Vivian terbelalak mendengar ucapan suaminya. Seketika wanita itu merangkak mundur, berusaha menjauhkan diri dengan degup dada yang berpacu semakin cepat.
Bagaimana pun dia harus menemukan celah untuk pergi. Dia coba menoleh kanan kiri berharap ada sedikit ruang untuk bisa keluar, namun naas pria itu sudah menunjukkan seringai di wajahnya, senyum smirk has yang terukir, benar-benar mengingatkannya pada kejadian kelam beberapa hari lalu."Bodoh!" pekik Vivian dalam hati.Set!Max menarik lengan Vivian dengan kasar, menyeret wanita itu menuju toilet.Bugh!Vivian terbanting membentur dinding."Akh!"Senyum puas terukir kembali di wajah Max. Tanpa ragu Max menekan shower hingga semburan air mengucur deras tepat di pucuk kepala istrinya.Tubuh Vivian kini terasa sakit lagi. Perih dia rasakan di pergelangan tangan dan sedikit demi sedikit, luka itu mulai terlihat lagi. Memar ungu terlihat mengerikan menggenang di kedua pergelangan tangan."Ini..." gumam Vivian.Apa yang wanita itu lihat dan rasakan, seketika menimbulkan percikan amarah."Aku benar, dia bukan orang yang baik, mama aku benar," gumam Vivian disertai tawa pahit.Dia lihat wajah memuakkan suaminya dengan sorot penuh kebencian. Dan dengan kejamnya, pria itu menunjukkan pandangan tak suka melihat raut Vivian yang tak sesuai harapan.Lantas Max mengambil shower mengarahkan semprotan air pada pucuk kepala istrinya lagi.Semburan keras menghantam pucuk kepala. Rasa sakit di sekujur tubuh juga kian terasa, akan tetapi Vivian hanya bisa diam menerima, bersama derasnya air mata yang mengalir begitu saja."Tahan Vivian... Aku harus bisa menahannya," batin Vivian berusaha kuat.Betapa bahagianya pria itu saat ini, tak henti menampakkan senyum bangga menikmati penderitaan sang istri. Namun tak cukup sebatas itu, batin kecilnya masih belum puas melihat Vivian hanya menderita seperti ini. Max menarik lengan Vivian menuju bath up, mengisi air hangat yang terasa cukup panas, memaksa Vivian untuk tunduk pada perintahnya.Seketika wanita itu terbelalak. Apakah suaminya sudah gila? Tindakan Max sudah di luar batas. Air panas yang akan segera mengucur tepat di atas kepala Vivian bisa saja langsung membunuhnya."Jangan...tolong jangan...aku akan melakukan apa pun...jangan lakukan ini...tolong!" Vivian memohon, menarik sebelah tangan Max persis seperti seorang budak.Padahal sedari tadi Vivian sudah berusaha menuruti keinginan suaminya. Namun semakin dia merasa takut bahkan memohon, Max malah semakin sering menunjukkan seringainya."Baiklah..." jawab Max dengan senyum yang sulit di artikan.Pria itu menghentikan tindakan, kemudian pergi keluar mengurung Vivian sendiri dalam toilet.Kini Vivian sedikit lebih tenang, Max sudah pergi meninggalkannya. Meskipun memang dirinya kini habis kuyup kedinginan, namun entah mengapa hilangnya Max dari pandangan terasa lebih baik dari kondisi yang dia rasakan.Vivian sejenak melamun. Apa yang harus dia lakukan untuk pergi? Sembari memikirkan itu, matanya tertuju pada pintu yang masih tertutup. Perlahan dia menggerakkan kaki untuk keluar dari bath up namun...Bak!"Mau ke mana?" tanya Max menendang pintu sambil membawa sebuah kotak besar yang dia tenteng dengan kedua tangannya.Vivian sontak terkejut. Dengan langkah cepat dia segera kabur, namun Max berhasil menghalau wanita itu dan menariknya kembali untuk tetap diam dalam bath up.Max membuka isi kotak tersebut yang berisikan bongkahan es. Tanpa ragu sedikit pun, dia menuangkannya tepat