Pagi hari...
Kicau burung pipit terlantun indah dalam dinginnya suasana pagi. Tirai putih berkibar membangunkan seorang wanita yang terbaring lemah di atas ranjang."An! An!"Perlahan Vivian membuka mata, ketika matanya memicing, terlihat samar beberapa wajah yang tengah mengerumuninya. Dengan pelan dia menarik badan lalu membenarkan posisinya."Akh..." rintih Vivian merasakan denyutan di kepala."Tidurlah, jangan bergerak, nanti kamu pusing lagi,...haish...kamu ini bagaimana di hari pertama sudah sakit begini," ucap Evelyn sambil memberikan perhatian.Vivian menyandarkan kepala sambil memejamkan mata untuk beberapa detik.Bagai pelangi yang datang setelah badai, Vivian menghembuskan nafas lega setelah melihat sang ibunda yang tengah mengkhawatirkan dirinya. Entah ke mana hilangnya rasa takut yang kian menghantui setiap kali melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu, sekarang tak ada yang perlu Vivian takuti lagi, semua penderitaan ini sudah selesai sampai di sini.Air mata Vivian mengalir dari ujung mata disertai tangisan pelan."Hey sayang kenapa? Sakit lagi?" tanya Evelyn khawatir.Dia menggeleng kecil sambil berusaha menahan derai air mata bahagia."Ma... Aku ingin pulang..." adu Vivian seraya menggenggam kedua tangan sang ibu.Evelyn yang melihat putri tercintanya terlihat menderita, hanya membalas dengan pelukan hangat."Jangan menangis ya, kalau kangen mama, kamu bisa pulang," ucap Evelyn menguatkan."Enggak Ma... Aku ingin pulang..." ucap Vivian dengan isakan tangis yang semakin kencang.Wanita paruh memandang putrinya dengan pandangan teduh, seakan mengasihani namun tak bisa melakukan apa-apa."Mama... Tolong aku..., aku hampir dibunuh oleh manusia itu," adu Vivian."Mama... Aku ingin pulang..." Vivian mengencangkan tangisnya.Evelyn masih setia mendengarkan tanpa membalas, disertai pandangan mengasihani."Mama tidak percaya padaku?"Wanita paruh baya itu menggeleng pelan, bukan sebagai balasan kepercayaan, namun seakan menyuruh Vivian untuk berhenti berbicara hal yang tak masuk akal."Lihat tanganku, aku digantung olehnya..." adu Vivian menyingsingkan lengan bajunya."Sudah... Kamu hanya bermimpi, An," ucap Evelyn sembari memegang kedua tangan Vivian."Bagaimana Mama bisa tidak percaya padaku?"Evelyn mengeratkan genggamannya seraya memandang Vivian khawatir hingga wanita itu perlahan melihat pergelangan tangannya sendiri."Bagaimana bisa?" batin Vivian tak percaya."Di tanganmu tak ada luka, sayang, kamu hanya bermimpi," ucap Evelyn menyadarkan.Set!Vivian menarik tangan, melihat dengan teliti letak bekas luka di pergelangan tangan yang tiba-tiba menghilang."Bagaimana bisa, aku..." Vivian masih belum percaya dengan apa yang dia lihat. Kejadian malam itu jelas dia rasakan dengan begitu nyata. Setiap menit, bahkan setiap detik ketegangan ketika melihat suaminya tidak pernah bisa terlepas dari pikiran Vivian. Bagaimana hal itu bisa disebut hanya sebatas mimpi?"Enggak... Ma... pokonya aku mau pulang, Mama, tolong aku..." ucap Vivian dengan derai air mata.Cklek..."Ma...""Oh, sudah bangun ya."Seorang pria datang membawa secangkir susu hangat mendekat dengan wajah