Laura mengerutkan kening, mendengar ucapan sang kekasih.“Janji?” tanya Laura spontan.“Heem, lupa?” tanya Max kembali.Laura memutar otak berusaha mengingat kembali momen ketika Max mengucap janji. Ketika Laura terdiam mencoba mengingat memori tersebut, keheningan seketika menjalar di tengah perbincangan mereka, aura menusuk seakan terus menghantam membuat suasana semakin beku tanpa suara.“Akh... Aku tidak bisa mengingat apa pun,” pekik Laura kesal, tangan kanannya beberapa kali memukul kepala sebab tak mampu mengingat memori sederhana itu.“Di Vila, aku membuat janji itu di sana,” ucap Max sendu.Seketika bagai kilat, pecahan memori yang kian hilang dalam otak, langsung tersambung merangkai sebuah ingatan di mana sang kekasih telah berucap memberikan janjinya.“Oh iya, aku sudah menanti-nanti kamu akan menepati janji itu sayang.”“Sayang... Nanti malam bolehkah aku minum bersamamu? Sudah lama aku tidak bersenang-senang,” pinta Laura memelas.“Nanti malam?” Max menjauhkan ponselnya
Justin menghela nafas dan segera menjawab pertanyaan tersebut. “Singkatnya memang seperti itu, namun Nona tetap tidak bisa seenaknya mengakhiri pernikahan tanpa adanya kesepakatan tuan, dan jika anda sudah memikirkan ingin mengajukan perceraian dalam waktu dekat, sepertinya anda tidak perlu khawatir Tuan akan mencegah Nona, jika anda membicarakannya dengan sopan,” jelas Justin. Penjelasan yang dia dengar, ternyata tak begitu membawa kabar gembira, padahal Justin mengatakan Vivianlah kunci utama, namun ternyata tetap saja, kalimat persetujuan tuan selalu beriringan dalam setiap kalimatnya. Waktu berjalan semakin cepat, tanpa menghabiskan waktu, Vivian mengucapkan pertanyaan kedua. “Ada satu pertanyaan lagi.” “Kau pernah bilang Max susah mematuhi orang apalagi yang mengancam hidupnya, apakah yang di maksud itu aku?” Justin menunjukkan anggukan kecil sebagai jawaban pertanyaan tersebut. “Mengapa aku bisa mengancam kehidupannya? Bukannya seharusnya dia yang mengancam kehidupanku?”
"Kau?..."Suara berat seakan menusuk telinga. Vivian perlahan menatap wajah pemilik kaki tersebut. Dia menengadah melihat wajah manusia yang mengucapkan kata tersebut.Ketika bola matanya menangkap wajah manusia didepannya, tampak sosok pria jangkung tengah mengerutkan kening menatap Vivian. Dengan wajah penuh dengan goresan warna tak beraturan, terlihat menyeramkan seakan siap membunuh siapa pun di depannya.Sontak melihat sosok tersebut, Vivian terkejut hingga mundur beberapa meter. Dia terpejam, tersentak dengan sosok wajah menakutkan itu, bahkan Vivian hampir menjerit keras di depan kakinya tanpa memikirkan apa pun. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba sesak di dada dia rasakan kembali. Rasa sesak yang membuat wanita itu mengetuk dada untuk beberapa kali.“Hey kau kenapa?” tanya pria tersebut cemas.Vivian memalingkan arah pandang. Rasa sesak di dadanya ternyata telah mengambil semua alih fokusnya.“Dadaku... Kenapa... Kenapa begini?” heran Vivian pada dirinya sendiri.Melihat wanita d
“Kau menungguku hanya untuk mendengar maaf?” tanya Vivian sembari menaikkan sebelah alis.“Ya, seperti itulah,” jawab pria tersebut dengan nada santai.Jelas Vivian kecewa mendengar jawaban itu. Dia membalikkan bola mata merasa salah kira sikap diamnya tadi sebagai bentuk hati nurani.“Perhatikan wajahmu, kau bisa memutus persahabatan hanya karena ekspresi itu,” ucap pria itu tiba-tiba, dia langsung pergi dengan menggaet senjata di tangannya.“Kau...” Vivian berbalik memandang punggung pria yang semakin jauh itu.“Aku akan mengatakan namaku, jika kau membuang ekspresi itu,” teriak pria tersebut dari kejauhan sembari memberi isyarat perpisahan dengan mengacungkan sebelah tangan.“Hah?” Vivian menyibak rambut dengan asal setelah mendengar kalimat terakhir yang dia dengar. Bukankah kalimat tersebut memiliki arti bahwa mereka akan bertemu lagi? Itulah yang sempat Vivian pikirkan, dan kalimat tersebut jelas terus-menerus wanita itu pikirkan.....DI VILA...Siang yang cerah telah mengembal