di atas tubuh sang istri, merendamnya hingga mencapai dada."Max! Hentikan ku mohon!"Vivian yang tak kuat menahan dingin, terus berusaha bangkit untuk kabur. Namun ketika Vivian meronta, pria itu selalu menenggelamkan kepala istrinya hingga seluruh tubuhnya terendam. Terus menerus seperti itu, hingga pada akhirnya, Vivian hanya bisa berusaha menahan rasa dingin yang hampir mematikan seluruh sarafnya. Tunduk diam hanya untuk beberapa menit saja.Beberapa menit Max melihat istrinya yang diam tak bertingkah, dan saat ini Vivian sudah tak bisa lagi merasakan apa pun dengan tubuhnya. Wajah pucat pasi dengan gigi yang bergetar, Vivian coba paksakan untuk bertahan. Tak ada yang bisa dia lakukan, andai saja sekarang ajal akan datang maka itu akan lebih baik baginya.Tring...Suara dering ponsel terdengar dari luar. Max yang tengah menikmati derita sang istri, kini harus rela berhenti dan beralih pada ponsel yang membisingkan. Max keluar mengunci wanita itu sendiri dalam dinginnya suhu toilet.Kini Max sudah hilang dalam pandangan. Vivian langsung beranjak dengan sempoyongan, mengambil shower kemudian mengucurkan air hangat di sekujur tubuh. Sambil merasakan hangatnya air, wanita itu tak hentinya mengeluh."Sudah ku bilang aku tidak bermimpi!""Mengapa mama tak mempercayai aku... Aku menderita di sini..."Keluhan yang tak bisa keluar dengan ucapan, Vivian menangis sedalam-dalamnya dengan keluh yang tak bisa terkatakan."Mama..." tangis Vivian tak bisa tertahan lagi, demi tak terdengar pria di luar sana, Vivian menangis dengan sangat pelan.Di tempat ini, tak ada satu detik pun kebahagiaan. Semua yang Vivian rasakan hanya kepahitan, penderitaan dan kesengsaraan. Ingin rasanya dia mendapat sedikit kehangatan, namun kehangatan yang dia dapatkan hanya dari tetesan air shower ini saja. Walaupun demikian, dia tetap bersyukur, hanya dengan tetesan air hangat yang menimpa tubuhnya, cukup membuatnya sedikit lebih tenang untuk beberapa saat....Satu jam berlalu, Vivian masih terkurung di toilet sendiri. Pria itu tak kunjung kembali untuk melakukan penyiksaan lagi."Hachih..."Vivian mulai merasakan ke tidak nyamanan di tubuhnya. Dengan langkah tak berenergi, dia membuang bongkahan es dalam bath up sembari mengganti dengan air yang lebih hangat lalu duduk merendam diri kembali. Merasakan kehangatan satu-satunya di tempat ini."Bertahanlah, sebentar saja, aku harus bertahan."Cklek...Terdengar suara pintu terbuka, namun saat dilihat, pintu toilet terlihat masih menutup, sepertinya suara tersebut terdengar dari luar, apakah ada seseorang yang datang?Vivian sedikit berharap, mungkin saja seseorang yang datang itu adalah malaikat penyelamat. Wanita itu sungguh sangat berharap, hingga dia melepas segala rasa di tubuhnya dan beralih mendekati pintu untuk mendapat sedikit berita.Vivian mendekatkan daun telinga dengan pintu hingga terdengar samar percakapan dari luar."Sayang aku sangat merindukanmu.""Mau jus? Akan aku buatkan.""Ummm...boleh, tapi jangan lama-lama ya, aku tidak mau harus menunggu lagi.""Iya, akan cepat.""Kiss dulu.""Nanti sayang.""Umm...sekarang.""Baiklah, (....) sudah kan?""Umm...sayang..."Percakapan tersebut terasa ambigu. Vivian terdiam dengan pikiran yang tiba-tiba saja datang tanpa permisi. Suara wanita manja dengan di balas perhatian manis hampir membuatnya mengaga tak percaya."Dia... Siapa?"Tawa dan canda ringan terlontar di antara mereka. Rayuan dan tingkah manis kerap didengar Vivian, bergema di