berseri. Sementara itu, Vivian menggenggam erat tangan sang ibu, dengan detak jantung yang tiba-tiba melaju cepat, hawa dingin seakan menerpa hingga mengalirkan keringat dingin sedikit demi sedikit."Mah..." ucap Vivian pelan dengan pandangan lurus ke bawah.Max menyimpan pelan secangkir susu di atas laci."Mau minum dulu?" tawar Max, namun Vivian malah semakin mengencangkan genggaman kepada ibunya."An," ucap Max.Vivian diam membeku tanpa sedikit pun tergerak. Kuku kecilnya terlihat keluar menggerogoti tangan sang ibu."Max, sepertinya kamu harus..." ucap Evelyn menggantung."Aku mengerti, maaf aku malah harus merepotkan Mama di situasi seperti ini," sela Max kemudian melangkah pergi menjauh.Bak!Pintu ditutup rapat. Evelyn kembali menatap Vivian serius. Pernikahan ini memang pernikahan mendadak, Evelyn juga mengetahui ketiadaan cinta dalam pernikahan singkat tersebut, namun penolakan Vivian dengan cara seperti ini sungguh keterlaluan, melihat raut Max yang tampak kesal menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Evelyn."An, kamu hanya bermimpi," ucap Evelyn."Enggak Ma! Aku mengingat semuanya, aku ingat tindakannya padaku!" timpal Vivian."Kamu lihat mata tulus suamimu tadi? Bagaimana dia marah namun tidak bisa mengatakannya di depanmu, kamu lihat kan tadi?""Mama, dia hanya pura-pura! Aku..." bela Vivian terpotong."Sudah, kamu hanya bermimpi. Mama melihat igauanmu semalam dari ponsel suamimu, kamu terus memakinya dengan kasar. Coba pikirkan bagaimana perasaan Max mendengar makianmu semalaman?""Pikirkan lagi, kamu hanya bermimpi, perlakukan suamimu dengan benar ya, ini demi kebaikanmu juga," ucap Evelyn menasihati.Di sisi lain, Vivian tertunduk sambil mengeluh keras dalam hati."Bagaimana bisa aku memperlakukannya dengan baik, setiap kita bertemu saja, tak ada sedetik pun kesempatanku untuk bernafas dengan tenang," batin Vivian."Mama akan pulang malam ini, ingat apa yang Mama katakan, Mama sangat menyayangimu, An," ucap Evelyn mencium kening Vivian kemudian beranjak pergi.Sesaat semua tetap berjalan sama, tak akan ada yang berubah sekalipun semua orang tahu tentang ceritanya. Vivian meremas selimut sambil menggerakkan gigi.Cklek...Pandangan Max tertuju pada wanita yang tengah duduk dengan pandangan lurus ke depan.Seketika, Vivian berbalik menatap seseorang di awang pintu sana. Tak bisa dipungkiri, tubuhnya masih mengeluarkan reaksi yang tetap sama, sekujur tubuh menegang disertai detak jantung yang kian berdenyut kencang."Masih takut?" tanya Max.Vivian terdiam membeku di tempat dia berada."Minum dulu, kamu butuh nutrisi," pinta Max sembari memberikan segelas susu.Vivian malah membalikkan wajah, enggan melihat wajah suaminya."Jangan takut, aku akan berlaku baik," ucap Max sembari mengelus pucuk kepala Vivian.Set...Ketika tangan pria itu hendak mengelus pucuk kepala istrinya, Vivian otomatis menghindar. Max menghela nafas, istrinya ini masih belum bisa menerimanya."Huh...sepertinya kamu perlu waktu sendiri, kamu bisa memanggilku jika butuh bantuan," ucap Max kemudian melangkah pergi.Setelah Max benar-benar menghilang dari pandangan, di sisi lain, Vivian tengah