Keesokan hari, dikediaman Windsor ...
Brak!Sebuah kendi berhasil dilempar dengan sempurna hingga pecahannya berserakan di mana-mana."Pa, bisakah Papa diam saja, jangan urusi kehidupanku!" bentak Max. Nafasnya terengah-engah dengan emosi yang tertahan. Luka akibat pecahan kaca di tangannya bahkan masih meneteskan darah kental, menggenang di lantai.Jun hanya duduk sembari menyaksikan amukan sang anak."Kehidupanmu? Kau tahu, nama Windsor hampir ternodai karena siapa?" Jun mulai berdiri, mendekati sang putra dengan langkah pasti."Tck, itu karena Papa yang selalu mencampuri urusanku!" Max tak kalah mengeraskan suaranya."Kau pikir Papa begini karena apa? Kau pasti lebih tahu tentang bagaimana keluarga Laura. Seperti ini kah caramu menjatuhkan nama Windsor!"Bola mata yang tampak membara tak lepas tertuju pada Jun, seiring langkah demi langkah yang semakin dekat dengan sang anak.Tak... Tak...Langkah tenang terhenti tepat didepan Max. Kedua tangan Jun dilipat di depan dada sambil melihat mata Max yang kian menunjukkan sorot tajam padanya."Dengarkan Papa baik-baik. Nama Windsor ada di belakang namamu, orang-orang mengenalmu sebagai Aktor kebanggan dari keluarga ini. Jadi jika kau kabur esok saat pernikahan berlangsung, jangan salahkan papa jika terjadi sesuatu pada Laura. Kau yang membuat ulah, maka Papa akan pastikan Laura yang akan menanggung akibatnya." Suara Jun begitu kental akan ancaman, bahkan Max yang mendengarkan, berkali-kali menahan diri untuk tidak mendaratkan pukulan pada pria tua itu.Melihat sorot mata biru itu, Jun sudah tahu kesabaran Max tidak tersisa banyak. Pria tua itu mendaratkan satu tepukan di bahu sang anak lalu dia akhiri pertemuan kali ini dengan satu bisikan singkat."Ini perintah."...Keesokan harinya, di sebuah vila bernuansa klasik, berlangsung acara pernikahan yang sederhana. Seorang pria bertubuh jangkung dengan bahu yang indah dan rambut tertata rapi, duduk berdampingan dengan sang permaisuri satu malam. Wanita cantik itu, bagai bidadari, ikut duduk di singgasana, menyambut para tamu yang datang dengan wajah yang berseri-seri."Terima kasih." Kalimat tersebut diucapkan berulang-ulang oleh kedua mempelai sepanjang hari.Hingga pukul 15.00, para tamu masih berdatangan, membuat Vivian, wanita cantik yang menjadi tokoh utama hari ini, merasa lelah dan memilih untuk duduk sejenak. Dia merasakan otot-otot kakinya yang mulai menegang dan memutuskan untuk meregangkannya.Vivian melirik pria yang kini telah sah menjadi suaminya. Wajah tampan itu tersenyum tenang dan ramah, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh Vivian sebelumnya. Terlebih setelah berita tentang kerusuhan besar di kediaman Windsor terjadi, Vivian tidak pernah membayangkan bahwa Max bisa bersikap baik pada hari pernikahan mereka."Aku kira dia akan membuat ulah," batin Vivian....Malam menjelang, kedua pihak keluarga memutuskan untuk menginap satu malam. Hal ini membuat Vivian lega, sepertinya malam pertama yang akan dia lewati bersama pasangan politiknya itu akan berlalu begitu saja.Setelah membersihkan diri, Vivian kini tampak bersih dan rapi dengan setelan pakaian tidur sehari-harinya. Dia berjalan pelan dari lantai atas, menuruni tangga satu per satu mendekati sang ibu yang sedang berada di dapur untuk menyeduh kopi.Tak... Tak...Mendengar suara langkah kaki lantas Evelyn menoleh."Kamu belum