PAGI HARITring ...Alarm berbunyi merdu, membangunkan Vivian yang sedang terlelap dalam selimut tipisnya di sebuah kamar di lantai bawah. Dengan perlahan, wanita itu menggosok matanya, kemudian membuka mata dengan pelan."Nona sudah bangun?" tanya seseorang pelayan."Emm...iya," jawab Vivian dengan suara serak.Malam hari telah berlalu dengan damai, setelah Max menunjuk Moa untuk berbagi kamar dengannya, ketenangan malam, kini dapat Vivian rasakan kembali."Moa aku masih mengantuk." Vivian menarik kembali selimut, mengerut dalam hangatnya balutan selimut."Maaf Nona tapi tuan telah menunggu anda untuk sarapan bersama," ucap Moa.Lantas Vivian berdecak dan langsung membuka selimut, dia mengangkat tubuh sambil menarik nafas pelan."Moa duluan saja, nanti aku menyusul," ucap Vivian dengan posisi membelakangi."Baik Nona," jawab Moa, membungkuk hormat dan langsung meninggalkan Vivian.Bulu kuduk wanita itu tiba-tiba berdiri mendengar Max menunggu kehadirannya, apakah pagi ini mentari ter
DI RUANG BAWAH TANAH ..."Huh..."Kepulan asap panas terlihat mengepul indah membentuk gumpalan hitam yang menyesakkan. Botol minyak dan korek api senantiasa berada dalam genggaman pria yang baru saja hilang kendali akan dirinya.Max, pria itu menatap lurus api yang kini tengah berkobar membakar benda yang dia bawa untuk dilenyapkan.PlukMax melepas korek dan botol minyak hingga terjatuh di lantai. Dia melangkah menjauh pergi membiarkan api itu menyala dengan sendirinya.Di sisi lain, Vivian menyantap makanan yang masih tersisa. Situasi apa pun yang terjadi saat ini, Vivian tetap bersikap seakan tidak peduli.Cklek...Pintu terbuka menampakkan sang tuan yang berantakan, melangkah maju dengan tenang."SEMUANYA KELUAR!" seru Max.Seketika seluruh pelayan yang ada berlarian keluar. Begitu pun Vivian, dengan cepat dia menyimpan piring, sambil mengusap ujung bibirnya yang meninggalkan sebutir nasi. Dia berlari mengikuti para pelayan sebagaimana yang di perintahkan Max.Ketika Vivian berpa
Di ruang kamar yang sunyi, Max menatap nanar jari jemari yang terkena noda merah akibat percikan darah. Tatapan mata kosong terlihat menerawang sambil mengingat kembali tindakannya beberapa menit lalu. Goresan luka serta darah yang mengalir begitu deras membuat Max berpikir, apakah luka yang dia buat sedalam itu hingga cairan merah itu tak henti-hentinya keluar terus menerus? Tok... Tok... "Tuan, saya membawa air hangat untuk membersihkan tangan anda," ucap Lin. "Masuk," jawab Max. Cklek... Ketika pintu terbuka, keheningan begitu terasa. Suasana hati Max juga ikut mempengaruhi atmosfer yang ada. "Sudah di temukan?" tanya Max tiba-tiba dengan pandangan tetap. "Belum tuan, tapi melihat jejak darah yang nona tinggalkan, sepertinya nona tidak akan pergi terlalu jauh, kami akan mencarinya secepat mungkin," jawab Lin. Max menoleh melihat Lin yang tengah membawa mangkuk kaca berisi air hangat, berdiri tegap di dekat pintu. "Simpan di sana," titah Max, lantas Lin langsung menyimpan m
Sepuluh hari kemudian...Kini kondisi Vivian hampir pulih sepenuhnya. Perih akibat luka juga mulai tak terasa. Pengobatan yang di berikan dengan sungguh-sungguh membuat pemulihan berjalan cepat, hanya penyembuhan bekas luka yang akan menjadi tugas bagi Vivian di hari-hari selanjutnya. Selama di rawat, Vivian merasakan sakit yang teramat dalam, jantung yang sering berdebar kencang serta luka sayatan akibat aksi berontaknya, menjadi derita baru yang mesti Vivian hadapi. Akan tetapi di samping kemalangan itu, Moa dan dua pelayan yang senantiasa berada di sampingnya, membuat derita Vivian sedikit teratasi."Nona, apakah anda sudah baikan?""Nona, apa ada yang anda inginkan lagi?""Nona bagaimana jika saya menyanyikan lagu tidur untuk anda?"Walaupun pada saat di vila ketiga pelayan tersebut memalingkan wajah akan sikap tuan mereka yang telah melanggar hak asasi manusia, namun setelah melihat sorot mata jernih dan senyuman tipis di pipi mereka membuat Vivian yakin, para pelayan ini masih