tertunduk merenung dengan sikapnya sendiri."Sebenarnya, sikap dia yang benar itu yang mana?" batin Vivian bergelut dalam pikiran.Vivian termenung sembari memainkan ibu jari, dia benar-benar yakin apa yang dirasakan kemarin adalah nyata, bukan sekedar mimpi bahkan ilusi, semuanya nyata dengan rasa yang begitu jelas.Vivian menatap pergelangan tangan yang tiba-tiba terlihat baik-baik saja, masih belum percaya dengan semua yang dia lihat saat ini."Rasa sakitnya bahkan masih terasa," batin Vivian sembari menatap pergelangan tangan.Tanpa terasa berjam-jam berlalu, namun kesimpulan yang mesti Vivian dapatkan masih belum dia temukan.Cklek...Wanita itu menoleh menatap seseorang di awang pintu, tengah melangkah menghampirinya. "Vivian Mama pulang dulu ya, cepat sembuh ya sayang, Mama akan merindukanmu," ucap Evelyn sembari memberi kecupan di kening sebagai tanda perpisahan.Setelah memberi hujan kecupan, Evelyn membenarkan tasnya sembari berbalik meninggalkan Vivian sendiri duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong."Mama..." Mendengar satu kata itu Evelyn menoleh melihat putri tercintanya terdiam dengan tetesan
Vivian terbelalak mendengar ucapan suaminya. Seketika wanita itu merangkak mundur, berusaha menjauhkan diri dengan degup dada yang berpacu semakin cepat.Bagaimana pun dia harus menemukan celah untuk pergi. Dia coba menoleh kanan kiri berharap ada sedikit ruang untuk bisa keluar, namun naas pria itu sudah menunjukkan seringai di wajahnya, senyum smirk has yang terukir, benar-benar mengingatkannya pada kejadian kelam beberapa hari lalu."Bodoh!" pekik Vivian dalam hati.Set!Max menarik lengan Vivian dengan kasar, menyeret wanita itu menuju toilet.Bugh!Vivian terbanting membentur dinding."Akh!" Senyum puas terukir kembali di wajah Max. Tanpa ragu Max menekan shower hingga semburan air mengucur deras tepat di pucuk kepala istrinya. Tubuh Vivian kini terasa sakit lagi. Perih dia rasakan di pergelangan tangan dan sedikit demi sedikit, luka itu mulai terlihat lagi. Memar ungu terlihat mengerikan menggenang di kedua pergelangan tangan."Ini..." gumam Vivian.Apa yang wanita itu lihat d
Tawa dan canda ringan terlontar di antara mereka. Rayuan dan tingkah manis kerap didengar Vivian, bergema di sekitar telinganya."Dia siapa?"Vivian menatap nanar lantai toilet dengan wajah sembab. Ternyata, di luar dugaan, Max bisa bersikap manis, namun jika seandainya Max bisa bahagia hanya dengan bertemu wanita itu saja, mengapa pria itu harus menyiksa Vivian yang tak tahu apa-apa?Kesal dan marah sekilas terbersit, begitu pun malaikat maut, mungkin merasakan hal yang sama, menanti Vivian yang hendak mati namun tak jadi, dan semua hal itu tentu berkat pria biadab bernama Maximilian Windsor."Huh...bodoh."Vivian menekuk kedua lututnya, menenggelamkan wajah sedalam-dalamnya. Rasa tubuh kian tak beraturan, dingin, panas, gerah, bersatu dalam satu rasa. Saluran pernafasan terus mengeluarkan hembusan panas, namun tubuh kecilnya tak bisa merasakan udara panas itu, dari ujung kepala hingga ujung kaki semua rata pucat, bagai seorang yang enggan hidup mati pun tak mau."Aku ingin pulang."