tidur, Nak?" tanya Evelyn."Hm.. Ma, aku belum mengantuk," jawab Vivian sambil mendekati."Mau kopi? Mama buatkan, ya," tawar Evelyn sambil menyiapkan segelas kopi."Ma, aku ingin mengobrol sebentar," pinta Vivian kepada sang ibu dengan wajah ragu.Namun, sebelum Evelyn sempat menjawab, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat."Maaf, Ma. Bolehkah aku mengambil istriku? Aku membutuhkannya malam ini," ucap Max, yang tiba-tiba datang menghampiri mereka."Oh, iya tidak apa-apa. Ambil saja, Mama pergi ke kamar dulu ya. Kalian semangat!" jawab Evelyn sembari mengepalkan kedua tangan untuk menyemangati pengantin baru melewati malam pertama mereka. Setelah itu, Evelyn langsung pergi menuju kamar yang telah disiapkan."Akh... Mama..." gerutu Vivian dengan nada kecewa, memandang punggung sang ibunda yang kian menghilang.Setelah Evelyn benar-benar pergi, kini hanya menyisakan mereka berdua. Suasana menjadi sepi, tidak terdengar sedikit pun suara. Dalam situasi itu, tiba-tiba Max menarik pergelangan tangan istrinya dengan kasar, menarik paksa menuju lantai atas hingga Vivian terseret dengan keras."Argh..."Kepalan tangan Max yang kuat terus menariknya, hingga sampai di kamar pengantin...Bak!Max melempar tubuh kecil Vivian dengan kasar hingga terhampar di atas ranjang. Pria itu langsung mencengkeram lengan Vivian dengan sangat keras."Wanita murahan!" bentak Max sambil mengimpit Vivian dan mencengkeram lengan wanita itu dengan kuat.Vivian hanya bisa diam, terimpit kesakitan tanpa bisa melawan."Akh..." rintihnya menahan rasa sakit.Tindakan Max benar-benar diluar sangkaan Vivian, seolah-olah sisi lain dari dirinya tiba-tiba muncul. Baru beberapa detik yang lalu, wajah pria itu masih tersenyum. Namun sekarang, bahkan untuk berwajah datar saja sepertinya tidak mungkin terjadi."Arghh..." Max melepaskan cengkeraman kasar pada lengan istrinya, terdengar suara rintihan samar yang mengilukan. Seperti tulang yang kokoh tiba-tiba hancur dengan kasar.Vivian perlahan bangkit, sambil menahan lengan yang sangat sakit. Apa pun kebencian yang dimiliki pria itu terhadapnya, amarahnya saat ini mungkin hanya permulaan dari kekejaman yang sebenarnya.Dengan ketakutan yang melanda, Vivian bergegas meninggalkan kamar. Max terlihat menggerutu kesal, berlalu di belakangnya. Saat Max lengah...Secepat mungkin, Vivian berlari menuju pintu untuk menyelamatkan diri.Cklek...Ketika Vivian mencoba membuka pintu, nasib tidak berpihak padanya. Pintu itu tidak bisa terbuka, semakin dia berusaha, suara yang dihasilkan semakin jelas, membuat Max segera berbalik dan menatap tajam ke arahnya.Tak... Tak...Bulu kuduk Vivian berdiri tegak. Dalam keheningan, detak jantung terdengar semakin keras. Napas tersengal-segal seolah berhenti sejenak. Hingga akhirnya, hembusan napas panas terasa di bahunya, barulah Vivian benar-benar kehilangan napas."Hah? Mau kabur?" tanya Max, membuat bulu kuduk Vivian merinding.Vivian terdiam di tempat, merasakan aura menusuk serta ketakutan yang sangat dalam. Tubuhnya gemetar, dengan keringat yang mengalir membasahi tubuh.Sejenak, keheningan menjalar dan...Bak!Tangan yang kuat menghantam pintu dengan keras, menimbulkan suara gemuruh hingga terbentuk retakan kecil di sekitarnya. Seketika itu juga, Vivian langsung menciut ketakutan dan memejamkan mata tanpa daya."Mau melarikan diri?" bisik Max dari belakang. Di sisi