Ketika Vivian mendengar jeritan tersebut, seketika dia menutup telinga, menyumbat pendengaran sekuat-kuatnya."Enggak! Enggak!" "Vivian kamu kenapa? Vivian!"Sophie sigap menenangkan menantunya. Teriakan histeris di sertai tingkah yang sulit untuk di jelaskan, membuat Sophie semakin cemas."Mama...!" Vivian menekan telinga dengan kuat, memejamkan mata serapat-rapatnya."Tenang, Mama ada di sini, kamu tenang ya, tarik nafas dulu... Pelan-pelan, ikuti Mama ya," ucap Sophie menenangkan.Vivian yang kalut dengan isi kepalanya berusaha mengikuti arahan Sophie. Dengan nafas yang berpacu cepat, Vivian terus berusaha mengatur alur pernafasannya, rasa takut akan bayangan yang dia lihat, serta suara lolongan dan jeritan kesakitan, terus menerus menggema di telinganya."Jangan! Jangan...!!!" Vivian mengeratkan cengkeraman, meringkuk menolak segala suara yang ada."Vivian, coba lihat Mama," titah Sophie mengarahkan. Pandangan tulus dengan usapan tiada henti Sophie lakukan untuk bisa menenangkan
Seutas tangkai Mawar berduri mengarah lurus kepada Vivian. Ketika bola matanya menangkap siapa di balik tangkai Mawar itu.Deg!Dada ini seketika tersentak. Vivian tunduk sambil merasakan pelan sebuah getaran yang mengalir dari ujung kakinya. Ya, rasa takut ini seketika mengalir bersama aliran darah. Getaran yang keluar bahkan terlalu jelas untuk di lihat, hingga Sophie yang sedari tadi berada di belakang Vivian mengerutkan alis dengan reaksi yang di timbulkan dari tubuh menantunya.Max kembali menodongkan tangkai itu sembari menaikkan sebelah alis, seakan menanti istrinya berwajah seri menerima pemberiannya. Namun Vivian tak kunjung mengambil Mawar tersebut, pandangan matanya masih tertunduk, menghindar sebisa mungkin kontak mata yang mungkin akan terjadi diantara mereka.Senyum ringan tiba-tiba terukir di wajah tampan Max. Dia menekuk lutut, memandang Vivian dengan wajah ramah dan tenang."Kamu tidak menyukainya?" tanya Max lembut.Tak bisa di pungkiri semakin Max bersikap manis, ge
Vivian memandang teduh batu kerikil di sekitarnya."Apa yang Vivian inginkan?" tanya Sophie."Itu..." Vivian meremas jari-jarinya, manik indahnya tak sanggup melihat pandangan tulus sang ibu mertua."Mah... Aku ingin terus bersama suamiku," ucap Vivian tertunduk, tak sanggup melihat Sophie yang terus bersikap tulus."Apa maksudmu? Apakah Mama mengganggu kalian?" tanya Sophie spontan."Gak, Mama gak ganggu," tukas Vivian dengan cepat, jari jemarinya tak bisa menutupi rasa gelisah."Maksudku... Mama gak perlu..." "Coba bicara yang jelas, jangan takut," ucap Sophie sambil menekuk sebelah lututnya menatap wajah Vivian dengan pandangan tulus.Vivian benar-benar tak bisa mengungkapkan kebohongan lagi. Bagai dosa besar, dia tak ingin merasakan rasa bersalah kepada orang yang telah menyembuhkan sedikit luka dalam batinnya, dan di situasi ini, tiba-tiba bola mata Sophie langsung tertuju pada putra satu-satunya."Max, kau melakukan sesuatu lagi ya?" tanya Sophie curiga."Coba tanyakan pada ist
PAGI HARITring ...Alarm berbunyi merdu, membangunkan Vivian yang sedang terlelap dalam selimut tipisnya di sebuah kamar di lantai bawah. Dengan perlahan, wanita itu menggosok matanya, kemudian membuka mata dengan pelan."Nona sudah bangun?" tanya seseorang pelayan."Emm...iya," jawab Vivian dengan suara serak.Malam hari telah berlalu dengan damai, setelah Max menunjuk Moa untuk berbagi kamar dengannya, ketenangan malam, kini dapat Vivian rasakan kembali."Moa aku masih mengantuk." Vivian menarik kembali selimut, mengerut dalam hangatnya balutan selimut."Maaf Nona tapi tuan telah menunggu anda untuk sarapan bersama," ucap Moa.Lantas Vivian berdecak dan langsung membuka selimut, dia mengangkat tubuh sambil menarik nafas pelan."Moa duluan saja, nanti aku menyusul," ucap Vivian dengan posisi membelakangi."Baik Nona," jawab Moa, membungkuk hormat dan langsung meninggalkan Vivian.Bulu kuduk wanita itu tiba-tiba berdiri mendengar Max menunggu kehadirannya, apakah pagi ini mentari ter