sekitar telinganya."Dia siapa?"Vivian menatap nanar lantai toilet dengan wajah sembab. Ternyata, di luar dugaan, Max bisa bersikap manis, namun jika seandainya Max bisa bahagia hanya dengan bertemu wanita itu saja, mengapa pria itu harus menyiksa Vivian yang tak tahu apa-apa?Kesal dan marah sekilas terbersit, begitu pun malaikat maut, mungkin merasakan hal yang sama, menanti Vivian yang hendak mati namun tak jadi, dan semua hal itu tentu berkat pria biadab bernama Maximilian Windsor."Huh...bodoh."Vivian menekuk kedua lututnya, menenggelamkan wajah sedalam-dalamnya. Rasa tubuh kian tak beraturan, dingin, panas, gerah, bersatu dalam satu rasa. Saluran pernafasan terus mengeluarkan hembusan panas, namun tubuh kecilnya tak bisa merasakan udara panas itu, dari ujung kepala hingga ujung kaki semua rata pucat, bagai seorang yang enggan hidup mati pun tak mau."Aku ingin pulang."
Suara lemah, terucap halus dari bibir kecil wanita cantik yang tengah terbaring."Mah."Suara yang nyaris tak terdengar, terlantun samar. Ketika menantu satu-satunya berucap, pandangan Sophie langsung berbalik tertuju pada wanita itu. Dengan cepat Sophie mendekati Vivian untuk melihat kembali kondisinya."Vivian," panggil Sophie dengan halus, sembari meraba kening, memastikan apakah menantunya telah sadar atau hanya sekedar mengigau."Mah..." panggil Vivian kembali, sambil menunjukkan sedikit kerutan kening seperti merasakan nyeri dari dalam."Max pegang ini, ambilkan kompres nya, Mama mau liat Vivian dulu," ucap Sophie sigap memberikan mangkuk yang dia pegang kepada putranya.Max menerima mangkuk tersebut dan langsung mengambil alih menyiapkan kompresan.Tak... Tak...Langkah panjang terdengar jelas menggema di penjuru ruangan. Max memegang hendel pintu toilet, dan ketika pintu itu sedikit terbuka, sekilas mata elangnya menoleh ke arah sang ibu. Bagai kilat, pandangan singkat itu lan
Ketika Vivian mendengar jeritan tersebut, seketika dia menutup telinga, menyumbat pendengaran sekuat-kuatnya."Enggak! Enggak!" "Vivian kamu kenapa? Vivian!"Sophie sigap menenangkan menantunya. Teriakan histeris di sertai tingkah yang sulit untuk di jelaskan, membuat Sophie semakin cemas."Mama...!" Vivian menekan telinga dengan kuat, memejamkan mata serapat-rapatnya."Tenang, Mama ada di sini, kamu tenang ya, tarik nafas dulu... Pelan-pelan, ikuti Mama ya," ucap Sophie menenangkan.Vivian yang kalut dengan isi kepalanya berusaha mengikuti arahan Sophie. Dengan nafas yang berpacu cepat, Vivian terus berusaha mengatur alur pernafasannya, rasa takut akan bayangan yang dia lihat, serta suara lolongan dan jeritan kesakitan, terus menerus menggema di telinganya."Jangan! Jangan...!!!" Vivian mengeratkan cengkeraman, meringkuk menolak segala suara yang ada."Vivian, coba lihat Mama," titah Sophie mengarahkan. Pandangan tulus dengan usapan tiada henti Sophie lakukan untuk bisa menenangkan
Seutas tangkai Mawar berduri mengarah lurus kepada Vivian. Ketika bola matanya menangkap siapa di balik tangkai Mawar itu.Deg!Dada ini seketika tersentak. Vivian tunduk sambil merasakan pelan sebuah getaran yang mengalir dari ujung kakinya. Ya, rasa takut ini seketika mengalir bersama aliran darah. Getaran yang keluar bahkan terlalu jelas untuk di lihat, hingga Sophie yang sedari tadi berada di belakang Vivian mengerutkan alis dengan reaksi yang di timbulkan dari tubuh menantunya.Max kembali menodongkan tangkai itu sembari menaikkan sebelah alis, seakan menanti istrinya berwajah seri menerima pemberiannya. Namun Vivian tak kunjung mengambil Mawar tersebut, pandangan matanya masih tertunduk, menghindar sebisa mungkin kontak mata yang mungkin akan terjadi diantara mereka.Senyum ringan tiba-tiba terukir di wajah tampan Max. Dia menekuk lutut, memandang Vivian dengan wajah ramah dan tenang."Kamu tidak menyukainya?" tanya Max lembut.Tak bisa di pungkiri semakin Max bersikap manis, ge