Sontak Vivian menatap Sunny serius. Wajah mengerucut langsung tertuju pada pelayan baru tersebut. "Sunny, sepertinya perbincangan kita sudah selesai, kau tahu kan di mana kamarmu?" "Tahu nona," sahutnya. "Baiklah, aku pergi dulu, nanti kita lanjutkan pembicaraan tadi." Vivian berdiri meninggalkan Sunny dan para pengawal, dia langsung pergi menuju dapur di mana Moa sering berada. "Jika seandainya aku menemukan penyebar kabar burung itu di rumah ini, aku harus menggunakannya sebaik mungkin." ... Tak berselang lama Vivian menemukan orang yang tengah dia cari. Terlihat Moa sedang mengobrol bersama Lin dengan raut serius. Perbincangan yang tampak memerlukan perhatian khusus dari mereka. "Moa," panggil Vivian. Mendengar panggilan tersebut, keduanya menoleh. "Maaf Moa, kau punya waktu sebentar?" Moa melihat Lin sekilas dan langsung mendekati nona mudanya. "Baik nona ada yang perlu saya bantu?" Lantas Vivian menarik pergelangan tangan Moa, membawanya menuju tempat yang lebih sunyi
Seketika perbincangan mereka terhenti. Melihat tangan Vivian bergetar, membuat Justin urung untuk melanjutkan pembicaraan. "Tolong jaga Tuan untuk malam ini, aku ada di bawah." Setelah meninggalkan kalimat tersebut Justin langsung menghilang. Sekilas Vivian melihat suaminya terbaring di atas ranjang. Terlihat tenang dan damai. Akan tetapi di balik pikiran tersebut, Vivian tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya kala Max terbangun. Wajah malaikat itu sungguh membuat orang keliru akan sikap sesungguhnya dari pria itu. .... Keesokan hari... Pagi menjemput. Suara samar-samar terdengar bergemuruh di sekitar pria yang baru saja terbangun. Max, pria tersebut baru saja membuka mata kala suara senapan terdengar samar di telinganya. Lantas dengan kepala yang masih berdenyut, Max perlahan melangkah sambil memijat pelipis, mendekati jendela yang sudah terbuka. Di lihatnya burung-burung beterbangan di tengah hutan sana. Tempat yang cukup jauh untuk dapat mendengar suara tersebut sampai ke Vi
Matahari terbit kembali. Di pagi yang cerah, Vivian sedang berias dengan ditemani Moa, Sunny dan dua perias lainnya.Sembari dirias, Vivian menatap cermin. Wanita itu terlihat melamun, kali ini dia harus berpura-pura bukan hanya di hadapan Sunny tapi jauh dari itu dihadapan banyak orang dan di suatu tempat yang tak pernah bisa Vivian bayangkan.Wajah kecil telah dirias. Terlihat cantik namun manis, dengan mengenakan coktail dress dipadukan dengan rambut low updo terlihat sangat serasi bagai putri bangsawan di negeri ini."Nona anda sangat cantik hari ini," puji Moa."Benar, wajah anda benar-benar cantik," puji salah satu perias."Tuan pasti akan terpesona, saya sangat menunggu Tuan mengaga saat melihat Nona," timpal Sunny.Vivian menyergit mendengar pujian terakhir. Ingin wanita itu tertawa hina, namun Vivian tidak bisa melakukannya sebagaimana yang telah tertulis dalam perjanjian."Sunny kau terlalu berlebihan," timpal Vivian."Tapi anda memang sangat cantik Nona," puji Sunny lagi.V
Max terdiam ditempat, pecahan kaca berserakan tepat di kakinya. Ada seorang wanita berambut lurus sebahu tengah diam di depan Max."Tuh kan Kakak membuat semua orang melihat kita," ucap seorang gadis bernama Ruby."Tutup mulutmu!" geram Max pelan, pria itu tak mampu mengendalikan ekspresinya.Lantas dia langsung menjauh pergi, dengan hentakan di setiap langkahnya, menandakan kemarahan membuncah tak terkendali.Para tamu langsung berbisik dengan topik yang sama. Jun dari kejauhan terlihat kesal dengan ulah putranya, dan tak berselang lama Lin datang menarik Vivian keluar dari kerumunan.Di luar Hotel, Lin telah mempersiapkan mobil untuk kepulangan sang nona."Nona harus segera pulang, tuan telah pulang terlebih dahulu bersama Justin," ucap Lin.Lantas Vivian memasuki mobil, dia sama sekali tak ingin mengetahui apapun tentang suaminya itu. Entah mengapa Vivian tidak merasa senang saat Max mendapat masalah tadi, dia semakin khawatir dengan dirinya sendiri, kepulangan kali ini apakah akan