Silau cahaya mentari menembus celah tirai di salah satu kamar di lantai bawah. Seorang wanita cantik menggeliat terbangun sambil perlahan membuka mata. Tampak ruangan yang dingin tak bernyawa, tembok putih polos dengan noda hitam tak beraturan inilah tempat dirinya saat ini."Ini sungguh nyaman," ucap Vivian sambil menggeliat.Setelah pertemuan dengan Max 3 hari lalu, bagai di telan bumi, pria itu sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya kembali. Tak pernah sekalipun terdengar suara deru mobil ataupun suara kendaraan lain sebagai tanda kedatangan Max. Kehidupan di Vila juga berjalan seperti biasa tanpa ada sedikit pun kendala, dan hal ini membuat Vivian berpikir, kenyataan ini benar-benar tak mudah untuk di percaya.Tring...Dilihatnya jam dinding menunjukan pukul 07.00 waktu yang tepat untuk memulai aktivitas, namun Vivian masih terbaring tak mau bergerak dari atas ranjang.Bak!"Nona, sudah siapkan? Ayo!" Dengan semangat membara Moa melempar pintu kamar, telah siap memakai pakai
Justin menatap lurus wanita di hadapannya sambil mulai menjelaskan isi kertas tersebut. "Secara garis besar isi kertas ini hanya mencakup tugas-tugas Nona sebagai seorang istri, mungkin anda juga melihat ada beberapa poin yang mungkin kurang penting, seperti memakai cincin ataupun interaksi fisik sebagaimana pasangan suami istri, semua itu harus Nona lakukan tanpa penolakan, walaupun menurut Nona hal itu akan tidak nyaman," jelas Justin. "Dan lagi, dalam kertas tersebut belum semua tugas-tugas Nona tercantum, jadi saya akan menemui Nona lagi besok untuk melanjutkan kesepakatan ini," lanjut Justin. Vivian terlihat mengeluh berat dalam hati, dia mengambil kertas tersebut sembari melihat sekilas makna tulisan di dalamnya. "Bukankah ini semacam kontrak?" tanya Vivian. "Hampir mirip, namun tugas dalam kertas ini tidak memiliki jangka waktu tertentu, semuanya tergantung pada keputusan tuan kapan akan mengakhirinya," jawab Justin. Mendengar tutur Justin, jelas kesepakatan ini akan sang
Laura mengerutkan kening, mendengar ucapan sang kekasih.“Janji?” tanya Laura spontan.“Heem, lupa?” tanya Max kembali.Laura memutar otak berusaha mengingat kembali momen ketika Max mengucap janji. Ketika Laura terdiam mencoba mengingat memori tersebut, keheningan seketika menjalar di tengah perbincangan mereka, aura menusuk seakan terus menghantam membuat suasana semakin beku tanpa suara.“Akh... Aku tidak bisa mengingat apa pun,” pekik Laura kesal, tangan kanannya beberapa kali memukul kepala sebab tak mampu mengingat memori sederhana itu.“Di Vila, aku membuat janji itu di sana,” ucap Max sendu.Seketika bagai kilat, pecahan memori yang kian hilang dalam otak, langsung tersambung merangkai sebuah ingatan di mana sang kekasih telah berucap memberikan janjinya.“Oh iya, aku sudah menanti-nanti kamu akan menepati janji itu sayang.”“Sayang... Nanti malam bolehkah aku minum bersamamu? Sudah lama aku tidak bersenang-senang,” pinta Laura memelas.“Nanti malam?” Max menjauhkan ponselnya