Vivian memandang teduh batu kerikil di sekitarnya."Apa yang Vivian inginkan?" tanya Sophie."Itu..." Vivian meremas jari-jarinya, manik indahnya tak sanggup melihat pandangan tulus sang ibu mertua."Mah... Aku ingin terus bersama suamiku," ucap Vivian tertunduk, tak sanggup melihat Sophie yang terus bersikap tulus."Apa maksudmu? Apakah Mama mengganggu kalian?" tanya Sophie spontan."Gak, Mama gak ganggu," tukas Vivian dengan cepat, jari jemarinya tak bisa menutupi rasa gelisah."Maksudku... Mama gak perlu..." "Coba bicara yang jelas, jangan takut," ucap Sophie sambil menekuk sebelah lututnya menatap wajah Vivian dengan pandangan tulus.Vivian benar-benar tak bisa mengungkapkan kebohongan lagi. Bagai dosa besar, dia tak ingin merasakan rasa bersalah kepada orang yang telah menyembuhkan sedikit luka dalam batinnya, dan di situasi ini, tiba-tiba bola mata Sophie langsung tertuju pada putra satu-satunya."Max, kau melakukan sesuatu lagi ya?" tanya Sophie curiga."Coba tanyakan pada ist
PAGI HARITring ...Alarm berbunyi merdu, membangunkan Vivian yang sedang terlelap dalam selimut tipisnya di sebuah kamar di lantai bawah. Dengan perlahan, wanita itu menggosok matanya, kemudian membuka mata dengan pelan."Nona sudah bangun?" tanya seseorang pelayan."Emm...iya," jawab Vivian dengan suara serak.Malam hari telah berlalu dengan damai, setelah Max menunjuk Moa untuk berbagi kamar dengannya, ketenangan malam, kini dapat Vivian rasakan kembali."Moa aku masih mengantuk." Vivian menarik kembali selimut, mengerut dalam hangatnya balutan selimut."Maaf Nona tapi tuan telah menunggu anda untuk sarapan bersama," ucap Moa.Lantas Vivian berdecak dan langsung membuka selimut, dia mengangkat tubuh sambil menarik nafas pelan."Moa duluan saja, nanti aku menyusul," ucap Vivian dengan posisi membelakangi."Baik Nona," jawab Moa, membungkuk hormat dan langsung meninggalkan Vivian.Bulu kuduk wanita itu tiba-tiba berdiri mendengar Max menunggu kehadirannya, apakah pagi ini mentari ter
DI RUANG BAWAH TANAH ..."Huh..."Kepulan asap panas terlihat mengepul indah membentuk gumpalan hitam yang menyesakkan. Botol minyak dan korek api senantiasa berada dalam genggaman pria yang baru saja hilang kendali akan dirinya.Max, pria itu menatap lurus api yang kini tengah berkobar membakar benda yang dia bawa untuk dilenyapkan.PlukMax melepas korek dan botol minyak hingga terjatuh di lantai. Dia melangkah menjauh pergi membiarkan api itu menyala dengan sendirinya.Di sisi lain, Vivian menyantap makanan yang masih tersisa. Situasi apa pun yang terjadi saat ini, Vivian tetap bersikap seakan tidak peduli.Cklek...Pintu terbuka menampakkan sang tuan yang berantakan, melangkah maju dengan tenang."SEMUANYA KELUAR!" seru Max.Seketika seluruh pelayan yang ada berlarian keluar. Begitu pun Vivian, dengan cepat dia menyimpan piring, sambil mengusap ujung bibirnya yang meninggalkan sebutir nasi. Dia berlari mengikuti para pelayan sebagaimana yang di perintahkan Max.Ketika Vivian berpa