DI RUANG BAWAH TANAH ..."Huh..."Kepulan asap panas terlihat mengepul indah membentuk gumpalan hitam yang menyesakkan. Botol minyak dan korek api senantiasa berada dalam genggaman pria yang baru saja hilang kendali akan dirinya.Max, pria itu menatap lurus api yang kini tengah berkobar membakar benda yang dia bawa untuk dilenyapkan.PlukMax melepas korek dan botol minyak hingga terjatuh di lantai. Dia melangkah menjauh pergi membiarkan api itu menyala dengan sendirinya.Di sisi lain, Vivian menyantap makanan yang masih tersisa. Situasi apa pun yang terjadi saat ini, Vivian tetap bersikap seakan tidak peduli.Cklek...Pintu terbuka menampakkan sang tuan yang berantakan, melangkah maju dengan tenang."SEMUANYA KELUAR!" seru Max.Seketika seluruh pelayan yang ada berlarian keluar. Begitu pun Vivian, dengan cepat dia menyimpan piring, sambil mengusap ujung bibirnya yang meninggalkan sebutir nasi. Dia berlari mengikuti para pelayan sebagaimana yang di perintahkan Max.Ketika Vivian berpa
Di ruang kamar yang sunyi, Max menatap nanar jari jemari yang terkena noda merah akibat percikan darah. Tatapan mata kosong terlihat menerawang sambil mengingat kembali tindakannya beberapa menit lalu. Goresan luka serta darah yang mengalir begitu deras membuat Max berpikir, apakah luka yang dia buat sedalam itu hingga cairan merah itu tak henti-hentinya keluar terus menerus? Tok... Tok... "Tuan, saya membawa air hangat untuk membersihkan tangan anda," ucap Lin. "Masuk," jawab Max. Cklek... Ketika pintu terbuka, keheningan begitu terasa. Suasana hati Max juga ikut mempengaruhi atmosfer yang ada. "Sudah di temukan?" tanya Max tiba-tiba dengan pandangan tetap. "Belum tuan, tapi melihat jejak darah yang nona tinggalkan, sepertinya nona tidak akan pergi terlalu jauh, kami akan mencarinya secepat mungkin," jawab Lin. Max menoleh melihat Lin yang tengah membawa mangkuk kaca berisi air hangat, berdiri tegap di dekat pintu. "Simpan di sana," titah Max, lantas Lin langsung menyimpan m
Sepuluh hari kemudian...Kini kondisi Vivian hampir pulih sepenuhnya. Perih akibat luka juga mulai tak terasa. Pengobatan yang di berikan dengan sungguh-sungguh membuat pemulihan berjalan cepat, hanya penyembuhan bekas luka yang akan menjadi tugas bagi Vivian di hari-hari selanjutnya. Selama di rawat, Vivian merasakan sakit yang teramat dalam, jantung yang sering berdebar kencang serta luka sayatan akibat aksi berontaknya, menjadi derita baru yang mesti Vivian hadapi. Akan tetapi di samping kemalangan itu, Moa dan dua pelayan yang senantiasa berada di sampingnya, membuat derita Vivian sedikit teratasi."Nona, apakah anda sudah baikan?""Nona, apa ada yang anda inginkan lagi?""Nona bagaimana jika saya menyanyikan lagu tidur untuk anda?"Walaupun pada saat di vila ketiga pelayan tersebut memalingkan wajah akan sikap tuan mereka yang telah melanggar hak asasi manusia, namun setelah melihat sorot mata jernih dan senyuman tipis di pipi mereka membuat Vivian yakin, para pelayan ini masih
Silau cahaya mentari menembus celah tirai di salah satu kamar di lantai bawah. Seorang wanita cantik menggeliat terbangun sambil perlahan membuka mata. Tampak ruangan yang dingin tak bernyawa, tembok putih polos dengan noda hitam tak beraturan inilah tempat dirinya saat ini."Ini sungguh nyaman," ucap Vivian sambil menggeliat.Setelah pertemuan dengan Max 3 hari lalu, bagai di telan bumi, pria itu sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya kembali. Tak pernah sekalipun terdengar suara deru mobil ataupun suara kendaraan lain sebagai tanda kedatangan Max. Kehidupan di Vila juga berjalan seperti biasa tanpa ada sedikit pun kendala, dan hal ini membuat Vivian berpikir, kenyataan ini benar-benar tak mudah untuk di percaya.Tring...Dilihatnya jam dinding menunjukan pukul 07.00 waktu yang tepat untuk memulai aktivitas, namun Vivian masih terbaring tak mau bergerak dari atas ranjang.Bak!"Nona, sudah siapkan? Ayo!" Dengan semangat membara Moa melempar pintu kamar, telah siap memakai pakai