Sepuluh hari kemudian...Kini kondisi Vivian hampir pulih sepenuhnya. Perih akibat luka juga mulai tak terasa. Pengobatan yang di berikan dengan sungguh-sungguh membuat pemulihan berjalan cepat, hanya penyembuhan bekas luka yang akan menjadi tugas bagi Vivian di hari-hari selanjutnya. Selama di rawat, Vivian merasakan sakit yang teramat dalam, jantung yang sering berdebar kencang serta luka sayatan akibat aksi berontaknya, menjadi derita baru yang mesti Vivian hadapi. Akan tetapi di samping kemalangan itu, Moa dan dua pelayan yang senantiasa berada di sampingnya, membuat derita Vivian sedikit teratasi."Nona, apakah anda sudah baikan?""Nona, apa ada yang anda inginkan lagi?""Nona bagaimana jika saya menyanyikan lagu tidur untuk anda?"Walaupun pada saat di vila ketiga pelayan tersebut memalingkan wajah akan sikap tuan mereka yang telah melanggar hak asasi manusia, namun setelah melihat sorot mata jernih dan senyuman tipis di pipi mereka membuat Vivian yakin, para pelayan ini masih
Silau cahaya mentari menembus celah tirai di salah satu kamar di lantai bawah. Seorang wanita cantik menggeliat terbangun sambil perlahan membuka mata. Tampak ruangan yang dingin tak bernyawa, tembok putih polos dengan noda hitam tak beraturan inilah tempat dirinya saat ini."Ini sungguh nyaman," ucap Vivian sambil menggeliat.Setelah pertemuan dengan Max 3 hari lalu, bagai di telan bumi, pria itu sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya kembali. Tak pernah sekalipun terdengar suara deru mobil ataupun suara kendaraan lain sebagai tanda kedatangan Max. Kehidupan di Vila juga berjalan seperti biasa tanpa ada sedikit pun kendala, dan hal ini membuat Vivian berpikir, kenyataan ini benar-benar tak mudah untuk di percaya.Tring...Dilihatnya jam dinding menunjukan pukul 07.00 waktu yang tepat untuk memulai aktivitas, namun Vivian masih terbaring tak mau bergerak dari atas ranjang.Bak!"Nona, sudah siapkan? Ayo!" Dengan semangat membara Moa melempar pintu kamar, telah siap memakai pakai
Justin menatap lurus wanita di hadapannya sambil mulai menjelaskan isi kertas tersebut. "Secara garis besar isi kertas ini hanya mencakup tugas-tugas Nona sebagai seorang istri, mungkin anda juga melihat ada beberapa poin yang mungkin kurang penting, seperti memakai cincin ataupun interaksi fisik sebagaimana pasangan suami istri, semua itu harus Nona lakukan tanpa penolakan, walaupun menurut Nona hal itu akan tidak nyaman," jelas Justin. "Dan lagi, dalam kertas tersebut belum semua tugas-tugas Nona tercantum, jadi saya akan menemui Nona lagi besok untuk melanjutkan kesepakatan ini," lanjut Justin. Vivian terlihat mengeluh berat dalam hati, dia mengambil kertas tersebut sembari melihat sekilas makna tulisan di dalamnya. "Bukankah ini semacam kontrak?" tanya Vivian. "Hampir mirip, namun tugas dalam kertas ini tidak memiliki jangka waktu tertentu, semuanya tergantung pada keputusan tuan kapan akan mengakhirinya," jawab Justin. Mendengar tutur Justin, jelas kesepakatan ini akan sang
Laura mengerutkan kening, mendengar ucapan sang kekasih.“Janji?” tanya Laura spontan.“Heem, lupa?” tanya Max kembali.Laura memutar otak berusaha mengingat kembali momen ketika Max mengucap janji. Ketika Laura terdiam mencoba mengingat memori tersebut, keheningan seketika menjalar di tengah perbincangan mereka, aura menusuk seakan terus menghantam membuat suasana semakin beku tanpa suara.“Akh... Aku tidak bisa mengingat apa pun,” pekik Laura kesal, tangan kanannya beberapa kali memukul kepala sebab tak mampu mengingat memori sederhana itu.“Di Vila, aku membuat janji itu di sana,” ucap Max sendu.Seketika bagai kilat, pecahan memori yang kian hilang dalam otak, langsung tersambung merangkai sebuah ingatan di mana sang kekasih telah berucap memberikan janjinya.“Oh iya, aku sudah menanti-nanti kamu akan menepati janji itu sayang.”“Sayang... Nanti malam bolehkah aku minum bersamamu? Sudah lama aku tidak bersenang-senang,” pinta Laura memelas.“Nanti malam?” Max menjauhkan ponselnya
Justin menghela nafas dan segera menjawab pertanyaan tersebut. “Singkatnya memang seperti itu, namun Nona tetap tidak bisa seenaknya mengakhiri pernikahan tanpa adanya kesepakatan tuan, dan jika anda sudah memikirkan ingin mengajukan perceraian dalam waktu dekat, sepertinya anda tidak perlu khawatir Tuan akan mencegah Nona, jika anda membicarakannya dengan sopan,” jelas Justin. Penjelasan yang dia dengar, ternyata tak begitu membawa kabar gembira, padahal Justin mengatakan Vivianlah kunci utama, namun ternyata tetap saja, kalimat persetujuan tuan selalu beriringan dalam setiap kalimatnya. Waktu berjalan semakin cepat, tanpa menghabiskan waktu, Vivian mengucapkan pertanyaan kedua. “Ada satu pertanyaan lagi.” “Kau pernah bilang Max susah mematuhi orang apalagi yang mengancam hidupnya, apakah yang di maksud itu aku?” Justin menunjukkan anggukan kecil sebagai jawaban pertanyaan tersebut. “Mengapa aku bisa mengancam kehidupannya? Bukannya seharusnya dia yang mengancam kehidupanku?”