Suara lemah, terucap halus dari bibir kecil wanita cantik yang tengah terbaring."Mah."Suara yang nyaris tak terdengar, terlantun samar. Ketika menantu satu-satunya berucap, pandangan Sophie langsung berbalik tertuju pada wanita itu. Dengan cepat Sophie mendekati Vivian untuk melihat kembali kondisinya."Vivian," panggil Sophie dengan halus, sembari meraba kening, memastikan apakah menantunya telah sadar atau hanya sekedar mengigau."Mah..." panggil Vivian kembali, sambil menunjukkan sedikit kerutan kening seperti merasakan nyeri dari dalam."Max pegang ini, ambilkan kompres nya, Mama mau liat Vivian dulu," ucap Sophie sigap memberikan mangkuk yang dia pegang kepada putranya.Max menerima mangkuk tersebut dan langsung mengambil alih menyiapkan kompresan.Tak... Tak...Langkah panjang terdengar jelas menggema di penjuru ruangan. Max memegang hendel pintu toilet, dan ketika pintu itu sedikit terbuka, sekilas mata elangnya menoleh ke arah sang ibu. Bagai kilat, pandangan singkat itu lan
Ketika Vivian mendengar jeritan tersebut, seketika dia menutup telinga, menyumbat pendengaran sekuat-kuatnya."Enggak! Enggak!" "Vivian kamu kenapa? Vivian!"Sophie sigap menenangkan menantunya. Teriakan histeris di sertai tingkah yang sulit untuk di jelaskan, membuat Sophie semakin cemas."Mama...!" Vivian menekan telinga dengan kuat, memejamkan mata serapat-rapatnya."Tenang, Mama ada di sini, kamu tenang ya, tarik nafas dulu... Pelan-pelan, ikuti Mama ya," ucap Sophie menenangkan.Vivian yang kalut dengan isi kepalanya berusaha mengikuti arahan Sophie. Dengan nafas yang berpacu cepat, Vivian terus berusaha mengatur alur pernafasannya, rasa takut akan bayangan yang dia lihat, serta suara lolongan dan jeritan kesakitan, terus menerus menggema di telinganya."Jangan! Jangan...!!!" Vivian mengeratkan cengkeraman, meringkuk menolak segala suara yang ada."Vivian, coba lihat Mama," titah Sophie mengarahkan. Pandangan tulus dengan usapan tiada henti Sophie lakukan untuk bisa menenangkan
Seutas tangkai Mawar berduri mengarah lurus kepada Vivian. Ketika bola matanya menangkap siapa di balik tangkai Mawar itu.Deg!Dada ini seketika tersentak. Vivian tunduk sambil merasakan pelan sebuah getaran yang mengalir dari ujung kakinya. Ya, rasa takut ini seketika mengalir bersama aliran darah. Getaran yang keluar bahkan terlalu jelas untuk di lihat, hingga Sophie yang sedari tadi berada di belakang Vivian mengerutkan alis dengan reaksi yang di timbulkan dari tubuh menantunya.Max kembali menodongkan tangkai itu sembari menaikkan sebelah alis, seakan menanti istrinya berwajah seri menerima pemberiannya. Namun Vivian tak kunjung mengambil Mawar tersebut, pandangan matanya masih tertunduk, menghindar sebisa mungkin kontak mata yang mungkin akan terjadi diantara mereka.Senyum ringan tiba-tiba terukir di wajah tampan Max. Dia menekuk lutut, memandang Vivian dengan wajah ramah dan tenang."Kamu tidak menyukainya?" tanya Max lembut.Tak bisa di pungkiri semakin Max bersikap manis, ge
Vivian memandang teduh batu kerikil di sekitarnya."Apa yang Vivian inginkan?" tanya Sophie."Itu..." Vivian meremas jari-jarinya, manik indahnya tak sanggup melihat pandangan tulus sang ibu mertua."Mah... Aku ingin terus bersama suamiku," ucap Vivian tertunduk, tak sanggup melihat Sophie yang terus bersikap tulus."Apa maksudmu? Apakah Mama mengganggu kalian?" tanya Sophie spontan."Gak, Mama gak ganggu," tukas Vivian dengan cepat, jari jemarinya tak bisa menutupi rasa gelisah."Maksudku... Mama gak perlu..." "Coba bicara yang jelas, jangan takut," ucap Sophie sambil menekuk sebelah lututnya menatap wajah Vivian dengan pandangan tulus.Vivian benar-benar tak bisa mengungkapkan kebohongan lagi. Bagai dosa besar, dia tak ingin merasakan rasa bersalah kepada orang yang telah menyembuhkan sedikit luka dalam batinnya, dan di situasi ini, tiba-tiba bola mata Sophie langsung tertuju pada putra satu-satunya."Max, kau melakukan sesuatu lagi ya?" tanya Sophie curiga."Coba tanyakan pada ist