Di ruang kamar yang sunyi, Max menatap nanar jari jemari yang terkena noda merah akibat percikan darah. Tatapan mata kosong terlihat menerawang sambil mengingat kembali tindakannya beberapa menit lalu. Goresan luka serta darah yang mengalir begitu deras membuat Max berpikir, apakah luka yang dia buat sedalam itu hingga cairan merah itu tak henti-hentinya keluar terus menerus? Tok... Tok... "Tuan, saya membawa air hangat untuk membersihkan tangan anda," ucap Lin. "Masuk," jawab Max. Cklek... Ketika pintu terbuka, keheningan begitu terasa. Suasana hati Max juga ikut mempengaruhi atmosfer yang ada. "Sudah di temukan?" tanya Max tiba-tiba dengan pandangan tetap. "Belum tuan, tapi melihat jejak darah yang nona tinggalkan, sepertinya nona tidak akan pergi terlalu jauh, kami akan mencarinya secepat mungkin," jawab Lin. Max menoleh melihat Lin yang tengah membawa mangkuk kaca berisi air hangat, berdiri tegap di dekat pintu. "Simpan di sana," titah Max, lantas Lin langsung menyimpan m
Sorot mata kosong kerap terlihat. Tubuhnya bersandar pada tembok, sangat putus asa seperti tak memiliki harapan untuk hidup. "Max jangan begini lagi, tolong demi mama, mama tak bisa hidup jika kau pergi juga." Seolah tak bisa mendengar, Max memejamkan mata. Waktu terasa lama sekali, telinganya tak ingin mendengar apapun, hanya ingin menghilang dan menghilang begitulah pikirnya. Justin yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung terkejut. Rasanya seperti mendengar kabar kematian River dahulu, seketika membuat ujung kaki sampai ujung kepala dibuat lemas karenanya. "Jangan sampai, dia ikut pergi juga." Justin segera memanggil beberapa pelayan, dan begitu mereka datang "Bersihkan seluruh benda tajam dikamar ini termasuk benda yang mudah pecah, jangan ada yang tersisa!" Justin langsung pergi menuju ruang tamu, dia merebahkan diri sambil berusaha mengangkat ponsel yang terus menerus mengeluarkan nada pesan. "Haa... Dasar anj***," pekik Justin saat beratus pesan muncul setelah mereba
Dua hari telah berlalu sejak kepergian sang istri. Sejak itu pula Max tidak pernah menunjukan diri, dia tetap berada di ruang kamar sembari menanti kedatangan Vivian setiap hari. Dalam sunyi, Max memandang foto satu-satunya bersama sang istri. Senyum cantik yang terukir indah itu dia elus dengan lembut. "An... Apakah kau marah? Aku menunggumu sejak kemarin, apakah kau tidak ingin menemui ku lagi?" "Siapa yang perlu ku bunuh agar kau kembali, siapa yang harus ku marahi agar kau senang, tolong beritahu aku agar aku bisa melakukannya untukmu." Dengan pandangan kosong Max tersenyum gila, dan disaat itu tiba-tiba... Cklek... Seorang pria datang dengan nampan berisi makanan. "Max, makanlah kau belum makan apapun sejak kemarin." Justin menyimpan nampan diatas meja sementara Max tak bergerak seolah tak merasakan kehadiran siapapun. Justin melihat setiap sudut kamar yang dipenuhi pecahan kaca dan benda hias lainnya. Padahal baru saja kemarin para pelayan membersihkan kekacauan yang dibu
Dibelahan tempat lain, semua prajurit telah berbaris rapi. Tegap sempurna mendengarkan komando dengan seksama. "Tim satu, persiapkan dari arah Utara. Tim dua awasi dari selatan, dan yang lainnya dengarkan perintah dari komandan mengerti!" "Siap mengerti!" Serentak seluruh prajurit berhamburan, memposisikan diri sesuai arahan. River yang berada di Tim satu segera mengikuti komandan menuju tempat persembunyian di bagian utara. Arah utara merupakan tempat diduganya penyelundupan dan sindikat obat-obatan terlarang berkumpul, maka dari itu jumlah prajurit dikerahkan dalam jumlah banyak dengan para prajurit terpilih saja yang di utus. Begitu sampai, River dan tim satu memposisikan diri. Rencana yang telah dibuat sematang mungkin dijalankan dengan hati-hati. Target mendekat, senapan diangkat dengan pandangan fokus memantau target. "Sekarang!" DOR! DOR! DOR! Penyerangan dilakukan serentak pada beberapa target. Secepat mungkin setelah itu muncul kawan lainnya menyerang dengan membab