lain, Vivian terdiam membeku, berusaha menahan getaran yang tiba-tiba tak terkendali.Max semakin mendekat, tersenyum dengan pahit sambil berbisik dengan nada ancaman. "Kau tak akan bisa lolos dariku."Set...Max mengangkat tubuh kecil wanita itu, melemparnya ke arah sofa hingga terdengar suara benturan antara tulang dan kayu.Pria itu seakan kehilangan kendali, dengan sigap, dia mengambil sebuah benda tajam dari salah satu laci, sambil mengusapnya pelan-pelan silih berganti.Melihat itu, seketika Vivian terkejut. Dalam bayangannya, apakah ini akhir dari kehidupannya? Sesal dirasakannya ketika dia mengabaikan ucapan Max pada pertemuan pertama dahulu."Tolak pernikahan ini, kau bisa melakukannya kan?"Mengapa Vivian tidak mendengarkan perintahnya? Apakah ini bentuk balas dendam atas ketidakpatuhannya terhadap perintahnya?Kilauan cahaya mulai terlihat samar di kejauhan. Tetesan air mata mengalir membanjiri wajah, membuat wajah cantik itu berubah sembab dan menyedihkan.Max mendekati wanita yang berlumur keringat dan air mata."Jangan!" jerit Vivian kehilangan suara.Sret...Bagian bawah baju wanita itu tersayat hingga membentuk sebuah tali.Vivian tidak bisa berkata-kata lagi, bahkan satu kata pun terasa tersengal dan tidak mampu keluar dengan jelas. Max langsung memaksa istrinya berdiri, mengikat pergelangan tangan Vivian hingga kedua tangannya menggantung pada batang tumpuan tirai. Untungnya, Max masih membiarkan kaki wanita itu menyentuh lantai. Jika tidak, maka malam ini benar-benar akan menjadi malam terakhir wanita itu menghembuskan nafas.Dalam keadaan yang penuh ketakutan, Max mengangkat dagu istrinya yang begitu menyedihkan."Kau, nikmatilah malam ini," ucap Max dengan senyuman miring diujung bibirnya.PAGI HARI...Suara merdu kicau burung menyapa dari balik jendela. Bersamaan dengan itu, seorang wanita cantik baru terbangun dari tidurnya dengan tangan yang masih menggantung, disertai rasa sakit dan pegal di sekujur tubuh."Akh..." rintih Vivian. Wanita itu melihat pergelangan tangannya yang masih menggantung sambil berusaha melepas ikatan kain itu secara perlahan.Cklek...Seorang pria keluar dari kamar mandi dengan dibalut sehelai kain handuk yang melingkar di pinggangnya. Sambil mengeringkan rambut dengan acak, tiba-tiba pandangan pria itu langsung tertuju pada wanita yang masih menggantung di sudut ruangan, terlihat sedang berusaha dengan tubuh lemas dan kelelahan.Melihat pemandangan itu, tiba-tiba sudut bibir Max terangkat, melihat istrinya menderita, membuatnya puas dan bangga."Pfftt...dia berusaha?" batin Max ingin tertawa.Dengan langkah panjang, Max mengambil pengering rambut tanpa menghiraukan Vivian sedikit pun, membiarkan tubuh wanita yang lemah itu berusaha sekuat ten
Pagi hari...Kicau burung pipit terlantun indah dalam dinginnya suasana pagi. Tirai putih berkibar membangunkan seorang wanita yang terbaring lemah di atas ranjang."An! An!"Perlahan Vivian membuka mata, ketika matanya memicing, terlihat samar beberapa wajah yang tengah mengerumuninya. Dengan pelan dia menarik badan lalu membenarkan posisinya."Akh..." rintih Vivian merasakan denyutan di kepala."Tidurlah, jangan bergerak, nanti kamu pusing lagi,...haish...kamu ini bagaimana di hari pertama sudah sakit begini," ucap Evelyn sambil memberikan perhatian.Vivian menyandarkan kepala sambil memejamkan mata untuk beberapa detik.Bagai pelangi yang datang setelah badai, Vivian menghembuskan nafas lega setelah melihat sang ibunda yang tengah mengkhawatirkan dirinya. Entah ke mana hilangnya rasa takut yang kian menghantui setiap kali melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu, sekarang tak ada yang perlu Vivian takuti lagi, semua penderitaan ini sudah selesai sampai di sini.Air mata Viv