PAGI HARITring ...Alarm berbunyi merdu, membangunkan Vivian yang sedang terlelap dalam selimut tipisnya di sebuah kamar di lantai bawah. Dengan perlahan, wanita itu menggosok matanya, kemudian membuka mata dengan pelan."Nona sudah bangun?" tanya seseorang pelayan."Emm...iya," jawab Vivian dengan suara serak.Malam hari telah berlalu dengan damai, setelah Max menunjuk Moa untuk berbagi kamar dengannya, ketenangan malam, kini dapat Vivian rasakan kembali."Moa aku masih mengantuk." Vivian menarik kembali selimut, mengerut dalam hangatnya balutan selimut."Maaf Nona tapi tuan telah menunggu anda untuk sarapan bersama," ucap Moa.Lantas Vivian berdecak dan langsung membuka selimut, dia mengangkat tubuh sambil menarik nafas pelan."Moa duluan saja, nanti aku menyusul," ucap Vivian dengan posisi membelakangi."Baik Nona," jawab Moa, membungkuk hormat dan langsung meninggalkan Vivian.Bulu kuduk wanita itu tiba-tiba berdiri mendengar Max menunggu kehadirannya, apakah pagi ini mentari ter
Sorot mata kosong kerap terlihat. Tubuhnya bersandar pada tembok, sangat putus asa seperti tak memiliki harapan untuk hidup. "Max jangan begini lagi, tolong demi mama, mama tak bisa hidup jika kau pergi juga." Seolah tak bisa mendengar, Max memejamkan mata. Waktu terasa lama sekali, telinganya tak ingin mendengar apapun, hanya ingin menghilang dan menghilang begitulah pikirnya. Justin yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung terkejut. Rasanya seperti mendengar kabar kematian River dahulu, seketika membuat ujung kaki sampai ujung kepala dibuat lemas karenanya. "Jangan sampai, dia ikut pergi juga." Justin segera memanggil beberapa pelayan, dan begitu mereka datang "Bersihkan seluruh benda tajam dikamar ini termasuk benda yang mudah pecah, jangan ada yang tersisa!" Justin langsung pergi menuju ruang tamu, dia merebahkan diri sambil berusaha mengangkat ponsel yang terus menerus mengeluarkan nada pesan. "Haa... Dasar anj***," pekik Justin saat beratus pesan muncul setelah mereba
Dua hari telah berlalu sejak kepergian sang istri. Sejak itu pula Max tidak pernah menunjukan diri, dia tetap berada di ruang kamar sembari menanti kedatangan Vivian setiap hari. Dalam sunyi, Max memandang foto satu-satunya bersama sang istri. Senyum cantik yang terukir indah itu dia elus dengan lembut. "An... Apakah kau marah? Aku menunggumu sejak kemarin, apakah kau tidak ingin menemui ku lagi?" "Siapa yang perlu ku bunuh agar kau kembali, siapa yang harus ku marahi agar kau senang, tolong beritahu aku agar aku bisa melakukannya untukmu." Dengan pandangan kosong Max tersenyum gila, dan disaat itu tiba-tiba... Cklek... Seorang pria datang dengan nampan berisi makanan. "Max, makanlah kau belum makan apapun sejak kemarin." Justin menyimpan nampan diatas meja sementara Max tak bergerak seolah tak merasakan kehadiran siapapun. Justin melihat setiap sudut kamar yang dipenuhi pecahan kaca dan benda hias lainnya. Padahal baru saja kemarin para pelayan membersihkan kekacauan yang dibu