"Kau?..."Suara berat seakan menusuk telinga. Vivian perlahan menatap wajah pemilik kaki tersebut. Dia menengadah melihat wajah manusia yang mengucapkan kata tersebut.Ketika bola matanya menangkap wajah manusia didepannya, tampak sosok pria jangkung tengah mengerutkan kening menatap Vivian. Dengan wajah penuh dengan goresan warna tak beraturan, terlihat menyeramkan seakan siap membunuh siapa pun di depannya.Sontak melihat sosok tersebut, Vivian terkejut hingga mundur beberapa meter. Dia terpejam, tersentak dengan sosok wajah menakutkan itu, bahkan Vivian hampir menjerit keras di depan kakinya tanpa memikirkan apa pun. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba sesak di dada dia rasakan kembali. Rasa sesak yang membuat wanita itu mengetuk dada untuk beberapa kali.“Hey kau kenapa?” tanya pria tersebut cemas.Vivian memalingkan arah pandang. Rasa sesak di dadanya ternyata telah mengambil semua alih fokusnya.“Dadaku... Kenapa... Kenapa begini?” heran Vivian pada dirinya sendiri.Melihat wanita d
“Kau menungguku hanya untuk mendengar maaf?” tanya Vivian sembari menaikkan sebelah alis.“Ya, seperti itulah,” jawab pria tersebut dengan nada santai.Jelas Vivian kecewa mendengar jawaban itu. Dia membalikkan bola mata merasa salah kira sikap diamnya tadi sebagai bentuk hati nurani.“Perhatikan wajahmu, kau bisa memutus persahabatan hanya karena ekspresi itu,” ucap pria itu tiba-tiba, dia langsung pergi dengan menggaet senjata di tangannya.“Kau...” Vivian berbalik memandang punggung pria yang semakin jauh itu.“Aku akan mengatakan namaku, jika kau membuang ekspresi itu,” teriak pria tersebut dari kejauhan sembari memberi isyarat perpisahan dengan mengacungkan sebelah tangan.“Hah?” Vivian menyibak rambut dengan asal setelah mendengar kalimat terakhir yang dia dengar. Bukankah kalimat tersebut memiliki arti bahwa mereka akan bertemu lagi? Itulah yang sempat Vivian pikirkan, dan kalimat tersebut jelas terus-menerus wanita itu pikirkan.....DI VILA...Siang yang cerah telah mengembal
Sontak Vivian menatap Sunny serius. Wajah mengerucut langsung tertuju pada pelayan baru tersebut. "Sunny, sepertinya perbincangan kita sudah selesai, kau tahu kan di mana kamarmu?" "Tahu nona," sahutnya. "Baiklah, aku pergi dulu, nanti kita lanjutkan pembicaraan tadi." Vivian berdiri meninggalkan Sunny dan para pengawal, dia langsung pergi menuju dapur di mana Moa sering berada. "Jika seandainya aku menemukan penyebar kabar burung itu di rumah ini, aku harus menggunakannya sebaik mungkin." ... Tak berselang lama Vivian menemukan orang yang tengah dia cari. Terlihat Moa sedang mengobrol bersama Lin dengan raut serius. Perbincangan yang tampak memerlukan perhatian khusus dari mereka. "Moa," panggil Vivian. Mendengar panggilan tersebut, keduanya menoleh. "Maaf Moa, kau punya waktu sebentar?" Moa melihat Lin sekilas dan langsung mendekati nona mudanya. "Baik nona ada yang perlu saya bantu?" Lantas Vivian menarik pergelangan tangan Moa, membawanya menuju tempat yang lebih sunyi