Justin menghela nafas dan segera menjawab pertanyaan tersebut. “Singkatnya memang seperti itu, namun Nona tetap tidak bisa seenaknya mengakhiri pernikahan tanpa adanya kesepakatan tuan, dan jika anda sudah memikirkan ingin mengajukan perceraian dalam waktu dekat, sepertinya anda tidak perlu khawatir Tuan akan mencegah Nona, jika anda membicarakannya dengan sopan,” jelas Justin. Penjelasan yang dia dengar, ternyata tak begitu membawa kabar gembira, padahal Justin mengatakan Vivianlah kunci utama, namun ternyata tetap saja, kalimat persetujuan tuan selalu beriringan dalam setiap kalimatnya. Waktu berjalan semakin cepat, tanpa menghabiskan waktu, Vivian mengucapkan pertanyaan kedua. “Ada satu pertanyaan lagi.” “Kau pernah bilang Max susah mematuhi orang apalagi yang mengancam hidupnya, apakah yang di maksud itu aku?” Justin menunjukkan anggukan kecil sebagai jawaban pertanyaan tersebut. “Mengapa aku bisa mengancam kehidupannya? Bukannya seharusnya dia yang mengancam kehidupanku?”
Sorot mata kosong kerap terlihat. Tubuhnya bersandar pada tembok, sangat putus asa seperti tak memiliki harapan untuk hidup. "Max jangan begini lagi, tolong demi mama, mama tak bisa hidup jika kau pergi juga." Seolah tak bisa mendengar, Max memejamkan mata. Waktu terasa lama sekali, telinganya tak ingin mendengar apapun, hanya ingin menghilang dan menghilang begitulah pikirnya. Justin yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung terkejut. Rasanya seperti mendengar kabar kematian River dahulu, seketika membuat ujung kaki sampai ujung kepala dibuat lemas karenanya. "Jangan sampai, dia ikut pergi juga." Justin segera memanggil beberapa pelayan, dan begitu mereka datang "Bersihkan seluruh benda tajam dikamar ini termasuk benda yang mudah pecah, jangan ada yang tersisa!" Justin langsung pergi menuju ruang tamu, dia merebahkan diri sambil berusaha mengangkat ponsel yang terus menerus mengeluarkan nada pesan. "Haa... Dasar anj***," pekik Justin saat beratus pesan muncul setelah mereba
Dua hari telah berlalu sejak kepergian sang istri. Sejak itu pula Max tidak pernah menunjukan diri, dia tetap berada di ruang kamar sembari menanti kedatangan Vivian setiap hari. Dalam sunyi, Max memandang foto satu-satunya bersama sang istri. Senyum cantik yang terukir indah itu dia elus dengan lembut. "An... Apakah kau marah? Aku menunggumu sejak kemarin, apakah kau tidak ingin menemui ku lagi?" "Siapa yang perlu ku bunuh agar kau kembali, siapa yang harus ku marahi agar kau senang, tolong beritahu aku agar aku bisa melakukannya untukmu." Dengan pandangan kosong Max tersenyum gila, dan disaat itu tiba-tiba... Cklek... Seorang pria datang dengan nampan berisi makanan. "Max, makanlah kau belum makan apapun sejak kemarin." Justin menyimpan nampan diatas meja sementara Max tak bergerak seolah tak merasakan kehadiran siapapun. Justin melihat setiap sudut kamar yang dipenuhi pecahan kaca dan benda hias lainnya. Padahal baru saja kemarin para pelayan membersihkan kekacauan yang dibu