Vivian termenung sembari memainkan ibu jari, dia benar-benar yakin apa yang dirasakan kemarin adalah nyata, bukan sekedar mimpi bahkan ilusi, semuanya nyata dengan rasa yang begitu jelas.Vivian menatap pergelangan tangan yang tiba-tiba terlihat baik-baik saja, masih belum percaya dengan semua yang dia lihat saat ini."Rasa sakitnya bahkan masih terasa," batin Vivian sembari menatap pergelangan tangan.Tanpa terasa berjam-jam berlalu, namun kesimpulan yang mesti Vivian dapatkan masih belum dia temukan.Cklek...Wanita itu menoleh menatap seseorang di awang pintu, tengah melangkah menghampirinya. "Vivian Mama pulang dulu ya, cepat sembuh ya sayang, Mama akan merindukanmu," ucap Evelyn sembari memberi kecupan di kening sebagai tanda perpisahan.Setelah memberi hujan kecupan, Evelyn membenarkan tasnya sembari berbalik meninggalkan Vivian sendiri duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong."Mama..." Mendengar satu kata itu Evelyn menoleh melihat putri tercintanya terdiam dengan tetesan
Vivian terbelalak mendengar ucapan suaminya. Seketika wanita itu merangkak mundur, berusaha menjauhkan diri dengan degup dada yang berpacu semakin cepat.Bagaimana pun dia harus menemukan celah untuk pergi. Dia coba menoleh kanan kiri berharap ada sedikit ruang untuk bisa keluar, namun naas pria itu sudah menunjukkan seringai di wajahnya, senyum smirk has yang terukir, benar-benar mengingatkannya pada kejadian kelam beberapa hari lalu."Bodoh!" pekik Vivian dalam hati.Set!Max menarik lengan Vivian dengan kasar, menyeret wanita itu menuju toilet.Bugh!Vivian terbanting membentur dinding."Akh!" Senyum puas terukir kembali di wajah Max. Tanpa ragu Max menekan shower hingga semburan air mengucur deras tepat di pucuk kepala istrinya. Tubuh Vivian kini terasa sakit lagi. Perih dia rasakan di pergelangan tangan dan sedikit demi sedikit, luka itu mulai terlihat lagi. Memar ungu terlihat mengerikan menggenang di kedua pergelangan tangan."Ini..." gumam Vivian.Apa yang wanita itu lihat d
Tawa dan canda ringan terlontar di antara mereka. Rayuan dan tingkah manis kerap didengar Vivian, bergema di sekitar telinganya."Dia siapa?"Vivian menatap nanar lantai toilet dengan wajah sembab. Ternyata, di luar dugaan, Max bisa bersikap manis, namun jika seandainya Max bisa bahagia hanya dengan bertemu wanita itu saja, mengapa pria itu harus menyiksa Vivian yang tak tahu apa-apa?Kesal dan marah sekilas terbersit, begitu pun malaikat maut, mungkin merasakan hal yang sama, menanti Vivian yang hendak mati namun tak jadi, dan semua hal itu tentu berkat pria biadab bernama Maximilian Windsor."Huh...bodoh."Vivian menekuk kedua lututnya, menenggelamkan wajah sedalam-dalamnya. Rasa tubuh kian tak beraturan, dingin, panas, gerah, bersatu dalam satu rasa. Saluran pernafasan terus mengeluarkan hembusan panas, namun tubuh kecilnya tak bisa merasakan udara panas itu, dari ujung kepala hingga ujung kaki semua rata pucat, bagai seorang yang enggan hidup mati pun tak mau."Aku ingin pulang."
