. Dia coba menoleh kanan kiri berharap ada sedikit ruang untuk bisa keluar, namun naas pria itu sudah menunjukkan seringai di wajahnya, senyum smirk has yang terukir, benar-benar mengingatkannya pada kejadian kelam beberapa hari lalu."Bodoh!" pekik Vivian dalam hati.Set!Max menarik lengan Vivian dengan kasar, menyeret wanita itu menuju toilet.Bugh!Vivian terbanting membentur dinding."Akh!" Senyum puas terukir kembali di wajah Max. Tanpa ragu Max menekan shower hingga semburan air mengucur deras tepat di pucuk kepala istrinya. Tubuh Vivian kini terasa sakit lagi. Perih dia rasakan di pergelangan tangan dan sedikit demi sedikit, luka itu mulai terlihat lagi. Memar ungu terlihat mengerikan menggenang di kedua pergelangan tangan."Ini..." gumam Vivian.Apa yang wanita itu lihat d
Tawa dan canda ringan terlontar di antara mereka. Rayuan dan tingkah manis kerap didengar Vivian, bergema di sekitar telinganya."Dia siapa?"Vivian menatap nanar lantai toilet dengan wajah sembab. Ternyata, di luar dugaan, Max bisa bersikap manis, namun jika seandainya Max bisa bahagia hanya dengan bertemu wanita itu saja, mengapa pria itu harus menyiksa Vivian yang tak tahu apa-apa?Kesal dan marah sekilas terbersit, begitu pun malaikat maut, mungkin merasakan hal yang sama, menanti Vivian yang hendak mati namun tak jadi, dan semua hal itu tentu berkat pria biadab bernama Maximilian Windsor."Huh...bodoh."Vivian menekuk kedua lututnya, menenggelamkan wajah sedalam-dalamnya. Rasa tubuh kian tak beraturan, dingin, panas, gerah, bersatu dalam satu rasa. Saluran pernafasan terus mengeluarkan hembusan panas, namun tubuh kecilnya tak bisa merasakan udara panas itu, dari ujung kepala hingga ujung kaki semua rata pucat, bagai seorang yang enggan hidup mati pun tak mau."Aku ingin pulang."
Suara lemah, terucap halus dari bibir kecil wanita cantik yang tengah terbaring."Mah."Suara yang nyaris tak terdengar, terlantun samar. Ketika menantu satu-satunya berucap, pandangan Sophie langsung berbalik tertuju pada wanita itu. Dengan cepat Sophie mendekati Vivian untuk melihat kembali kondisinya."Vivian," panggil Sophie dengan halus, sembari meraba kening, memastikan apakah menantunya telah sadar atau hanya sekedar mengigau."Mah..." panggil Vivian kembali, sambil menunjukkan sedikit kerutan kening seperti merasakan nyeri dari dalam."Max pegang ini, ambilkan kompres nya, Mama mau liat Vivian dulu," ucap Sophie sigap memberikan mangkuk yang dia pegang kepada putranya.Max menerima mangkuk tersebut dan langsung mengambil alih menyiapkan kompresan.Tak... Tak...Langkah panjang terdengar jelas menggema di penjuru ruangan. Max memegang hendel pintu toilet, dan ketika pintu itu sedikit terbuka, sekilas mata elangnya menoleh ke arah sang ibu. Bagai kilat, pandangan singkat itu lan
Ketika Vivian mendengar jeritan tersebut, seketika dia menutup telinga, menyumbat pendengaran sekuat-kuatnya."Enggak! Enggak!" "Vivian kamu kenapa? Vivian!"Sophie sigap menenangkan menantunya. Teriakan histeris di sertai tingkah yang sulit untuk di jelaskan, membuat Sophie semakin cemas."Mama...!" Vivian menekan telinga dengan kuat, memejamkan mata serapat-rapatnya."Tenang, Mama ada di sini, kamu tenang ya, tarik nafas dulu... Pelan-pelan, ikuti Mama ya," ucap Sophie menenangkan.Vivian yang kalut dengan isi kepalanya berusaha mengikuti arahan Sophie. Dengan nafas yang berpacu cepat, Vivian terus berusaha mengatur alur pernafasannya, rasa takut akan bayangan yang dia lihat, serta suara lolongan dan jeritan kesakitan, terus menerus menggema di telinganya."Jangan! Jangan...!!!" Vivian mengeratkan cengkeraman, meringkuk menolak segala suara yang ada."Vivian, coba lihat Mama," titah Sophie mengarahkan. Pandangan tulus dengan usapan tiada henti Sophie lakukan untuk bisa menenangkan
Seutas tangkai Mawar berduri mengarah lurus kepada Vivian. Ketika bola matanya menangkap siapa di balik tangkai Mawar itu.Deg!Dada ini seketika tersentak. Vivian tunduk sambil merasakan pelan sebuah getaran yang mengalir dari ujung kakinya. Ya, rasa takut ini seketika mengalir bersama aliran darah. Getaran yang keluar bahkan terlalu jelas untuk di lihat, hingga Sophie yang sedari tadi berada di belakang Vivian mengerutkan alis dengan reaksi yang di timbulkan dari tubuh menantunya.Max kembali menodongkan tangkai itu sembari menaikkan sebelah alis, seakan menanti istrinya berwajah seri menerima pemberiannya. Namun Vivian tak kunjung mengambil Mawar tersebut, pandangan matanya masih tertunduk, menghindar sebisa mungkin kontak mata yang mungkin akan terjadi diantara mereka.Senyum ringan tiba-tiba terukir di wajah tampan Max. Dia menekuk lutut, memandang Vivian dengan wajah ramah dan tenang."Kamu tidak menyukainya?" tanya Max lembut.Tak bisa di pungkiri semakin Max bersikap manis, ge
Vivian memandang teduh batu kerikil di sekitarnya."Apa yang Vivian inginkan?" tanya Sophie."Itu..." Vivian meremas jari-jarinya, manik indahnya tak sanggup melihat pandangan tulus sang ibu mertua."Mah... Aku ingin terus bersama suamiku," ucap Vivian tertunduk, tak sanggup melihat Sophie yang terus bersikap tulus."Apa maksudmu? Apakah Mama mengganggu kalian?" tanya Sophie spontan."Gak, Mama gak ganggu," tukas Vivian dengan cepat, jari jemarinya tak bisa menutupi rasa gelisah."Maksudku... Mama gak perlu..." "Coba bicara yang jelas, jangan takut," ucap Sophie sambil menekuk sebelah lututnya menatap wajah Vivian dengan pandangan tulus.Vivian benar-benar tak bisa mengungkapkan kebohongan lagi. Bagai dosa besar, dia tak ingin merasakan rasa bersalah kepada orang yang telah menyembuhkan sedikit luka dalam batinnya, dan di situasi ini, tiba-tiba bola mata Sophie langsung tertuju pada putra satu-satunya."Max, kau melakukan sesuatu lagi ya?" tanya Sophie curiga."Coba tanyakan pada ist