Dibelahan tempat lain, semua prajurit telah berbaris rapi. Tegap sempurna mendengarkan komando dengan seksama. "Tim satu, persiapkan dari arah Utara. Tim dua awasi dari selatan, dan yang lainnya dengarkan perintah dari komandan mengerti!" "Siap mengerti!" Serentak seluruh prajurit berhamburan, memposisikan diri sesuai arahan. River yang berada di Tim satu segera mengikuti komandan menuju tempat persembunyian di bagian utara. Arah utara merupakan tempat diduganya penyelundupan dan sindikat obat-obatan terlarang berkumpul, maka dari itu jumlah prajurit dikerahkan dalam jumlah banyak dengan para prajurit terpilih saja yang di utus. Begitu sampai, River dan tim satu memposisikan diri. Rencana yang telah dibuat sematang mungkin dijalankan dengan hati-hati. Target mendekat, senapan diangkat dengan pandangan fokus memantau target. "Sekarang!" DOR! DOR! DOR! Penyerangan dilakukan serentak pada beberapa target. Secepat mungkin setelah itu muncul kawan lainnya menyerang dengan membab
Mata berkaca-kaca terlihat tertuju pada wanita di sisinya.“Max,” panggil Vivian.Kata tersebut sangat jernih terdengar hingga rasa haru langsung menembus kalbu hanya dari lantunan suara lembut tersebut. Tangan nan lemah sang istri Max pegang erat, sementara kedua malaikat kecilnya tersimpan di dada sang ibu.Disaat itu anggota keluarga diperbolehkan masuk. Senyum lemah terukir indah dengan susah payah, setelah perjuangan menyelamatkan dua buah hati, dan di saat itu pula sebagaimana rencananya, tugas wanita cantik itu telah selesai. Perlahan Vivian menoleh memberikan seucap kata untuk pria di sampingnya.“Tolong jaga anak kita ya,” ucapnya dengan susah payah dan dibalas dengan genggaman erat penuh keyakinan.“Pasti, aku akan selalu menjaganya.” Haru tak bisa Max bendung lagi, tangis bayi telah meluluhkan hati Max yang teramat keras.Dengan pelan dia mengelus kepala anak-anaknya yang masih merah dan belum bisa membuka mata. Kelahiran mereka benar-benar memberikan kabar bahagia, semua o
Sudah genap sembilan bulan dua bayi kembar dikandungnya. Vivian terbaring di ranjang, tubuhnya tertutup selimut, matanya menutup untuk sejenak mengistirahatkan diri.Disamping itu, Max menyiapkan koper dan segala keperluan persalinan bersama Sophie dan Evelyn."Selesai," ucap Sophie sembari menepuk-nepuk tangannya selesai berkemas."Sekarang kita berangkat," lanjut Sophie.Saat Max melihat istrinya tertidur dengan tenang, dia langsung berkata. "Mama boleh pergi dulu membawa barang-barang, aku akan pergi bersama istriku nanti."Sekilas Evelyn dan Sophie melihat Vivian di ranjang sana."Ah baiklah, kami pergi dulu kalau begitu, hati-hati saat pergi nanti ya." Pelayan yang telah sedia didepan pintu untuk membawa barang-barang langsung bergegas menjalankan tugas.Disamping itu Evelyn tak melepas pandangan dari putrinya."Max bagaimana kalau Mama ikut dengan kalian saja nanti?" tawar Evelyn tak tega membiarkan Vivian bersama suaminya berdua.Begitu tawaran itu terdengar, suara dari ranjang
Usai menghadiri acara penghargaan, Justin menepuk pundak Max berkali-kali setelah Max meraih tropi sebagai most attention received actors of the year pada tahun ini. "Sudah kuduga kau pasti akan mendapatkannya," ucap Justin bangga. "Malam ini sutradara Wang mengajakmu untuk merayakan kemenangan ini, kau akan akan hadir kan?" Justin bertanya sambil terus melangkah menuju parkiran. Piala dengan ukiran bintang cemerlang itu Max tatap sejenak. "Max, kau akan datang kan?" tanya Justin lagi saat Max tak memberi balasan. "Tidak, aku akan pulang saja." Max segera membuka pintu, namun sebelum benar-benar masuk Justin terdengar menyela. "Max, tapi sutradara memintaku..." "Tolong wakilkan aku." Setelah mengucap kalimat terakhir Max mengambil alih kunci mobil dan segera tancap gas meninggalkan Justin sendiri ditempat. "Hah..." Justin mematung ditempat. ... Sunyi menyertai pagi, dengan perut yang semakin membesar Vivian pandang foto satu-satunya bersama kedua keluarga dengan pihak suami.