Mata berkaca-kaca terlihat tertuju pada wanita di sisinya.“Max,” panggil Vivian.Kata tersebut sangat jernih terdengar hingga rasa haru langsung menembus kalbu hanya dari lantunan suara lembut tersebut. Tangan nan lemah sang istri Max pegang erat, sementara kedua malaikat kecilnya tersimpan di dada sang ibu.Disaat itu anggota keluarga diperbolehkan masuk. Senyum lemah terukir indah dengan susah payah, setelah perjuangan menyelamatkan dua buah hati, dan di saat itu pula sebagaimana rencananya, tugas wanita cantik itu telah selesai. Perlahan Vivian menoleh memberikan seucap kata untuk pria di sampingnya.“Tolong jaga anak kita ya,” ucapnya dengan susah payah dan dibalas dengan genggaman erat penuh keyakinan.“Pasti, aku akan selalu menjaganya.” Haru tak bisa Max bendung lagi, tangis bayi telah meluluhkan hati Max yang teramat keras.Dengan pelan dia mengelus kepala anak-anaknya yang masih merah dan belum bisa membuka mata. Kelahiran mereka benar-benar memberikan kabar bahagia, semua o
Sudah genap sembilan bulan dua bayi kembar dikandungnya. Vivian terbaring di ranjang, tubuhnya tertutup selimut, matanya menutup untuk sejenak mengistirahatkan diri.Disamping itu, Max menyiapkan koper dan segala keperluan persalinan bersama Sophie dan Evelyn."Selesai," ucap Sophie sembari menepuk-nepuk tangannya selesai berkemas."Sekarang kita berangkat," lanjut Sophie.Saat Max melihat istrinya tertidur dengan tenang, dia langsung berkata. "Mama boleh pergi dulu membawa barang-barang, aku akan pergi bersama istriku nanti."Sekilas Evelyn dan Sophie melihat Vivian di ranjang sana."Ah baiklah, kami pergi dulu kalau begitu, hati-hati saat pergi nanti ya." Pelayan yang telah sedia didepan pintu untuk membawa barang-barang langsung bergegas menjalankan tugas.Disamping itu Evelyn tak melepas pandangan dari putrinya."Max bagaimana kalau Mama ikut dengan kalian saja nanti?" tawar Evelyn tak tega membiarkan Vivian bersama suaminya berdua.Begitu tawaran itu terdengar, suara dari ranjang
Usai menghadiri acara penghargaan, Justin menepuk pundak Max berkali-kali setelah Max meraih tropi sebagai most attention received actors of the year pada tahun ini. "Sudah kuduga kau pasti akan mendapatkannya," ucap Justin bangga. "Malam ini sutradara Wang mengajakmu untuk merayakan kemenangan ini, kau akan akan hadir kan?" Justin bertanya sambil terus melangkah menuju parkiran. Piala dengan ukiran bintang cemerlang itu Max tatap sejenak. "Max, kau akan datang kan?" tanya Justin lagi saat Max tak memberi balasan. "Tidak, aku akan pulang saja." Max segera membuka pintu, namun sebelum benar-benar masuk Justin terdengar menyela. "Max, tapi sutradara memintaku..." "Tolong wakilkan aku." Setelah mengucap kalimat terakhir Max mengambil alih kunci mobil dan segera tancap gas meninggalkan Justin sendiri ditempat. "Hah..." Justin mematung ditempat. ... Sunyi menyertai pagi, dengan perut yang semakin membesar Vivian pandang foto satu-satunya bersama kedua keluarga dengan pihak suami.