Dibelahan tempat lain, semua prajurit telah berbaris rapi. Tegap sempurna mendengarkan komando dengan seksama. "Tim satu, persiapkan dari arah Utara. Tim dua awasi dari selatan, dan yang lainnya dengarkan perintah dari komandan mengerti!" "Siap mengerti!" Serentak seluruh prajurit berhamburan, memposisikan diri sesuai arahan. River yang berada di Tim satu segera mengikuti komandan menuju tempat persembunyian di bagian utara. Arah utara merupakan tempat diduganya penyelundupan dan sindikat obat-obatan terlarang berkumpul, maka dari itu jumlah prajurit dikerahkan dalam jumlah banyak dengan para prajurit terpilih saja yang di utus. Begitu sampai, River dan tim satu memposisikan diri. Rencana yang telah dibuat sematang mungkin dijalankan dengan hati-hati. Target mendekat, senapan diangkat dengan pandangan fokus memantau target. "Sekarang!" DOR! DOR! DOR! Penyerangan dilakukan serentak pada beberapa target. Secepat mungkin setelah itu muncul kawan lainnya menyerang dengan membab
Mata berkaca-kaca terlihat tertuju pada wanita di sisinya.“Max,” panggil Vivian.Kata tersebut sangat jernih terdengar hingga rasa haru langsung menembus kalbu hanya dari lantunan suara lembut tersebut. Tangan nan lemah sang istri Max pegang erat, sementara kedua malaikat kecilnya tersimpan di dada sang ibu.Disaat itu anggota keluarga diperbolehkan masuk. Senyum lemah terukir indah dengan susah payah, setelah perjuangan menyelamatkan dua buah hati, dan di saat itu pula sebagaimana rencananya, tugas wanita cantik itu telah selesai. Perlahan Vivian menoleh memberikan seucap kata untuk pria di sampingnya.“Tolong jaga anak kita ya,” ucapnya dengan susah payah dan dibalas dengan genggaman erat penuh keyakinan.“Pasti, aku akan selalu menjaganya.” Haru tak bisa Max bendung lagi, tangis bayi telah meluluhkan hati Max yang teramat keras.Dengan pelan dia mengelus kepala anak-anaknya yang masih merah dan belum bisa membuka mata. Kelahiran mereka benar-benar memberikan kabar bahagia, semua o
Sudah genap sembilan bulan dua bayi kembar dikandungnya. Vivian terbaring di ranjang, tubuhnya tertutup selimut, matanya menutup untuk sejenak mengistirahatkan diri.Disamping itu, Max menyiapkan koper dan segala keperluan persalinan bersama Sophie dan Evelyn."Selesai," ucap Sophie sembari menepuk-nepuk tangannya selesai berkemas."Sekarang kita berangkat," lanjut Sophie.Saat Max melihat istrinya tertidur dengan tenang, dia langsung berkata. "Mama boleh pergi dulu membawa barang-barang, aku akan pergi bersama istriku nanti."Sekilas Evelyn dan Sophie melihat Vivian di ranjang sana."Ah baiklah, kami pergi dulu kalau begitu, hati-hati saat pergi nanti ya." Pelayan yang telah sedia didepan pintu untuk membawa barang-barang langsung bergegas menjalankan tugas.Disamping itu Evelyn tak melepas pandangan dari putrinya."Max bagaimana kalau Mama ikut dengan kalian saja nanti?" tawar Evelyn tak tega membiarkan Vivian bersama suaminya berdua.Begitu tawaran itu terdengar, suara dari ranjang
Usai menghadiri acara penghargaan, Justin menepuk pundak Max berkali-kali setelah Max meraih tropi sebagai most attention received actors of the year pada tahun ini. "Sudah kuduga kau pasti akan mendapatkannya," ucap Justin bangga. "Malam ini sutradara Wang mengajakmu untuk merayakan kemenangan ini, kau akan akan hadir kan?" Justin bertanya sambil terus melangkah menuju parkiran. Piala dengan ukiran bintang cemerlang itu Max tatap sejenak. "Max, kau akan datang kan?" tanya Justin lagi saat Max tak memberi balasan. "Tidak, aku akan pulang saja." Max segera membuka pintu, namun sebelum benar-benar masuk Justin terdengar menyela. "Max, tapi sutradara memintaku..." "Tolong wakilkan aku." Setelah mengucap kalimat terakhir Max mengambil alih kunci mobil dan segera tancap gas meninggalkan Justin sendiri ditempat. "Hah..." Justin mematung ditempat. ... Sunyi menyertai pagi, dengan perut yang semakin membesar Vivian pandang foto satu-satunya bersama kedua keluarga dengan pihak suami.