Tak...tak... Suara langkah kaki begitu jelas memecah hening. Begitu terlihat tas yang tak asing lagi tergeletak di dekat pohon. Dengan cepat pria itu meraih benda tersebut lalu melihat isi di dalamnya. Ketika lembaran kertas terlihat, tangannya yang besar langsung membuka isi kertas tersebut. Pelan namun pasti rangkaian kata berhasil dibaca. Kalimat indah yang disajikan dengan begitu rapi telah berhasil membuatnya menarik nafas sangat dalam. "Haa...pada akhirnya apa yang ku khawatirkan selama ini ternyata tetap terjadi." ... Sementara itu, di Vila Max sedang duduk di sofa ruang tamu, saat Vivian dan Moa memasuki ruangan, terlihat wanita cantik itu menutupi wajah dengan rambutnya menyembunyikan mata sembab akibat menangis sepanjang tadi. "Kemarilah," pinta Max agar duduk di dekatnya. Vivian lalu duduk dan otomatis Moa undur diri setelah melihat tatapan Max yang dingin padanya. "Besok adalah hari pemeriksaan terakhir kandunganmu, sepertinya aku tidak akan bisa mengantarmu, ada
Di klinik kandungan, Vivian dibaringkan untuk melakukan USG melihat jenis kelamin buah hati mereka. "Selamat sepertinya anda berdua dikaruniai buah hati kembar," ucap dokter Oliv terlihat senang. Max fokus melihat gambar dalam layar, terlihat dua bayi tengah meringkuk disana. "Bagaimana dengan jenis kelaminnya?" tanya Max penasaran. "Sebentar, saya akan lihat." Dokter segera memerhatikan lagi. "Sepertinya anak anda laki-laki dan perempuan, anda bisa melihat di gambar ini." Dokter menunjuk letak gambar kelamin bayi. Max menarik nafas pelan. Tak bisa di tutupi hadirnya dua buah hati telah membuatnya teramat senang. "Kedua bayinya sehat kan?" tanya Max lagi. "Alhamdulillah dari hasil USG tak ada kecacatan sedikitpun." Max lalu melirik istrinya, bibirnya seakan ingin mengucapkan kalimat sakral yang mungkin akan mengubah kehidupan mereka, namun sayangnya ego yang besar telah meredam keinginan tersebut jauh dalam dalam, hingga Max hanya bisa memegang tangan Vivian erat-erat, tanp
Tanpa terasa langit telah berubah warna, Vivian telah kembali menuju Vila. Langkah lemah menapak menyingkap rerumputan taman yang panjang, dan begitu pandangannya terangkat, disana sosok Max telah berdiri, dia lihat mata biru itu tengah memperhatikan dengan pandangan tak senang. "Kau darimana saja?" Vivian membalas dengan senyuman yang sangat indah, angin yang sengaja bertiup juga semakin mempercantik wajahnya. "Aku melepasnya, seperti keinginanmu aku telah memutuskannya," jawab Vivian dengan mata berkaca-kaca, menahan tangis yang terus bergejolak di dada. Vivian menurunkan pandangan. "Akan tetapi dia belum sepenuhnya melepas ku, jadi tolong biarkan aku membujuknya agar dia tidak menganggu ku lagi." Max tak bisa menjawab, melihat mata coklat bersinar hanya bisa membuatnya diam. "Jika kau memberiku izin, akan ku pastikan sebelum anak ini lahir aku akan meninggalkan dia sepenuhnya, bagaimana bisakah kau mewujudkan permintaanku?" "Baiklah, namun aku akan mengantarmu saat menemui