Suara lemah, terucap halus dari bibir kecil wanita cantik yang tengah terbaring."Mah."Suara yang nyaris tak terdengar, terlantun samar. Ketika menantu satu-satunya berucap, pandangan Sophie langsung berbalik tertuju pada wanita itu. Dengan cepat Sophie mendekati Vivian untuk melihat kembali kondisinya."Vivian," panggil Sophie dengan halus, sembari meraba kening, memastikan apakah menantunya telah sadar atau hanya sekedar mengigau."Mah..." panggil Vivian kembali, sambil menunjukkan sedikit kerutan kening seperti merasakan nyeri dari dalam."Max pegang ini, ambilkan kompres nya, Mama mau liat Vivian dulu," ucap Sophie sigap memberikan mangkuk yang dia pegang kepada putranya.Max menerima mangkuk tersebut dan langsung mengambil alih menyiapkan kompresan.Tak... Tak...Langkah panjang terdengar jelas menggema di penjuru ruangan. Max memegang hendel pintu toilet, dan ketika pintu itu sedikit terbuka, sekilas mata elangnya menoleh ke arah sang ibu. Bagai kilat, pandangan singkat itu lan
Ketika Vivian mendengar jeritan tersebut, seketika dia menutup telinga, menyumbat pendengaran sekuat-kuatnya."Enggak! Enggak!" "Vivian kamu kenapa? Vivian!"Sophie sigap menenangkan menantunya. Teriakan histeris di sertai tingkah yang sulit untuk di jelaskan, membuat Sophie semakin cemas."Mama...!" Vivian menekan telinga dengan kuat, memejamkan mata serapat-rapatnya."Tenang, Mama ada di sini, kamu tenang ya, tarik nafas dulu... Pelan-pelan, ikuti Mama ya," ucap Sophie menenangkan.Vivian yang kalut dengan isi kepalanya berusaha mengikuti arahan Sophie. Dengan nafas yang berpacu cepat, Vivian terus berusaha mengatur alur pernafasannya, rasa takut akan bayangan yang dia lihat, serta suara lolongan dan jeritan kesakitan, terus menerus menggema di telinganya."Jangan! Jangan...!!!" Vivian mengeratkan cengkeraman, meringkuk menolak segala suara yang ada."Vivian, coba lihat Mama," titah Sophie mengarahkan. Pandangan tulus dengan usapan tiada henti Sophie lakukan untuk bisa menenangkan
Seutas tangkai Mawar berduri mengarah lurus kepada Vivian. Ketika bola matanya menangkap siapa di balik tangkai Mawar itu.Deg!Dada ini seketika tersentak. Vivian tunduk sambil merasakan pelan sebuah getaran yang mengalir dari ujung kakinya. Ya, rasa takut ini seketika mengalir bersama aliran darah. Getaran yang keluar bahkan terlalu jelas untuk di lihat, hingga Sophie yang sedari tadi berada di belakang Vivian mengerutkan alis dengan reaksi yang di timbulkan dari tubuh menantunya.Max kembali menodongkan tangkai itu sembari menaikkan sebelah alis, seakan menanti istrinya berwajah seri menerima pemberiannya. Namun Vivian tak kunjung mengambil Mawar tersebut, pandangan matanya masih tertunduk, menghindar sebisa mungkin kontak mata yang mungkin akan terjadi diantara mereka.Senyum ringan tiba-tiba terukir di wajah tampan Max. Dia menekuk lutut, memandang Vivian dengan wajah ramah dan tenang."Kamu tidak menyukainya?" tanya Max lembut.Tak bisa di pungkiri semakin Max bersikap manis, ge