Tak...tak... Suara langkah kaki begitu jelas memecah hening. Begitu terlihat tas yang tak asing lagi tergeletak di dekat pohon. Dengan cepat pria itu meraih benda tersebut lalu melihat isi di dalamnya. Ketika lembaran kertas terlihat, tangannya yang besar langsung membuka isi kertas tersebut. Pelan namun pasti rangkaian kata berhasil dibaca. Kalimat indah yang disajikan dengan begitu rapi telah berhasil membuatnya menarik nafas sangat dalam. "Haa...pada akhirnya apa yang ku khawatirkan selama ini ternyata tetap terjadi." ... Sementara itu, di Vila Max sedang duduk di sofa ruang tamu, saat Vivian dan Moa memasuki ruangan, terlihat wanita cantik itu menutupi wajah dengan rambutnya menyembunyikan mata sembab akibat menangis sepanjang tadi. "Kemarilah," pinta Max agar duduk di dekatnya. Vivian lalu duduk dan otomatis Moa undur diri setelah melihat tatapan Max yang dingin padanya. "Besok adalah hari pemeriksaan terakhir kandunganmu, sepertinya aku tidak akan bisa mengantarmu, ada
Di klinik kandungan, Vivian dibaringkan untuk melakukan USG melihat jenis kelamin buah hati mereka. "Selamat sepertinya anda berdua dikaruniai buah hati kembar," ucap dokter Oliv terlihat senang. Max fokus melihat gambar dalam layar, terlihat dua bayi tengah meringkuk disana. "Bagaimana dengan jenis kelaminnya?" tanya Max penasaran. "Sebentar, saya akan lihat." Dokter segera memerhatikan lagi. "Sepertinya anak anda laki-laki dan perempuan, anda bisa melihat di gambar ini." Dokter menunjuk letak gambar kelamin bayi. Max menarik nafas pelan. Tak bisa di tutupi hadirnya dua buah hati telah membuatnya teramat senang. "Kedua bayinya sehat kan?" tanya Max lagi. "Alhamdulillah dari hasil USG tak ada kecacatan sedikitpun." Max lalu melirik istrinya, bibirnya seakan ingin mengucapkan kalimat sakral yang mungkin akan mengubah kehidupan mereka, namun sayangnya ego yang besar telah meredam keinginan tersebut jauh dalam dalam, hingga Max hanya bisa memegang tangan Vivian erat-erat, tanp
Tanpa terasa langit telah berubah warna, Vivian telah kembali menuju Vila. Langkah lemah menapak menyingkap rerumputan taman yang panjang, dan begitu pandangannya terangkat, disana sosok Max telah berdiri, dia lihat mata biru itu tengah memperhatikan dengan pandangan tak senang. "Kau darimana saja?" Vivian membalas dengan senyuman yang sangat indah, angin yang sengaja bertiup juga semakin mempercantik wajahnya. "Aku melepasnya, seperti keinginanmu aku telah memutuskannya," jawab Vivian dengan mata berkaca-kaca, menahan tangis yang terus bergejolak di dada. Vivian menurunkan pandangan. "Akan tetapi dia belum sepenuhnya melepas ku, jadi tolong biarkan aku membujuknya agar dia tidak menganggu ku lagi." Max tak bisa menjawab, melihat mata coklat bersinar hanya bisa membuatnya diam. "Jika kau memberiku izin, akan ku pastikan sebelum anak ini lahir aku akan meninggalkan dia sepenuhnya, bagaimana bisakah kau mewujudkan permintaanku?" "Baiklah, namun aku akan mengantarmu saat menemui