Tak...tak... Suara langkah kaki begitu jelas memecah hening. Begitu terlihat tas yang tak asing lagi tergeletak di dekat pohon. Dengan cepat pria itu meraih benda tersebut lalu melihat isi di dalamnya. Ketika lembaran kertas terlihat, tangannya yang besar langsung membuka isi kertas tersebut. Pelan namun pasti rangkaian kata berhasil dibaca. Kalimat indah yang disajikan dengan begitu rapi telah berhasil membuatnya menarik nafas sangat dalam. "Haa...pada akhirnya apa yang ku khawatirkan selama ini ternyata tetap terjadi." ... Sementara itu, di Vila Max sedang duduk di sofa ruang tamu, saat Vivian dan Moa memasuki ruangan, terlihat wanita cantik itu menutupi wajah dengan rambutnya menyembunyikan mata sembab akibat menangis sepanjang tadi. "Kemarilah," pinta Max agar duduk di dekatnya. Vivian lalu duduk dan otomatis Moa undur diri setelah melihat tatapan Max yang dingin padanya. "Besok adalah hari pemeriksaan terakhir kandunganmu, sepertinya aku tidak akan bisa mengantarmu, ada
Di klinik kandungan, Vivian dibaringkan untuk melakukan USG melihat jenis kelamin buah hati mereka. "Selamat sepertinya anda berdua dikaruniai buah hati kembar," ucap dokter Oliv terlihat senang. Max fokus melihat gambar dalam layar, terlihat dua bayi tengah meringkuk disana. "Bagaimana dengan jenis kelaminnya?" tanya Max penasaran. "Sebentar, saya akan lihat." Dokter segera memerhatikan lagi. "Sepertinya anak anda laki-laki dan perempuan, anda bisa melihat di gambar ini." Dokter menunjuk letak gambar kelamin bayi. Max menarik nafas pelan. Tak bisa di tutupi hadirnya dua buah hati telah membuatnya teramat senang. "Kedua bayinya sehat kan?" tanya Max lagi. "Alhamdulillah dari hasil USG tak ada kecacatan sedikitpun." Max lalu melirik istrinya, bibirnya seakan ingin mengucapkan kalimat sakral yang mungkin akan mengubah kehidupan mereka, namun sayangnya ego yang besar telah meredam keinginan tersebut jauh dalam dalam, hingga Max hanya bisa memegang tangan Vivian erat-erat, tanp
Tanpa terasa langit telah berubah warna, Vivian telah kembali menuju Vila. Langkah lemah menapak menyingkap rerumputan taman yang panjang, dan begitu pandangannya terangkat, disana sosok Max telah berdiri, dia lihat mata biru itu tengah memperhatikan dengan pandangan tak senang. "Kau darimana saja?" Vivian membalas dengan senyuman yang sangat indah, angin yang sengaja bertiup juga semakin mempercantik wajahnya. "Aku melepasnya, seperti keinginanmu aku telah memutuskannya," jawab Vivian dengan mata berkaca-kaca, menahan tangis yang terus bergejolak di dada. Vivian menurunkan pandangan. "Akan tetapi dia belum sepenuhnya melepas ku, jadi tolong biarkan aku membujuknya agar dia tidak menganggu ku lagi." Max tak bisa menjawab, melihat mata coklat bersinar hanya bisa membuatnya diam. "Jika kau memberiku izin, akan ku pastikan sebelum anak ini lahir aku akan meninggalkan dia sepenuhnya, bagaimana bisakah kau mewujudkan permintaanku?" "Baiklah, namun aku akan mengantarmu saat menemui